FB

FB


Ads

Jumat, 26 Juni 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 015

Akan tetapi kini melihat Yeti ini merintih-rintih, bahkan menangis, timbul rasa kasihan yang mendalam di hatinya. Dia sendiri tidak perlu melarikan diri, karena merasa percuma saja. Mana mungkin melarikan diri dari mahluk yang amat dahsyat itu? Sekali loncat saja Yeti itu akan dapat menangkapnya, karena itulah maka tadi dia pasrah saja. Akan tetapi Yeti itu tidak mengganggunya, menengok puh tidak, bahkan kini merintih-rintih, memijati kakinya yang tertusuk pedang dan menangis.

“Ah, Yeti itu sesungguhnya tidak jahat!”

Kini Hong Bu teringat bahwa tadi pun bukan Yeti itu yang lebih dulu menyerang dua orang datuk sesat itu, melainkan mereka yang lebih dulu menyerang, barulah Yeti bergerak melawan. Makin kasihanlah rasa hatinya. Luka itu hebat, dan kalau dibiarkan tentu akan membengkak dan membusuk.

Sebagai seorang pemburu, tentu saja di dalam saku baju Hong Bu tersimpan obat-obat, terutama sekali obat luka, obat untuk melawan racun dan gigitan binatang berbisa. Bagaimanapun juga, tadi dia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang kakek iblis yang telah membunuh pamannya itu, dan tipislah harapannya untuk dapat selamat di tangan mereka itu.

Kini dia terbebas dan hal ini tak dapat disangkal lagi adalah karena pertolongan Yeti ini. Maka, akan malulah dia kalau sekarang tidak membalas budi selagi Yeti itu dalam keadaan yang demikian sengsara! Maka Hong Bu lalu bangkit berdiri, perlahan-lahan dia melangkah menghampiri Yeti yang masih duduk di atas salju memijit-mijit kaki atau paha kanannya itu. Luka yang tertusuk pedang itu kini mengeluarkan darah yang agak kehitaman.

“Ah, dia keracunan, pikir Hong Bu. Harus cepat diberi obat.”

Ketika Hong Bu sudah tiba dekat di depan Yeti itu, tiba-tiba Yeti itu mengangkat kepalanya, sepasang mata merah itu memandang, mata yang masih basah oleh air mata dan tiba-tiba Yeti itu menggereng dengan geram. Hong Bu terkejut sekali, akan tetapi anak ini sudah bertekad untuk menolong mahluk itu, maka dia menuding ke arah paha Yeti sambil berkata.

“Yeti.... aku.... aku hanya ingin membantumu, mengobati luka di pahamu itu.”

Yeti itu masih menggereng-gereng, tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi seolah-olah hendak menghantam. Akan tetapi Hong Bu yang sudah nekat itu memandang dengan sepasang matanya yang jernih, terang dan tajam, sedikit pun tidak merasa takut. Dia sudah melampaui rasa takut karena maklum bahwa melawan atau tidak, lari atau tidak, kalau Yeti itu menghendaki, dia tentu akan mudah dibunuhnya!

“Aku mempunyai obat untuk luka, dan lukamu itu sudah keracunan. Biarlah aku merawatmu dan mengobatimu untuk membalas budimu telah membebaskan aku dari dua orang jahat tadi.”

Hong Bu menuding ke arah larinya dua orang kakek iblis tadi, kemudian dia mengeluarkan bungkusan obat dari dalam saku jubahnya sebelah dalam.

Yeti itu masih menggereng-gereng, akan tetapi hanya perlahan saja dan kelihatannya tidak marah lagi, sungguhpun masih nampak curiga. Ketika Hong Bu mendekati dan berlutut di depannya, dia memandang dengan matanya yang merah basah, kemudian dia mengangguk-angguk!

Girang bukan main hati Hong Bu, Yeti ini bukan hanya pandai berkelahi dan amat tangguh melebihi ahli-ahli silat kelas tinggi, akan tetapi juga dapat mengerti kata-katanya agaknya. Buktinya dia mengangguk-angguk!

