FB

FB


Ads

Senin, 06 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 043

Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap Hanya yang lembut dapat menerobos yang kasar. Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!

“Hemm, khong-sim (hati kosong) Sobat Kam Hong masih mempunyai hubungan apakah dengan yang terhormat Sai-cu Kai ong Ketua Khong-sim Kai-pang?” tiba-tiba terdengar Cu Han Bu bertanya dengan suara halus.

Kam Hong terkejut dan diam-diam kagum akan keluasan pengetahuan orang itu.
“Beliau pernah menjadi Guruku.” jawabnya jujur dan sederhana.

“Dia pernah menjadi seorang yang disebut Pangeran Pengemis!”

Tiba-tiba Yu Hwi berkata dan di dalam suaranya mengandung cemooh. Kini mulai mengertilah Kam Hong mengapa dara itu tidak setuju menjadi jodohnya. Kiranya latar belakang kehidupannya yang dahulu, pertemuan mereka yang pertama di mana dia menjadi pengemis dan menjadi semacam pelayan dari Siluman Kecil, yang membuat gadis ini memandang rendah kepadanya! Dia tersenyum.

“Benar sekali.... aku hanya seorang pengemis dan sekarang pun bukan majikan yang kaya raya!”

Akan tetapi melihat betapa pemuda itu menyindir kekasihnya, Cu Kang Bu sudah menjadi marah lagi.

“Kam Hong, kalau kipas itu merupakan senjatamu, beranikah engkau menghadapi cambuk bajaku dengan kipas itu?”

“Mengapa tidak berani? Aku hanya melayanimu, sobat!” kata Kam Hong sambil tersenyum.

“Hajarlah dia, Paman Kam Hong! Dia belum mengenal kipas mautmu!”

Ci Sian berkata lagi, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa kecut sekali melihat senjata pihak lawan yang berupa cambuk hitam panjang terbuat dari baja itu sedangkan “senjata” Kam Hong hanya sebuah kipas yang lebih tepat untuk mengusir kegerahan saja. Namun, kini telah semakin tebal kepercayaannya kepada Kam Hong, maka dia mengusir kekhawatirannya dan diam-diam dia mendekati See-thian Coa-ong, gurunya.

“Suhu.... bagaimana pendapat Suhu....? Apakah Paman Kam Hong akan dapat menang?” bisiknya.

Sungguh lucu dara ini. Dia berbisik seolah-olah tidak akan dapat terdengar oleh orang-orang yang berilmu tinggi dia bicara hanya sambil berbisik-bisik, semua orang termasuk juga Yu Hwi, dapat menangkap bisikannya itu, akan tetapi mereka terlalu tegang memandang ke arah dua orang pendekar yang sudah siap untuk bertanding lagi itu dan tidak mempedulikan ulah Ci Sian.

“Apa....?” Kakek hitam botak itu berkata lalu menarik napas panjang. “Aahhhh, aku seperti baru sadar dari mimpi! Sungguh mati, selama hidupku baru ini menyaksikan pertandingan seperti ini! Sungguh beruntung mata ini, dapat menyaksikan pertandingan tingkat atas yang demikian hebatnya. Ternyata Pegunungan Himalaya yang tinggi masih ada yang melebihi tingginya....“ kakek itu menarik napas panjang lagi.

“Suhu, bagaimana? Apakah Paman Kam Hong dapat menang?” kembali Ci Sian bertanya sambil mengguncang lengan gurunya yang seperti orang terpesona memandang ke arah dua orang pendekar itu.

“Siapakah aku ini yang dapat menentukan kalah menangnya pertandingan antara dua ekor naga? Kita lihat saja, Ci Sian, kita lihat saja....“ katanya tanpa mengalihkan pandangannya.

Ci Sian menjadi semakin gelisah dan diam-diam dia lalu duduk bersila dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk memanggil ular-ular sebanyak mungkin ke tempat itu untuk dapat membantu Kam Hong! Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa pencurahan kekuatannya itu membuyar dan terdengar suara See-thian Coa-ong,

“Anak bodoh kau, pembelamu itu takkan kalah!”

