FB

FB


Ads

Sabtu, 20 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 152

Pada saat itu, begitu Suma Han menyebut nama Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, terdengar jerit seorang wanita dan nampak tubuh berkelebat cepat, lalu wanita itu berlutut dan menangisi mayat Dewa Bongkok. Wanita ini adalah Hwee Li. Tadinya, karena merasa sakit hati sekali mendengar ayah dari Kian Lee juga mencaci maki dia sebagai puteri Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin, Hwee Li melarikan diri sambil menangis.

Akan tetapi dia segera teringat kepada kakek berlengan satu itu. Tidak, dia tidak boleh meninggalkan kakek yang amat baik kepadanya itu. Dia akan kembali dan mengajak kakek itu pergi meninggalkan Pendekar Super Sakti yang menyakitkan hatinya. Ketika dia tiba di tempat itu, dia melihat pertempuran hebat antara Pendekar Super Sakti melawan Im-kan Ngo-ok, kemudian dia melihat betapa gurunya, atau kakek berlengan satu itu membantu Suma Han, kemudian terhuyung dan duduk bersila kembali.

Ketika dia mendengar kata-kata Pendekar Super Sakti bahwa kakek itu telah tewas dan bahwa kakek itu adalah Dewa Bongkok, Hwee Li terkejut bukan main, terkejut dan juga berduka karena kakek yang ternyata adalah masih terhitung kakek gurunya sendiri itu, atau mertua guru dari subonya, telah meninggal dunia. Maka dia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan tersedu-sedan.

Kini, Suma Han yang sudah terdesak lagi oleh lima orang lawannya, menjadi makin repot karena berturut-turut muncul pula lima orang cebol sute dari Su-ok bersama Mauw Siauw Mo-li Siluman Kucing. Mereka itu datang-datang terus mengeroyok! Tentu saja Suma Han makin terdesak hebat.

Kalau dia mau mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun untuk melarikan diri, agaknya pendekar sakti itu masih akan mampu menyelamatkan diri dan tidak ada di antara lawan-lawannya yang akan mampu mengejarnya. Akan tetapi, pantanglah bagi seorang pendekar besar seperti Pendekar Super Sakti untuk lari meninggalkan gelanggang pertempuran.

Dia mempertahankan diri sedapatnya, biarpun dia sudah menerima beberapa kali pukulan dengan tenaga sakti yang membuat tubuhnya terguncang dan tergetar. Namun dia masih mengamuk terus dan ketika melihat dara remaja itu menangisi jenazah Dewa Bongkok, pendekar sakti ini masih sempat berkata.

“Nona, lekas kau menyingkir dari sini selagi ada kesempatan! Lekas kau lari menyelamatkan diri, biar aku menahan mereka!”

Tadinya, hati Hwee Li penuh kemarahan terhadap Pendekar Super Sakti karena sikap dan ucapannya yang menyakitkan hati, biarpun dia tahu bahwa pendekar itu tidak mengenalnya sehingga kata-katanya di depan Dewa Bongkok itu tidak dimaksudkan untuk ditujukan kepadanya. Marah karena mengingat akan sikap Kian Lee dan kini sikap ayahnya yang sama pula.

Akan tetapi, begitu mendengar bujukan halus pendekar itu agar dia melarikan diri dan menyelamatkan diri, dia merasa kagum dan terharu juga. Dia dapat melihat dengan jelas betapa pendekar itu dikurung hebat dan didesak oleh para musuhnya, namun pendekar itu tidak memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan mengkhawatirkan keselamatannya dan membujuk agar dia yang menyelamatkan diri!

Betapa mengagumkan dan dia teringat akan sikap dan watak Kian Lee yang juga demikian gagah perkasa dan bijaksana. Hanya terhadap dia dan riwayat keturunannya mereka itu amat tidak bijaksana! Kini, dara itu bangkit berdiri, sama sekali bukan untuk melarikan diri. Tidak! Orang-orang ini menjadi penyebab kematian kakek gurunya, atau juga gurunya karena dia telah diwarisi bermacam ilmu silat yang hebat. Mana mungkin dia melarikan diri? Tidak, sebaliknya malah. Dia harus membasmi orang-orang ini untuk membalas kematian Dewa Bongkok!

