FB

FB


Ads

Sabtu, 20 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 153

Suma Han menarik napas panjang.
“Jangan khawatir, Hwee Li. Mencari Kao Kok Cu boleh nanti saja dan aku serta anak-anakku pasti akan membantumu. Aku ingin lebih dulu menemukan putera-puteraku, baru kami akan membantumu mencari Si Naga Sakti Gurun Pasir itu.”

“Ah, urusan kematian Dewa Bongkok merupakan urusan yang amat penting bagi muridnya, Paman. Kenapa Paman tergesa-gesa hendak mencari putera Paman?”

“Karena aku hendak memperkenalkan engkau kepada mereka, anak yang baik.”

Hwee Li terbelalak memandang wajah yang berseri lembut itu.
“Eh? Mengapa? Apa maksudnya Paman hendak memperkenalkan aku kepada mereka?”

Pendekar itu menarik napas panjang lalu duduk di tepi jalan itu.
“Kau duduklah, Hwee Li, dan dengarkan kata-kataku.”

Gadis itu memandang heran lalu duduk di depan pendekar itu, di atas sebuah batu bundar.

“Hwee Li, semenjak berkenalan denganmu, bahkan semenjak melihat engkau dengan gagah perkasa melawan musuh-musuh yang tangguh itu, kemudian setelah melakukan perjalanan bersamamu, terus terang saja timbul rasa suka yang mendalam di hatiku. Engkau makin mengingatkan aku akan isteriku ketika dia masih muda. Maka, semenjak beberapa hari ini, aku telah mengambil keputusan hati untuk.... mengambil engkau sebagai mantuku!”

“Ahhhhh....!” Hwee Li terbelalak memandang, jantungnya berdebar tegang.

“Maafkan, Nak, bukan aku ingin lancang dan memandang rendah kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga lagi, maka aku bicara begini terus terang kepadamu. Aku yakin bahwa engkau cocok sekali untuk menjadi isteri Kian Lee, puteraku…..“

Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat dara itu meloncat bangun seperti disengat kelabang pantatnya. Dara itu berdiri dan memandang kepadanya dengan muka merah sekali, kemudian terdengar dia berkata,

“Paman, aku telah mendengar percakapan Paman dengan locianpwe Dewa Bongkok tempo hari. Bukankah puteramu itu telah mempunyai seorang kekasih?”

Kini Suma Han juga bangkit berdiri dan mengepal tangan kanannya.
“Tidak! Aku akan memutuskan hubungan yang tidak tepat itu!”

“Mengapa.... mengapa tidak tepat, Paman?”

Suma Han tidak dapat melihat betapa suara dara itu agak gemetar, karena dia sendiri sedang marah memikirkan keadaan puteranya.

“Dia harus memutuskan hubungan itu dan menikah denganmu! Aku yakin bahwa aku akan dapat menyadarkan Kian Lee, bahkan menurut Dewa Bongkok, dia pun sudah sadar dan telah meninggalkan gadis anak si jahat Hek-tiauw Lo-mo dan keturunan pemberontak rendah itu!”

Sepasang mata Majikan Pulau Es ini bersinar-sinar penuh kemarahan. Dia merasa terhina kalau harus menjadi besan orang-orang seperti penjahat dan pemberontak itu.

Dan terjadilah hal yang aneh, yang membuat Pendekar Super Sakti berdiri terbelalak memandang gadis itu. Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah padam dan kedua matanya basah akan tetapi mengeluarkan sinar kemarahan yang berapi-api, yang ditujukan kepadanya!

“Bagus sekali, Paman! Baru saja beberapa hari yang lalu Paman memberi kuliah kepadaku bahwa kita tidak boleh membenci orang yang telah mati betapapun jahatnya dia, dan kini Paman memperlihatkan kebencian kepada Kim Bouw Sin dan keluarganya yang telah terbasmi dan binasa semua sebagai keluarga pemberontak! Apakah Paman sendiri di waktu mudanya tidak pernah memberontak? Pemerintah Mancu sekarang ini, ketika pertama kali menyerbu ke selatan, bukankah mereka pun pemberontak? Dan Paman juga membenci Hek-tiauw Lo-mo, karena dia itu ketua Pulau Neraka!

