FB

FB


Ads

Senin, 06 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 046

Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain daripada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu.

Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju kekiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-aung itu keluar dari dalam batu besar itu!

Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali. Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar, sebesar pondok?

Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biarpun dia seringkali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung itu pun berhenti!

Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya,

“Haiii! Adakah orang di dalam batu ini?”

Karena ketegangan hatinya takut ditinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucunya pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, kalau orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tapi kini dia bertanya apakah ada orang didalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu?

“Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu?” kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar.

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam batu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya,

“Sumoi, engkaukah itu?”

Bukan main girangnya hatinya. Tentu Kam Hong itu! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam Hong? Biarpun biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoinya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?

“Benar, Suheng, ini aku!” teriaknya dengan nyaring.

Karena Kam Hong menyebutnya sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng daripada menyebut paman kepada Kam Hong.

“Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.

“Mau apa menyusulmu?”

Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi miring otaknya, kalau tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul?

“Bukalah aku mau bicara!” katanya dengan nyaring karena tidak enak kalau berbantahan dari luar dan dalam batu!

“Tunggu sebentar....!”

Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya.

Tiba-tiba batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, akan tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik itu kelihatan lubang hitam yang makin lama makin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam guha yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun terkejut ketika mereka saling pandang. Kemudian wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal.

“Engkau....?”

“Engkau....?” Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. “Bukankah engkau eh...., Siauw Goat dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?”

Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini.

“Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?” Ci Sian menjawab.

“Kau tadi kusangka Sumoi.”

“Dan engkau kusangka Suheng.”






Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan percakapan itu menjadi kacau!

“Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?”

Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum, mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula.

“Memang tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!”

Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata,

“Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoimu yang kau sebut-sebut tadi?”

“Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?”

Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pernyataannya bahkan bertanya tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga.

“Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali tidaklah indah....“

“Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... eh, Ci Sian!”

“Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoimu itu?”

“Sumoiku? Ah, Sumoiku bernama Cu Pek In....“

Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu berobah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam.

“Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!”

Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu!

“Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?”

Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak kekanan kiri ketika dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tidak bicara lagi melainkan menyerang semakin ganas.

Harus diketahui bahwa pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti.

Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sin-kang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu ataupun Cu Seng Bu.

Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam guha di mana dia pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmunya yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liong-kiam itu.

Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran Ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan.

Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Dia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima tahun yang lalu itu, dan kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun dia tidak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci Sian.

Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tidak ada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis.

“Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali sambil terus menyerang.

Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak.

“Dukkkk....!” Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting.

Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan juga kedukaan itu.

“Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, menyerang tanpa alasan?”

Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu ketika dia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sin-kang yang lemas sehingga dara itu pun tidak sampai terluka tangannya.

Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaganya dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang!

“Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?”

Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada suara penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.

“Bukan main nyerinya.... pukulanmu kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?”

Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap cemberut, biarpun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata,

“Keluarga Cu itu gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suhengku dan sudah berjanji takkan lagi memakai nama Suling Emas.”

“Eh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu, juga aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang.”

Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi guha itu. Ci Sian sudah tidak marah lagi sungguhpun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya?

“Nah, sekarang ceritakanlah apa artinya semua ini, Ci Sian?”

“Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka.” kata Ci Sian.

Hong Bu tersenyum lalu menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biarpun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, namun tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang kuat, oleh karena itu biarpun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela memaafkan gadis itu!

“Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja.” dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti.

“Secara kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... eh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhuku she Cu itu. Nah, demikianlah pengalamanku mengapa aku menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?”

“Kalau engkau murid mereka, mengapa engkau sekarang berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang terjadi di lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas.

“Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam guha di balik batu ini, Ci Sian. Karena sudah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam guha itu.”

“Dan kau sangka.... aku.... Sumoimu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?”

“Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?”

“Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!”

“Banci?” Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.

“Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?”

Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah.
“Kenapa kau tertawa?”

“Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria”.

Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tidak ada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada dara yang senasib dengan dia itu.

“Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?”

“Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang....”

“Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dulu pernah menolong kita itu? Yang mempergunakan suling emas dan kipas?”

“Benar, dialah orangnya!” kata Ci Sian bangga. “Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang kelembah dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu....”

“Ahh....!”

Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya dapat dikalahkan orang.

“Apa ahhh?” Ci Sian menatap tajam.

“Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas.”

“Andaikata benar begitu, suling itu telah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga oleh pencipta suling itu diwariskan kepada kami, maka Suhenglah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang asli”.
“Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?” tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu.

“Hemm, kalau Suheng tidak memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“

“Kalau begitu, mana Suhengmu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kau kira tadi aku Suhengmu itukah?”

“Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah gara-gara Si Banci.... eh, Cu Pek In itulah.”

“Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?”

“Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah, setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang kakek....”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturuan ini.

“Melihat itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci Sian dengan suara tak senang. “Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja Suheng lenyap karena cepatnya gerakannya.”

“Ah! Ke mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!”

“Hemm, kalau aku tahu, apa kau kira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng yang melakukan pengejaran”.

“Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suhengmu menghadapi dua orang kakek itu dan menolong Sumoi.”

“Ke mana kau hendak mencarinya? Pula, kau pikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu saja di sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoimu itu dalam keadaan selamat.”

“Benarkah? Benarkah Suhengmu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari mereka dan kubantu Suhengmu?”

“Hemm, bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti menghinanya. Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku di sini”

Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci Sian. Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu kearah mana sumoinya dilarikan dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu?

“Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam guha, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan hawa akan sangat dingin malam ini di luar sini. Didalam lebih hangat dan kita bisa menanti di dalam.”

“Akan tetapi bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?'“

“Hemm, bukankah Suhengmu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walaupun dia belum pernah memasuki guha ini. Dan andaikata sumoi langsung kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita dapat menyusul ke lembah dan tentu kita akan mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan Suhengmu.”

Karena tidak ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin sekali, Ci Sian mengikuti Hong Bu memasuki guha itu dan dia melihat dengan penuh takjub betapa pemuda itu mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja untuk menutup lubang guha itu!

Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi ketika menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu! Akan tetapi dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api penerangan, dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan guha itu yang seolah-olah merupakan sebuah dunia lain dengan dinding-dinding es yang kemilau dan runcing bergantungan dari langit.

Akan tetapi, untuk tidak membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat mayat-mayat yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di ruangan depan yang luas dan Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan malam.

Mereka makan minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik sekali kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara itu! Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya, lesung pipit di tepi mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan, cara dara itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik dara itu begitu menarik dan mempesonakan hatinya, membuatnya tergila-gila!

Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima tahun yang lalu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak mulia, gagah perkasa dan juga jujur.

Oleh karena itu, ketika malam telah larut dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika Hong Bu mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut ruangan depan guha itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur pulas.

Hong Bu berjaga tak jauh disitu sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam untuk memberi hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela napas panjang.

Melihat betapa hawa amat dingin dan biarpun di situ tidak sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia lalu masuk kedalam, mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci Sian, kemudian duduk kembali dekat api unggun.

**** 046 ****