FB

FB


Ads

Sabtu, 20 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 151

Sambil duduk bersila di pinggir, Dewa Bongkok menonton pertandingan itu dengan hati tertarik sekali. Jarang ada kesempatan menyaksikan pertandingan seperti ini, dan dia amat kagum melihat Soan-hong-lui-kun yang hanya didengarnya saja akan tetapi baru sekarang ini dapat dinikmatinya. Dari gerakan-gerakan itu, maklumlah dia bahwa Suma Han telah menemukan suatu ilmu yang hanya mungkin dapat dimainkan secara sempurna oleh orang yang berkaki tunggal.

Orang yang berkaki dua jangan harap akan dapat menguasai ilmu itu sebaik seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es itu. Diam-diam dia tersenyum, mengingat bahwa keadaannya hampir sama dengan Suma Han. Dia pun telah menemukan suatu ilmu yang khas untuk seorang yang hanya berlengan satu seperti dia atau seperti Kao Kok Cu, muridnya, yaitu Ilmu Sin-liong-liok-te dan Sin-hong-ciang-hoat. Orang yang berlengan dua jangan harap akan dapat mainkan ilmu ini sebaik orang yang berlengan satu!

Dia menonton dengan kagum dan beberapa kali dia memuji kalau melihat gerakan yang amat indah dari Suma Han ketika pendekar ini menghindarkan diri secara cepat dan tepat sekali menggunakan kelincahan tubuhnya yang dapat melesat ke sana-sini seperti ada pernya itu.

Akan tetapi, setelah menyaksikan mereka itu bertempur sampai seratus jurus, Dewa Bongkok dapat melihat perbedaan antara Ilmu Soan-hong-lui-kun dengan ilmunya, yaitu Sin-liong-ciang-hoat. Ilmu milik Pendekar Super Sakti itu lebih condong sebagai ilmu membela diri atau menghindarkan diri dari serangan lawan, kurang sekali daya serangnya, dan pendekar itu membalas serangan dengan pukulan lain-lain yang tidak sehebat Ilmu Sin-liong-ciang-hoat. Sebaliknya, ilmunya itu lebih banyak menyerang dan lebih kuat daya serangnya daripada daya tahannya.

Dengan Soan-hong-lui-kun, biarpun Suma Han tidak sampai terancam bahaya, namun sukar pula bagi pendekar itu untuk dapat mengalahkan empat orang lawan yang kini dapat bekerja sama dengan amat baiknya itu.

Diam-diam Dewa Bongkok lalu mulai berkemak-kemik, menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit untuk memberi petunjuk kepada Suma Han seperti yang dilakukannya ketika dia membantu Hwee Li. Dia memberi petunjuk mempergunakan gerakan-gerakan dari Sin-liong-ciang-hoat untuk lebih memperkuat daya serangan dari pendekar itu.

Diam-diam Suma Han mendengar bisikan-bisikan ini yang memang hanya ditujukan kepadanya. Dia maklum bahwa kakek itu memiliki ilmu yang tinggi, dan dia tidak malu-malu untuk menerima petunjuk ini,

Dan tiba-tiba dia berhenti meloncat, melainkan menggeser ke dalam, memutar tubuh ke kanan kemudian ke kiri tiga kali dan tahu-tahu dia telah berhadapan langsung dengan Su-ok dan cepat dia memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.

“Wusssss....!”

Hawa dingin yang tak tertahankan membuat Su-ok terdorong ke belakang dengan muka pucat. Biarpun tiga orang temannya sudah menolongnya dan menyerang dari kanan kiri sehingga pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) itu tidak dapat dilanjutkan karena pendekar itu harus menghindarkan tiga orang penyerangnya, namun hawa pukulan dingin masih menyerangnya dan membuat Su-ok menggigil!

Kembali Suma Han bergerak aneh, kini meloncat ke kiri, kemudian membalik dan tahu-tahu dia telah menyerang dari samping kanan ke arah Twa-ok, dan sekali ini dia menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang amat panas. Kakek itu terkejut dan mengerahkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga sinkang sepenuhnya. Tidak urung dia merasa kedua telapak tangannya seperti dibakar dan untung baginya, pada saat yang amat berbahaya itu tiga orang temannya sudah menerjang lagi sehingga terpaksa Suma Han kembali menghindar dan tidak mendesaknya.

