FB

FB


Ads

Sabtu, 20 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 154

Ceng Ceng tahu bahwa muridnya ini masih merasa tidak enak kepadanya, seperti juga dia merasa tidak enak. Dia pernah menyakitkan hati muridnya ini dan memutuskan hubungan, siapa kira kini anak itu malah berjasa dengan mengantarkan abu jenazah guru suaminya. Maka dengan suara lirih dia berkata,

“Hwee Li, kau duduklah dulu dan ceritakan tentang kematian suhu.”

“Benar, harap kau tidak kepalang dengan pertolonganmu, Hwee Li. Engkau sudah bersusah payah mengantar abu jenazah suhu, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi, bagaimana engkau dapat bertemu dengan suhu dan bagaimana suhu sampai meninggal dunia, apa pula hubungannya dengan Pendekar Super Sakti,” kata Kok Cu dan memang suami isteri ini amat tertarik untuk mengetahui semua itu.

Hwee Li menarik napas panjang. Memang dia harus menceritakan itu semua. Sambil menundukkan mukanya dia mulai bercerita secara singkat,

“Mula-mula aku bertemu dengan beliau ketika beliau dalam keadaan terluka parah sekali akan dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li....“

“Bagaimana beliau bisa terluka parah?” Kok Cu bertanya kaget.

“Beliau kemudian menceritakan bahwa beliau terluka karena secara curang dipukul dari depan dan belakang oleh Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo. Mereka berdua tewas akan tetapi beliau sendiri terluka parah. Melihat beliau yang sudah tidak berdaya dan duduk bersila itu hendak dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, aku lalu mencegahnya dan melawan Mauw Siauw Mo-li.“

“Kau melawan bibi gurumu sendiri?”

Ceng Ceng bertanya, akan tetapi pandang mata suaminya membuat dia sadar bahwa dia masih dikuasai oleh kemarahan terhadap dara ini, maka dia lalu diam saja dan menundukkan muka. Hwee Li melirik ke arah subonya itu dan menggigit bibir tanpa menjawab.

“Hwee Li, harap kau suka lanjutkan,” Kok Cu berkata lembut.

“Kami berdua lalu melakukan perjalanan menuju ke gurun pasir di dataran Chang-pai-san untuk menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok. Selama dalam perjalanan itu beliau bersikap amat baik kepadaku.“

Sampai di sini Hwee Li berhenti karena dia harus menyusut dua butir air mata yang kembali mengalir turun.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar rumah,
“Apakah murid Si Dewa Bongkok berada di dalam? Keluarlah menemui kami!”

Mendengar suara ini, sekali berkelebat Kok Cu sudah meloncat keluar, diikuti oleh isterinya, dan Hwee Li juga cepat meloncat keluar. Ternyata di pekarangan rumah itu telah berdiri Twa-ok dan Sam-ok, dua di antara Im-kan Ngo-ok yang paling lihai! Kao Kok Cu mengenal dua orang ini, apalagi Sam-ok yang dulu menjadi Koksu Nepal.

“Heemmm, kalian dua orang manusia iblis mau apakah datang mencari murid penghuni Istana Gurun Pasir?”

“Bagus, kebetulan sekali engkau berada di sini! Dewa Bongkok telah mati, akan tetapi dialah yang menggagalkan kami ketika kami sudah hampir berhasil membunuh Pendekar Siluman! Karena itu, engkau muridnya harus menebus kesalahannya terhadap kami itu!”

“Keparat!”

Teriakan ini keluar dari mulut Hwee Li dan dara ini sudah mendahului Kok Cu dan isterinya, langsung saja dia menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang dilakukan secara aneh, yaitu kaki kiri berlutut, tangan kiri di atas tanah dan tangan kanan memukul ke depan, ke arah dua orang kakek sakti itu.

“Cuiiiiittttt.... desss! Desssss!”

Dua orang kakek itu terkejut ketika melihat munculnya dara yang pernah melawan mereka secara aneh dan hebat membantu Pendekar Super Sakti itu. Tak mereka sangka bahwa gadis luar biasa itu pun sudah berada di situ. Gadis itu adalah Hwee Li, bekas tunangan Pangeran Nepal, anak dari Hek-tiauw Lo-mo yang dulu hanya terbatas saja kepandaiannya, akan tetapi yang kini memiliki kepandaian yang amat luar biasa.

