FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 077

Setelah meningggalkan Hong Bu, Ci Sian melakukan perjalanan seorang diri sambil menundukkan mukanya. Ia tidak tahu ke mana kakinya melangkah, pokoknya kembali ketimur. Ia harus mencari suhengnya. Ia tidak mau menerima begitu saja sikap suhengnya yang meninggalkan ia hidup sendirian di dunia yang kejam ini. Ia sungguh tidak mengerti sikap suhengnya.

Suhengnya itu nampak demikian cinta kepadanya, akan tetapi mengapa tiba-tiba saja suhengnya meninggalkannya? Dan bagaimana pula dengan Hong Bu itu? Ia benar-benar bingung mengenangkan sikap dan kata-kata Hong Bu. Pemuda itu begitu saja menyatakan cinta padanya. Benarkah Hong Bu cinta padanya? Kiranya hal itu memang benar. Buktinya, selain Hong Bu mengakui cintanya, juga pemuda itu bahkan rela untuk dibunuhnya dan sama sekali tidak hendak melawan ketika ia menodongnya dengan suling. Betapa mudahnya untuk membunuh Hong Bu saat itu, dan pemuda itu hanya pasrah saja, Hong Bu memang jatuh cinta padanya! Dan Kam Hong? Apakah suhengnya itu tidak cinta padanya?

Dan bagaimana dengan ia sendiri? Apakah ia dapat menerima cinta Hong Bu? Apakah ia juga dapat membalas cintanya itu? Dan bagaimanakah perasaannya terhadap suhengnya?

Ci Sian bingung sendiri menghadapi pertanyaan-pertanyaan hatinya ini. Ia tidak tahu apakah ia mencinta mereka. Yang ia ketahui adalah bahwa ia merasa kehilangan dan bersedih ketika ditinggalkan Kam Hong. Dan ia juga amat suka kepada Hong Bu dan agaknya, ia akan suka melakukan perjalanan dengan pemuda itu di sampingnya, sebagai sahabatnya, kalau saja Hong Bu bukan musuhnya, musuh Kam Hong, dan terutama sekali kalau saja pemuda itu tidak lancang menyatakan cintanya!

Cinta asmara adalah pengikatan. Dan ikatan antara dua orang manusia, atau juga antara manusia dengan benda atau dengan gagasan, iakatan seperti ini dapat timbul melalui kebiasaan, melalui pergaulan. Seseorang yang dekat dengan seorang lain, yang dapat merasakan banyak kenikmatan dari pergaulannya itu, akan menjadi biasa dan terikat, dan akan sakitlah kalau pada suatu saat ia harus terpisah dari orang lain itu, baik orang lain itu anaknya, isterinya, suaminya, orang tuanya ataupun sahabatnya.

Bahkan dengan benda pun dapat terjadi hal seperti itu. Cinta asmara atau cinta yang timbul karena kenikmatan adalah pengikatan yang dapat timbul dari kebiasaan atau pergaulan yang erat. Kita sejak kecil sudah terbiasa untuk mengikatkan diri kita secaca batiniah kepada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan. Dan justeru ikatan inilah yang menjadi sebab utama daripada rasa takut akan kehilangan, dan rasa duka karena perpisahan.

Beberapa pekan kemudian, pada suatu hari, pagi-pagi sekali Ci Sian yang melakukah perjalanan ke timur itu tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tempat itu amat sunyi, jauh dari pedusunan dan ia semakin merasa betapa ia seorang diri saja di dunia ini.

Berdiri menghadapi padang rumput yang demikian luasnya, di lereng bukit, memandang ke kaki langit yang tidak memperlihatkan tanda-tanda adanya rumah atau manusia, mendatangkan rasa kesepian yang mencekik. Keadaan di situ hening sekali. Ci Sian melihat rumput-rumput hijau seperti air samudera yang bergelombang kecil, ujungnya digerakkan angin berombak-ombak amat indahnya, mengeluarkan bunyi berdesau seperti desau keluhan hatinya di saat itu. Tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di depan, di balik puncak bukit.

Kesepiannya yang mencekam itu membuyar dan timbul harapan akan bertemu dengan manusia. Sudah sejak kemarin dulu ia tidak bertemu manusia di daerah yang amat sunyi itu. Maka ia pun bergerak dan berlari menuju ke puncak bukit. Setelah ia tiba di puncak itu, ia berhenti dan memandang dengan penuh kagum ke bawah puncak.

Di sana, di padang rumput yang subur ia melihat sekumpulan kuda yang bergerak bebas, sedang makan rumput dan berkejaran. Sekumpulah kuda yang amat baik, akan tetapi pandang mata Ci Sian melekat kepada seekor kuda berbulu hitam yang menjadi pemimpin kuda-kuda itu.