Lupakah Paman bahwa isteri Paman sendiri, Bibi Lulu itu, ibu kandung dari.... eh, puteramu Kian Lee itu, pernah pula menjadi pemberontak dan juga menjadi ketua Pulau Neraka? Apa hubungannya anak dengan kejahatan atau pemberontakan atau penyelewengan orang tuanya? Mengapa anaknya diikutkan bertanggung jawab dan kebagian nama buruk yang harus Paman benci pula? Adilkah itu? Benarkah itu? Layakkah itu bagi seorang pendekar sakti seperti Paman ini mempunyai jalan pikiran yang demikian picik, dangkal dan tidak adil?”

Wajah Suma Han menjadi pucat, kemudian merah kembali. Tergagap-gagap dia berseru,
“Hwee Li, kau....”

Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, demikian kerasnya sampai tanah di sekitar tempat itu terguncang!

“Sudahlah! Aku tidak sudi berjodoh dengan anak Paman yang mulia dan setinggi langit itu! Aku adalah anak pemberontak, anak penjahat, sebaliknya Paman dan keluarga Paman adalah keluarga langit! Sudahlah!”

Dia terguguk menangis dan melarikan diri secepatnya pergi meninggalkan Suma Han yang berdiri melongo. Hatinya mendorong untuk mengejar, akan tetapi dia teringat dan tidak jadi, menggerakkan kakinya. Gadis seperti Hwee Li ini, seperti juga Lulu dahulu, tidak mungkin ditundukkan dengan bujukan atau paksaan. Sudahlah, dia sendiri yang bersalah!

Pendekar ini tersenyum. Sudah setua ini masih begitu tolol. Tentu saja! Tentu saja Hwee Li adalah gadis yang dicinta oleh Kian Lee itu, gadis anak angkat Hek-tiauw Lo-mo, puteri kandung mendiang Kim Bouw Sin! Mengapa dia begitu bodoh? Gadis itu datang bersama Dewa Bongkok, bahkan telah menjadi murid Dewa Bongkok dan locianpwe itu datang untuk membicarakan urusan perhubungan gadis itu dengan Kian Lee. Pantas saja gadis itu dahulu lari sambil menangis ketika mendengar dia mencela gadis itu sebagai keturunan penjahat dan pemberontak!

Seperti disambar halilintar, pendekar sakti ini sadar! Dia seperti dihadapkan sebuah cermin besar di mana dia memandang kepada dirinya sendiri, melihat betapa dia masih dikuasai oleh watak sombong, ingin mengangkat diri dan keluarga sendiri, mempunyai “gambaran” yang amat agung terhadap keluarga sendiri yang pada hahekatnya perluasan dari diri sendiri pula, sehingga dia memandang rendah kepada golongan lain, terutama yang dianggapnya hina seperti penjahat dan pemberontak! Dan gadis dengan kemarahannya yang khas seperti Lulu itulah yang menyadarkannya!






Sampai berjam-jam lamanya Suma Han berdiri seperti patung di tempat itu, tak pernah bergerak akan tetapi mata batinnya mengamati dirinya sendiri dan dia merasa malu, malu sekali! Aih, betapa Lulu akan marah sekali kalau mendengar akan sikapnya selama ini! Dan kenapa Kian Lee juga memandang rendah kepada gadis yang menjadi kekasihnya itu setelah mendengar bahwa gadis itu anak pemberontak? Mengapa Kian Lee setolol itu? Setolol dia? Apa hubungannya seorang anak dengan penyelewengan orang tuanya? Mereka adalah manusia-manusia lain yang hanya kebetulan saja dihubungkan sebagai ayah dan anak. Akan tetapi, bukankah ayah dan anak merupakan dua orang manusia yang memiliki pikiran sendiri, hati sendiri, kesadaran sendiri, selera sendiri?

