FB

FB


Ads

Rabu, 08 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 053

Sementara itu, bagaikan orang kesetanan, Wan Tek Hoat melakukan perjalanan cepat sekali, hampir tak pernah berhenti kecuali kalau kedua kakinya sudah seperti hendak patah-patah, napasnya seperti hendak putus dan tenaganya sudah habis saking lelah, haus dan laparnya, menuju ke timur. Dia melakukan perjalanan sambil berlari cepat siang malam, hanya kalau terpaksa saja dia berhenti untuk minum, makan dan tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kim-coa-to, tempat tinggal kekasihnya, Syanti Dewi!

Pendekar yang sudah hampir rusak hidupnya dan kini seperti orang dalam kegelapan melihat titik cahaya terang itu, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu di Pulau Kim-coa-to sedang dipersiapkan pesta oleh penghuni atau majikan Pulau Kim-coa-to, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui, yang disebut Toanio (Nyonya Besar) oleh semua orang yang mengenalnya, dan selain dihormati, juga amat disegani bahkan ditakuti karena semua orang tahu belaka betapa nyonya yang berwajah amat cantik jelita dan kadang-kadang bermata dingin ini berdarah dingin pula dan mudah membunuh orang dengan kepandaiannya yang luar biasa lihainya!

Pesta apakah gerangan yang diadakan oleh Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan suka menyendiri, tidak suka akan segala keramaian itu? Pesta ini diadakan demi rasa sayangnya kepada Syanti Dewi yang dianggap sebagai muridnya, adiknya, bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi genap tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi menolak diadakannya pesta itu.

“Enci Hui....” bantahnya, dan memang dua orang wanita yang sama cantiknya ini saling menyebut enci dan adik, “Perlu apa diadakan pesta perayaan ulang tahun? Selain aku tidak menginginkan itu, juga apa sih enaknya dirayakan ulang tahun kita, kalau kita sudah berusia tiga puluh tahun. Kiraku, tidak ada wanita yang suka memamerkan ketuaan umurnya!”

Ouw Yan Hui tersenyum.
“Adikku yang manis, jangan kau berkata demikian. Pesta ini memang kusengaja, dengan bermacam maksud yang tersembunyi di baliknya. Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu, Adikku, bahwa keramahanmu yang menerima semua persahabatan dari sekian banyaknya pria amatlah tidak baik jadinya. Oleh karena itu, biarlah kuadakan pesta ini untuk melihat siapakah sesungguhnya di antara mereka yang patut menjadi suamimu. Maka, dalam pesta ini akan kujadikan suatu kesempatan bagimu untuk memilih jodoh.”

“Enci....!”

“Jangan kau menolak lagi sekali ini, Syanti! Engkau takkan hidup seratus tahun dan biarpun engkau memiliki kecantikan seperti bidadari, dua puluh tahun lagi engkau sudah berusia setengah abad!”

“Lihatlah diriku! Aku memang tetap cantik, akan tetapi apa gunanya semua kecantikan ini? Jangan kau sia-siakan hidupmu, Adikku. Maka biarkanlah aku yang mengatur semua itu. Aku akan memilihkan seorang di antara mereka yang paling tampan, paling gagah, paling kaya dan pendeknya yang tiada tandingnya di antara semua pria yang pernah kau kenal. Atau setidaknya, biarlah pangeran mahkota sendiri yang akan mempersuntingmu!”

“Enci....!”

“Adikku, mengapa engkau selalu berkeras hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah seorang wanita yang dingin seperti aku. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita berdarah panas yang selalu mendambakan cinta kasih seorang pria. Dan cintamu terhadap kekasihmu yang pertama itu tak pernah padam! Itu menunjukkan betapa panasnya cintamu. Akan tetapi, kalau orang yang kau cinta sudah tidak peduli lagi akan dirimu, apakah engkau akan tetap setia dan menantinya sampai akhir jaman? Tidak, Adikku, itu sama sekali tidak benar dan aku yang amat sayang kepadamu akan menentang ini!”

