FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 075

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras,

“Suling Emas....!”

Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata,

“Tidak salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoiku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”

Marahlah Hek-i Mo-ong.
“Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!

“Tikkk....!”

Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang.

Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isarat. Mereka mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas!

Dan kini mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itupun menyambar-nyambar mengeluarkan suara berkerincingan.

Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang, pikirnya sambil melihat suhengnya memutar suling emasnya. Kalau suhengnya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia merasa menyesal mengapa suhengnya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama.“

Dan memanglah, Kam Hong sejak tadi mempergunakan ilmu-ilmunya yang lama. Pertama-tama tadi ia mainkan Pat-sian-kun, dan kini pun setelah memegang suling, ia masih melanjutkan dengan ilmu Pat-sian Kiam-hoat, menggunakan sulingnya sebagai pengganti pedang. Memang ilmu ini hebat sekali, akan tetapi delapan orang pengeroyoknya itu benar-benar amat tangguh. Biarpun Kam Hong dapat membela diri dengan sulingnya, namun dia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang!

Kemudian Kam Hang mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula dia mengubah Pat-sian Kiam-hwat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu sliat yang gerakannya dilakukan dengan membuat huruf-huruf di udara ini merupakan gerakan ilmu silat yang lihai sekali. Kemudian, karena ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu banyak pengeroyok yang rata-rata memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang, Kim-kong Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya dan menggabungkan sulingnya dengan permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).

Namun, tetap saja dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap kali dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan terdorong, akan tetapi segera mereka menerima bisikan-bisikan guru mereka melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera mengubah gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya!

Dengan demikian, walaupun delapan orang Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong, seaungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak dari Hek-i Mo-ong yang mengatur gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya.

Diam-diam Kam Hong terkejut. Dia, tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui Seng-siauw Seng-jin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar dicari tandingannya.

Akan tetapi, ternyata semua ilmu ini tidak mampu merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan kalau tidak dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban.

Teringat dia akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah sudah berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas menghadapi Hek-i Pat-mo ini, juga dia teringat akan nasihat gurunya yang pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo itu amat berbahaya.

Memang tadinya Kam Hong tidak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu simpanannya. Dia sudah mempunyai banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak akan menggunakan Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu masih terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan agaknya sampai mati pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik kesempurnaannya.

Kini, dia tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya. Siapa tahu, dia harus mengerahkan sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju dan kalau sumoinya tidak mampu menahan raja iblis itu.

Tiba-tiba Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi dari suling yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah dan lambat, akan tetapi sesuai dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi melengking suara suling itu!

Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi. Memang, Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu Kim-siauw Kiam-sut ini. Ilmu ini dibarengi dengan khikang yang amat kuat dan jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya sendiri, baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan!

Melihat ini, lega dan giranglah hati Ci Sian. Suhengnya mulai mengeluarkan Kim-siauw Kiam-sut dan memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kelihatan terkejut dan bingung melihat betapa delapan orangnya menjadi kacau gerakannya dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara suling pemuda itu!






Memang hebat bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam Hong memainkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang sepenuhnya, didorong oleh kekuatan khikang yang telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu itu, maka belum sampai dua puluh jurus saja, sinar suling yang keemasan itu dan suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah mengurung dan mendesak delapan orang lawannya.

Akan tetapi, Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga sedikit lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah terpelanting ke kanan kiri, dan ketika mereka bangkit berdiri, ternyata cakar setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua! Wajah mereka berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama.

Delapan orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa kalah dalam perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi orang-orang kang-ouw yang berani menentang guru mereka, dan biarpun sudah memiliki kepandaian tinggi, mereka masih terus melanjutkan pelajaran mereka, belajar segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi semakin lihai. Maka, kini, menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda, mereka merasa penasaran bukan main.

Mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi kemenangan telah membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkan mereka! Mereka saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu sudah duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng, suara yang terdengar oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih, terdengarnya seperti

“Auuuummmm....!”

Akan tetapi bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara itu seperti memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua telinganya dan terus menyusup masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh suara itu. Dia mulai menggigil dan mukanya pucat.

Namun, pemuda ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah cepat menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling dengan hanya tangan kanan saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa khi-kang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia tidak perlu menggunakan jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling.

Tangan kirinya, telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari saluran hawa hangat yang keluar dari telapak tangannya sendiri, mendatangkan getaran halus yang melindungi jantungnya.

Dan terdengarlah kini suara melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu! Biarpun suling itu tidak dimainkan lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun tenaga tiupan yang sudah mencapai kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong.

Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara yang bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung kekuatan dasyat untuk menjatuhkan lawan masing-masing! Suara yang terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan biarpun langsung ditujukan kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan akibatnya sehingga dara ini pun mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini hanya terserang getaran yang lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong.

Akan tetapi, suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara auman mereka. Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main, akan tetapi tidak mempunyai daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Pat-mo, suara itu merupakan malapetaka! Suara itu menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara auman mereka itu kembali dan menyerang mereka sendiri!

Mereka merasakan gelombang suara yang menggetar ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat dan mereka bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh atau dibunuh! Kalau mereka lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya mereka kalah kuat, mereka tidak peduli lagi!

Melihat kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa lawan-lawannya itu hendak mengadu nyawa dan dia tidak mempunyai jalan lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia menghindar, berarti dia kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa dia pun memperkuat pengerahan khi-kangnya, disalurkan melalui suara suling.

Sungguh mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling melengking-lengking itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara.

Akan tetapi, kakek ini mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut. Dan dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para muridnya itu menjadi semakin lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling, bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga penuh keringat dan napas mereka terengah-engah.

Melihat hal ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang buas, tangan kirinya sudah mengeluarkan sebuah kipas merah dan tangan kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak Gigi Srigala) dan dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda itu.

Akan tetapi, Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat dipercaya kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk diputar cepat dan menyerangnya.

Betapapun juga, kipas merah itu lihai bukan main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah oleh tenaga yang amat hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman lawan. Dia mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika tubuh delapan orang itu terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka.

Akan tetapi, Kam Hong juga terkejut sekali ketika merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa dia pun menderita luka dan hal ini terjadi karena delapan orang itu tadi dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga dia kurang dapat menjaga diri.

Sementara itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena ia tahu bahwa lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak waktu, begitu maju ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan amat tekun dibawah bimbingan Kam Hong.

Memang tak dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimiliki oleh Ci Sian masih jauh dibandingkan dengan suhengnya yang sudah lebih lama melatih diri, akan tetapi Ci Sian telah menguasai dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya, dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh, sedangkan dara itu pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang luar biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat, maka ia bukan merupakan lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu.

Hek-i Mo-ong sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan orang murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main mengapa dia tadi menyuruh mereka maju. Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan tangan kanannya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya.

Tombak Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan runcing tajam agak melengkung seperti gigi srigala, dan tentu saja ujung senjata itu mengandung racun yang amat berbahaya, telah bettahun-tahun direndam semua racun-racun yang paling jahat. Dia mainkan Long-gee-pang ini seperti orang memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan, untuk memainkan Long-gee-pang, sedangkan tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu karena tangan ini lebih sering memainkan kipas merahnya.

Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan untuk menotok jalan darah. Memang hebat bukan main gerakan-gerakannya, tombaknya itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar tombak itu nampak berkelebatnya sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar dari gerakan tombaknya.

Ci Sian memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking, sungguhpun tidak sehebat permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut. Biarpun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan ilmu silat dan serangan tombak dan totokan-totokan kipas, melainkan juga dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun Ci Sian terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun mengandung kekuatan khi-kang yang hebat.

Betapapun juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakek itu. Ia mulai merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya sajalah maka ia masih mampu menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut. Selama itu, Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya.

Akan tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian. Bagaimanapun juga, dia harus membantu sumoinya. Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu sumoinya, apalagi kalau yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja Iblis itu.

Dan dalam jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan melindungi diri sendiri. Dia tahu bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia harus mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa malapetaka kalau dia berhadapan dengan Hek-i Mo-ong.

Setelah rasa sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci Sian sudah terdesak hebat, Kam Hong sudah siap untuk membantu sumoinya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring.

“Hek-i Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita sama-sama basmi Iblis ini!”

Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan suara berdengung-dengung amat kuatnya, bahkan dalam suara mengaung ini pun terkandung kekuatan yang mujijat.

“Sim Hong Bu, bagus kau datang membantuku!”

Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang sudah merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang amat lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang. Ia mengira bahwa suhengnya telah terluka dan tidak dapat maju lagi.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di tangan pemuda yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat! Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dibandingkan dengan dara remaja ini!

Adapun Kam Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh perhatian, mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang pemuda itu memang hebat bukan main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong-pokiam, yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya.

Keluarga Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut! Dan sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut dimainkan dengan suling emas oleh sumoinya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan.

Dua ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai dan diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat, dapat saling mengimbangi bahkan saling cocok, saling isi dan saling melindungi!

Teringatlah dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang merupakan nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak pembuat pedang itu. Dan ilmu pedang itu kemudian ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti. Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw Kiam-sut, seperti halnya keluarga Cu di lembah itu.

