FB

FB


Ads

Selasa, 23 Juni 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 008

Lauw Sek terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini membuat dia lengah dan sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenai pundaknya, membuat pundak itu terluka parah dan sebuah tendangan menyusul, mengenai pinggangnya dan robohlah Lauw-piauwsu! Teman-temannya masih nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para piauwsu itu, semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!

Lauw Sek membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari pingsannya, melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning, sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi, agaknya mereka semua mengejar Siauw Goat!

“Kami membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat permainan oleh serombongan piauwsu yang lancang!” kata wanita baju kuning itu.

“Siapa.... siapa kalian....?”

Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa sebelas orang anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan sekali. Dia bangkit duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena hawa dingin dan salju yang turun ke atas luka besar itu.

Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek disaat itu, senyum ini seperti senyum iblis dari neraka!

“Memang kami sengaja membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa kami. Kami adalah utusan dari Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!” Wanita baju kuning itu menggerakkan kakinya.

Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai dada Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning itu lalu melompat dan lari dari situ untuk menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang penggotong tandu itu duduk seenaknya saja sejak tadi menonton pertempuran-pertempuran di dekat tandu-tandu kosong mereka, seolah-olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!

Sementara itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri secepatnya tanpa arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun naik. Dia melihat adanya tiga orang yang mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan para pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup oleh salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya.

Dia mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh lengkingan lain yang lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa lengking pertama itu adalah suara wanita pertama yang dijawab oleh wanita ke empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah bergabung dengan tiga orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.

Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling dan napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan hawa dingin yang luar biasa membuat dia semakin menderita.

Jubah bulu tebal itu dikerudungkan tubuh dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya erat-erat dan dia melanjutkan larinya biarpun napasnya seperti akan putus rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, tiba-tiba salju yang diinjaknya itu runtuh ke bawah dan tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya “bukit” itu adalah sebatang pohon yang tertutup salju sehingga bergunduk menjadi semacam bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu menjadi runtuh.

Perutnya terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah hawa dingin, kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhirnya tubuh yang berguling-guling itu berhenti, akan tetapi tidak bangun kembali karena Siauw Goat merasa malas untuk bangun!

Terasa nikmat sekali rebah miring di atas salju, dan biarpun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas yang sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya, dingin dan ingin tidur!

Akan tetapi dia teringat akan nasihat-nasihat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau sampai orang tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis berjumpa dengan pengemis muda lihai yang tidur di atas salju dengan pakaian tipis.

“Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang sakti.” demikian kata piauwsu itu, “padahal, tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju itu merupakan tanda bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam keadaan membeku darahnya!”

Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih harus membalas kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya.

Tidak, dia tidak boleh mati! Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya lecet-lecet, agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang sudah hampir mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak lari. Akan tetapi baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan!

Akan tetapi, sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita-wanita yang mengejarnya, melainkan bayangan dua orang pria. Bayangan inilah yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah kepada kelelahannya. Ada orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir sebelum dia membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.

Dua orang itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat seorang gadis cilik berlari-lari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan liar itu, dan terkejutlah mereka ketika melihat gadis itu berguling-guling di atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak bergerak di atas salju.

“Ah, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!”

Seorang di antara mereka berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling. Orang ke dua tidak menjawab akan tetapi ikut berlari.






Mereka adalah dua orang laki-laki yang memegang busur dan membawa banyak anak panah, sikap mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti biasa dipakai para pemburu. Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima belas tahun usianya, namun wajahnya membayangkan kegagahan, kejujuran dan ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan membayangkan kecerdasan. Pria ke dua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang gagah membayang kesabaran.

Memang mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga pemburu turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan berpengalaman. Mereka berasal dari Lok-yang di mana sekeluarga mereka bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di Pegunungan Himalaya juga untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu tertarik akan berita tentang mahluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti.

Sebagai pemburu-permburu berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan mereka ingin sekali dapat menangkap mahluk itu yang menurut pendapat mereka tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan tetapi biarpun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang belum juga berhasil berjumpa dengan mahluk itu sendiri.