Menghadapi wanita yang biasanya pendiam dan dingin akan tetapi sekarang begitu banyak bicara karena penasaran itu, Syanti Dewi tidak dapat banyak membantah. Betapapun juga, dia pun sayang kepada wanita ini dan dia sudah berhutang budi sampai bertumpuk-tumpuk kepada wanita ini. Memang, tadinya terdapat rasa sayang yang tidak wajar dalam hati Ouw Yan Hui, rasa sayang bercampur berahi yang aneh, yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih suka bercumbu dan bermain cinta dengan sesama wanita karena dia pembenci pria.

Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin benar bahwa Syanti Dewi tidak sudi melayani hasrat berahinya yang tidak wajar itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya dan berahinya lenyap bersatu dalam cinta kasihnya sebagai seorang sahabat atau saudara atau bahkan seorang ibu!

Syanti Dewi merasakan benar kasih sayang wanita ini terhadap dirinya dan biarpun kasih sayang itu, sifatnya tidak ingin menguasai dirinya, namun sedikitnya dia harus tahu diri dan tidak boleh selalu membantah mengukuhi kehendak sendiri. Selain itu, diam-diam dia pun melihat kebenaran dalam pendapat-pendapat Ouw Yan Hui. Memang dia masih mencinta Tek Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu dapat diharapkan lagi? Mengapa dia begitu bodoh menyiksa diri dalam kedukaan dan selalu menolak cinta kasih pria yang demikian banyaknya? Dia tinggal memilih!

Tepat seperti yang dikatakan oleh Ouw Yan Hui. Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!
“Tiga puluh tahun! Ah, perlukah dirayakan Enci Hui? Bukankah itu sama dengan membuka rahasia bahwa aku sudah tua sekali?”

“Hemm, tiga puluh tahun belumlah tua sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka terbuka bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tahun, sudah cukup matang dan bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi juga agar mereka semua melihat betapa dalam usia tiga puluh tahun engkau tidak kalah segar dan cantiknya dibanding dengan seorang dara berusia tujuh belas tahun!”

“Aihh, Enci bisa saja menjawab.”

“Bagaimana, engkau sekali ini tidak akan mengecewakan hati Encimu, bukan?”

Syanti Dewi menunduk, merasa seperti seorang dara disuruh kawin dan mukanya menjadi merah sekali.

“Terserah kepadamu sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi barang dagangan di pulau Kim-coa-to ini dan engkau hendak mencari pembeli yang berani menawar paling tinggi!”

Mendengar ucapan ini, Ouw Yan Hui lalu merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia dirangkul oleh wanita lain, atau kalau saja dia tidak sudah tahu akan kesukaan Ouw Yan Hui bermain cinta dengan sesama wanita, tentu dia akan merasa terharu dan senang dirangkul.

Akan tetapi kini, rangkulan Ouw Yan Hui terasa lebih menyeramkan daripada rangkulan seorang pria yang tidak dikenalnya, dan Ouw Yan Hui juga merasakan betapa tubuh puteri itu menegang, maka dia pun cepat melepaskan rangkulan sambil menarik napas panjang. Padahal dia tadi merangkul dara itu dengan perasaan seorang ibu merangkul anaknya.

“Syanti Dewi, mengapa engkau sekejam itu berkata demikian kepadaku? Engkau tahu bahwa seujung rambutku tidak ada pikiran mengganggumu sebagai barang dagangan. Engkau boleh memilih sendiri pria yang cocok, dan bukan karena melihat uangnya, melainkan semuanya. Ya hartanya, ya kedudukannya, ya ketampanannya, ya kegagahannya. Pendeknya, seorang pria pilihan!”






“Terserah kepadamu, Enci!” kata pula Syanti Dewi sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.

