FB

FB


Ads

Minggu, 26 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 088

“Sungguh, tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian kepada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”

Wajah Ci Sian berobah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja.

Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi! Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut,

“Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggautanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”

Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus terhadap Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walaupun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.

“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menebus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!”

Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.

“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam.

Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini. Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum.

“Bukan, Nona, pinto bukan Ketua Kun-lun-pai....”

“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!”

Ucapan inipun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.

Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya,
“Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat samadhinya. Untuk urusan apapun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah kepadanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin kalau Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memandang rendah kepadanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!

“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”

Thian Kong Tosu tersenyum maklum.
“Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”

“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”

“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak manapun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”

“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!”

Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya. Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main.

Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walaupun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu,

“Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”

Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab,

“Baik, Suheng,” Wajah tosu ini berseri.

Baru sekarang suhengnya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?






“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”

“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.

Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Iapun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.

Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk berada tak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan.

Biarpun usianya sebaya dengan sutenya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sutenya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.

Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walaupun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung seperti model gelung rambut tosu, ke atas. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian.

Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang. Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam samadhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirikpun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.

“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.

Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kandungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap horrnat,

“Locianpwe, she saya adalah Bu.”

“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”

Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras,

“Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”

“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”

Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga.
“Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”

“Ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sutenya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.

“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.

Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.

“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.

Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sin-kang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring,

“Heiiittt....!”

Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!
“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapapun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.

Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk.
“Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”

“Memang pusaka itu berada di tangan suhengku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat.

“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”

“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”

“Aah, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?”

Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya. Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.

“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.

“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”

Mendengar ucapan suhunya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata,

“Teecu mentaati perintah Suhu.”

“Untuk menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.

Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya, maka kini memperoleh kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, tentu saja dia merasa gembira. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.

Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!

Dalam keadaan menderita batin, karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya.

Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu. Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya daripada penjajahan bangsa Mancu.

Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa malapetaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biarpun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.

Mendengar ucapan suhunya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata,

“Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.

Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.

Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa ia benar ahli waris Suling Emas ia harus memainkan suling itu, maka ia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu.

Kini mereka berhadapan. Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.

Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menyebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru,.

“Lihat serangan!”

Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.

Han Beng merobah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khi-kang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sin-kang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.

“Tringggg....!”

Suling emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.

Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.

Akan tetapi Ci Sian yang berwatak panas itu, merasa penasaran sekali. Ia segera mengeluarkan seruan nyaring dan sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.

Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.

Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini!

Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirobah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amat kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya.

Han Beng cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walaupun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!

Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali.
“Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sutenya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”

“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biarpun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”

“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sin-kang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sin-kang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemujijatan....”

“Dan lihat, bukankah ilmu sin-kang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng ketika mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sin-kang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”

Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika ia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khi-kang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suhengnya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar. Maka, ia lalu mengerahkan tenaga sin-kang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali.

Dan Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini meialui pedang kayu yang dipakai untuk menangkisnya, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena kacau pertahanannya oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.

“Tukk....!”

Pundaknya terkena totokan dan biarpun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.

“Tahan....!”

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian. Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghadangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berobah merah dan ia pun bersungut-sungut.

“Kenapa engkau malah membantu lawan?” tegurnya sambil menyimpan kembali sulingnya.

“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.

“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.

Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.

“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”

Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suhengnya menyambut tamu.

“Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”

“Nama saya Suma Kian Bu....“

“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suhengnya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.

“Beliau adalah ayah kandung saya.”

“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap, mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”

Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya.

“Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta nnaaf kepadamu,” jawabnya.

Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata,

“Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”

“Ah, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.

Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sutenya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng. Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid lain tidak ada yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.

“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.”