Sadarlah kini Suma Han. Sadarlah dia bahwa selama ini, dialah yang kehilangan kewaspadaan sehingga tanpa disadari dia bersikap yang tidak benar. Sikap dan perbuatan yang tidak benar hanya dilakukan oleh manusia yang pada saat itu tidak sadar! Apabila manusia sadar setiap saat, waspada setiap saat memandang dirinya sendiri, setiap gerak-gerik badan dan batinnya sendiri, tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak benar! Karena, setiap perbuatan yang tidak benar itu pun akan nampak olehnya dan karenanya tentu tidak akan dilakukannya!

Kewaspadaan bukanlah suatu hal yang boleh dilakukan sekali waktu atau pada waktu-waktu tertentu saja. Kalau dilakukan berselang-seling, maka terjadilah apa yang kita lihat dalam kehidupan manusia ini. Di waktu tidak waspada, melakukan dosa, setelah sadar dan waspada, menyesal dan minta ampun, bersumpah tidak akan lagi melakukan perbuatan itu. Kemudian, dalam keadaan tidak sadar lagi, diulanginya perbuatan itu, lalu sadar dan minta ampun lagi.

Demikianlah kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Kewaspadaan harus selalu ada pada kita setiap saat, timbul dari pengamatan setiap saat, timbul dari perhatian sepenuhnya yang kita curahkan terhadap diri sendiri dalam saat apa pun, selagi melakukan atau mengatakan atau memikirkan apa pun. Pengamatan penuh kewaspadaan, penuh perhatian inilah kesadaran! Kalau kita membiarkan diri kosong tanpa kewaspadaan, maka iblis berupa pikiran yang selalu mengejar kesenangan akan masuk dan menyeret kita kepada kesesatan. Waspada dengan pengamatan tanpa pamrih ingin mengubah, waspada dengan pengamatan tanpa adanya si aku yang mengamati, karena si aku adalah yang diamati pula, waspada terhadap si aku, pikiranku, kedukaanku, kemarahanku, kebencianku, waspada terhadap semua ini tanpa ingin mendapatkan apa pun, inilah satu-satunya yang dapat menimbulkan pengertian.

Lebih dari tiga jam pendekar sakti itu berdiri seperti patung. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak marah oleh sikap dan kata-kata Hwee Li tadi. Bahkan dia berterima kasih, karena dara remaja itulah yang telah menggugahnya dari mimpi yang membawanya kepada kesesatan. Betapa dia telah memberi kuliah kepada Hwee Li, seperti dikatakan dara itu, tentang tidak membenci orang jahat sekalipun yang sudah mati, namun sikapnya menentang hubungan puteranya karena si gadis itu anak penjahat dan pemberontak sudah merupakan suatu kebencian pula yang terselubung! Ahhh, betapa mudahnya memberi nasihat namun betapa sukarnya melaksanakannya sendiri! Ini semua takkan terjadi kalau dia selalu waspada setiap saat mengamati diri sendiri, sehingga dia akan waspada ketika memberi nasihat, waspada pula ketika berbuat!

“Akan kucari Kian Lee, akan kubereskan semua yang tidak benar selama ini!” katanya kepada diri sendiri dan di lain saat pendekar sakti itu telah berkelebat pergi, mempergunakan ilmunya untuk berloncatan dan melakukan perjalanan cepat sekali.

Dugaan Hwee Li memang tepat. Setelah beberapa hari lamanya dia berputar-putar di daerah Kang-lam, akhirnya dia dapat memperoleh keterangan di mana adanya keluarga Jenderal Kao Liang, yaitu di dusun Lok-jung di kaki sebuah bukit kecil yang sunyi. Cepat dia menuju ke dusun itu dan dari jauh dia sudah melihat subonya sedang duduk di depan sebuah rumah yang cukup besar, bersama Kao Kok Cu dan juga Cin Liong.