Kini Twa-ok dan Sam-ok tidak berani memandang rendah, cepat mereka menangkis dan akibatnya tubuh mereka terdorong mundur sampai terhuyung-huyung! Dan Hwee Li sudah melayang lagi ke arah mereka, kini kedua kakinya bergerak, dengan tumit diangkat, berdiri di atas ujung jari-jari kaki, kedua lengan diputar sedemikian rupa dan dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi berdesingan seperti dua batang pedang diputar.






Twa-ok dam Sam-ok terkejut, cepat mereka pun mengerahkan tenaga dan menangkis sambaran dua hawa pukulan dahsyat itu.

“Wuuuuut, brettt, brettttt....!”

Dua orang kakek itu meloncat jauh ke belakang, muka mereka pucat karena lengan baju mereka telah robek seperti digurat pedang pusaka, dan biarpun kulit lengan mereka tidak terluka, namun tahulah mereka bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan aneh. Menghadapi dara itu saja sudah berbahaya, apalagi kalau Si Naga Sakti Gurun Pasir murid Dewa Bongkok yang lihai itu maju bersama isterinya yang juga lihai! Maka tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu memutar tubuh dan melarikan diri!

Sejenak Hwee Li memandang dengan berdiri tegak, tidak mengejar, kemudian dia menoleh dan ketika melihat bekas subonya dan suami subonya memandang dengan mata terbelalak kepadanya, dia menarik napas panjang dan berkata lirih,

“Sayang aku tidak berhasil membunuh dua manusia iblis itu.”

Kok Cu sudah cepat melangkah maju dan memegang lengan Hwee Li.
“Gerakanmu tadi! Tenagamu tadi! Ah, Hwee Li, aku mengenalnya! Engkau.... engkau telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari mendiang suhu?”

Hwee Li mengangguk.
“Beliau amat baik kepadaku, telah menurunkan ilmu-ilmu simpanannya dan juga telah mengoperkan sinkangnya kepadaku.“

“Kalau begitu, engkau termasuk muridnya, engkau menjadi sumoiku!”

Hwee Li menggeleng kepala.
“Aku tidak berharga untuk menjadi murid beliau dan aku tidak pernah diangkat murid, aku tidak berani menjadi sumoimu, Taihiap.“

“Kau lanjutkanlah ceritamu tadi,” kata Kok Cu dan mereka lalu kembali duduk di ruangan depan di depan meja sembahyang Dewa Bongkok. Ceng Ceng kini memandang kepada bekas murid itu dengan mata kagum.

“Kami berdua tiba di dataran itu dan Pendekar Super Sakti dikeroyok oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Kemudian muncul pula nenek iblis yang pandai sihir, dan Pendekar Super Sakti terdesak hebat. Dalam keadaan amat berbahaya itu, Locianpwe Dewa Bongkok agaknya tidak dapat berdiam saja, dalam keadaan terluka parah itu beliau lalu membantu Pendekar Super Sakti sehingga pendekar Pulau Es itu terlepas dari bahaya maut, akan tetapi beliau sendiri.... beliau tewas dalam keadaan duduk bersila....“ Kembali Hwee Li mengusap kedua matanya.

“Ahhh, jadi Im-kan Ngo-ok yang menjadi biang keladi kematian suhu. Kalau tadi aku tahu....“ Kok Cu berkata. “Teruskan, Hwee Li, teruskan ceritamu.”

“Setelah beliau tewas, Pendekar Super Sakti mengamuk, akan tetapi terdesak oleh banyaknya lawan karena segera muncul Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol yang lihai. Melihat Locianpwe itu tewas, aku menjadi marah dan aku lalu maju membantu Pendekar Super Sakti. Aku berhasil membunuh Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol, menggunakan ilmu yang kupelajari dari Locianpwe Dewa Bongkok, kemudian membantu Pendekar Super Sakti menghadapi lima orang dari Im-kan Ngo-ok sehingga akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan Pendekar Super Sakti yang telah menderita luka-luka karena pukulan mereka.”

“Hemmm, dan mereka menyalahkan suhu dalam kegagalan mereka terhadap Pendekar Super Sakti,” kata Kok Cu. “Dan memang suhulah yang menggagalkan mereka, dengan mewariskan kepandaian suhu kepadamu, Hwee Li. Kemudian, kau membakar jenazah suhu?”