Pemuda remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya sudah sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada pun pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari ayah Hong Bu.

Dahulu mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat, kemudian adik-adiknya Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan Sim Kun sedang berburu biruang di utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun dan nyawa mereka tidak tertolong lagi.

Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim Tek pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu mengajaknya merantau ke daerah-daerah liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita tentang Yeti.

Di dalam kisah JODOH SEPASANG RAJAWALI ada diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut tentu masih ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui Lan, dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar-kejar pasukan, kemudian bersama keluarga Sim dan kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.

Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera memeriksa gadis cilik itu.

“Hemm, dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya kedinginan dan kelaparan.” kata Sim Tek. “Hong Bu, lekas kau ambil arak dan obat penghangat perut dan juga pel penambah darah itu”

Sim Hong Bu cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya. Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya dengan obat pemanas kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan nekat dia siap untuk melawan.

“Siapa kalian....?” bentaknya dan Hong Bu tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu.

Sungguh seorang gadis yang gagah dan sama sekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis itu ketika meloncat dan mengepal kedua tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.

“Nona, kami menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan menyadarkanmu. Kami adalah pemburu-pemburu....”

“Ahh, maaf....!” Tiba-tiba sikap dara itu berubah. “Dan terima kasih atas kebaikan kalian. Mana.... mana mereka itu?”

“Mereka siapa?” tanya Hong Bu.

“Mereka yang mengejarku! Empat orang Iblis betina itu....!”

Siauw Goat lalu memandang ke sekeliling dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang terdesak dan bahkan banyak yang sudah roboh.

“Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga.” kata Sim Tek heran.

“Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan anak panah dan busurku ini!” Sim Hong Bu berkata menghibur sambil mengangkat busurnya yang besar ke atas kepala.

Pada saat itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan getaran panjang.

“Itu mereka....!” Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. “Pinjamkan pedangmu, aku harus melawan mereka mati-matian!” katanya.

Hong Bu dan pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata,

“Jangan khawatir, aku dan Paman akan menjagamu dan menghadapi mereka!”

Belum nampak adanya orang lain di situ dan suara melengking tadi agaknya dikeluarkan dari tempat jauh.

“Siapakah mereka, Nona? Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu?”

Sim Tek yang lebih berhati-hati itu bertanya kepada Siauw Goat. Dia maklum bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak seperti keponakannya yang begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang menjadi persoalannya maka gadis tu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di fihak salah? Bukan tidak mungkin itu!

“Aku tidak tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para piauwsu yang mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!”

“Jahat mereka itu!” Hong Bu berseru marah.

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan empat orang wanita itu kini telah muncul dari balik bukit salju dan gerakan mereka amat cepatnya ketika mereka lari menghampiri. Akan tetapi Sim Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan Hong Bu siap dengan busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang diterimanya dari Hong Bu tadi.

Melihat betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria yang kelihatan gagah, empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap Siauw Goat, melangkah maju sambil berkata kepada teman-temannya.

“Biar kuhadapi anjing-anjing ini!”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar amat sombong sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di fihak salah.

“Harap Nona sabar sedikit.” katanya sambil melangkah maju. “Tidak baik menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan dengan tenang.”

“Heh, pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah sebelum terpaksa kubunuh engkau!” bentak wanita baju hijau yang oleh temannya disebut A-ciu itu.

“Paman, Nona cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!”

Tiba-tiba Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini telah menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat kali dan berturut-turut, empat batang anak panah menyambar seperti kilat ke arah empat orang wanita cantik itu!

Akan tetapi, anak-anak panah itu semua menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.

Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat empat orang wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka menendang ke arah anak panah yang menyambar itu dan anak-anak panah itu semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu!

Tentu saja pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi hampir saja menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian dengan suara menggeram seperti seekor singa muda dia menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang dihantamkan ke arah kepala A-ciu.

“Plak!”

Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan tangan A-ciu. Melihat Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah menggerakkan pedangnya dan maju menerjang dengan nekat.

A-ciu dikeroyok tiga, akan tetapi wanita cantik baju hijau ini hanya tersenyum dan mendengus dengan sikap mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran senjata tiga orang pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang lagi.