Demikianlah, dengan petunjuk-petunjuk dari Dewa Bongkok, Suma Han berhasil menyerang dan beberapa kali mendesak empat orang lawannya, sungguhpun selalu dapat digagalkan oleh kerja sama empat orang itu yang saling membantu.

“Mana Sam-te, mengapa terlambat benar?” Tiba-tiba terdengar Ji-ok berseru nyaring.

“Aku datang.... aku datang....!”

Dan bersama dengan suara itu muncullah Sam-ok Ban Hwa Seng-jin, koksu atau lebih tepat lagi bekas koksu dari Nepal itu. Setelah kegagalan-kegagalannya, apalagi setelah tewasnya Pangeran Liong Bian Cu, nama koksu ini tidak terkenal lagi di Nepal, bahkan dia dicurigai dan tidak disuka di kalangan istana Nepal.

Dalam keadaan seperti itu, ketika datang Su-ok menyusulnya dan minta kepadanya untuk membantu teman-temannya menghadapi Pendekar Super Sakti, Sam-ok ini lalu meninggalkan Nepal tanpa pamit 1agi, melepaskan jabatan koksu yang dirasakan makin panas dan tidak enak itu.

Kedatangannya agak terlambat, akan tetapi belum terlambat benar karena teman-temannya belum ada yang roboh, bahkan kedatangannya tepat sekali di waktu empat orang teman atau saudara segolongannya itu terancam dan mulai terdesak oleh Suma Han yang dibantu oleh Dewa Bongkok yang memberi petunjuk.

Begitu datang dan melihat Dewa Bongkok di situ, Sam-ok terkejut setengah mati, akan tetapi dia pun lega ketika mendapat kenyataan bahwa kakek sakti ini sudah menderita luka hebat dan tidak mungkin ikut bertanding.

Sejenak Sam-ok melihat kedudukan teman-temannya. Dia girang bahwa ternyata empat orang teman itu dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti beruang marah dan tubuhnya lalu berputar-putar seperti gasing! Itulah Ilmu Thian-te-hong-i yang hebat, yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti gasing, dan dari putaran tubuhnya itu kadang-kadang mencuat pukulan seperti kilat cepatnya yang amat kuat menghantam ke arah Pendekar Super Sakti!

Melawan empat orang itu saja keadaannya sudah seimbang, apalagi kini dibantu oleh orang seperti Ban Hwa Seng-jin. Kepandaian Sam-ok ini tidak banyak selisihnya dibandingkan dengan kepandaian Twa-ok atau Ji-ok dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri.

Memang sebenarnya lima orang itu sama sekali tidak mempunyai pertalian persaudaraan, baik kekeluargaan maupun perguruan, maka ilmu mereka masing-masing jauh berbeda dan memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau mereka bergabung, adalah karena watak dan kesukaan mereka sama, dan tingkat mereka itu ditentukan oleh pertandingan yang mereka adakan untuk mengukur tingkat masing-masing. Namun selisihnya tidaklah amat banyak.

Kini Suma Han mulai terdesak lagi, bukan terdesak dalam arti kata terancam. Sama sekali tidak. Dengan Soan-hong-lui-kun, jangankan hanya lima orang itu, biar ditambah lima orang lagi seperti mereka, kiranya tidak akan mudah untuk merobohkan Suma Han yang mempergunakan Soan-hong-lui-kun, yang membuat tubuhnya seperti bersayap dan sukar sekali dipukul itu.






Akan tetapi, terdesak di sini berarti bahwa dia tidak sempat lagi untuk membalas serangan lawan, dan harus selalu menghindarkan diri dari semua serangan. Tentu saja pertandingan seperti ini berat sebelah dan Suma Han terus didesak dan dikejar-kejar oleh lima orang Im-kan Ngo-ok yang lihai-lihai itu.