Hong Bu menyentuh paha itu dan memeriksa. Luka itu memang sudah agak membengkak, akan tetapi baiknya ketika dipakai berkelahi tadi, lukanya pecah sehingga darah hitam keluar. Tidak ada lain jalan, pedang itu harus dicabut lebih dulu, baru mungkin mengobati luka yang menembus paha itu!

Dan Yeti itu perlu diberi minum pel pencuci darah dengan segera! Akan tetapi, mana mungkin mencabut pedang itu selagi Yeti dalam keadaan sadar? Pencabutan pedang itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan kalau hal ini dilakukan, tentu Yeti akan marah dan mungkin salah sangka, mengira dia menyakitinya dan tentu akan membunuhnya sebelum pedang tercabut semua! Serba sulit, pikirnya.

Akan tetapi Hong Bu yang sejak kecil seolah-olah sudah belajar hidup sendiri dan menghadapi sendiri segala macam kesulitan dan bahaya itu telah memiliki kecerdikan luar biasa. Di antara obatnya terdapat bubukan obat bius, yaitu yang kadang-kadang perlu dipergunakan oleh para pemburu yang ingin menangkap binatang buas, hidup-hidup memenuhi pesanan langganan, untuk menjebak harimau-harimau atau biruang-biruang atau sebangsa binatang buas dan kuat lainnya, kemudian membius binatang itu agar pingsan sehingga mudah diikat atau dimasukkan kerangkeng dan ditangkap hidup-hidup.

“Yeti, engkau keracunan, harus makan obat ini. Maukah?”

Hong Bu mengeluarkan sebungkus obat bubuk dan memperlihatkannya kepada Yeti. Obat bubuk itu adalah obat bius yang biasanya dicampur dengan daging atau makanan lain untuk diberikan sebagai umpan kepada binatang buas yang akan ditangkap. Kembali Yeti itu mengangguk-angguk.

Giranglah hati Hong Bu. Dengan sebuah cawan yang selalu dibawanya, dia mencampur obat bubuk itu dengan salju. Biasanya, seekor harimau cukup diberi seperempat bungkus saja. Akan tetapi dia tahu bahwa Yeti ini amat kuat, jauh lebih kuat daripada seekor binatang yang bagaimana besar pun, maka dia menaruh seluruh isi bungkusan itu ke dalam cawan dan mencampurnya dengan salju. Tentu saja tidak bisa mencair seperti air dan Hong Bu menjadi bingung.

“Ah, di mana bisa mendapatkan air di tempat yang semuanya serba beku ini?”

Gerakan mulut Yeti itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh aneh, kemudian sekali sambar, cawan itu sudah pindah tangan. Hong Bu terkejut sekali.

“Yeti, engkau harus meminumnya!” katanya.






Mahluk itu memandang sebentar ke arah cawan, dalam beberapa detik dia tidak bergerak dan Hong Bu terbelalak melihat betapa cawan itu mengepulkan uap dan salju di dalamnya menjadi cair seolah-olah cawan itu ditaruh di atas api! Kemudian sekali tenggak isi cawan itu pun lenyaplah memasuki perut Yeti melalui mulutnya!

Yeti mengembalikan cawan kepada Hong Bu yang menjadi girang bukan main. Dia masih terheran-heran bagaimana cawan itu dapat mengepulkan uap dan salju itu dapat mencair. Keluarganya yang semua merupakan ahli-ahli silat belum mencapai tingkat setinggi itu sehingga melihat hal itu seperti sulapan saja.

“Yeti yang baik, engkau memang cerdik sekali. Nah, percayalah, Hong Bu akan menolongmu, akan menyelamatkan nyawamu seperti engkau telah menyelamatkan nyawaku tadi!”

Hong Bu lalu mengelus-elus paha itu. Agaknya Yeti itu merasa keenakan dan dia diam saja, kemudian dia menguap seperti orang diserang kantuk! Hong Bu kembali terheran-heran. Mahluk ini memang mirip manusia, bisa menguap segala kalau mengantuk, dan dia tahu bahwa obat bius itu sudah mulai bekerja. Maka sambil mengelus-elus paha itu dia berkata halus,

“Yeti, kau tidurlah kalau lelah dan mengantuk. Biar aku menjagamu di sini. Tidurlah!”