Tiba-tiba terdengar pekik nyaring melengking tinggi dan tubuh Hwee Li sudah bergerak ke depan. Sekali kedua tangannya bergerak, dua orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan terbanting mati seketika! Dara itu dalam kemarahannya telah mempergunakan satu di antara delapan jurus Cui-beng Pat-ciang yang baru-baru ini diwarisinya dari Dewa Bongkok.

Biarpun latihannya belum matang benar, namun dengan sekali pukul saja dia dapat membuat dua orang sute Su-ok terlempar dan tewas, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu pukulan itu dan betapa kuatnya sinkang yang berada dalam diri Hwee Li setelah Dewa Bongkok “mengoperkan” tenaganya kepada dara jelita itu!

Tentu saja tiga orang cebol yang lain terkejut setengah mati, demikian pula Mauw Siauw Mo-li. Terutama sekali Mauw Siauw Mo-li. Dia mengenal Hwee Li dengan baik karena bukankah dara itu masih keponakan muridnya sendiri? Melihat dara itu membantu Pendekar Super Sakti, marahlah dia dan bersama tiga orang cebol yang lain dia sudah menerjang maju, bukan hanya dengan tangan kosong, melainkan menggunakan pedangnya yang bersinar hijau!

Akan tetapi, Hwee Li sudah marah sekali, sepasang matanya mencorong dan hal ini adalah berkat tenaga sinkang yang diterimanya dari Dewa Bongkok. Begitu melihat sinar pedang hijau menusuk, dia miringkan tubuhnya dan sekali tangan kirinya menekan ke bawah, terdengar bunyi ”krekkk” dan pedang di tangan Mauw Siauw Moli telah patah!

Sebelum wanita cabul itu hilang kagetnya, tangan kiri Hwee Li yang mematahkan pedang itu kini menyampok ke atas, dan kembali terdengar suara “krekkk” disusul robohnya tubuh Mauw Siauw Mo-li yang telah patah tulang lehernya dan tewas seketika!

Bukan main hebatnya gerakan-gerakan dari Hwee Li itu, karena dia tidak ingat lagi akan keganasan pukulan-pukulan itu saking marahnya. Dia terus menghadapi tiga orang cebol yang lain, kemudian dia menggerakkan jurus ke empat, tubuhnya merunduk ke bawah, kemudian kaki kiri ditarik ke belakang, tubuhnya seperti hampir bertiarap, akan tetapi kedua tangannya menyambar ke depan.

Terdengar teriakan-teriakan mengerikan dan tiga orang cebol itu terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali karena ada yang kepalanya retak, ada yang tulang-tulang dadanya remuk terkena sambaran hawa pukulan jurus mujijat itu!

Sungguh sukar untuk dipercaya! Dalam tiga jurus saja dara remaja itu telah mampu membunuh lima orang cebol yang amat lihai itu dan juga menewaskan Mauw Siauw Mo-li yang merupakan seorang tokoh besar dalam dunia sesat! Bukan hanya Im-kan Ngo-ok yang terkejut setengah mati, juga Suma Han sendiri memandang dengan penuh keheranan, kekaguman, akan tetapi juga agak ngeri melihat keganasan yang luar biasa itu.

Kini Hwee Li menerjang maju ke arah lima orang Im-kan Ngo-ok yang masih mengurung dan mendesak Suma Han yang sudah menderita luka-luka oleh pukulan-pukulan sakti. Melihat ini, Sam-ok alias bekas Koksu Nepal yang merasa sudah mengenal betul tingkat kepandaian nona muda itu, cepat meloncat maju.

“Eh, Nona, mengapa engkau membela musuh? Hayo kau menyerah sebelum terpaksa aku menangkapmu dan menyerahkanmu kepada Ngo-ok untuk dipermainkan habis-habisan!”