Ouw Yan Hui tersenyum, menepuk-nepuk pundak puteri itu, kemudian meninggalkannya. Dan mulailah persiapan dilakukan, undangan-undangan dibagi dan pengumuman-pengumuman disebar sampai jauh ke daratan besar, bahkan undangan khusus disampaikan kepada Pangeran Mahkota Kian Liong! Juga disampaikan undangan kepada para pemuda yang dianggap pantas untuk menjadi tamu undangan, pemuda putera para ketua perkumpulan yang berpengaruh, hartawan-hartawan dan para pemuda yang tampan, ahli sastra atau ahli silat.

Pendeknya, Ouw Yan Hui akan mengumpulkan semua pemuda pilihan yang bisa didapatkan di seluruh daerah yang dikenalnya, termasuk Sang Pangeran Mahkota sendiri yang memang sudah menjadi sahabat baik dari Syanti Dewi!

Undangan-undangan yang dikirim, juga pengumuman-pengumuman itu tentu saja hanya berisi undangan untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun Syanti Dewi, akan tetapi disamping itu, sebagai berita desas-desus yang santer dan menarik, dikabarkan bahwa Sang Puteri cantik itu hendak mempergunakan kesempatan itu untuk menentukan pilihan jodohnya! Berita desas-desus inilah yang menggemparkan hati semua pemuda yang sudah lama tergila-gila kepada puteri yang amat cantik jelita seperti bidadari itu.

Pulau Kim-coa-to terletak di Laut Kuning, beberapa mil jauhnya dari muara Sungai Huai. Dari tepi pantai hanya nampak sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut sedang tenang dan kalau orang naik perahu layar, maka dalam waktu empat lima jam akan sampai dipulau itu. Kota Tung-king berada tak jauh dari muara itu, dan pada hari itu kota Tung-king yang berada di lembah Sungai Huai nampak lebih ramai daripada biasanya. Kota itu memang diramaikan oleh tamu-tamu yang hendak berkunjung ke Pulau Kim-coa-to!

Pembesar setempat, yaitu Kepala Daerah Tung-king juga ikut menjadi sibuk karena hari itu Pangeran Kian Liong datang berkunjung bersama pasukan pengawalnya yang berjumlah dua losin orang! Sang Pangeran yang biasanya suka melakukan perjalanan secara menyamar itu, sekali ini karena menerima undangan resmi, berkunjung sebagai pangeran dan tentu saja dikawal dan mengendarai kereta yang indah.

Karena hari telah menjadi senja ketika tiba pangeran itu memutuskan untuk bermalam di kota Tung-king dan tentu saja kepala pengawal langsung membawa kereta menuju ke gedung kepala daerah yang menjadi sibuk bukan main! Pangeran Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu saja dia menjadi sibuk.

Akan tetapi alangkah bingung dan herannya ketika pangeran itu dengan suara tegas melarang dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup kalau dia diberi sebuah kamar biasa dan makan malam biasa pula, menolak untuk diberi hidangan apalagi ditemani wanita.

Baru sekarang ini selama hidupnya Lu-taijin kepala daerah kota Tung-king itu mendengar bahkan menghadapi sendiri seorang pangeran, bahkan pangeran mahkota pula, yang mau tidur di kamar biasa, makan biasa pula dan menolak hiburan dan wanita! Di samping kebingungan dan keheranannya, dia pun merasa kagum sekali dan diam-diam dia memperoleh kenyataan akan berita bahwa Sang Pangeran Mahkota ini adalah seorang pemuda yang sederhana, terpelajar, pandai dan tidak suka akan kemewahan yang berlebihan, tidak suka berfoya-foya sebagaimana lajimnya para pangeran dan pembesar lainnya.

Tentu saja para pengawal mempersiapkan diri, menjaga keamanan pangeran mahkota itu, dan karena pasukan pengawal ini adalah pengawal dalam istana, maka pakaian mereka yang berwarna biru dan bersulamkan benang emas itu amat indah dan megah, selain itu mereka adalah pasukan pengawal pilihan, dengan tubuh tegap-tegap dan wajah tampan-tampan, mengagumkan semua orang, juga mendatangkan kesenangan.