Bukan main girangnya hati Hwee Li, akan tetapi di samping kegirangan ini dia pun merasa terharu karena dia membawa berita duka, dan juga tegang dan gelisah melihat subonya, teringat betapa subonya sudah tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid karena dia adalah keturunan pemberontak!

“Enci Hwee Li....!”

Cin Liong yang masih mengenal dara yang dulu suka memondongnya dan mengajaknya bermain-main itu segera lari menyambut kedatangan Hwee Li. Suami isteri perkasa itu pun memandang.

Hwee Li merangkul dan memondong Cin Liong, lalu dia menghampiri suami isteri itu, menurunkan Cin Liong dan tanpa terasa lagi air mata membasahi pipi Hwee Li. Dia selalu menganggap subonya sebagai pengganti ibu, akan tetapi mengingat betapa wanita di depannya yang amat dihormatinya, dikaguminya dan juga dicintanya itu kini tidak lagi mau mengakuinya sebagai murid, sungguh membuat hatinya terasa sedih sekali. Apalagi kalau dia teringat akan semua pengalamannya yang pahit.

Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka. Dia tidak berani menyebut subo atau suhu kepada mereka, mengingat betapa subonya telah mematahkan pedang dan menyatakan hubungan mereka sebagai guru dan murid telah putus. Tidak, dia tidak akan mengemis minta diakui lagi sebagai murid, bisik hatinya yang keras, kedatangannya bukan untuk itu, melainkan untuk menyerahkan abu jenazah!

Sambil berlutut dan dengan muka menunduk dia lalu berkata.
“Harap Taihiap dan Lihiap berdua sudi memaafkan aku kalau aku datang mengganggu.”

Tanpa diketahui oleh Hwee Li, suami isteri itu saling lirik ketika mendengar sebutan lihiap dan taihiap itu sebaliknya, dari subo dan suhu. Kao Kok Cu tersenyum pahit dan pandang matanya menegur isterinya, sedangkan Ceng Ceng kelihatan terharu, namun ditahannya dengan hatinya yang keras.

Memang dia sudah menceritakan kepada suaminya bahwa dia memutuskan hubungan dengan Hwee Li karena ternyata bahwa Hwee Li adalah adik dari musuh mereka, yaitu adik dari Kim Cui Yan yang telah menculik Cin Liong, atau juga puteri dari mendiang pemberontak Kim Bouw Sin.

Mendengar penuturan isterinya itu, Kao Kok Cu sudah mengingatkan isterinya bahwa tindakan isterinya itu terburu nafsu dan tidak adil, akan tetapi karena sudah terlanjur maka mereka berdua tak dapat berbuat apa-apa lagi. Dan kini, dara itu datang dengan sikapnya yang masih amat baik, datang-datang berlutut dan menyebut mereka taihiap dan lihiap!

Sejenak mereka bertiga merasakan suasana yang sama sekali tidak enak, karena biasanya pertemuan antara mereka tentu amat menggembirakan karena Hwee Li adalah seorang dara yang lincah jenaka dan yang selalu menggembirakan suami istri itu dengan sikapnya yang manja. Kini gadis itu berlutut dan menitikkan air mata, menyebut mereka dengan sebutan seperti orang asing! Akhirnya Kok Cu memecahkan kesunyian yang tidak enak itu dengan berkata halus.

“Hwee Li, tentu saja engkau tidak mengganggu. Kau bangkit dan duduklah dan ceritakan dengan tenang apa keperluanmu datang menemui kami.”

Hwee Li bangkit dan duduk berhadapan dengan dua orang itu, dan ketika dia melirik ke arah wajah Ceng Ceng, dia melihat nyonya ini menunduk sehingga dia tidak tahu apakah nyonya itu masih marah kepadanya ataukah tidak. Betapapun juga, suasana ini amat tidak enak terasa olehnya, apalagi dia harus membawa berita yang amat tidak baik. Maka sukarlah baginya untuk bicara dan dia hanya mengelus rambut kepala Cin Liong yang kembali mendekatinya dan anak itu berdiri menyandar kepadanya.