Ternyata Sam-ok memandang rendah kepada nona ini. Memang betul bahwa nona ini telah merobohkan enam orang itu, akan tetapi Sam-ok pun memandang rendah kepada enam orang itu. Sambil menyeringai dia mementang kedua lengannya dan melangkah maju, sikapnya menakutkan.






Kemarahan Hwee Li makin memuncak.
“Keparat, engkau ini manusia busuk, di mana-mana mendatangkan kejahatan. Engkau harus menebus kematian Locianpwe itu dengan nyawamu yang tak berharga!”

“Huh, bocah tak tahu diri!”

Sam-ok Ban Hwa Seng-jin marah sekali dan menubruk ke depan. Gerakannya cepat bukan main dan ada angin berputar yang mengurung diri Hwee Li sehingga dara itu sukar mencari jalan keluar dari serangan ini. Kedua tangannya yang besar itu mencengkeram dari kanan kiri.

Hwee Li memang tidak berniat untuk mengelak. Melihat kedua tangan itu menyambar, dia pun lalu menyambut dengan kedua lengannya pula, menangkis sambil mengerahkan tenaga dari pusarnya.

“Dukkk! Desss....!”

Hebat sekali benturan antara sepasang lengan yang besarnya melebihi betis Hwee Li sendiri dengan dua lengan kecil halus dari dara itu. Tubuh Ban Hwa Seng-jin terpental sampai empat meter dan dia terbanting jatuh, debu mengepul dan dia bangkit sambil menyeringai karena tulang lengan kirinya patah!

Melihat ini, Twa-ok terkejut dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, menubruk ke arah Hwee Li dengan mengerahkan tenaganya. Kembali Hwee Li menyambut tanpa mengelak, melainkan tiba-tiba dia berlutut dengan kaki kiri, tangan kiri menekan tanah dan tangan kanan dipukulkan atau didorongkan ke depan dengan tangan terbuka. Inilah pukulan dari jurus Cui-beng Pat-ciang, dengan mengandalkan tenaga yang meminjam tekanan pada bumi.

“Desssss....!”

Tubuh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu terputar-putar dan dia nyaris terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat dan membuat salto untuk mematahkan daya luncur tubuhnya. Dia tidak terluka, akan tetapi merasa dadanya sesak dan dia memandang dengan mata terbelalak ke arah Hwee Li! Kemudian, dia membalikkan tubuh dan berseru kepada empat orang saudaranya,

“Pergi.... angin keras!”

Itulah tanda bahwa fihak musuh terlalu kuat dan lima orang Im-kan Ngo-ok itu pun berlari-larian secepatnya dengan hati jerih.

Suma Han yang menderita luka berdiri sambil memandang dara itu penuh kagum.
“Ahh.... sungguh hebat, engkau agaknya telah menerima ilmu-ilmu dari Locianpwe ini, Nona....”

Hwee Li hanya mengangguk, sikapnya dingin. Akan tetapi pada saat itu, wajah Suma Han menjadi pucat dan orang tua ini mengatupkan bibir kuat-kuat menahan nyeri, kemudian tubuhnya bergoyang-goyang. Hwee Li memandang wajah itu dan teringatlah dia kepada Kian Lee. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah kekasihnya. Timbul rasa kasihan di dalam hatinya.

“Kau.... kau terluka, Locianpwe....?

Suma Han menarik napas panjang.
“Sedikit tidak mengapa. Untung ada engkau yang hebat, Nona. Siapa namamu?”

“Nama saya Kim Hwee Li, Locianpwe”

Hwee Li menanti dengan jantung berdebar, akan tetapi nama itu tidak mendatangkan pengaruh apa-apa terhadap pendekar itu sehingga legalah hatinya. Pendekar ini belum pernah mendengar namanya dan tidak tahu bahwa dialah dara yang tadi dicelanya sebagai puteri penjahat Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin!

“Sebut saja aku paman, Hwee Li. Dengan kepandaian yang kau miliki, lewat beberapa tahun lagi saja belum tentu aku akan dapat menandingimu, maka jangan menyebutku locianpwe. Kalau tidak ada engkau yang agaknya telah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari Dewa Bongkok, kiranya sekarang aku sudah mati pula seperti dia. Ahhh, kasihan, seorang tokoh besar harus tewas dalam kesunyian. Kita harus menyempurnakan semua jenazah itu dan memperabukan mereka.”