Kuda hitam yang bertubuh ramping dan nampak kuat sekali, dengan leher yang panjang dan gerakan yang lincah. Dan dari puncak itu, nampaklah atap-atap rumah di bawah bukit. Pemandangan ini membuat hatinya lega. Bukan hanya sekumpulan kuda yang sedang makan rumput itu yang amat indah dipandang, akan tetapi juga atap rumah-rumah dusun itu. Ia sudah dekat dengan sebuah dusun, akan bertemu dengan manusia, dan akan dapat makan makanan yang pantas.

Dengan hati-hati ia lalu turun dari puncak agar tidak mengejutkan sekelompok kuda itu. Matanya tidak pernah terlepas dari kuda hitam yang amat indah itu, dan diam-diam ia merasa kagum dan suka sekali karena ia maklum bahwa kuda itu amat baik dan jarang ia melihat seekor kuda sebaik itu.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut dan memandang terbelalak ke depan. Ia melihat ada dua orang laki-laki yang menghampiri sekumpulan kuda itu dan anehnya, kuda hitam itu meringkik dengan nyaring, mengangkat kedua kaki ke atas, agaknya untuk memberi tanda kepada teman-temannya dan sekumpulan kuda itu lalu lari cerai-berai! Sikap sekumpulan kuda itu jelas membuktikan bahwa mereka tidak biasa dengan dua orang itu atau melihat orang-orang asing mendekati mereka.

Dan Ci Sian melihat dengan jelas bahwa dua orang itu bermaksud menangkap kuda hitam! Dan ia pun mengerti bahwa dua orang itu ternyata memiliki gerakan yang amat ringan sekali. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kecil, kurus dan pendek, dengan gerakan seperti seekor burung terbang telah meloncat ke depan kuda itu dan mengangkat kedua tangan.

Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan hendak menubruk laki-laki kurus itu. Akan tetapi pada saat kuda itu mengangkat tubuhnya ke atas, kepalanya tinggi-tinggi di udara dan dengan hidung mendengus-dengus, tiba-tiba ada sinar hitam melayang dan ternyata itu adalah sebatang tali laso yang dilemparkan oleh pria ke dua, yaitu yang bertubuh tinggi besar. Cepat sekali tali laso itu meluncur dan si kuda hitam tidak sempat mengelak, tali laso sudah menjerat lehernya. Binatang itu meringkik keras dan meronta-ronta.

“Cepat naik ke punggungnya dan jinakkan dia!” kata orang tinggi besar itu kepada temannya.

Si Kurus Pendek meloncat lagi dan diam-diam Ci Sian kagum karena memang gin-kang dari Si Kurus itu hebat sekali. Sekali meloncat saja Si Kecil itu sudah melayang ke atas punggung kuda hitam itu, dan sudah duduk di atas punggungnya.

Kuda hitam meringkik semakin keras dan tubuhnya menggeliat-geliat, meronta-ronta dan meloncat-loncat, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan berusaha untuk melemparkan orang yang menempel di punggungnya.

Akan tetapi Si Kecil itu agaknya memang seorang ahli menunggang kuda, karena seperti seekor lintah dia menempel di atas punggung dan tetap duduk di situ biarpun kuda itu berusaha melemparkannya dengan meloncat-loncat lucu, melekuk-lengkungkan punggungnya sejadi-jadinya. Sampai lama sekali kuda itu meronta-ronta dan Si Kecil itu dengan susah payah berusaha bertahan, diberi semangat oleh temannya dengan teriakan-teriakan.






Ci Sian yang menonton perjuangan kuda hitam itu, yang dengan sekuat tenaga hendak membebaskan diri dari pengganggunya, merasa tegang dan diam-diam ia berpihak kepada si kuda hitam, mengharapkan kuda itu berhasil melempar Si Penunggang dan menang! Maka ia ikut mengepal tinju ketika kuda itu menjerit-jerit dan meringkik-ringkik, dan tiba-tiba saja kuda itu menjatuhkan dirinya ke kanan dan tentu dengan maksud hendak bergulingan agar pengganggu di punggungnya itu tergencat! Orang tinggi besar itu terkejut sekali dan berteriak,

“Cepat pergi!”

Tentu saja Si Kecil itu lebih kaget lagi. Dan untung dia memiliki ilmu ginkang yang hebat, maka dia dapat melempar tubuhnya dengan loncatan cepat menghindarkan diri sehingga tidak sampai tergencat!

Ci Sian hampir bersorak gembira ketika kuda itu bangun kembali dan meringkik-ringkik seperti yang bersorak karena menang. Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali lasso dan menahan, menariknya dengan kuat. Kuda itu tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan mengerahkan tenaga, melawan tenaga tarikan itu.

Tali itu tadi agak turun mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia menarik sekuat tenaga, ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi dengan tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia berhasil, kini dia mengadu tenaga dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu.

Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang agak merendah dan mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli ginkang, maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!

Kembali Ci Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak membantu kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang, tertarik antara dua kekuatan besar dan akhirnya, orang tinggi besar itu menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan!