Sementara itu, di sebuah rumah makan kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga orang laki-laki yang makan minum sambil bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik. Biarpun tiga orang itu berpakaian biasa saja, akan tetapi sikap dan keadaan mereka tentu menimbulkan kecurigaan mereka yang berpemandangan tajam.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada enam puluhan tahun, pakaiannya seperti penduduk biasa saja, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kanan saja karena yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya perkasa, kuncir rambutnya yang masih panjang hitam itu besar melingkari lehernya.

Biarpun orang ini kelihatan mengenakan pakaian biasa saja, namun sesungguhnya dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, terutama sekali di daerah Propinsi Ho-pai karena dia dahulu adalah seorang jagoan yang dipercaya oleh Gubernur Ho-pei. Dia berusia enam puluh satu tahun bernama Liong Bouw dan julukannya adalah Tok-gan Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal).

Sekarang Liong Bouw telah pensiun dan hidup sebagai petani, akan tetapi dia masih selalu aktip dalam dunia kang-ouw sebagai seorang yang disegani dan di samping kegagahannya sebagai pendekar, juga ia masih amat setia kepada kerajaan.

Orang ke dua dan ke tiga adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dua orang kakak beradik berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang tinggi. Dua orang tokoh Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan Kaisar Yung Ceng karena terdengar desas-desus bahwa setelah menjadi kaisar, maka Yung Ceng yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai itu banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan.

Dan biarpun Yung Ceng kini telah menjadi kaisar, Siauw-lim-pai berhak untuk menyelidiki kelakuannya dan kalau murid Siauw-lim-pai itu melanggar larangan-larangan, Siauw-lim-pai berhak untuk mengeluarkan dari perguruan sebagai seorang murid yang melakukan pelanggaran.

Oleh karena itu, para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak beradik itu untuk melakukan penyelidikan di kota raja, mereka memperoleh kenyataan bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu melakukan banyak pelanggaran, di antaranya yang paling parah adalah menguasai isteri orang dengan jalan kekerasan!

Memang ada beberapa kali Yung Ceng merampas isteri orang, yaitu pejabatnya sendiri, yang kecantikannya membuatnya tergila-gila. Maka mereka lalu melaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan dengan suatu upacara antara pimpinan, Yung Ceng dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai lagi.

Selain kenyataan ini, juga dua orang saudara Ciong melaporkan tentang kebaikan-kebaikan Pangeran Mahkota Kian Liong. Oleh karena itu, mereka diberi tugas untuk bersama dengan para pendekar lainnya yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Mahkota yang banyak melakukan perjalanan secara menyamar itu.

Memang Pangeran Kian Liong banyak melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa dan dengan cara ini dia dapat bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan percakapan mereka, pendapat mereka tentang pemerintah dan dia pun mendengar celaan-celaan yang ditujukan kepada kaisar.

Dan karena tanpa setahunya banyak pendekar sakti yang diam-diam melindunginya, maka setiap kali terjadi malapetaka yang hendak menimpanya, selalu dapat dihalau sehingga orang-orang mulai menanam kepercayaan yang bersifat tahyul, yaitu bahwa pangeran mahkota itu telah dijaga oleh malaikat, dan ini menjadi tanda bahwa dia benar-benar seorang calon kaisar yang hebat!

Tiga orang yang kini bercakap-cakap di rumah makan itu adalah tiga orang perkasa yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Kian Liong. Mereka berbisik-bisik dan bicara dengan serius, dengan nada suara penuh khawatir.

“Benarkah penyelidikan kalian itu?”

Si Mata Satu bertanya sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan dengan sapuan pandang matanya yang tinggal satu ke seluruh sudut, takut kalau-kalau percakapan mereka didengar orang lain.

“Benar, Liong-lo-enghiong, kami sudah menyelidiki dengan seksama. Semua itu digerakkan oleh Sam-thaihouw....“

“Ssttt.... hati-hati kalau bicara....”