“Semua?” Hwee Li bertanya, heran. “Juga jenazah delapan orang itu?”

Suma Han mengangguk, berbalik dia bertanya,
“Ya, mengapa tidak?”

“Tentu saja aku hanya ingin menyempumakan jenazah Locianpwe itu saja, Lo.... eh, Paman. Delapan jenazah yang lain itu adalah jenazah penjahat-penjahat.”

“Ah, Hwee Li, jangan kau berpendapat demikian. Betapapun jahatnya mereka, kini mereka telah mati, telah menjadi jenazah. Tidak ada jenazah yang jahat, bukan?”

Hwee Li mernandang tajam dan Suma Han diam-diam harus mengagumi sepasang mata yang demikian tajamnya itu. Memang setelah dia mewarisi sinkang dari Dewa Bongkok, sepasang mata dara itu mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!

“Jadi kalau begitu kita tidak boleh membenci semua orang yang telah mati, Paman?”

“Ya, begitulah. Yang jahat itu perbuatannya, bukan orangnya.”

“Biarpun pada waktu hidupnya mereka itu amat jahat sekali?”

“Ya, kita tidak boleh membencinya, bahkan harus mengasihani mereka. Hayo kau bantu aku mempersiapkan pembakaran besar untuk mereka.”

Mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu besar yang kering dan ranting-ranting berikut daun-daun kering, menumpuknya sampai banyak sekali. Kemudian, dibantu oleh dara itu, Suma Han menumpuk jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang kakek cebol ke atas tumpukan kayu, sedangkan jenazah Dewa Bongkok diletakkan di atas tumpukan kayu tersendiri oleh Hwee Li yang berkeras untuk memisahkan jenazah kakek bongkok itu.

“Aku hendak menyimpan abu jenazah beliau, Paman,” katanya sebagai alasan ketika dia hendak memisahkan pembakaran jenazah itu.

“Eh, untuk apa?”

“Untuk kuserahkan kepada yang berhak menerima. Menurut.... cerita beliau sebelum meninggal dunia, beliau mempunyai seorang murid yang bernama Kao Kok Cu. Nah, aku ingin mencarinya untuk menyerahkan abu jenazah beliau kepadanya.”

Suma Han mengangguk.
“Memang benar. Muridnya adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu. Engkau sungguh berbakti sekali kepada Dewa Bongkok, Hwee Li.”

Mereka lalu membakar tumpukan kayu di mana jenazah-jenazah itu diletakkan. Sambil menanti jenazah-jenazah itu terbakar menjadi abu, Suma Han mengajak Hwee Li bercakap-cakap. Dia amat tertarik kepada gadis ini, seorang gadis yang selain cantik jelita penuh kelembutan juga mengandung kekuatan hebat, kelincahan, kejujuran dan keberanian dengan hati yang keras, mengingatkan dia kepada Lulu isterinya yang ke dua ketika masih muda.

“Engkau berbakti sekali kepada orang tua itu. Apakah engkau muridnya? Melihat bahwa engkau telah mewarisi ilmu-ilmunya, tentu engkau diambil murid olehnya.”

“Tidak, Lo.... eh, Paman. Kami kebetulan saja bertemu ketika dia dalam keadaan terluka dan akan dibunuh oleh Mauw.... eh, wanita yang telah tewas itu.” Dia menuding ke arah tumpukan jenazah yang terbakar. “Melihat seorang kakek terluka tak berdaya hendak dibunuh, aku lalu melindunginya. Aku tentu kalah oleh wanita itu kalau tidak diberi petunjuk oleh Dewa Bongkok. Kemudian kami melakukan perjalanan bersama dan beliau menurunkan ilmu-ilmunya kepadaku.”

“Berapa lama engkau dilatihnya?”

“Kurang lebih tiga bulan.”