Ci Sian lalu teringat betapa dia pernah memanggil ular-ular ketika menghadapi isteri-isteri ayah kandungnya, dan akibatnya malah ular-ularnya yang tewas dan dia dimarahi oleh Kam Hong! Maka dia tidak jadi melanjutkan usahanya itu dan kini dia memandang ke arah perkelahian yang sudah mulai berlangsung.

“Tar-tar-tarrrr....!”

Cambuk hitam itu melayang-layang ke udara kemudian turun meluncur dan melecut sampai tiga kali ke arah kepala Kam Hong, namun dengan tenang pendekar ini mengelak dua kali dan sambaran yang ketiga kalinya dia kebut dengan kipasnya.

Aneh sekali ujung cambuk baja itu begitu kena dikebut, lalu menyimpang atau melecut ke samping, menyeleweng seperti sehelal rambut ditiup saja! Dan ujung cambuk itu luput mengenai kepala Kam Hong, menyambar ke bawah dan mengeluarkan ledakan nyaring, mengenai sebuah batu sebesar kepala orang yang pecah berantakan menjadi beberapa potong!

Melihat ini, Ci Sian merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan dingin. Batu saja terkena lecutan menjadi pecah berantakan, apalagi kepala manusia!

Akan tetapi Kam Hong tetap bersikap tenang, seolah-olah melihat batu pecah berantakan terkena ujung cambuk itu hanya merupakan permainan anak-anak baginya. Dan kini dia tidak membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan cambuk, melainkan kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah indah dan tahu-tahu dia sudah menyusup dekat melalui gulungan sinar hitam dari cambuk itu dan menggunakan ujung kipas untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah dari ubun-ubun sampai kelutut lawan!

Gerakan kipasnya cepat dan tak terduga-duga datangnya, karena dia telah mainkan ilmu silat kipas Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang merupakan satu di antara ilmu silat warisan nenek moyangnya yaitu Pendekar Suling Emas!

Memang satu-satunya jalan untuk melawan musuh yang menggunakan senjata panjang hanya dengan cara melakukan perkelahian jarak dekat, apalagi kalau dia sendiri hanya bersenjata sebuah kipas yang amat pendek. Kam Hong juga melakukan siasat ini, dia menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-pouw dari Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat dan dengan langkah-langkah ini dia dapat selalu mendekati lawan sehingga dapat menyerang dengan kipasnya.






Akan tetapi Cu Kang Bu adalah seorang tokoh yang sudah mahir sekali menggunakan senjata yang diandalkannya itu, maka biarpun senjatanya merupakan senjata untuk menyerang dari jarak jauh, ujung cambuk bajanya itu dapat membalik dan menyerang dari arah belakang, kanan, kiri atau atas bawah! Hebat bukan main gerakan cambuknya dan ujung cambuk itu seolah-olah hidup menurut segala gerakan pergelangan tangannya.

Bukan main serunya perkelahian itu. Kipas di tangan kiri Kam Hong berobah-robah, sebentar terbuka untuk mengebut ujung cambuk lawan, kadang-kadang tertutup untuk menyerang dengan totokan-totokan yang amat berbahaya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang mendesak dan siapa yang terdesak karena mereka seolah-olah saling menukar serangan yang selalu dapat dipecahkan dan dilumpuhkan oleh lawan. Kurang lebih seratus jurus telah lewat dan perkelahian itu diikuti oleh semua orang sambil menahan napas karena memang amat menegangkan hati.

Kam Hong sendiri merasa kagum. Semenjak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong dan dari Sin-siauw Seng-jin, yang telah dikuasainya dengan matang sehingga akan sukarlah mencari lawan yang mampu menandinginya dengan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi, dengan ilmu-ilmu itu dia hanya dapat berimbang saja dengan lawannya ini.

Diam-diam dia merasa penasaran juga dan dikumpulkannyalah tenaga khi-kang yang diperolehnya ketika dia mempelajari ilmu pusaka yang tercatat di tubuh jenazah kuno. Dan tiba-tiba saja suara pernapasannya terdengar mencicit nyaring, makin lama makin tinggi sehingga tidak tertangkap oleh telinga, namun bagi Cu Kang Bu, dia merasakan getaran yang luar biasa hebatnya dari tubuh lawannya!