Dewa Bongkok tidak sempat lagi memberi petunjuk saking cepatnya serangan lima orang yang bertubi-tubi datangnya dan dilakukan dengan gaya ilmu silat yang jauh berlainan itu. Kalau saja dia tidak terluka, tentu dia dapat membantu dan bersama dengan Suma Han, dalam waktu singkat tentu dia akan mampu merobohkan lima orang itu. Suma Han di bagian bertahan dan dia di bagian menyerang! Akan tetapi, apa mau dikata, dia tidak mungkin dapat bergerak mengerahkan sinkang karena hal itu akan berarti kematiannya.

Suma Han juga harus mengakui bahwa lima orang Im-kan Ngo-ok ini benar-benar terlalu berat baginya. Ilmu-ilmu mereka selain tinggi, juga aneh-aneh dan kelimanya mempergunakan ilmu yang berbeda-beda sehingga sukar juga baginya untuk mengenal dasar atau sifat ilmu mereka, dan hal ini membuat dia tidak mungkin melakukan serangan balasan.

Serangan mereka bertubi-tubi dan berganti-ganti sehingga dia tidak sempat membalas, dan terpaksa dia harus mengerahkan tenaga menggunakan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Akan tetapi, tidak mungkin berkelahi hanya dengan mengelak dan menangkis terus-menerus tanpa membalas satu kali pun!

Tiba-tiba Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, diikuti suaranya yang terdengar seolah-olah dari atas langit kemudian berpencar dan bergema di semua penjuru,

“Haiii! Aku di sini!” disusul gemanya, “Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini!”

Lima orang Im-kan Ngo-ok mengeluarkan seruan kaget dan mereka bergerak dengan kacau-balau karena mereka melihat betapa Pendekar Siluman itu telah berubah menjadi lima orang! Lima Pendekar Siluman, semua memegang tongkat, dan masing-masing kini menghadapi seorang Pendekar Siluman!

Seketika keadaan menjadi berbalik sama sekali! Kini mereka berlima tidak lagi dapat bekerja sama karena masing-masing menghadapi seorang lawan yang sama kuatnya! Dan kini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu mulai menyerang! Repotlah lima orang itu dan segera mereka terdesak mundur!

Dewa Bongkok memandang dan mengangguk-angguk kagum. Dia sendiri tidak sampai terpengaruh oleh kekuatan sihir itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Pendekar Super Sakti yang dia dengar juga dinamakan Pendekar Siluman karena pandai bermain sihir itu kini telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga lima orang lawan itu menjadi kacau-balau gerakan mereka, nampak ketakutan dan kini Pendekar Super Sakti yang berbalik menyerang mereka satu demi satu, dan lima orang itu kehilangan kerja sama mereka! Kini Dewa Bongkok tidak merasa ragu lagi bahwa tentu Majikan Pulau Es itu akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran satu lawan lima itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa mengikik, suara ketawa terkekeh-kekeh yang hanya dapat dilakukan oleh seorang nenek tua yang sudah ompong! Dan muncullah seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek itu sedemikian tuanya sehingga tubuhnya seperti telah mengerut menjadi kecil! Nenek itu adalah nenek bangsa India, kulitnya pun hitam seperti pakaiannya dan mulutnya berkeriput terkekeh-kekeh seperti orang gila.

“Heh-heh-heh, permainan kanak-kanak! Hanya satu orang mana bisa berubah lima?” Nenek itu berkata sambil mengacungkan tongkat hitamnya ke atas.

Terjadi perubahan pada pertempuran antara Suma Han melawan lima orang Im-kan Ngo-ok itu! Kini lima orang itu berseru aneh karena lenyaplah empat orang Suma Han yang lain, dan yang ada hanya seorang saja. Tentu saja mereka menjadi girang dan cepat menubruk dan kembali mengirim serangan bertubi-tubi! Keadaan menjadi berbalik kembali.

Suma Han terkejut sekali. Tahulah dia bahwa nenek itu amat kuat dalam ilmu sihir dan kalau dia belum dapat menundukkan nenek itu, tentu akan sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Tak disangkanya bahwa Im-kan Ngo-ok telah bersiap-siap, dibantu oleh seorang nenek ahli sihir. Padahal Durganini, yaitu nenek India yang pandai ilmu sihir itu, sama sekali tidak datang karena diundang oleh Im-kan Ngo-ok, melainkan karena kebetulan belaka.