Dengan lembut dia mendorong dada Yeti itu disuruhnya berbaring. Yeti itu agaknya mengerti karena dia lalu merebahkan diri miring, berbantal lengannya yang besar dan tak lama kemudian dia pun sudah tidur atau pingsan karena pengaruh obat bius!

Hong Bu lalu mengeluarkan perlengkapannya dari dalam saku-saku jubahnya. Dia membuat api, hal yang amat sukar akan tetapi akhirnya dia berhasil juga dan menggodok obat-obat luka dan obat-obat minum. Setelah itu, barulah dia mencoba untuk mencabut pedang itu dari paha Yeti.

Agaknya pedang itu terselip antara tulang dan otot, sukar sekali dicabutnya biar dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Tiba-tiba Yeti mengeluarkan suara dan terkejutlah Hong Bu, mengira mahluk itu sadar! Akan tetapi ternyata tidak dan agaknya rasa nyeri membuat Yeti mengigau dalam tidur atau pingsannya.

Hong Bu mengerahkan tenaganya lagi. Dia menginjakkan kaki kirinya pada paha Yeti itu, dan kedua tangannya memegang gagang pedang lalu menarik. Dia menahan napas, mengerahkan tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dan akhirnya pedang itu mulai dapat ditarik!

Begitu bergerak, maka sekali dia mengerahkan tenaga, pedang itu tertarik keluar dan dia pun jatuh terjengkang! Bukan main girangnya. Akan tetapi matanya silau melihat pedang itu yang berkilauan. Pedang hebat, pikirnya, dan dengan hati-hati dia meletakkan pedang itu di dekat tubuh Yeti.

Darah mengalir keluar dari depan dan belakang paha, darah yang agak menghitam. Hong Bu memijit-mijit paha itu. Akan tetapi paha itu terlalu besar dan keras sehingga akhirnya dia menggunakan kedua kakinya, menginjak-injak paha itu dan mengenjot-enjotnya agar darah dapat keluar dari dua lubang luka di depan dan belakang paha. Usahanya ini berhasil dan lebih banyak darah hitam lagi keluar.

Lalu darah pun berhenti dan betapa pun dia mengusahakan, tidak ada lagi darah yang keluar. Terpaksa dia lalu menaruh obat-obat luka di kedua luka itu sampai penuh, dan dibalutnya paha itu kuat-kuat dengan robekan kain ikat pinggangnya. Setelah selesai, puaslah hatinya. Kini dia tinggal menanti Yeti itu sadar dan akan diberinya minum obat pencuci pada darah yang telah digodoknya itu.

Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat Hong Bu menoleh dan dilihatnya seorang tosu yang usianya setengah tua, berwajah tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, kedua tangannya memegang sepasang pedang, sudah berdiri di situ sambil memandang dengan penuh perhatian ke arah Yeti yang sedang tidur atau pingsan.

Tosu ini bukan lain adalah Hui-siang-kiam Ciok Kam, tosu dari Kun-lun-san itu, yang pernah bertemu dengan Yeti bersama dua orang temannya, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti. Hanya kebetulan saja tosu ini lolos dari maut, dan dia merasa sakit hati, terus mencari jejak Yeti dan akhirnya tibalah dia di tempat ini, melihat Yeti sedang tidur atau pingsan dan seorang anak laki-laki tanggung duduk di dekat tubuh Yeti yang rebah miring!

Hampir dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana ada seorang pemuda tanggung yang berani duduk di dekat Yeti dan tidak apa-apa lagi? Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada sebatang pedang di dekat tubuh Yeti itu, pedang yang berkilauan indah dan dikenalnya sebagai pedang yang dulu menancap di paha Yeti yang kini dibalut kain putih! Itulah pedang yang dicari-cari oleh semua orang. Tak salah lagi! Jelas bahwa itu adalah sebatang pedang keramat, pedang yang terbuat dari bahan luar biasa, pedang pusaka. Kembali dia mengerling ke arah wajah Yeti yang masih tidur, hatinya berdebar tegang.