Liong Bouw bangkit dan kembali memeriksa ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak ada yang mencurigakan dan dia pun duduk kembali.

“Apa kau bilang? Sam-thaihouw....“

Nama Sam-thaihouw memang amat menakutkan banyak orang, seolah-olah nama itu dapat mendatangkan bencana, biarpun hanya disebut saja. Memang pengaruh dan kekuasaan Sam-taihouw ini besar sekali, dan dia amat bengis sehingga banyak sudah orang-orang yang dianggapnya bersalah terhadapnya harus menerima hukuman yang mengerikan. Bahkan kaisar sendiri pun agaknya tidak mampu mencegah segala perbuatan Sam-thaihouw yang mempunyai banyak jagoan yang tangguh.

Seorang menteri, yaitu Menteri Kim sebagai Menteri Kebudayaan, beberapa bulan yang lalu pernah berani mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke Tiga ini di depan kaisar. Dan apa yang terjadi kemudian? Beberapa malam sesudah itu, Sang Menteri tewas di dalam kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang puteranya dan tidak ada seorang pun tahu siapa pembunuhnya!

Akan tetapi kaisar tidak memerintahkan penyelidikan tentang pembunuhan ini dan dengan lantang Sam-thaihouw berkata kepada siapa saja yang kebetulan dijumpainya bahwa itulah hukuman menteri yang lancang mulut itu!

Masih banyak orang-orang yang harus tewas dalam keadaan mengerikan karena berani menentang Sam-thaihouw sehingga namanya merupakan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.

Itulah sebabnya ketika Ciong Tek menyebut nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi terkejut dan khawatir sekali, maklum betapa bahayanya kalau nama ini disebut-sebut. Lalu dia berbisik, bertanya dengan hati tertarik,

“Apakah yang sesungguhnya terjadi?”

“Agaknya Sam-thaihouw telah mampu mempengaruhi Kaisar sehingga percaya kepada Nenek itu bahwa Pangeran Kian Liong dianggap sebagai pengundang datangnya bahaya bagi pribadi Kaisar sendiri. Karena itu, persekutuan antara mereka itu memutuskan untuk mengenyahkan Pangeran itu atau setidaknya membatalkan dia sebagai calon pengganti Kaisar.”

“Ah, mana mungkin! Pangeran itu adalah putera kaisar sendiri!” bantah Si Mata Satu.

“Itulah anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai yang murtad itu ternyata telah berobah menjadi seorang pria yang lemah, yang tunduk di bawah kekuasaan mulut manis seorang wanita cantik yang telah membuatnya tergila-gila. Selirnya yang ke tiga, yang juga mempunyai seorang putera itulah yang menjadi senjata ampuh Sam-thaihouw untuk menjatuhkan hati Kaisar. Dan agaknya kaisar telah setuju untuk menggantikan pangeran mahkota dengan pangeran yang usianya baru lima tahun itu, putera dari selir ke tiga itu. Dan semua ini adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang telah mengerahkan banyak tokoh kaum sesat untuk membantunya. Kabarnya malah Im-kan Ngo-ok telah dapat diperalatnya.”

“Aih, berbahaya sekali kalau begitu. Darimana kalian dapat memperoleh semua rahasia kerajaan ini?”

“Seorang murid keponakan kami, murid Siauw-lim-pai, kebetulan menjabat pangkat komandan muda dalam pasukan pengawal dalam istana. Dialah yang melakukan semua penyelidikan itu untuk kami, karena sebagai murid Siauw-lim-pai dan menganggap hal itu sebagai tugas sucinya untuk menyelidiki kelakuan murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu.”

Hening sejenak dan tiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka tahu akan adanya bahaya besar berhadapan dengan kekuasaan di tangan nenek iblis yang berkuasa di istana itu. Akhirnya Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw bertanya,

“Menurut kalian, apa yang akan terjadi dan bahaya apakah yang mengancam diri Pangeran?” Lalu disambungnya dengan nada suara gentar, “Apakah kalian kira Im-kan Ngo-ok sendiri akan turun tangan?”