Ci Sian sekali ini tidak dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh sehingga suara ketawanya tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi, dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan tangan mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka kuda itu.

Dan kuda hitam itu berbangkis-bangkis, meringkik dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyung-huyung seperti mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya gemetaran. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring!

”Pencuri-pencuri kuda busuk!” Dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda. “Tar-tar-tarr!”

Cambuk kudanya diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia menghampiri dua orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia tahu bahwa dua orang yang berusaha menangkap kuda hitam itu adalah pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu karena ia melihat betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ, sedangkan Si Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan permainan tali lassonya.

Pencuri kuda yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak karena pengaruh obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi tempat itu sedangkan kawannya yang lihai menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah, berdiri sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut marah seperti seorang dewasa melihat kenakalan seorang anak-anak saja.

“Eh, maling Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini?”

Bentak Ci Sian dengan suara lantang. Ia melihat bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan kecil, bahkan kalah tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah agak berkeriput itu, tentu tidak kurang dari lima puluh tahun.

Orang pendek kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang menghadangnya hanyalah seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa senjata dan tidak menunjukkan seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar.

Ci Sian heran melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai mulut yang besar. Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah mukanya robek di tengah-tengah sampai ke telinga.

“Heh, gadis manis, minggirlah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai pipimu yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah, anak baik, biarkan kakekmu lewat!”

“Hemm, maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!” kata Ci Sian dan memang apa yang dikatakannya itu benar.

Di antara kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling rendah sekalipun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling paling busuk di dunia bagi maling kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan seorang perantau, jadi kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.

Kiranya Si Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba berobah merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena marah,

“Bocah setan, engkau memang bosan hidup agaknya!”

Dan tubuhnya dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci Sian dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh kecil ini memandang rendah kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan tetapi, dia kecelik bukan main karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya malah tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah!

Akan tetapi, dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh dara remaja itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, dia merangkak bangun dan mencabut sebatang ruyung dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan ganasnya.

Akan tetapi, kalau hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci Sian. Gadis ini melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biarpun ia tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai kecepatan yang lebih daripada orang biasa.

Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan begitu tangan kirinya menyambar, terdengar suara “plakkk!” dan kepala maling itu telah kena tampar di pangkal telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini agak hebat. Ruyungnya terlepas dan dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia melihat betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!

Sementara itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar itu terjadi dengan serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar dan lebih kuat, Si Kakek terdesak dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali lasso itu.

Ketika Ci Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dan tidak dapat bangkit lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar telah berhasil melasso kakek pemilik kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali lasso itu tidak membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!

Kakek itu kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan dengan tangan kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian dengan suatu sentakan tiba-tiba sambil membentak nyaring, ia membuat Si Tinggi Besar itu terpelanting dan terbanting keras!

Si Tinggi Besar terkejut dan marah sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja itu, tentu dara itu takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja membiarkan orang itu menubruk dekat dan tiba-tiba saja, tubuhnya menyelinap pergi.

“Brukkk....!”

Si Tinggi Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu, menubruk tempat kosong dan tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka merah, membalik dan melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat itu.

Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar tubuh miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia menggunakan jari tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.

“Tukk....!”

Perlahan saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya Si Tinggi Besar itu mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja merajadi kaku dan kejang, pada saat itu, Si Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah lari menghampiri.
“Siauw-te, mari kita bekuk dulu bocah setan ini!”

Kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar yang juga sudah bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak mengusir kepeningannya karena terbanting tadi.

Si Katai telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga mencabut sebatang golok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang pencuri kuda itu menghampiri Ci Sian yang masih berdiri dengan tenang dan bertolak pinggang. Melihat ini, pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunva, segera membentak.

“Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!”

Akan tetapi Ci Sian berkata halus,
“Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi hajaran keras agar kelak tidak berani lagi mencuri kuda.”

Melihat sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu, Si Kakek pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap membantu kalau gadis itu terancam bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.

Dua orang yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang menggagalkan usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi, dengan marah menerjang dari kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan ganasnya.

Akan tetapi, dengan amat mudah Ci Sian mengelak ke sana-sini, ke kanan-kiri dan kadang-kadang melompat tinggi dan semua sambaran senjata itu tidak ada yang mangenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!

“Lepas senjata!”

Tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu menyaksikan hal yang aneh. Dua orang itu, seperti anggauta pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya, melepaskan senjata mereka masing-masing!

Sebenarnya, tidak terjadi keanehan atau sihir seperti yang disangka oleh kakek itu, melainkan karena kecepatan gerakan Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir, melainkan dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak tadi, menotok pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat mengenai jalan darah, maka seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang itu terlepas.

Dan selagi mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh, tiba-tiba Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan melontarkannya ke arah Si Tinggi Besar.