“Pendekar Super Sakti yang melakukannya, aku membantunya, kemudian aku mengumpulkan abu Locianpwe Dewa Bongkok dan kubawa kesini untuk kuserahkan kepadamu, Taihiap.”

Kok Cu bangkit berdiri, memandang kepada Hwee Li dengan mata kagum dan berterima kasih.
“Hwee Li, aku amat berterima kasih kepadamu. Tidak keliru suhu memilihmu sebagai ahli waris ilmu yang dirahasiakan itu, bahkan kepadaku pun dia tidak menurunkan ilmu itu. Engkau baik sekali dan engkau patut menerima kasih sayangnya.”

“Aku pun berterima kasih kepadamu, Hwee Li, dan kau maafkanlah sikapku yang lalu....“

Suara Ceng Ceng ini membuat Hwee Li memutar tubuh dengan cepat. Dia melihat subonya telah berdiri dan memandang kepadanya dengan mata basah. Bukan main lega dan girangnya hati Hwee Li, juga terharu sekali dan dia seperti mendapatkan kembali seorang ibu! Dia berlari menubruk Ceng Ceng sambil merintih dan menangis! Ceng Ceng menerimanya dalam pelukan dan sambil menyembunyikan mukanya di dada subonya itu Hwee Li menangis sepuas hatinya sampai sesenggukan.

“Subo.... ah, Subo.... mengapa semua orang membenciku? Mula-mula Subo yang meninggalkan aku karena aku anak pemberontak, lalu dia.... Kian Lee juga menghinaku dan meninggalkan aku.... setelah itu ditambah lagi.... Pendekar Super Sakti juga mencaci maki anak pemberontak dan tidak menyetujui puteranya berjodoh dengan anak pemberontak.... hu-hu-huuuh...., Subo, apa salahku....?”

Dia merenggutkan pelukan Ceng Ceng sehingga terlepas, lalu memegang kedua lengan subonya itu, mengguncang-guncangnya penuh penasaran, dengan air mata bercucuran.

“Apa salahku, Subo? Apa salahku kalau ayah kandungku seorang pemberontak? Apa salahku kalau orang yang memeliharaku seorang penjahat? Apa salahku kalau Tuhan menentukan aku lahir dari keluarga pemberontak? Mengapa orang menyalahkan aku....? Mengapa....? Hu-hu-huuuuuh....!”

Tangisnya menjadi-jadi karena dia teringat betapa Kian Lee meninggalkan dirinya, dan dia kembali sudah berangkulan dengan Ceng Ceng yang juga ikut menangis bersama muridnya karena dia merasa amat kasihan dan terharu. Berbagai hal teringat oleh Ceng Ceng. Kian Lee pernah jatuh cinta kepadanya dan cinta kasih itu gagal karena dia masih terhitung keponakan sendiri dari pemuda itu. Kini pemuda itu mempunyai hubungan kasih sayang dengan muridnya, dengan Hwee Li, apakah harus putus lagi? Tidak, sekali ini, kalau sampai putus, maka kesalahannya terletak pada Kian Lee!

Setelah mencium pipi yang basah air mata itu, Ceng Ceng menghibur,
“Sudahlah, Hwee Li, tenangkan hatimu. Aku sudah bersalah dan kau maafkanlah aku. Akan tetapi, mereka itu tidak boleh bersikap seperti itu kepadamu, sama sekali tidak patut! Kalau aku pada waktu itu marah kepadamu dan memutuskan hubungan, bukan hanya karena aku tidak suka mempunyai murid anak pemberontak, melainkan terdorong oleh kemarahan hatiku melihat engkau melindungi musuh yang telah menculik puteraku. Akan tetapi kemudian aku mendengar bahwa mereka semua yang bersalah itu telah tewas, enci tirimu Kim Cui Yan, bersama suhengnya, dan juga Pangeran Liong Bian Cu, semua telah tewas karena bentrok sendiri. Engkau tidak boleh disamakan dengan mereka, dan kalau sampai Paman Kian Lee dan ayahnya menolakmu karena keturunan atau karena orang tuamu, biarlah aku yang akan menemui mereka dan menegur mereka!”