“Ahhh! Tiga bulan dan engkau sudah sehebat itu? Tentu sebelumnya engkau telah memiliki kepandaian lumayan. Dan engkau mengenal wanita yang kau bunuh itu agaknya?”

Hwee Li mengangguk.
“Aku pernah melihatnya, dia berjuluk Mauw Siauw Mo-li, seorang penjahat wanita yang amat kejam.”

“Bukan main...., Hwee Li, melihat usiamu tentu tidak lebih dari sembilan belas tahun....“

“Baru delapan belas, Paman.”

“Nah, masih amat muda remaja, akan tetapi agaknya pengalamanmu di dunia kang-ouw sudah amat luas dan engkau memiliki kepandaian begini tinggi! Eh, di manakah tempat tinggalmu dan siapakah orang tuamu?”

Ditanya demikian, tiba-tiba saja, Hwee Li menutupi mukanya dan menangis. Teringat dia betapa dia hidup sebatangkara, betapa dia tidak mempunyai keluarga sama sekali, bahkan Mauw Siauw Mo-li yang dulu dianggap sebagai bibi gurunya baru saja mati olehnya. Dan kekasihnya meninggalkannya, juga subonya agaknya membencinya karena dia keturunan pemberontak.

Dan orang yang amat baik kepadanya, kakek berlengan buntung yang ternyata kakek gurunya juga, itu baru saja meninggal dan kini, jenazahnya masih dimakan api. Siapa tidak akan menjadi sedih mendengar pertanyaan itu? Apalagi yang mengajukan pertanyaan adalah orang yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya akan tetapi yang tadi mengeluarkan caci maki kepadanya! Makin diingat, makin sedih hatinya, dan dia menangis sampai mengguguk.

Suma Han memandang dengan wajah berseri. Benar-benar serupa dengan Lulu gadis ini, bukan wajahnya yang mirip, melainkan wataknya, begitu mudah menangis! Dia merasa kasihan sekali karena dia dapat menduga bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat atas diri gadis ini, hal-hal yang membuat hatinya merasa sengsara dan berduka.

Akan tetapi dia tahu bahwa kalau seorang wanita menangis karena duka, biarkanlah dia menangis, jangan ganggu, jangan hibur karena selama air matanya belum habis ditumpahkan, hiburan-hiburan bahkan akan makin memperpanjang kesedihannya.

Setelah tangisnya reda, dan menyusuti air mata, bahkan mengeringkan hidung yang menjadi berair karena tangis, begitu saja dengan saputangan di depan Suma Han tanpa malu-malu sebagai seorang gadis yang terbuka dan polos sehingga malah jauh daripada menimbulkan jijik, Hwee Li lalu berkata, suaranya masih terisak,

“Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai sanak keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal lagi, Paman. Dan harap jangan tanya siapa orang tuaku, karena hal itu hanya membikin hatiku makin sengsara saja.”

Suma Han mengangguk-angguk.
“Hemm, agaknya hatimu menderita penasaran besar, Hwee Li. Katakanlah siapa yang membuatmu penasaran, dan aku berjanji akan membantumu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi penerangan dalam kegelapan hatimu.”

“Ah, benarkah, Paman?”

Tiba-tiba dara itu mengangkat mukanya memandang dan ada senyum di bibirnya, dan mata berseri, biarpun masih ada dua titik air mata yang baru saja turun ke atas pipinya!

Sungguh tiada bedanya dengan Lulu! Suma Han membayangkan Lulu ketika masih muda, persis seperti dara ini, mudah menangis dan mudah tertawa!

“Mengapa Paman hendak membantuku sekuat tenaga? Apakah untuk membalas bantuanku kepada Paman tadi ketika Paman dikeroyok orang jahat?”

“Tidak, Hwee Li. Andaikata engkau tidak pernah membantuku sekalipun, aku akan tetap membantumu dengan sungguh hati.”

“Mengapa, Paman? Mengapa Paman demikian baik kepadaku?” Sepasang mata itu seperti hendak menembus ke dalam dada dan suaranya penuh desakan.

“Karena aku suka kepadamu, Hwee Li. Engkau mengingatkan aku akan isteriku Lulu di waktu dia masih semuda engkau.”