Dua orang kakak beradik itu saling pandang lalu menggeleng kepala.
“Kami rasa hal itu tidak akan mungkin terjadi.” kata Ciong Lun. “Ini bukan urusan kecil, dan mereka itu sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau mereka berani turun tangan sendiri mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang gagah di dunia kang-ouw akan mencarinya dan mereka tentu tidak berani menghadapi resiko sehebat itu. Tidak, mereka tentu hanya akan mengirim orang yang tidak terkenal, sungguhpun sudah dapat dipastikan suruhan mereka itu tentu amat lihai. Oleh karena itu, kita harus siap siaga dan berhati-hati.”

“Menurut penyelidikan kalian, apa yang akan mereka lakukan terhadap Pangeran?”

“Entah, hal itu kami belum dapat mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu adalah bahwa sebelum Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok yang diwakili oleh Toa-ok sendiri dan murid keponakan kami hanya dapat menangkap bahwa mereka itu membicarakan tentang kepergian Pangeran ke Kim-coa-to ini. Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan terjadinya hal-hal yang penting. Kabarnya pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu dilakukan dengan sayembara ilmu silat pula. Nah, agaknya itulah kesempatan untuk mencelakai Pangeran.”

“Betapapun juga, kita tidak boleh lengah. Baiknya Sang Pangeran juga dikawal oleh sepasukan pengawal yang baik. Pasukan Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan setia. Kita harus menyamar sebagai tamu-tamu di Kim-coa-to dan selalu membayangi Pangeran.” kata Liong Bouw dan setelah selesai berunding dan makan, mereka membayar makanan, kemudian meninggalkan rumah makan itu dengan berpencar.

Memang mereka bekerja melindungi Pangeran Kian Liong secara berpencar agar mereka lebih leluasa bergerak dan tidak mudah diketahui lawan.

Apakah yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar? Rakyat banyak tidak mengetahui karena segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga kaisar amat dirahasiakan dan dari luar nampaknya bahwa kehidupan keluarga kaisar itu tenang-tenang saja, bergelimang kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, selalu riang gembira dan tenggelam dalam hiburan-hiburan.

Akan tetapi, sesungguhnya kehidupan seorang kaisar, tiada bedanya dengan kehidupan seorang petani biasa, bahkan kalau dipandang bukan dengan ukuran kesenangan duniawi, kehidupan keluarga petani jauh lebih tenteram dibandingkan dengan kehidupan keluarga kaisar!

Kehidupan keluarga kaisar penuh dengan konflik yang selalu disembunyikan di balik senyum dan tata cara sopan santun yang berkelebihan. Orang yang berlutut di depan kaisar dengan dahi dibentur-benturkan lantai dengan penuh khidmat dan hormat, yang mulutnya mengucapkan “ban-ban swe” (hidup selaksa tahun)! sebagai pengucapan hormat dan pujian bagi kaisar, yang dari ujung rambut sampai ujung sepatu membayangkan kesetiaan, penghormatan dan kebaktian, mungkin saja di balik semua itu menaruh dendam yang amat mendalam!

Dan antara keluarga kaisar, di antara selir-selir dan putera-putera, yang kesemuanya hidup menurut adat-istiadat dan tata cara istana, hampir semua menggunakan sikap sebagai pakaian saja. Disebelah dalam terdapat hati yang bermacam-macam, penuh ambisi, penuh pamrih, penuh iri, penuh dendam dan persaingan. Konflik terjadi setiap saat, akan tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.

Sam-thaihouw adalah Ibu Suri Ke Tiga yang sudah nenek-nenek namun masih mempunyai ambisi besar sekali. Kegagalan dua orang Pangeran Liong dalam pemberontakan mereka (baca KISAH SEPASANG RAJAWALI ), bahkan yang disusul oleh kematian mereka, diam-diam menikam perasaan Sam-thaihouw yang diwaktu mudanya amat sayang kepada dua pangeran yang menjadi adik iparnya itu, adik ipar tiri.