“Plakk! Aughh....!”

Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena disambar jari tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia sudah siap untuk menerjang lagi. Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.

“Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas? Tadi aku hanya hendak menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama sekali. Hayo menggelinding pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!” A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan bertolak pinggang.

“Kami adalah laki-laki sejati, tidak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa melindunginya!” kata Sim Tek dengan sikap yang gagah.

Pemburu yang sudah biasa menghadapi bahaya ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa empat orang wanita ini amat kejam dan agaknya akan membunuh anak perempuan itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.

“Lebih baik mati daripada membiarkan dia kalian bunuh!”

Hong Bu juga membentak dan dengan nekat anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah menyerang lagi dengan pedangnya, menahan rasa nyeri di pundaknya.

“Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!”

A-ciu membentak dan kini dia menyambut serangan itu dengan terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka terlempar.

“Mampuslah!” A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.

“Hemm, sungguh ganas!”

Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba tubuh A-ciu terdorong ke belakang. Wanita baju hijau ini terkejut dan memandang orang yang baru datang dan yang menangkis serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.

“Ah, kiranya engkau lagi!” bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal penangkis itu ternyata adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah melindungi anak perempuan bengal itu di depan restoran tempo hari!

“Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak mungkin engkau sampai membunuhi para piauwsu itu,” Kam Hong menarik napas panjang dan suaranya yang tenang itu terdengar bercampur nada marah. “Kalian ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!”

“Apa?” Siauw Goat menjerit. “Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu?”

Anak perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke depan. Pedang pinjaman tadi telah terlempar dan kini dia menyerang A-ciu dengan kedua tangan kosong saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah mendengar betapa semua piauwsu telah tewas oleh empat orang wanita ini.

Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah.
“Huh, engkau setan cilik menjadi gara-gara! Mampuslah!” bentaknya dan dia memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan tewas seketika.

Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
“Huhh....?”

Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!

“Plakk!”

Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya mengenai pipi kiri A-ciu! Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya “tidak seberapa” wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan tangannya ke arah perut orang.

Melihat ini, A-ciu yang masih terkejut merasakan keanehan tadi, cepat menggerakkan kaki untuk mengelak dan dilanjutkan dengan tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.

“Ngekk!” perutnya kena dihantam dan biarpun tidak membahayakan, namun cukup membuat perutnya mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sin-kang menyambut pukulan, ternyata seperti juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu! Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya telah dilumpuhkan orang.

Siauw Goat makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi mereka segera tahu mengapa terjadi hal demikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang berdiri tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu.

Kiranya pemuda sastrawan itulah yang mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sin-kang jarak jauh yang amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan penyerangan Siauw Goat!

“Desss!!”

Sebuah pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu berdarah, akan tetapi Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang, akan tetapi sedikit melukai kulit ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.

“Cukuplah, Siauw Goat.” kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik tangan gadis cilik itu.

Pada saat itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita baju kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka, sudah mencabut pedangnya, diikuti oleh dua orang temannya dan juga oleh A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena marah akan tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.

“A-kiauw, engkau di sebelah kanannya!” perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat sudah berada di sebelah kanan Kam Hong.

“A-bwee, engkau di sebelah kirinya!” perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke sebelah kiri Kam Hong.

“A-ciu, engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segiempat, kalian tahu apa yang harus dimainkan!” bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan itu.

Kam Hong hanya berdiri dengan tenang, tidak bergerak, agak menunduk dan lebih menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka daripada menggunakan matanya. Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, juga Siauw Goat amat tertarik.

Anak ini mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau seenaknya dan semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia adalah anak yang semenjak kecil mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada Kam Hong karena dia dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit bukan main.

Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain berturut-turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee juga sudah menggerakkan pedang mereka melakukan serangan kilat.

Hebatnya, serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang menyerang dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan loncatan ke atas seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan gerakan lurus dan bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.

Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walaupun seluruh tubuh masih nampak tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya.

Ketika tangan kirinya bergerak, seperti bermain sulap saja nampak sinar putih yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang, kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua serangan empat pedang lawan! Ketika empat orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat kuat, mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang.