FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 079

Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.

“Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya? Pantas berani kurang ajar kepadaku!”

“Perempuan galak, siapa takut kepadamu?”

Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya. Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.

“Ah, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!”

Suara wanita itu berobah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru. Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang.

Mula-mula payung yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!

“Bagus!”

Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khi-kang, dan sekaligus Ia menangkis tiga kali.

Wanita itu memandang kagum karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian,

“Cukup, jangan berkelahi!”

Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama ganasnya.

“Aih, dua-duanya keras kepala!” terdengar laki-laki itu berseru dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal suara itu.

Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan ia bahwa ia telah terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma! Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, sedemikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh.

Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara mereka dan di lain saat laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!

“Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur.” kata pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan menyerangnya?”

Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras.

“Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya?”

“In-moi....! Kau.... cemburu? Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!”

Pria itu berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka, akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah pria itu. Wajah seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah pula.

Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak berduka? Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.

“Tai-hiap.... bukankah Tai-hiap ini.... Pendekar Siluman Kecil?” akhirnya dia memberanikan diri bertanya.

Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walaupun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

“Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona?”

Suara pendekar itu halus, namun mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.

“Saya sering mendengar nama besar Tai-hiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan seringkali bercerita tentang Tai-hiap.”

“Siapa Suhengmu itu, Nona?”

“Suheng saya she Kam bernama Hong....”

“Ah, kiranya Siauw Hong? Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas?”






“Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas.” kata Ci Sian dengan bangga.

“Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita bertemu dengan orang sendiri? Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat sendiri.”

Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, menarik napas dan menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian.

“Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu?”

Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian merasa terharu dan balas merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.

“Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi.”

“Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!” Wanita itu tertawa dan dan ia nampak manis bukan main. “Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang nama kami....”

“Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah?”

“Memang Suhengmu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia....” suaranya mengandung keluhan lagi.

“Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi? Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini?”

“Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat, untuk membasmi Hek-i-mo.” katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya.

Suami isteri itu saling pandang.
“Hek-i-mo? Dan bagaimana hasilnya?” tanya pendekar itu.

“Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan diri.” Kata Ci Sian dengan bangga.

Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk.
“Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan Pendekar Suling Emas.”

Para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali danJodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalam kisah Jodoh Rajawali , Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma.

Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka. Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri.

Akhirnya, suami isteri itu tidak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguhpun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibu mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka tiba di daerah barat dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.

Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu.

Dia sendiri bersama isterinya telah mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.

“Di mana sekarang Suhengmu yang perkasa itu?” tanya Kian Bu kepada Ci Sian. Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak tahu, dia telah meninggalkanku dan aku sekarang justeru sedang mencarinya, Tai-hiap.” jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan.

Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka ia pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong daripada hubungan suheng dan sumoi belaka.

“Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apapun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah.”

Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat menyambung,

“Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran.”

Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suhengnya itu setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka. Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih.

“Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami.”

Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, ia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih.

Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh.

Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.

“Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang?”

Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.

“Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal sekali”.

Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit.
“Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu.”

“Salah paham apa?” Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. “Sudah jelas ada teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!”

Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya serem.

“Aha, agaknya kesalah pahaman ini berasal darimu, Nona.” tosu itu berkata sambil tersenyum.

“Apa? Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau hendak menyangkalnya, Totiang?” Ci Sian berkata lagi, penasaran.

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalah pahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!”

“Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku mencuri pula. Huh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!” Ci Sian membentak.

“Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!” Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang. “Hek-liong-ma adalah kuda kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!”

Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!

“Ah, kiranya Hek-liong-ma ini kudamu Enci?” Ci Sian bertanya heran.

“Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukan pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan.” kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.

“Ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walaupun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma.”

“Omongan apa itu?” Ci Sian membentak. “Bukan pencuri akan tetapi mencuri!”

“Siancai.... Nona muda amat keras hati.” tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. “Agar jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Kami melihat Hek-liong-ma dan kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya.” Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang “terpaksa” mencuri kuda terbaik.

Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan didapatnya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya.

Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu, bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa sekalipun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguhpun penguasa-penguasa ini membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil.

Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena berlumba kedudukan dan kekuasaan. Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan. Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlumbaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain.

Kini bukan perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, perlombaan kuda dan ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang menang merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang kalah!

Yang paling sering diadakan perlumbaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang amat mahal.

Setiap setahun sekali tentu diadakan perlumbaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu raja-raja kecil ini juga berlumba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlumbaan mencari kuda terbaik.

Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Ketika mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali.

Belum pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlumbaan beberapa hari yang akan datang.

Namun, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian orang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat disewakan atau dipinjamkannya. Inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.

“Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka maklum keadaan kami.” Sambung tosu itu.”Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlumbaan berlangsung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi kesulitan sekarang.”

“Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah?” Ci Sian bertanya, sikapnya menantang.

Tosu itu tersenyum.
“Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!”

Dan tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!

“Hemm, permainan kanak-kanak saja!”

Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In. Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.

“Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!”

Ci Sian terkejut sekali karena ketika ia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi dan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja!

Melihat ini, kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!”

Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, lalu terbentuklah seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk Siang In!

Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata.

“Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau?”

Dan sungguh aneh, tangan kirinya itu seperti berobah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!

“Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!”

kata tosu itu dan kini ia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada tanah tercokel tongkat dan tanah itu berhamburan berobah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In!

Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berobah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu, memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat kuatnya.

“Asal tanah kembali jadi tanah!”

Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berobah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran.

“Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu sihir?”

Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu ia menjawab.

“Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini? Dari merekalah aku mempelajari sihir.”

Tiba-tiba saja sikap tosu itu berobah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura.
“Ah, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!” Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata. “Ah, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak boleh diganggu....“

Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur?

“Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang? Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!” kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.

“Habis, kalian mau apa? Mau merampas kudaku ini?” Ci Sian membentak dan melangkah maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.

Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus.

“Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja.”

“Hemm, kalau aku menolak?”

“Terpaksa kami akan manggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak kami kembalikan bersama uang sewanya.” kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada.