FB

FB


Ads

Rabu, 01 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 021

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari dunia sekitarnya karena terdampar ke “pulau” yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan mereka keluar dari “pulau” itu!

Biarpun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andaikata tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi kemanapun dan perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup suling!

Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecilnya Kam Hong sudah pandai sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sin-kang dan khi-kang!

Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan oleh nenek moyang Suling Emas yang asli itu!

Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu, maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.

Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu, Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap binatang kelinci yang sesungguhnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan?

Akan tetapi kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat.

Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.

“Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau kini belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian menegur Kam Hong yang sedang meniup suling emasnya.

Kam Hong tersenyum.
“Ah, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sin-kang dan khi-kang yang paling tinggi tingkatnya!”

“Aihhh....!”

Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah melihat mata seindah itu!

“Kalau begitu, kau ajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!”

Kam Hong tersenyum dan mengangguk.
“Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup suling ini sama sekali tidaklah mudah, melainkan merupakan latihan sin-kang dan khi-kang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum engkau memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Maka, biarlah kuajarkan engkau latihan sin-kang melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari catatan ini.”

Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sin-kang seperti yang diajarkan oleh Kam Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan biarpun mereka setiap hari harus makan daging burung dan tikus!

Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan dari latihan menurut catatan itu! Betapapun juga, giranglah hati Kam Hong karena biarpun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sin-kangnya sudah bertambah kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.

Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian! Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar dan dalam keadaan ketakutan.

Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya, ke arah suara itu dan berlarilah dia secepatnya. Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biarpun telah sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.

Akan tetapi, kemanapun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.






“Ci Sian....”

Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khi-kang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.

“Ci Sian, di mana engkau....?”

Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi. Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya seperti ditusuk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!

“Ci Sian....!”

Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang curam sekali itu!

Ke manakah perginya Ci Sian? Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan malapetaka menimpa dara itu seperti yang dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya.

Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat. Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing.

Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian. Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu. Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di telapak tangan.

Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah!

Ci Sian mengeluarkan suara jerit melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!

Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ah, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!

Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam guha di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah guha yang lain, di mulut guha yang aneh sekali.

Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah guha, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di mulut guha itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar paha kakek itu!

Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Seorang kakek bangsa asing melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang amat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.

Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat yang aneh dan asing.

“Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi.”

“Jatuh....? Dari atas....?”

Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya tidak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.

“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”

Jadi, kalau begitu bukan mimpi! Dia benar-benar telah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.

“Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?”.

Dia berkata, tak percaya bahwa seekor ular, betapapun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang dari tempat sedemikian tingginya.

“Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan membelitmu dan dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”

Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, akan tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilat lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.

“Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan wajahnya berseri.

Kakek itu menggeleng kepala.
“Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari samadhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja.”

Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata,

“Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik.”

Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotongpun.
“Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana!”

“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak menangkap burung putih keparat itu!”

“Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu, untuk kau makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya engkau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh itu!”

Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata.
“Di atas sana masih ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”

“Ah, yang suka meniup suling itu?”

“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”

“Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam samadhiku. Dia berkepandaian hebat!”

“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”

Kakek itu menggeleng kepala.
“Tidak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, kalau dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”

“Ah.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini.”

“Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”

“Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”

“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di guha ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita.”

“Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!”

“Bukan kalah dalam ilmu silat....”

“Habis, kalah dalam hal apakah?”

“Kalah dalam menebak teka-teki.”

“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik sekali. “Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!”

Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kong-kongnya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia lalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.

Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri.
“Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara.”

Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa berbangsa Nepal yang bernama Nilagangga. Semenjak muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi.

Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah “menjauhkan” diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan sukapula bermain teka-teki!

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi daripada orang-orang lain!

Kebanggaan diri ini telah menjadi “kebudayaan” kita manusia, semenjak kecil ditanamkan pada batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kinipun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam “paling” lagi. Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?

Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri! Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, lalu menyepi, menjauhkan diri dari tempat ramai.

Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke manapun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidakterpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kitamelarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini! Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.

Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, lalu kita lari ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!

“Pada suatu hari, ketika aku merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling Emas tanpa kusengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggauta keluarga penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.

“Bagaimanakah teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya tertarik sekali.

Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga daripada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam guha itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan guha sebelum dapat menjawab teka-teki itu!

“Aku mengajukan teka-teki, akan tetapi sungguh hebat dia, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam guha ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”

Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andaikata kakek itu meninggalkan guha, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!

“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kau beritahukan, Kek, siapa tahu aku akan dapat menebaknya untukmu.”

“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!”

“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.

“Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”

Kakek itu berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban.

“Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tidak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama “buta hurufnya” dengan kakek tua renta itu.

“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?”

Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu!

Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.

“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kau inginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita.”

Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat! Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justeru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.

“Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”

“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Hayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, akan tetapi setidaknya kita sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang.”