Dia terkejut sekali dan berusaha untuk meloncat mundur sambil menggerakkan pecut bajanya. Akan tetapi, kini Kam Hong mendesak ke depan, kipasnya terbuka dan kini begitu kipasnya mengebut, ada angin dingin menyambar ke arah muka lawan dan Cu Kang Bu hampir tidak kuat membuka matanya yang tersambar angin dingin.

Begitu matanya berkejap, maka ujung kipas itu telah meluncur dan melakukan totokan-totokan, membuat Kang Bu kaget setengah mati dan terhuyung ke belakang sambil memutar cambuk dan tangan kiri melindungi tubuhnya. Akan tetapi lawannya mendesak dan akhirnya, maklumlah bahwa mempertahankan diri sama dengan mencari mati, Kang Bu meloncat jauh ke belakang lalu turun dan merangkap kedua tangan depan dada.

“Aku Cu Kang Bu mengaku kalah!”

Kam Hong membuka kipas depan dada dan dia merasa semakin kagum dan suka kepada bekas lawannya itu, seorang yang kasar jujur namun juga tidak keras kepala dan mampu menghadapi kekalahan sendiri secara jantan. Seorang yang benar-benar patut, bahkan terlalu baik mungkin, untuk menjadi jodoh Yu Hwi!

“Saudara Cu Kang Bu, kepandaianmu sungguh hebat, aku kagum sekali!” katanya membalas penghormatan orang.

Akan tetapi dengan muka pucat Cu Han Bu melangkah maju. Pendekar ini diam-diam merasa penasaran bukan main melihat kekalahan adiknya. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa adiknya dengan cambuk bajanya dapat dikalahkan lawan yang hanya memegang setangkai kipas! Sungguh kekalahan yang menghancurkan keharuman nama besar keluarga Lembah Suling Emas, apalagi di situ ada orang-orang lain yang menyaksikan seperti See-thian Coa-ong dan terutama sekali dara murid Coa-ong yang pandai bicara itu, yang tentu akan menyiarkan berita kekalahan keluarga Lembah Suling Emas ke seluruh dunia kang-ouw! Mukanya menjadi pucat karena marah dan penasaran.

“Saudara Kam Hong, harap jangan membikin kami penasaran dan jangan bertindak kepalang-tanggung. Kau kalahkan aku sebagai orang pertama dari Lembah Suling Emas, agar kami yakin benar bahwa di luar lembah ada orang yang lebih pandai daripada kami!”

Setelah berkata demikian sambil membungkuk dan memberi hormat, Cu Han Bu melolos sebuah sabuk emas dari pinggangnya. Sikap orang ini sedemikian sungguh-sungguh sehingga Kam Hong maklum bahwa jalan satu-satunya baginya adalah memenuhi tantangan orang pertama dari Lembah Suling Emas ini.

Pula, diam-diam dia pun merasa penasaran bahwa dialah yang benar-benar keturunan keluarga Suling Emas dan mereka ini hanya kebetulan saja memakai nama Lembah Suling Emas. Kalau dia dapat menangkan orang pertama dari keluarga lembah yang aneh ini, tentu dia berhak untuk minta dengan hormat kepada mereka agar nama Suling Emas tidak mereka pakai lagi.

Kam Hong maklum bahwa sebagai orang pertama dari keluarga itu, tentu pria yang berpakaian sederhana dan bersikap halus dan dingin ini tentulah memiliki tingkat kepandaian yang hebat dan lebih tinggi daripada tingkat Kang Bu. Padahal, Kang Bu saja sudah demikian lihainya. Maka dia pun tidak boleh main-main lagi dan dia tentu akan harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Maka, sambil tetap membuka kipasnya dengan tangan kiri, tangan kanannya lalu meraih ke pinggang dan begitu bergerak, nampak sinar emas berkilauan dan tangan kanan itu telah memegang sebatang suling emas yang tadinya tersembunyi di balik jubahnya!

Kalau tadi ketika Cu Han Bu mengeluarkan dan melolos sabuk emas dari pinggangnya nampak sinar keemasan yang menyilaukan mata, kini suling emas di tangan kanan Kam Hong itu mengeluarkan cahaya yang amat gemilang, apalagi karena gerakannya ketika mengeluarkan amat cepat sehingga selain mengeluarkan cahaya yang amat kemilau, juga terdengar suara mendengung seolah-olah suling itu ditiup!

“Silakan!” katanya dengan suara tenang.

Akan tetapi, Cu Han Bu dan dua orang adiknya berdiri seperti kena pesona, mata mereka terbelalak menatap suling emas di tangan Kam Hong dan muka mereka menjadi pucat sekali.

“Suling Emas....!”

Tiba-tiba mereka bertiga berseru dengan suara hampir berbareng dan ketiganya sudah melangkah maju menghadapi Kam Hong. Tentu saja Kam Hong bersiap siaga dan alisnya berkerut, karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orang-orang gagah itu akan maju bertiga! Benarkah apa yang dikhawatirkan oleh Ci Sian tadi bahwa orang-orang ini dapat bertindak curang dan hendak mengeroyoknya? Dengan sinar mata mencorong dia memandang mereka dan siap untuk menghadapi mereka dengan suling dan kipasnya.

Akan tetapi Han Bu malah menyimpan kembali sabuk emasnya dan dengan muka masih pucat dia berkata dengan suara gemetar,

“Sobat Kam Hong.... dari mana engkau memperoleh suling itu....?”

Kam Hong memandang kepada suling di tangannya, lalu kepada mereka bertiga dan menjawab tenang,

“Suling ini telah ada pada keluargaku semenjak ratusan tahun yang lalu, semenjak jaman Kerajaan Sung tujuh delapan ratus tahun yang lalu....“

“Ahhh....! Keluarga Pendekar Suling Emas....?”

Kam Hong memandang tajam penuh selidik. Dia maklum bahwa keluarganya itu mempunyai banyak musuh di samping sahabat, oleh karena itu banyak pula orang kang-ouw yang berlumba untuk mendapatkan pusaka-pusaka dari nenek moyangnya dan dia terpaksa sampai disembunyikan di waktu kecil sebagai turunan terakhir dari keluarga itu, demikian Sin-siauw Seng-jin bercerita kepadanya. Dia tidak tahu apakah tiga orang kakak beradik yang amat lihai ini merupakan golongan sahabat ataukah musuh. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi mereka, baik sebagai sahabat maupun musuh.

“Benar, aku adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas! Hemm, kalian kelihatan heran, padahal aku sendiri juga merasa amat heran mengapa, di tempat ini ada, keluarga Lembah Suling Emas!”

Pada saat itu, terdengar suara suling yang amat merdu, akan tetapi juga amat nyaring melengking dan di dalam suara itu terkandung kekuatan yang menggetarkan pada pendengarnya. Itu bukanlah suara suling sembarangan, melainkan suara yang diciptakan dengan tiupan yang didasari khi-kang kuat!

Semua orang menoleh ke arah datangnya suara suling itu dan tak lama kemudian nampaklah searang pemuda tampan sekali berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat itu sambil meniup sebatang suling. Suling itu berkilauan dan dari jauh saja sudah nampak bahwa suling itu terbuat daripada emas.

Kam Hong memandang dengan heran dan penuh perhatian. Suling yang ditiup oleh pemuda itu lebih kecil daripada sulingnya, akan tetapi modelnya serupa benar! Dan pemuda yang meniupnya itu juga amat menarik. Wajahnya amat tampan, terlalu tampan malah dan usianya masih tampak amat muda dan caranya meniup suling menunjukkan bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan dan telah memiliki khi-kang yang lumayan kuatnya.

Setelah pemuda tampan itu tiba dekat, terdengar Cu Han Bu menegur dengan suara halus, di balik suara teguran itu terkandung kasih sayang mendalam.

“Pek In, hentikan tiupan sulingmu yang bodoh itu!”

Dengan gerakan cepat Kam Hong telah menyimpan kembali sulingnya di balik jubah lebarnya dan dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, memainkan suling emas itu di antara jari-jari tangan yang kecil meruncing, diputar-putarnya di antara jari-jari tangannya dengan gerakan yang gagah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan dia memandang kepada Cu Han Bu dengan sikap manja.

“Ayah, mengapa tidak boleh bermain suling? Mengunjungi Suheng tidak boleh, bermain suling sendiri mengusir sunyi juga tidak boleh, aihh, betapa menjemukan hidup ini....!”

Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya karena pada saat itu dia baru melihat bahwa ayahnya dan para pamannya sedang berhadapan dengan seorang pria berpakaian sastrawan yang memegang sebatang kipas dan di situ terdapat pula seorang dara jelita, seorang kakek botak kurus dan juga di situ terdapat Yu Hwi, murid Cui-beng Sian-li yang dia tahu berpacaran dengan pamannya dan yang diam-diam tidak disukainya itu.

Akan tetapi Cu Han Bu tidak mempedulikan puterinya, dan dia sudah menjura kepada Kam Hong.

“Maafkan gangguan puteriku tadi.”

Kam Hong kini mengerti mengapa pemuda itu luar biasa tampan dan halusnya, kiranya seorang dara!

“Kulihat puterimu juga mempunyai sebatang suling yang mirip dengan sulingku.”

“Itulah Saudara Kam Hong! Di antara keluarga kita ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Sudah lama kami mendengar tentang keluarga pendekar Suling Emas, dan kami pernah mencoba mencarinya namun tidak berhasil. Maka, mendengar bahwa engkau adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan melihat bahwa memang engkau yang memiliki suling emas pusaka itu, kami terkejut bukan main. Juga girang, karena yang kami cari-cari ternyata kini malah datang menjenguk kami. Oleh karena itu, kami persilakan kepadamu untuk berkunjung ke lembah kami di mana kita akan bicara lebih mendalam tentang suling emas agar semua rahasia dapat kita ketahui.”

“Paman Kam Hong, hati-hatilah, jangan kena dibujuk mereka. Siapa tahu mereka hendak menjebakmu!” Ci Sian berseru.

“Nona, harap jangan bicara sembarangan!” Cu Seng Bu yang sejak tadi diam saja kini berseru keras.

“Kami bukanlah sebangsa pengecut yang suka bermain curang dan suka menjebak orang! Gurumu See-thian Coa-ong, berada di sini dan engkau juga. Kalian berdua dapat menjadi saksi kalau kami bermain curang dan tentu dunia kang-ouw akan mengutuk kami!”

“Ci Sian, tenanglah. Aku percaya kepada mereka, dan pula, siapakah yang takut akan jebakan dan kecurangan. Aku akan pergi mengunjungi mereka.” kata Kam Hong dengan sikap tenang dan tersenyum.

“Aku ikut!” Ci Sian, berkata nyaring.

“Ci Sian, jangan kau lancang....!”

See-thian Coa-ong menegur muridnya dengan suara khawatir. Dia menganggap muridnya terlalu lancang bersikap seberani itu terhadap keluarga Lembah Suling Emas yang demikian lihainya, akan tetapi diam-diam dia pun merasa amat bangga dan girang bahwa muridnya itu mengenal baik bahkan kelihatan akrab dengan pendekar yang memiliki suling emas dan yang kepandaiannya juga amat luar biasa tingginya itu.

Apalagi ketika dia juga mendengar bahwa pria sakti itu adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas, hati kakek ini sudah menjadi gembira bukan main. Dia merasa beruntung sekali pada hari itu dapat menyaksikan pertandingan hebat dan bertemu dengan orang-orang yang amat hebat, yaitu penghuni Lembah Suling Emas dan bahkan dengan keturunan Pendekar Suling Emas.

“Tidak, Suhu! Paman Kam Hong orangnya terlalu baik hati, terlalu mengalah, maka perlu aku harus menemaninya untuk menjadi saksi apakah benar-benar mereka ini tidak hendak menjebaknya. Kulihat mereka tidak berniat baik, mungkin hendak merampas senjata keramat dari Paman Kam Hong. Biar aku ikut untuk menjadi saksi di dalam lembah, dan Suhu tinggal menanti di sini, sebagai saksi di luar lembah. Kalau Paman Kam Hong dan teecu tidak keluar lagi dari lembah, berarti kami berdua masuk perangkap dan dicelakai mereka, dan Suhu boleh siarkan kepada seluruh dunia bahwa para penghuni lembah ini adalah orang-orang yang curang dan jahat.”

“Heiii! Darimana datangnya perempuan liar yang membuka mulut seenaknya memburuk-burukkan keluarga Lembah Suling Emas?” Tiba-tiba Pek In berseru marah dan memandang kepada Ci Sian dengan mata berapi-api. “Kami adalah keluarga baik-baik, tidak seperti engkau ini perempuan siluman yang menggunakan kata-kata buruk untuk memaki orang!” Ci Sian bersungut-sungut dan memandang kepada Cu Pek In, kemudian tersenyum mengejek.

“Memang keluarga Lembah Suling Emas tidak bisa dipercaya. Ada Isteri yang menyeleweng dengan pendekar yang menjadi tamunya! Ada perempuan yang sudah bertunangan melarikan diri dan ditampung di lembah! Ada hubungan gelap antara paman guru dan murid keponakannya sendiri. Dan sekarang muncul lagi seorang.... banci! Phuh, sungguh tidak layak dipercaya!”

Wajah Pek In yang putih halus itu seketika berobah merah. Baru sekarang ini selama hidupnya ada orang berani memakinya seperti itu. Dia dinamakan banci! Kalau saja dia memakai pakaian wanita seperti umumnya, kiranya makian ini tidak akan mendatangkan kemarahan di hatinya.

Akan tetapi karena memang sejak kecil dia mengenakan pakaian pria, yang mulanya dilakukan oleh ayah bundanya yang menginginkan anak laki-laki sehingga dia menjadi terbiasa dan lebih suka mengenakan pakaian pria setelah dia remaja dan dewasa, maka makian itu sungguh menyentuh dan menyinggung perasaan dan membuat dia marah bukan main!

“Aku bukan banci! Kau perempuan siluman!”

Dan dara ini sudah mencabut pula sulingnya yang tadi ditancapkan di ikat pinggang dan dia sudah meloncat dan menyerang Ci Sian.

“Huh, siapa takut padamu?” Ci Sian mengelak dan balas menyerang.

“Tahan!” Cu Han Bu berseru keras. “Pek In, kau mundurlah. Mereka ini adalah tamu-tamu kita, bukan musuh.”

“Tapi mulutnya busuk, Ayah. Dia memakiku!”

“Dan kau pun memakiku. Siapa memaki aku perempuan liar dan perempuan siluman? Huh, tak tahu diri!” Ci Sian juga berteriak.

“Ci Sian, harap kau bersabar dan mari kita mengunjungi mereka dan bicara dengan baik-baik.” kata Kam Hong kepada Ci Sian.

Seketika lenyaplah kemarahan Ci Sian. Dia tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau tidak akan diperbolehkan mengunjungi lembah menemani Kam Hong, akan tetapi kini Kam Hong mengajaknya! Kegirangan hatinya mengusir semua kemarahan.

“Aku boleh pergi menemanimu, Paman? Baiklah, mari kita pergi dan aku tidak akan banyak cakap lagi.”

“Sobat Kam Hong, silakan!” kata Cu Han Bu.

Kam Hong mengangguk dan balas memberi hormat, lalu melangkah bersama pihak tuan rumah meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata See-thian Coa-ong yang kelihatan tegang dan girang bukan main.

Dia merasa gembira dan bangga sekali menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan pertemuan antara orang-orang sakti yang hebat itu, apalagi karena kini Ci Sian, muridnya menemani pendekar keturunan Pendekar Suling Emas memasuki lembah itu bersama keluarga Lembah Suling Emas! Betapa hebatnya peristiwa ini dan tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw kalau dia menceritakan di luar.

Melihat Ci Sian berjalan di samping Kam Hong, Yu Hwi dan juga Pek In memandang kepada dara itu dengan sinar mata tidak senang. Apalagi Pek In yang sedang jengkel itu.

Seperti diketahui, kurang lebih empat lima tahun yang lalu, Sim Hong Bu diterima di lembah itu sebagai murid keluarga Cu, atau sebagai ahli waris dari Ouwyang Kwan yang berobah menjadi Yeti, mewarisi pedang Koai-liong-po-kiam dan Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang hanya boleh dipelajari oleh pemuda itu.

Semenjak itu, Sim Hong Bu digembleng oleh tiga orang saudara Cu itu secara bergantian sehingga dia memperoleh kemajuan yang amat pesat, apalagi karena memang pada dasarnya Hong Bu mempunyai bakat yang amat baik sekali. Dan di antara pemuda itu dan Pek In pun terjalin hubungan persahabatan yang amat akrab.