“Dia.... dia kenapa....?”

Akhirnya dia bertanya kepada Hong Bu karena dia masih ragu-ragu untuk bergerak. Siapa tahu kalau-kalau Yeti itu hanya tidur dan akan bangkit kalau diganggu, dan dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Yeti itu.

Hong Bu tentu saja tidak tahu bahwa tosu yang datang ini mengandung sakit hati yang besar terhadap Yeti dan bermaksud membunuhnya, maka dia lalu menjawab.

“Dia sedang tidur, pengaruh obat bius. Sekarang pedang itu telah kucabut dan lukanya telah kuobati.”

Mendengar ini, bukan main girangnya hati Hui-siang-kiam Ciok Kam.
“Bagus! Kalau begitu tibalah saatnya aku membalas dendam! Minggirlah, orang muda, biar kubunuh mahluk iblis kejam ini!”

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Bu mendengar kata-kata itu dan melihat sikap tosu itu yang sudah melangkah maju dan mengangkat pedangnya.

“Eh, Totiang.... eh, jangan! Apa yang hendak kau lakukan itu!” teriaknya sambil bangkit berdiri dan menghadang di depan tosu itu.

“Pinto hendak membunuhnya!”

“Jangan, Totiang! Jangan.... dibunuh....!”

Hong Bu berkata dengan kaget dan matanya terbelalak, kedua tangannya diangkat dan digoyang-goyangkan.

“Engkau anak kecil tahu apa! Dua orang sahabatku telah dibunuhnya secara kejam, juga banyak sekali orang kang-ouw telah dibunuhnya. Dia mahluk jahat sekali, kalau tidak dibunuh tentu akan mendatangkan banyak malapetaka.”

Hong Bu menjadi bingung sekali. Dia memang tahu bahwa Yeti banyak membunuh orang, akan tetapi melihat betapa Yeti itu baik kepadanya, dan melihat pertempuran antara Yeti dengan dua orang kakek iblis itu, dia dapat menduga bahwa Yeti tentu membunuh siapa yang hendak mengganggunya. Jadi Yeti ini seperti hampir semua binatang buas yang dikenalnya, hanya menjadi buas dan ganas kalau diganggu yang merupakan naluri untuk membela diri dan melindungi keselamatannya. Akan tetapi kini Yeti masih pulas, tentu takkan mampu melawan dan akan mati kalau dia tidak membelanya. Cepat disambarnya pedang yang tadi menusuk paha Yeti dan dipegangnya erat-erat.

Melihat bocah itu mengambil pedang, Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru,
“Minggir dan serahkan pedang pusaka itu kepada pinto!”

Mendengar ini, Hong Bu memandang ke arah pedang di tangannya. Pedang ini ringan dan aneh, dan kalau semua orang memusuhi Yeti, apakah bukan untuk memperebutkan pedang ini? Dia pun mendengar desas-desus tentang sebatang pedang keramat yang kabarnya dicuri orang dari kota raja dan dibawa ke Himalaya dan kini orang-orang kang-ouw memenuhi daerah ini hanya untuk mencari pedang keramat itu. Inikah gerangan pedang yang diperebutkan itu?

“Totiang, sesungguhnya.... Totiang hendak membunuh Yeti ataukah hendak merampok pedang ini....?”

Wajah Hui-siang-kiam Ciok Kam berobah merah. Memang tak dapat disangkal pula, yang mendorong dia membayangi dan mencari Yeti adalah pedang yang menancap di paha Yeti itu, dan tentu saja juga karena dia ingin membalas kematian dua orang sahabatnya.

“Pinto.... pinto.... wah, engkau anak kecil banyak cerewet. Minggirlah biar kubunuh dia!”

“Tidak! Engkau tidak boleh membunuhnya!”

Hong Bu berkata dengan tegas dan berdiri melindungi tubuh Yeti yang masih rebah miring.

“Hemm, bocah setan, engkau hendak melindungi binatang buas seperti itu?”

Hui-siang-kiam Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke atas, gerakannya ringan dan cepat sekali dan dia bermaksud untuk melampaui Hong Bu dan menyerang ke arah Yeti yang masih rebah.