“Enci Hwee Li kenapa lama tidak datang dan bermain-main dengan aku? Nanti kita latihan silat, aku sudah mulai dilatih oleh Ayah!”

Melihat sikap Hwee Li, Kok Cu dapat menduga bahwa tentu ada urusan penting, maka dia lalu menyuruh puteranya itu masuk. Cin Liong tidak membantah perintah ayahnya. Setelah anak itu masuk, Kok Cu bertanya lagi,

“Nah, ceritakanlah keperluanmu, Hwee Li.”

Sejak tadi Hwee Li sudah menahan air matanya dan hanya beberapa tetes yang terlepas turun, akan tetapi kini mendengar pertanyaan itu, kembali dia berlutut di depan Kok Cu dan menangis, suaranya terputus-putus ketika dia bicara sambil menurunkan buntalan dari atas punggungnya.

“Su.... Taihiap...., aku.... aku datang untuk menghaturkan ini....“

Dia merasa lehernya tercekik dan hanya mengangkat buntalan itu dengan kedua tangan ke atas kepala sambil menangis. Teringat dia akan semua kebaikan Dewa Bongkok yang tidak hanya telah menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, bahkan telah mengoperkan sinkang ke dalam tubuhnya.

“Apakah ini? Apakah isinya buntalan ini, Hwee Li? Dan mengapa kau menangis?” tanya Kok Cu dengan hati merasa tidak enak.

“.... abu jenazah....“

Hwee Li berbisik dan kini Ceng Ceng menengok dan memandang penuh perhatian kepada dara itu dan kepada buntalan yang kini sudah diterima oleh suaminya.

Kok Cu terkejut dan makin merasa tidak enak.
“Abu jenazah? Punya siapa?”

“.... abu jenazah Locianpwe.... penghuni Istana Gurun Pasir....“

“Ahhhhh!”

Kok Cu meloncat berdiri dan tubuhnya gemetar, buntalan itu masih dipegang tangan kanannya dan wajahnya agak pucat ketika dia memandang kepada buntalan itu, kemudian kepada Hwee Li.

“Hwee Li, hayo ceritakan yang jelas!” bentaknya dengan suara mengandung getaran amat kuat. “Tidak salahkah engkau bahwa ini abu jenazah suhuku, Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”

Hwee Li menentang pandang mata Kok Cu dengan mata basah air mata.
“Tidak mungkin salah, karena aku sendiri melihat beliau tewas, dan aku bersama dengan Pendekar Super Sakti yang menyempurnakan jenazahnya menjadi abu dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu.”

“Ahhh....!” Kedua kaki Kok Cu menggigil dan dia lalu cepat menaruh buntalan itu di atas meja, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan buntalan abu itu. “Suhu, ampunkan teecu, karena terlalu memikirkan keluarga sendiri teecu sampai melupakan suhu dan tidak tahu bahwa suhu telah meninggal dunia, ampunkan teecu....“

Sebuah tangan yang halus menyentuhnya setelah beberapa lama dia berlutut tanpa bergerak dengan hati yang amat berduka. Dia menoleh dan ternyata isterinya juga sudah berlutut di sampingnya, dengan mata basah air mata.

“Sudahlah, suhu sudah meninggal dengan tenang, tidak baik kalau terlalu disedihkan, lebih baik kita cepat mengatur meja sembahyang untuk beliau,” kata Ceng Ceng. Sementara itu, Hwee Li juga sudah berlutut di belakang mereka.

Dengan bantuan beberapa orang anggauta keluarga, diaturlah sebuah meja sembahyang dan abu itu lalu disembahyangi sebagaimana mestinya. Hwee Li juga ikut sembahyang di depan meja abu itu, dan ketika dia berlutut dia berkata dengan suara sayu,

“Locianpwe, untuk yang terakhir kalinya aku menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu kepadaku.” Setelah dia bangkit, Kok Cu lalu mempersilakan dia duduk.

“Maaf, Taihiap, aku akan terus melanjutkan perjalanan dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi,” katanya sambil mengerling ke arah Ceng Ceng.