“Ahhh....!”

Tiba-tiba kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan agaknya dia menjadi gugup, dan untuk menutupi kegugupannya itu dia berlari mendekati tempat pembakaran jenazah Dewa Bongkok dan menambah kayu kering pada api yang masih berkobar itu.

Setelah mereka duduk kembali di tempat yang sejuk, cukup jauh dari tempat pembakaran itu agar jangan terlalu terserang oleh bau yang keras dari jenazah yang terbakar itu, Hwee Li berkata,

“Tidak ada sesuatu yang perlu atas bantuanmu, Paman. Aku hanya bingung kemana aku harus mencari murid Dewa Bongkok untuk menyerahkan abu jenazahnya.”

“Aku akan menemanimu dan membantu mencari, Kao Kok Cu, Hwee Li. Setelah apa yang terjadi tadi, dan selama Ngo-ok masih berkeliaran, tentu akan berbahaya sekali kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri saja. Memang kepandaianmu hebat, akan tetapi mereka berlima itu merupakan lawan yang amat tangguh. Dengan kepandaian kita berdua, kukira kita akan dapat menanggulangi mereka. Juga aku perlu pergi ke selatan lagi untuk mencari dua orang puteraku.”

“Jadi Paman tidak kembali ke Pulau Es?”

Suma Han menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Pulang tanpa disertai putera-puteraku, aku tentu akan menghadapi dua orang wanita yang marah persis engkau.”

Jantung di dalam dada Hwee Li berdebar tegang. Hampir dia bertanya siapakah Lulu itu? Ibu kandung Kian Bu atau Kian Lee? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani bertanya, karena dengan demikian berarti dia akan membuka rahasia dirinya.

Mereka harus menanti sampai sehari penuh dan menjelang malam, barulah pembakaran jenazah itu selesai. Abu jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol dikubur di bawah sebatang pohon oleh Suma Han, sedangkan abu jenazah Dewa Bongkok dibungkus kain oleh Hwee Li, kemudian digendongnya di punggung.

Malam itu juga Suma Han dan Hwee Li melakukan perjalanan menuju ke selatan, melintasi gurun pasir dalam cuaca terang bulan yang amat indah. Mereka berhenti di dalam hutan di seberang gurun pasir itu, membuat api unggun dan beristirahat. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li telah menghidangkan panggang ayam hutan untuk Suma Han.

Suma Han tersenyum dan mengelus jenggotnya, memandang kepada dara itu dengan sinar mata penuh kasih sayang.

“Terima kasih, anak yang baik, kau makanlah daging ayam itu.”

“Eh, kenapa, Paman? Aku sengaja menangkap dan memanggangnya untuk Paman. Sejak kemarin Paman tidak pernah makan, tentu lapar. Nah, silahkan, lumayan untuk sarapan pagi, Paman.”

“Terima kasih, engkau memang baik sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak pernah makan daging lagi selama beberapa tahun ini, Hwee Li. Kau makanlah sendiri, aku tidak biasa makan daging....“

“Ahhh....! Kalau begitu, biar kucarikan sayur-sayur untuk Paman”

Dan sebelum pendekar itu sempat mencegah, dara itu telah meloncat dan lari pergi memasuki hutan. Sampai lama dia pergi dan akhirnya dia datang kembali membawa banyak sekali buah-buahan dan sayur-sayuran yang dapat dimasak.

“Nah, ini buah-buah segar, Paman. Sayang tidak ada tempat untuk memasak sayur-sayuran ini....!”

“Tidak apa, buah-buahan ini cukuplah.”

Mereka lalu makan. Suma Han makan buah-buahan segar dan Hwee Li makan panggang daging ayam. Mereka makan sambil bercakap-cakap.

“Paman, mengapa Paman tidak makan daging? Apakah karena agama yang Paman anut melarang Paman makan daging?”

“Tidak, Hwee Li.”

“Lalu mengapa? Apakah Paman menjalani kehidupan suci, sehingga tidak mau makan barang berjiwa?”