Hong Bu terkejut bukan main menyaksikan gerakan yang cepat itu dan tahu-tahu tosu itu sudah melewati atas kepalanya. Dia membalik dan melihat betapa tosu itu sudah menusukkan kedua pedangnya ke arah leher dan dada Yeti dengan kecepatan kilat.

“Jangan....!”

Hong Bu memekik dengan sekuatnya dan tubuhnya menubruk ke depan, pedang di tangannya digerakkan untuk menangkis dua sinar pedang yang menyerang Yeti itu. Terdengar suara nyaring ketika sepasang pedang itu patah-patah bertemu dengan pedang di tangan Hong Bu, disusul jeritan tosu yang roboh mandi darah bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, lalu diam tak bergerak lagi. Hong Bu terbelalak memandang ke arah mayat tosu itu, kemudian kepada tangannya sendiri yang memegang pedang. Dia cepat, menghampiri tosu itu dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat tosu itu telah tewas dengan dada luka bercucuran darah!

Terdengar suara gerengan dan ketika dia menoleh, dia melihat Yeti itu sudah bangkit duduk, lalu Yeti itu sekali lompat sudah tiba di dekat mayat tosu itu dan melihat tosu itu sudah tewas, Yeti lalu mengeluarkan suara aneh seperti orang tertawa, dan sekali menggerakkan tangan dia telah merampas pedang dari tangan Hong Bu kemudian dia memondong Hong Bu, diangkatnya tinggi-tinggi dan dia menari-nari kegirangan sambil terpincang-pincang.

Kiranya Yeti itu tadi telah sadar dan melihat betapa Hong Bu membelanya dan merobohkan tosu yang menyerangnya, maka dia girang bukan main, apalagi melihat bahwa pedang sudah dicabut dari pahanya dan pahanya sudah diobati dan dibalut.

Yeti itu lalu meloncat jauh sekali. Hampir Hong Bu berteriak karena merasa ngeri ketika Yeti itu kini berlompatan dan berlari dengan kecepatan yang luar biasa, melalui tempat-tempat tinggi, melalui jurang-jurang yang curam dan memasuki “dunia es” yang amat aneh bagi Hong Bu. Tempat yang dilalui oleh Yeti ini amatlah sukar dan tidak mungkin dilalui manusia dengan kecepatan seperti itu, maka kadang-kadang Hong Bu memejamkan mata karena merasa ngeri kalau Yeti itu setengah berloncatan melalui tebing-tebing yang curam sekali.

Yeti yang masih memondong tubuh Hong Bu sambil membawa pedang itu terus mendaki puncak Gunung Kongmaa La dan di antara bongkahan-bongkahan es yang besar dan batu-batu gunung raksasa Yeti itu bergerak cepat. Dia tentu sudah hafal akan tempat ini karena dia bergerak di antara batu-batu dan bukit-bukit salju dan es itu dengan cepat tanpa ragu-ragu, kemudian dia menyelinap antara dua buah batu yang berhimpitan dengan miringkan tubuhnya.

Akan tetapi baru masuk lima langkah, Yeti itu berhadapan dengan batu bulat yang amat besar dan tidak nampak ada jalan sama sekali. Hong Bu mengira bahwa tentu Yeti itu tersesat jalan, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu menggunakan tangan kanannya untuk mendorong batu itu, sedangkan tangan kirinya masih memondong tubuh Hong Bu. Batu sebesar bukit kecil itu bergerak dan menggelinding beberapa kaki ke kiri, dan nampaklah sebuah lubang yang besarnya hanya satu meter persegi!

Yeti itu menurunkan Hong Bu, menuding ke arah lubang dengan isyarat seolah-olah menyuruh Hong Bu masuk. Pada waktu itu, Hong Bu merasa sendirian saja di dunia ini, sudah tidak ada siapa-siapa lagi setelah pamannya tewas. Maka kini dia pasrah saja kepada Yeti dan dia pun merangkak masuk. Yeti itu pun masuk, akan tetapi lebih dulu dia mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk menarik batu itu menggelinding kembali menutupi lubang.