Durganini kebetulan lewat di tempat itu dan nenek ini yang sudah tua dan pikun, begitu melihat orang main sihir terus saja terjun dan menentang karena gembiranya! Dia menemukan permainan yang amat disukanya, maka tanpa peduli siapa orangnya dan apa urusannya, tanpa diminta dia terus saja menentang dan melawan Suma Han dengan ilmu sihirnya, membuyarkan kekuatan sihir Suma Han yang membuat lawannya melihat dia berubah menjadi lima orang itu!

“Heh-he-he-he-he, orang kaki buntung, hayo kau main-main dengan aku sebentar!” kata nenek itu terkekeh-kekeh dan dia melemparkan tongkatnya ke atas. “Hadapilah naga api hitamku ini!”

Im-kan Ngo-ok terkejut setengah mati ketika mereka menoleh dan melihat tongkat hitam itu sudah berubah menjadi seekor naga hitam yang menyemburkan api dari mulutnya! Karena naga hitam itu menubruk dari atas ke arah Suma Han, tentu saja mereka berlima takut kalau-kalau naga itu salah tubruk, maka otomatis mereka berloncatan ke belakang sambil menonton dengan mata terbelalak.

Sebagai orang-orang sakti mereka dapat menduga bahwa nenek itu bermain sihir, bahwa naga itu hanyalah hasil kekuatan sihir, akan tetapi mereka tidak mampu membebaskan diri dari pengaruh sihir itu dan mata mereka melihat betapa naga itu seperti benar-benar naga hidup yang amat menyeramkan!

“Hemmm.... lihatlah naga putih ini!”

Suma Han membentak dengan suara yang mengandung tenaga hebat sekali sambil melontarkan tongkatnya dan.... Im-kan Ngo-ok melihat tongkat Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu pun berubah menjadi seekor naga putih yang terbang melayang dan menyambut terkaman naga hitam.

Terjadilah pertempuran yang amat aneh dan hebat antara naga putih dan naga hitam itu, ditonton dengan mata terbelalak oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Mereka tidak mengenal nenek ini, akan tetapi kedatangan nenek itu sungguh menguntungkan mereka karena mereka tadi sudah merasa bingung dan terdesak oleh lima orang Pendekar Siluman.

Hanya Dewa Bongkok yang duduk bersila dan memandang kagum. Dia tidak terpengaruh oleh sihir kedua orang itu karena kakek ini memiliki kekuatan batin yang amat tinggi, akan tetapi dia dapat merasakan getaran-getaran aneh yang keluar dari dua orang yang berdiri berhadapan dalam jarak kurang lebih lima meter itu. Suma Han berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan nenek hitam itu pun berdiri membungkuk sambil mengeluarkan suara terkekeh kecil seperti ringkik kuda.

Suma Han merasa terkejut sekali ketika mendapatkan kenyataan betapa kuatnya nenek itu dalam ilmu sihir. Beberapa kali dia hampir kalah, kekuatan ciptaannya menjadi lemah dan dalam pandangan lima orang Ngo-ok, naga putih itu terdesak dan terus mundur. Suma Han harus mengerahkan seluruh tenaganya dan barulah dia sedikit demi sedikit mendesak mundur kekuatan nenek itu.

Sebetulnya, kekuatan sihir yang dimiliki oleh Suma Han adalah kekuatan yang timbul secara wajar dan kebetulan saja, melaiui proses kebetulan yang menimpa jasmaninya di waktu dia masih kecil (baca cerita Pendekar Super Sakti), sedangkan Durganini semenjak muda sampai tua mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu hitam dari India, maka tentu saja nenek ini jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan Suma Han.

Akan tetapi, nenek ini sudah tua sekali dan sudah pikun, lahir batinnya sudah tua dan lemah maka tentu saja kekuatan sihirnya juga banyak menurun dan karena ini Suma Han dapat mengimbanginya, bahkan kalau Suma Han hanya harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, nenek itu hanya seenaknya saja, karena biarpun seenaknya dia melawan, hal ini sudah terlalu melelahkannya.

“Kau.... kau bandel, ya....?” Nenek itu berkata dan kedua naga itu lenyap, berubah menjadi dua tongkat yang kembali ke tangan masing-masing. “Lihat ini, aku akan membikin kau beku dengan angin dingin!”