Suma Han tersenyum lebar.
“Apakah kalau tidak makan barang berjiwa itu lalu menjadi suci? Tidak, Hwee Li, bukan untuk menjalani kehidupan suci.”

“Lalu untuk apa, Paman?”

Gadis ini benar-benar keras hati dan belum puas kalau belum dijawab pertanyaannya. Persis Lulu!

“Bukan untuk apa-apa, anak baik. Hanya aku melihat bahwa makan sayur dan buah saja lebih baik untuk diriku lahir batin, karena itulah aku tidak makan daging! Dan sekarang aku telah terlanjur tidak suka, jadi, aku tidak memaksa diri yang tidak suka. Nah, puas sudah?”

Hwee Li terbelalak, akan tetapi lalu mengerti maksud pendekar kaki buntung itu dan baru dia merasa bahwa dia terlalu mendesak.

“Ah, maaf, Paman. Aku sudah puas. Paman jujur, tidak seperti orang-orang yang ingin disebut suci dan pura-pura tidak mau makan daging, padahal kalau melihat orang makan daging dia mengilar!”

Suma Han tertawa mendengar ucapan ini. Makin lama mereka melakukan perjalanan bersama, makin suka dia kepada Hwee Li dan di dalam hatinya dia merasa menyesal mengapa putera-puteranya tidak mencari jodoh seperti dara ini! Mengapa mereka, menurut berita dari mulut Im-kan Ngo-ok, malah tergila-gila kepada anak seorang pemberontak? Gila benar!

Diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengambil dara ini sebagai mantu, entah dijodohkan dengan Kian Bu atau dengan Kian Lee! Akan tetapi sebaiknya dengan Kian Lee, karena Kian Lee orangnya pendiam dan tenang, cocok kalau mendapatkan seorang isteri seperti ini lincahnya! Seperti dia dengan Lulu! Kian Bu wataknya keras, kalau bertemu gadis ini, sama kerasnya, kelak bisa menimbulkan keributan. Ah, bagaimanapun juga, dia harus mengambil dara ini sebagai mantunya!

Beberapa pekan kemudian, mereka melewati Tembok Besar. Bukan hanya Suma Han yang amat tertarik dan suka kepada dara itu, sebaliknya Hwee Li juga amat kagum kepada pendekar ini. Demikian tenang, demikian bijaksana, demikian kuat, dan demikian gagah perkasa, penuh pengertian! Akan tetapi, hatinya masih terasa sakit kalau dia teringat akan pandangan Kian Lee dan juga pendekar sakti ini terhadap dirinya dengan mengingat keturunan orang tuanya.

Hwee Li dapat menduga bahwa gurunya dan suaminya tentu masih berada di selatan. Setelah suami gurunya, Kao Kok Cu, murid dari Dewa Bongkok itu berhasil menyelamatkan keluarga Jenderal Kao Liang yang tertawan dalam benteng, tentu dia akan mengatur keluarga yang telah ditinggal mati ayahnya itu.

Dan karena kabarnya keluarga itu telah diusir dari kota raja secara halus, maka tidak mungkin kalau keluarga itu kembali ke kota raja, tentu ke kampung halaman dari mana keluarga Kao berasal. Dan dia akan mencari ke sana! Akan tetapi semua ini tidak dia beritahukan kepada Pendekar Super Sakti yang diam-diam juga ingin lebih dulu mencari puteranya untuk.... diperkenalkan dengan dara pilihannya ini!

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di persimpangan jalan. Menurut pengetahuan Hwee Li yang pernah mendengar penuturan subonya tentang kampung halaman keluarga Jenderal Kao, mestinya mereka mengambil jalan yang kanan, yang menuju ke Kang-lam di mana keluarga Kao berasal. Akan tetapi Suma Han ingin mengambil jalan yang kiri. Karena Hwee Li ingin cepat-cepat menyerahkan abu jenazah itu kepada suami gurunya, maka dia membantah dan bertanya,

“Mengapa Paman hendak mengambil jalan itu? Apakah Paman sudah mempunyai petunjuk bahwa ke sanalah kita harus mencari murid Dewa Bongkok?”