Hwee Li memperoleh hiburan batin ketika subonya kembali bersikap baik kepadanya. dia tidak menolak ketika Ceng Ceng menyatakan hendak menyertainya mencari Kian Lee dan memperbaiki kembali hubungan yang terputus itu. Hwee Li tidak menolak karena dia pun tidak mempunyai orang yang dapat dipercayanya, dan subonya ini dapat bertindak selaku walinya!

Dia pun tidak putus harapan akan hubungannya dengan Kian Lee, karena bukankah Pendekar Super Sakti sendiri sudah menyatakan ingin mengambil dia sebagai mantu untuk menjadi jodoh Kian Lee? Akan tetapi, pemuda itu harus melihat dulu kesalahannya, dan harus minta ampun kepadanya!

Ceng Ceng minta kepada suaminya agar menanti dia di dusun keluarga Kao itu bersama Cin Liong, karena dia ingin menyertai Hwee Li mencari Kian Lee. Kalau sudah selesai urusan ini, baru mereka bersama-sama akan kembali ke Istana Gurun Pasir. Setelah memberi hormat kepada semua keluarga Kao, Hwee Li berpamit kepada Kok Cu dan berkata,

“Terima kasih atas kebaikan Taihiap....“

“Hushhh, engkau adalah sumoiku, mengapa menyebutku taihiap?”

Kedua pipi Hwee Li menjadi merah karena jengah.
“Ah, mana patut aku menjadi Sumoimu....? Biarlah aku menjadi murid Subo kembali. Tentu Subo akan sudi menerimaku kembali menjadi murid, bukan?” kata Hwee Li dengan manja kepada Ceng Ceng yang sudah berkemas untuk berangkat bersamanya.

“Menjadi muridku? Ihhh! Sungguh tidak patut, tidak patut!” Nyonya itu menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum.

Hwee Li tahu bahwa subonya itu main-main, maka dia pura-pura kaget dan bertanya,
“Mangapa tidak patut menjadi muridmu, Subo?”

“Jangan menyebut subo lagi kepadaku, anak nakal. Apa kau hendak mengejek aku? Tentu saja tidak patut, sama sekali tidak patut. Pertama, engkau telah menjadi murid suhu suamiku, maka engkau terhitung sumoiku, mana bisa menjadi muridku? Dan tentang kepandaian, engkaulah yang layak mengajar aku ilmu silat, mana pantas engkau menyebut subo kepadaku? Kemudian, masih ada lagi. Engkau tidak patut menyebutku subo, bahkan semestinya aku menyebutmu.... eh, calon bibiku.”

“Ehhh....?”

“Ingat, Suma Kian Lee adalah adik sekandung dari mendiang ayahku, jadi dia adalah pamanku, maka apa yang harus kusebut kepada calon isterinya?”

“Ihhh, Subo....!” Hwee Li mencubit lengan Ceng Ceng dan mereka semua tertawa.

Memang Hwee Li selalu bersikap polos, lincah, jenaka dan tidak pernah mempedulikan tentang ikatan sopan santun yang kaku sehingga bebas saja baginya untuk bersendau-gurau dengan subonya yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri itu.

Maka berangkatlah dua orang wanita itu dengan wajah berseri karena kini, di samping subonya, Hwee Li memperoleh harapan baru. Dia berjalan sambil bercakap-cakap dan dia menceritakan semua hubungannya dengan Kian Lee dengan selengkapnya, juga tentang sikap Pendekar Super Sakti yang amat baik kepadanya, bahkan telah menyatakan ingin mengambilnya sebagai mantu untuk dijodohkan dengan Kian Lee, dan betapa dia menjadi marah-marah dan meninggalkan pendekar itu ketika pendekar itu mencaci-maki anak pemberontak!

“Aihhh, kenapa engkau demikian keras kepala dan tidak mengaku saja bahwa engkaulah gadis itu kepada beliau?” Subonya mengomel.

“Biar, Subo. Biar mereka itu tahu akan kesalahan mereka.”

“Ya, engkau memang pendendam. Akan tetapi memang sebaiknya kalau orang yang keliru itu menyadari sendiri kekeliruannya, seperti kekeliruan sikapku kepadamu. Jangan khawatir, aku akan menegurnya dan kalau memang dia benar-benar mencintamu, tentu dia pun menderita sengsara sekarang ini.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan kepercayaan penuh kepada diri sendiri.

**** 154 ****