Nenek itu mendorongkan kedua tangan ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan panjang melengking seperti orang merintih dan pada saat itu, Im-kan Ngo-ok merasa ngeri karena bertiup angin yang amat dinginnya, akan tetapi yang paling terasa adalah Suma Han karena inti dari angin dingin ciptaan ilmu sihir itu langsung menyerangnya.

“Api panas tidak takut menghadapi dingin, nenek tua!”

Suma Han berkata dan dia bersedakap. Im-kan Ngo-ok terbelalak kagum dan serem melihat betapa kini tubuh Pendekar Siluman itu seperti terbakar, bernyala dan bercahaya, mengandung api panas dan angin dingin itu tidak mempengaruhinya! Padahal Im-kan Ngo-ok harus mengerahkan sinkang mereka untuk menahan hawa dingin yang menyusup tulang-tulang mereka itu.

Nenek itu kembali mengeluarkan teriakan panjang dan kini tidak kelihatan apa-apa di antara mereka, akan tetapi baik nenek itu maupun Suma Han berdiri dengan kedua lengan diluruskan ke depan seperti sedang mendorong dan mereka itu seperti patung-patung saja, hanya kedua tangan mereka saja yang nampak agak tergetar.

Sampai beberapa puluh menit lamanya kedua orang itu berada dalam keadaan seperti itu, dan diam-diam Suma Han mengeluh karena nenek itu ternyata keras kepala bukan main dan agaknya hendak mengadu nyawa! Dia sudah merasa lelah sekali, dan dia maklum bahwa setelah melakukan pertandingan mengadu kekuatan sihir seperti ini, dia bisa kehabisan tenaga dan semangat, padahal dia masih menghadapi lima orang lawan tangguh itu!

“Apa-apaan sih mereka itu?” Ji-ok Kui-bin Nio-nio berseru tak sabar. “Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja!” Dan dia pun lalu melompat ke depan, siap untuk menyerang Suma Han dengan pukulan Kiam-ci.

“Ji-moi, jangan....!”

Twa-ok Su Lo Ti meloncat, namun tidak keburu karena Ji-ok sudah lebih dulu bergerak, maka dia lalu mendorongkan kedua tangannya untuk mendorong wanita itu ke samping. Masih untung dorongan Twa-ok ini amat kuat karena pada saat itu, terdengar Ji-ok menjerit dan berbareng dengan dorongan Twa-ok, dia terpelanting keras dan bergulingan lalu bangkit berdiri dengan muka pucat, tangan kirinya hitam seperti terkena api!

Cepat Twa-ok menghampirinya dan setelah memeriksanya lalu memberi obat. Kiranya ketika Ji-ok menyerang tadi, baru saja tangannya mendekati antara dua orang yang berdiri dengan kedua lengan diluruskan itu, dia merasakan adanya getaran hawa yang luar biasa panasnya akan tetapi yang seperti ada besi semberaninya membetotnya masuk.

Kalau tidak didorong oleh hawa pukulan Twa-ok dan dia sampai terbetot masuk di antara dua orang yang mengadu tenaga sihir itu, tentu tidak hanya lengannya yang sedikit hangus, melainkan tubuhnya bisa terbakar habis! Dia bergidik ngeri. Wanita bermuka tengkorak yang biasanya ditakuti orang seperti iblis itu kini bergidik penuh rasa ngeri.

Sementara itu, adu tenaga sihir antara Suma Han dan Durganini masih berlangsung terus. Wajah nenek yang berkulit hitam itu kini nampak pucat, sedangkan wajah Pendekar Super Sakti penuh keringat dan dari kepalanya mengepul uap putih, seperti juga kepala Durganini.

Celaka, pikir pendekar itu, nenek ini benar-benar kuat bukan main dan hatinya keras seperti baja, tidak mau mengalah sedikit pun juga. Apakah nenek ini hendak mengadu nyawa? Sungguh terlalu, karena dia merasa belum pernah bentrok dengan nenek ini. Suma Han makin merasa kelelahan karena getaran yang terasa olehnya amat hebat dan kuat sehingga dia harus membantu kekuatan sihirnya dengan sinkangnya yang tentu saja jauh lebih kuat dibandingkan Durganini.