Akan tetapi tentu saja sakit hati ini dipendamnya dalam hati. Oleh karena itu, dia menaruh dendam mendalam kepada Milana dan keluarga Pulau Es yang dianggap menjadi biang keladi kegagalan gerakan dua orang pangeran itu. Juga, dia ingin menanamkan kekuasaannya di dalam istana, maka dia pun berhasil mendekati Kaisar Yung Ceng.

Kaisar ini diwaktu mudanya merupakan seorang pangeran yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi murid dalam Siauw-lim-si, mempelajari ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Akan tetapi setelah dia menjadi kaisar, setelah seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, dia menjadi mabok akan kekuasaan, mabok pula akan penjilatan dan sanjungan. Mulailah lenyap sifat-sifat gagahnya dan mulailah dia menghambakan diri kepada kesenangan-kesenangan yang menumpuk nafsu-nafsu menjadi majikan dari batinnya.

Banyak sudah para pemimpin atau pembesar yang menasihatinya dengan halus dan kadang-kadang nasihat itu ada manfaatnya pula, mengingatkannya. Namun, di samping mereka yang menasihatinya, lebih banyak pula yang menjilat-jilatnya dan mendorongnya untuk berenang dalam kesenangan, karena hanya dengan demikian itu sajalah para penjilat dapat melihat kaisar menjadi lemah dan mereka itu dapat merajalela!

Di antara para penasihatnya, majulah Pangeran Yung Hwa (baca cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI ), seorang pangeran yang tadinya amat dekat dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih pangeran. Namun, pengaruh nasihat Pangeran Yung Hwa ini kalah oleh pengaruh bujukan-bujukan yang mulai dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang mendekati kaisar sebagai putera tirinya itu, dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan memasukkan racun bisikan bahwa Pangeran Yung Hwa agaknya iri hati dengan kedudukan kakaknya.

Dan akibatnya, Pangeran Yung Hwa lalu diangkat menjadi gubernur di barat, di daerah Se-cuan yang jauh! Namanya saja diangkat dan diberi kedudukan, akan tetapi sebetulnya itu merupakan suatu pembuangan agar pangeran itu jauh dari istana!

Demikianlah keadaan di istana. Kegilaan para penjilat dan pembujuk yang dikepalai oleh Sam-thaihouw itu semakin berani saja, semakin gila sehingga mereka tidak segan-segan untuk mulai mengutik-utik kedudukan Pangeran Mahkota Kian Liong! Untuk melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai pembantu yang amat baik, yaitu selir ke tiga dari Kaisar Yung Ceng, selir yang cantik jelita dan yang dirampasnya dari tangan seorang pembesar istana pula!

Selir ini mempunyai seorang putera yang usianya sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun berambisi untuk melihat puteranya itu menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan kaisar! Dan melihat kesempatan ini, Sam-thaihouw yang merasa tidak senang kepada Pangeran Kian Liong yang tidak dapat didekatinya, bahkan yang berani menentangnya secara terang-terangan, mulailah nenek ini untuk menghasut dan menjauhkan hubungan antara ayah kandung dan putera mahkota ini, antara Kaisar dan Putera Mahkota Kian Liong!

Demikianlah keadaan di dalam istana, di mana terjadi persaingan dan pertentangan hebat tanpa diketahui oleh rakyat jelata. Bahkan hanya beberapa orang tertentu saja di istana yang mengetahui akan hal ini, dan yang mengetahui tidak berani membuka mulut untuk bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada anak isteri pun tidak berani, karena kalau sampai ketahuan oleh pihak yang bersangkutan, tentu mereka tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya, bahkan mungkin nyawa keluarganya pula.

Pangeran Kian Liong sendiri bukan tidak tahu akan segala konflik yang terjadi di dalam keluarga ayahnya. Itulah sebabnya dia merasa tidak betah dan muak berada di istana yang dianggapnya sebagai sumber segala kepalsuan, penjilatan, kepura-puraan dan iri hati, dimana setiap saat terjadi persaingan untuk mencari muka kepada kaisar dan terdapat perebutan kekuasaan yang amat memuakkan hatinya.

Dia lebih senang merantau, dengan menyamar sebagai orang biasa, bergaul dengan rakyat jelata, tanpa pengawal, tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pangeran mahkota! Dengan cara demikian pangeran ini pernah bekerja membantu nelayan, petani dan sebagainya! Dan tentu saja seringkali dia terancam bahaya, akan tetapi selalu saja ada bintang penolong yang menolongnya dengan sembunyi.

Ketika pangeran ini mendengar tentang Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun datang berkunjung ke Kim-coa-to, bukan menyamar sebagai pangeran akan tetapi secara sederhana. Dan dalam pertemuan itu, kedua pihak merasa kagum. Pangeran Kian Liong kagum sekali melihat seorang wanita yang demikian cantik jelita, berdarah bangsawan bahkan puteri Raja Bhutan, dengan kecantikan seperti bidadari, juga memiliki pengertian yang amat mengagumkan tentang sastra, pandai menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan pandai ilmu silat pula! Dan pandangan-pandangannya tentang hidup sedemikian matangnya sehingga pangeran ini tertarik untuk bersahabat.

Pangeran Kian Liong bukanlah seorang pemuda mata keranjang, dia lebih mengagumi kecantikan batiniah daripada kecantikan lahiriah, dan kalau dia tertarik oleh Syanti Dewi, adalah karena pribadi wanita itulah, bukan kecantikannya semata-mata. Dan tertariknya pun bukan tertarik dengan gairah nafsu birahi, melainkan tertarik untuk bersahabat, bercakap-cakap, bercengkerama dan bergurau, kadang-kadang melihat dara itu menari atau mendengarkan bernyanyi, dan membuat sajak bersama-sama atau bicara tentang orang-orang kang-ouw dan ilmu silat.

Biarpun dia sendiri hanya mempelajari ilmu silat dasar saja untuk olahraga menjaga kesehatan, namun Pangeran Kian Liong senang sekali mendengar pembicaraan tentang ilmu silat dan dia mengagumi kehidupan para pendekar. Dalam diri Syanti Dewi dia mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan cocok.

Di lain pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka kepada pangeran yang biarpun usianya lebih muda namun telah memilliki pandangan tentang filsafat dan hidup, dengan amat luasnya. Juga pangeran ini berbeda dengan semua pria yang mendekatinya.

Semua pria, tua atau muda, yang mendekatinya, selalu memandang kepadanya dengan mata terpesona dan penuh kagum akan kecantikannya, dan di balik pandang mata itu terdapat nafsu berahi yang bernyala-nyala, akan tetapi kekaguman yang terpancar keluar dari pandang mata pangeran ini bersih, kekaguman yang wajar seperti orang mengagumi setangkai bunga mawar atau mengagumi langit di waktu matahari terbenam.

Oleh karena itu, biarpun usia mereka berselisih sepuluh tahun, keduanya dapat bersahabat dengan baiknya dan saling merasa akrab, sama sekali tidak canggung.

Ketika menerima undangan pesta ulang tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong gembira sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk berangkat dan seperti biasa dia bermaksud untuk melakukan perjalanan sendirian saja dengan menyamar. Akan tetapi ketika pengawalnya yang setia, yaitu komandan Pengawal Pasukan Garuda, mendengar akan niat pangeran yang amat dibelanya itu, dia cepat datang menghadap.

Komandan yang sudah lima puluh tahun lebih ini bernama Souw Kee An, seorang komandan tua pasukan pengawal yang terkenal itu, dan dahulu dia pernah menjadi pengawal yang setia dari Pangeran Yung Hwa sebelum pangeran itu dinaikkan pangkat atau dilempar sebagai gubernur di barat. Karena tahu akan kesetiaan Souw Kee An, maka Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan untuk menjadi pengawal dari pangeran mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.