Melihat hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat dan bahkan saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat dikatakan bahwa penggabungan itu malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi lengkap! Dan dia melihat pula hal lain! Dia melihat betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan diantara gerakan cepat mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat atau mengerling Ci Sian. Pemuda itu mencinta Ci Sian!

Dan dia melihat pula betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali, sebaya dan juga sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan wajah berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali bertemu dengan Hong Bu, apalagi dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh tangguh.

Padahal, dia mengenal benar watak Ci Sian dan andaikata yang membantunya itu orang lain, tentu Ci Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian malah girang dibantu Hong Bu, maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka kepada pemuda ini. Teringat pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh, Kam Hong merasa jantungnya seperti tertusuk!

“Bodoh kau! Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!”

Kam Hong mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia merasa cemburu!

Bodoh, dia harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak wajar dan tidak tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci Sian. Hong Bu itulah yang tepat menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua pun selisihnya hanya satu dua tahun, Dan Ci Sian telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan jalan berlatih dan menggunakannya dalam praktek.

Tidak ada lagi yang dapat diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat tidak baik kalau dia terus mengajak dara itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, juga bagi dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia harus mengundurkan diri, dia harus tahu diri.

Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan itu, puluhan orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam Hong bahwa kakek itu merasa kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya. Ketika anak buah Hek-i Mo-ong itu hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong sudah menyerbu dan menyambut mereka dengan putaran sulingnya yang berobah menjadi sinar emas bergulung-gulung.

Dan biarpun anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi suling di tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan sinar emas itu menyambar, tentu sedikitnya ada dua orang anggauta Hek-i Mo-ong yang roboh.

Dan para anggauta Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu dan Ci Sian, akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani ikut membantu ketua mereka karena gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi mereka.

Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka sudah mundur lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat. Dan ketua gerombolan itu sudah mulai lelah, dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah berdiri dan terkenal di seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, kini mengalami ambang kehancuran.

Tiba-tiba kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik jubahnya dan begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar ledakan-ledakan nyaring dan nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu. Melihat ini, Kam Hong cepat berteriak,

“Hong Bu! Ci Sian! Mundur!”

Dua orang muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek yang sudah lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong menyuruh mereka mundur dan mereka pun bersikap waspada. Kalau saja mereka mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya yang mengancam lebih besar. Kini, mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah paku-paku dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari balik asap hitam. Dan asap itu sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk, tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.

Kam Hong, Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi para anggauta Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani mereka dengan senjata rahasia beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu runtuh dan mereka bertiga lalu dikeroyok. Akan tetapi, karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu bukanlah lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini.

Berturut-turut robohlah mereka itu satu demi satu. Akhirnya, setelah lebih dari setengah jumlah anggauta Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa ketua mereka telah lari meninggalkan mereka sisa anggauta Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang di malam gelap.

“Eh, di mana Suheng?”

Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suhengnya tidak berada di tempat itu. Tadi, di antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di samping Hong Bu dan ia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian lain. Akan tetapi setelah semua musuh pergi dan sebagian roboh malang melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong.

Hong Bu juga melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk mencari Kam Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.

“Suheng....!”

Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan tidak nampak pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.

“Mungkin dia mengejar Mo-ong” kata Hong Bu.

Ci Sian mengangguk dan mengerutkan alisnya.
“Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar kalau dia sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang manusia iblis yang curang seperti Mo-ong itu amat berbahaya. Mari kita ikut mengejar dan membantunya.” Tanpa menanti jawaban Ci Sian sudah meloncat ke depan.

“Tunggu, Nona. Lihat ini....!”

Ci Sian berhenti dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat Hong Bu menghampiri sebatang pohon tak jauh dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih seperti kertas tertempel di bawah dahan rendah. Biarpun cuaca agak suram karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih dapat dibaca.

“Ci Sian, ke sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meningalkan surat ini!” kata Hong Bu. Ci Sian segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu.

Bu-sumoi yang baik, Selesailah sudah tugasku, mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Tidak ada gunanya lagi bagimu aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa perpisahan dan aku tidak ingin perpisahan antara kita menimbulkan duka.

Suhengmu : Kam Hong.

“Ah, Suheng....!”

Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas itu dan merasa kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan berlinang air mata. Mengapa suhengnya meninggalkannya?

Hong Bu yang melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu.
“Suhengmu pergi meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?”

Ci Sian tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia menarik napas panjang.

“Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan sehelai surat seperti ini.... sungguh aneh sekali....”

“Kalau aku boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula Suhengmu itu hendak pergi?”