Memang Durganini semenjak mudanya memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan mempunyai watak yang enggan mundur dan pantang mengaku kalah! Apalagi setelah dia berubah menjadi nenek tua yang pikun, kekerasan kepala itu agaknya makin menjadi-jadi.

Kini dia merasa penasaran bukan main mengapa dia belum juga berhasil menundukkan “orang muda” itu. Tiba-tiba keluar suara gerengan dari dalam dadanya dan dengan bengong Im-kan Ngo-ok melihat betapa dari uap yang mengepul di atas kepala nenek itu kini bergumpal-lumpal ke atas, membentuk bayangan dan ternyata nampak bentuk nenek itu yang kecil terbungkus uap atau kabut, meluncur ke atas menuju ke arah Pendekar Super Sakti! Inilah puncak dari ilmu sihir itu, yaitu Durganini seolah-olah memisahkan semangat dari tubuhnya dan “semangat” itu kini hendak langsung menyerang Suma Han!

Suma Han mengenal ilmu ini dan dia pun sudah dapat melakukan hal yang sama. Akan tetapi sekali ini, kalau dia meniru perbuatan nenek itu, tubuhnya menjadi tidak terlindung sama sekali dan kalau ada yang menyerangnya dia tentu akan celaka. Maka Suma Han menjadi ragu-ragu, bagaimana dia harus menghadapi serangan nenek yang sudah nekat itu!

“Nini....! Jangan....!”

Tiba-tiba di tempat itu muncul seorang kakek tua renta berpakaian sederhana. Begitu tiba di situ dan melihat keadaan Durganini, kakek ini lalu duduk bersila di dekat Suma Han dan tak lama kemudian dari kepalanya juga muncul uap bergulung-gulung yang membentuk bayangan seperti dirinya yang terbungkus uap dan bayangan kecil ini meluncur naik menyambut bayangan nenek itu.

Bayangan kakek itu seperti membuat gerakan membujuk agar si nenek kembali, akan tetapi bayangan nenek itu malah menyerangnya dengan hebat! Siapakah kakek itu? Dia adalah See-thian Hoat-su, suami dari Durganini!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, antara kakek dan nenek ini sebetulnya ada hubungan suami isteri yang saling mencinta dan mesra, akan tetapi, karena watak Durganini yang ku-koai (aneh) mereka itu sering cekcok, sering berpisah, bahkan sering pula berkelahi!

Dalam hal ilmu silat, See-thian Hoat-su yang kini menjadi guru Teng Siang In itu masih menang setingkat, akan tetapi dalam ilmu sihir, Durganini menang setingkat. Seperti biasa, begitu bertemu dengan bekas suaminya ini, Durganini tidak mau dibujuk, tidak mau mengalah, malah menyerang mati-matian! Tentu saja See-thian Hoat-su terkejut sekali dan sambil mempertahankan diri, dia berusaha membujuk.

Suma Han duduk bersila dengan bengong dan terheran-heran. Dia tidak berani lancang mencampuri, apalagi melihat betapa kakek itu selalu mengalah biarpun terdesak hebat dan menerima beberapa kali pukulan yang amat berat.

Akan tetapi, tak lama kemudian, dua bayangan itu sama-sama meluncur kembali kepada “raga” masing-masing. Keduanya mengeluh dan roboh terguling! Semua orang terkejut karena nenek itu terengah-engah dan memegangi dadanya, sedangkan kakek itu muntah darah, lalu bangkit terhuyung dan menghampiri nenek itu.

“Durganini.... kau.... kau kenapa....?”

Pertanyaannya itu diajukan dengan lembut dan penuh cinta kasih. Kakek itu menjatuhkan dirinya berlutut dan merangkul nenek itu, diangkatnya kepala nenek itu dan disandarkan ke dadanya.

“Ah, kau.... kau terluka hebat oleh kekuatanmu sendiri.... kenapa engkau selalu keras kepala....?”