Mereka lalu merangkak melalui lubang terowongan itu sampai beberapa puluh meter dalamnya dan tiba-tiba saja nampak cahaya terang dan lubang kecil itu berubah menjadi lorong yang besar dan berlantai batu.

Kiranya di situ terdapat terowongan rahasia yang besar dan Yeti itu menggandeng tangan Hong Bu, diajaknya masuk terus. Mereka berjalan maju, berlika-liku melalui terowongan yang kadang-kadang gelap sekali akan tetapi adakalanya terang karena bagian atasnya terdapat lubang-lubang atau celah-celah batu dari mana sinar matahari dapat masuk.

Ketika Yeti itu akhirnya berhenti, mereka tiba di ruangan dalam puncak atau di bawah batu-batu, ruangan yang amat luas. Hong Bu merasa seperti hidup di alam mimpi. Bukan main indahnya pemandangan dari ruangan itu. Terdapat lubang-lubang besar seperti jendela dan dari sini dia dapat melihat puncak-puncak yang diliputi salju, lain bagian memperlihatkan dunia es yang bentuknya bermacam-macam dan berkilauan memantulkan sinar matahari, dan ada lagi bagian yang penuh tumbuh-tumbuhan, hal yang amat aneh sekali di puncak itu. Dan di sudut ruangan itu, agak tertutup dan sebagai penghalang, dia menemukan dua orang manusia yang sedang duduk bersila!

Akan tetapi ternyata mereka itu duduk di dalam es atau salju yang turun dari atas sehingga tempat itu tidak pernah lepas dari kurungan es. Dua mayat orang yang masih seperti hidup saja, masih lengkap pakaiannya dan melihat pakaian mereka itu, jelas bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang tampan dan cantik, juga keduanya menunjukkan sifat gagah!

“Yeti, siapakah mereka ini....?”

Tak terasa lagi Hong Bu bertanya kepada Yeti seolah-olah Yeti itu adalah seorang manusia lain yang dapat bicara. Akan tetapi ternyata anehnya, Yeti menghampiri tempat itu dengan langkah lemas, kemudian melihat mayat wanita yang cantik, yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, tiba-tiba dia menjatuhkan diri di depan kurungan es di mana wanita itu bersila, dan dia pun menundukkan mukanya dan mengeluh panjang pendek, dan dari kedua matanya bercucuran air mata pula! Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, terheran dan juga kasihan. Dia menghampiri Yeti itu, meraba pundaknya dan berkata lirih.

“Yeti, perlu apa menangisi orang yang sudah mati? Yang mati takkan hidup kembali, dan kita yang hidup toh akhirnya akan mati juga seperti mereka ini.”

Yeti itu mengeluarkan suara ah-uh, akan tetapi agaknya dia pun berhenti berduka, lalu dia mengajak Hong Bu dengan menggandeng tangannya meninggalkan arca aneh itu, menghampiri sudut di mana terdapat sebuah peti hitam. Dibukanya peti itu dan dikeluarkannya sebuah kitab catatan dan diserahkannya kepada Hong Bu. Setelah begitu, Yeti itu lalu merebahkan dirinya di sudut lain yang kering dan tak lama kemudian sudah terdengar dengkurnya!

Kasihan, pikir Hong Bu. Gerak-gerik dan sikap Yeti itu sama sekali bukan seperti binatang, melainkan seperti seorang manusia yang dirundung malang dan menderita kepedihan hati yang hebat!

Maka dia lalu membawa kitab itu ke dekat “jendela” yang terang dan mulailah dia membalik lembaran pertama dari kitab itu. Kitab itu terbuat dari kertas yang sudah tua sekali, sudah menguning dan tulisannya juga sudah kabur, akan tetapi masih dapat dibaca karena ditulis dengan huruf-huruf yang kuat dan jelas.

Hong Bu mulai membaca catatan itu dengan asyik, dan tahulah dia bahwa catatan itu adalah catatan yang dibuat oleh mayat pria yang seperti pendekar itu, agaknya menceritakan atau mencatat semua peristiwa yang mereka alami di tempat ini.
**** 015 ****