Melihat ini, dan melihat betapa baiknya bakat dalam diri Sim Hong Bu dan melihat pula bahwa pemuda itu memiliki dasar watak yang gagah perkasa, jujur dan bernyali besar, diam-diam tiga orang saudara Cu itu merasa kagum. Apalagi melihat hubungan yang akrab antara pemuda itu dan puteri tunggalnya, diam-diam timbul dalam hati Cu Han Bu untuk menjodohkan puterinya dengan murid itu.

Dalam waktu hampir empat tahun, berkat ketekunan dan kesungguhan hati tiga orang saudara Cu itu, Sim Hong Bu telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dan sudah memiliki dasar yang cukup kuat untuk mulai dengan pelajaran ilmu peninggalan Ouwyang Kwan!

Pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu bahkan jauh melampaui tingkat kepandaian Pek In karena memang selain Hong Bu memiliki dasar atau bakat yang lebih besar, juga tiga orang she Cu itu mencurahkan seluruh perhatian dan harapan mereka kepada pemuda ini untuk kelak mengangkat tinggi nama Lembah Suling Emas!

Setelah memiliki dasar yang cukup kuat, ketiga orang gurunya itu lalu menyuruh Hong Bu untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan dalam kulit Yeti-nya, dan untuk keperluan ini, Hong Bu tidak boleh diganggu siapapun juga karena hanya dia seorang yang diperbolehkan mempelajari ilmu-ilmu itu.

Maka, dia diharuskan oleh guru-gurunya untuk belajar sendiri di dalam guha di mana terdapat mayat suami isteri Kam Lok dan Loan Si yang tewas oleh pedang Koai-liong-kiam itu! Di tempat sunyi inilah dia harus mempelajari catatan ilmu-ilmu peninggalan Ouwyang Kwan, terutama Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Hanya beberapa pekan sekali ketiga orang gurunya datang menjenguknya dan melihat muridnya berlatih.

Sementara itu, Cu Pek In memang diam-diam cinta kepada suhengnya itu, kepada Sim Hong Bu dan walaupun dia tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata, namun dalam hubungan mereka yang akrab itu nampak jelas bahwa dara ini memang jatuh cinta.

Maka, dapat dibayangkan betapa dara itu merasa kesepian setelah pemuda yang dicintanya itu “bertapa” di luar lembah dan tak pernah dapat dijumpainya. Bahkan ketika dia minta kepada ayahnya untuk menjenguk suhengnya, ayahnya melarangnya dan mengatakan bahwa Sim Hong Bu tidak boleh diganggu untuk waktu sedikitnya satu tahun! Inilah yang membuat dara itu menjadi kesepian dan gelisah, juga jengkel sehingga kejengkelannya itu nampak ketika dia bertemu dengan Ci Sian.

Ketika mereka tiba di tepi jurang lebar yang dijadikan tempat penyeberangan ke lembah, Cu Kang Bu mengeluarkan pekik melengking nyaring untuk memberi tanda kepada para penjaga di seberang sana untuk menarik tambang yang kalau tidak akan dipergunakan lalu diturunkan sehingga lenyap di dalam kabut tebal yang memenuhi jurang. Tak lama kemudian, nampaklah tambang itu dari bawah, makin lama makin naik dan akhirnya menegang, merupakan jembatan yang aneh dan mengerikan.

“Maaf, hanya inilah jembatan yang akan membawa kita ke Lembah Gunung Suling Emas!” kata Cu Kang Bu kepada Kam Hong. “Harap saja Saudara Kam Hong dan Nona tidak merasa sungkan untuk menyeberang dengan menggunakan tambang ini.”

Di dalam hatinya, Ci Sian merasa ngeri. Kalau hanya berjalan di atas tambang, tentu saja bukan hal sukar baginya. Disuruh lari pun dia sanggup. Akan tetapi, kalau tambang itu menyeberang di atas jurang yang tak nampak dasarnya seperti itu, penuh kabut, tak dapat diukur betapa dalamnya, tentu saja hatinya terasa ngeri bukan main dan dia merasa mulutnya kering!

“Tidak mengapa, jembatan ini cukup baik.” kata Kam Hong dengan tenang.

Mendengar ucapan ini, Ci Sian lalu menarik napas panjang dan menenteramkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan dan kengerian itu.

“Cukup baik.... cukup baik....” katanya dan dia tidak berani bicara banyak-banyak, takut kalau-kalau suaranya terdengar menggigil!