“Brussss....!”

Kaki Si Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang hendak menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya terpelanting bergulingan.

“Eh, Siauw-te, kenapa kau memukulku?” Si Kecil mengomel.

“Dan engkau menendang dadaku!” Si Tinggi Besar juga membentak.

Keduanya bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang amat kuat mencengkeram tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakkan kedua tangan, kepala dua orang itu bertumbukan.

“Brukkkk....!”

Dan keduanya menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda hitam di sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu membawa mereka ke tempat itu dan melemparkan mereka di antara tumpukan tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!

“Nah, pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!” katanya sambil tertawa gembira.

“Tar-tar-tarrr....!”

Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya meledak-ledak dan ujung pecut itu menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian.

“Pencuri-pencuri kuda! harus merasakan lecutan cambuk kuda!” katanya sambil tertawa gembira pula.

Sengatan-sengatan ujung pecut itu membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan mempercepat mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan pinggul yang disambar lecutan cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng, terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti suara ketawa Ci Sian yang merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang dikaguminya itu.

“Li-hiap, terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu.”

Ci Sian memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh jangkung kurus akan tetapi wajahnya nampak segar seperti biasa wajah orang-orang tua yang biasa hidup di tempat terbuka, banyak terkena hawa segar dan sinar matahari yang panas.

“Engkaukah yang mempunyai kuda-kuda itu, Lo-pek?” tanya Ci Sian sambil memandang kepada kuda hitam yang masih berdiri dengan kepala tergantung.

“Benar, Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri tadi bukanlah pencuri kuda biasa, Nona. Andaikata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak akan sudi menyentuh kuda.”

Ci Sian mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu hanya kuda hitam itu saja.

“Hek-liong-ma....? Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk yang keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit.....”

“Tidak, tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasa dipergunakan orang untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya. Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa mereka tadi adalah pencuri-pencuri kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa.”

“Ah, pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau sudah sebelum berhasil mencuri Hek-liong-ma.”

”Itulah yang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ah, sungguh aneh pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku.... coba saja bayangkan.... kuda ini hanya ditukar untuk makan selama dua hari dan pengobatan kuda yang tidak berapa banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku terlalu mencinta kuda.... dan celakanya, selama berada bersamaku selalu menarik datangnya penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap.”

Ci Sian terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan memperhatikan apakah orang itu tidak berobah gila. Kuda seperti ini hendak diberikan begitu saja kepadanya? Dan juga orang itu menerimanya begitu saja dari pemberian orang lain?

“Siapakah yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek? Sungguh aneh sekali kalau ada orang memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja.”

“Seorang pendekar! Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun mata tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa, tentu seorang pendekar sakti!”

“Siapa dia, Paman? Bagaimana ceritanya?”

“Aku tidak tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda hitam yang sakit cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan kurang baik terpelihara. Dia menyerahkan kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia lenyap dan tak pernah datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda hitam itu telah sembuh dan kau lihat sendiri, Li-hiap. Kuda itu memang hebat. Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang ingin mencurinya.”

“Tapi...., tapi kuda itu mahal sekali tentu....”

“Memang, sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor kuda yang baik dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan sekarang aku pun hendak menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan kuda ini kalau berada padaku hanya akan mendatangkan maling-maling belaka, dan memang sudah sepatutnya menjadi tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dengan Tai-hiap yang memberi kuda ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak dan penurut sekali.”

Kakek itu lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke dalam semangkok air dan memberi minum kuda hitam itu. Tak lama kemudian, kuda hitam itu berbangkis-bangkis dan seger kembali. Ia tidak meronta ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.

Ketika kakek itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang lengkap, dara itu menerimanya.

“Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik sekali.”

“Tidak lebih baik daripada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah, selamat jalan, Li-hiap, aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang dibawa orang. Habis perkara.”

Ci Sian meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama sekali tidak liar atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana perlakuan kasar dan mana yang tidak kasar. Ci Sian memandang kepada kakek itu.

“Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh sepertimu. Dan sekali lagi terima kasih.”

“Ha-ha, dan jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih, karena kalau tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang tadi. Selamat jalan!”

Dan kakek itu lalu membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.

Ci Sian lalu membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat dan berlari seperti terbang saja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan terdengar suara desir angin di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu seolah-olah tidak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak dan mudah sekali mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah dimengerti oleh Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor kuda tunggangan yang baik sekali! Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari pemiliknya.

Maka ia menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat rumah-rumah pedusunan, di tengah jalan di luar dusun, ia melihat tiga orang laki-laki berdiri di depan. Melihat cara mereka berdiri, terang mereka itu sengaja menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan. Kalau ia melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya.

Akan tetapi, Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya meloncat ke atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa dua di antara tiga orang itu adalah Si Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai tadi!