Nenek itu masih terengah-engah, dan suaranya seperti orang tertawa.
“Hiiiii.... kau.... kau pun terluka parah.... ah, suamiku.... sakitkah....? Maafkan aku....“

Sungguh aneh, menggelikan dan juga mengharukan melihat kakek dan nenek itu berangkulan dan saling bersikap mesra, kemudian keduanya terguling dan terdengar Dewa Bongkok mengeluh,

“Siancai.... siancai, siancai....!”

Suma Han pun tahu bahwa kakek dan nenek itu keduanya telah tewas. Luka-luka yang diderita kakek oleh pukulan-pukulan semangat nenek itu terlampau parah, sedangkan nenek itu agaknya telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga terpukul sendiri dan keduanya menjadi korban dan tewas, atau boleh jadi juga karena usia mereka yang sudah terlalu tua sehingga memang sudah tiba saatnya untuk meninggal dunia. Dia menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. Tubuhnya agak lemas, tenaga sinkangnya banyak terbuang untuk melawan nenek tadi, dan untuk sementara dia tidak akan dapat menggunakan kekuatan sihirnya yang seperti dikuras habis tadi.

“Im-kan Ngo-ok, lihat akibat dari desakan kalian untuk mengadu kepandaian. Sudah ada dua orang luar yang menjadi korban. Sebaiknya kita sudahi saja perkelahian tiada guna ini,” kata Pendekar Super Sakti.

“Apa? Mereka ini datang tanpa kita undang, dan mati karena perbuatan sendiri, apa sangkut-pautnya dengan kami? Kami masih belum kalah!”

Bentak Sam-ok Ban Hwa Seng-jin dan dia Sudah bergerak lagi membuat tubuhnya berpusing lalu menyerang, diikuti oleh empat orang saudaranya. Terpaksa Suma Han menggerakkan tongkat menjaga diri dan melawan.

Sekali ini Suma Han benar-benar terdesak hebat. Tenaganya sudah banyak berkurang. Tadi pun, biar sudah dibantu dengan petunjuk Dewa Bongkok, masih sukar baginya untuk menandingi lima orang Im-kan Ngo-ok, dan dia baru dapat mendesak ketika dia mempergunakan sihir.

Kini, dia tidak lagi mampu menggunakan sihir seperti tadi dan sinkangnya sudah banyak berkurang, maka tentu saja dia hanya mampu mengandalkan Soan-hong-lui-kun untuk menghindarkan semua serangan. Napasnya mulai memburu karena dia merasa lelah sekali.

Melihat keadaan lawan, Twa-ok girang sekali. Dia lalu berteriak kepada adik-adiknya,
“Adu tenaga....!”

Lima orang itu kini menyerang sekaligus, dengan pengerahan tenaga sekuatnya! Suma Han tidak melihat jalan lain kecuali menangkis dengan dorongan kedua tangannya pula. Terjadilah adu tenaga sinkang tanpa telapak tangan mereka bertemu, akan tetapi dalam jarak yang kurang dari satu meter. Lima orang itu mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga satu lawan lima!

Andaikata Suma Han tidak berkurang tenaganya karena tadi memeras tenaga melawan Durganini, kiranya dia dapat menandingi mereka atau setidaknya dapat meloloskan diri dan meloncat untuk menghindar. Akan tetapi tenaganya sudah berkurang dan dia tidak dapat mengelak lagi, dan kini setelah tenaga mereka bertemu dan melekat, tidak ada lain jalan kecuali melawan keras sama keras.

Dengan menancapkan tongkatnya di atas tanah, Suma Han menggunakan kedua tangannya untuk menolak serangan lawan. Dia menggunakan tenaga gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, gabungan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi lawannya adalah orang-orang yang amat kuat, dan kini mereka menggabungkan tenaga, maka terasalah oleh Suma Han betapa pertahan-lahan dia mulai kalah tenaga dan keadaannya amat berbahaya!

Tiba-tiba dia merasa ada sebuah tangan menempel di pundaknya dan tangan ini menyalurkan tenaga sinkang yang amat kuat. Pada saat itu, Suma Han sudah berada dalam keadaan berbahaya sekali bagi nyawanya dan dia tahu bahwa tangan ini menyalurkan tenaga untuk membantunya, akan tetapi karena dia tahu bahwa penolong itu adalah Dewa Bongkok padahal kakek itu sudah menderita luka parah, maka dia berseru,

“Locianpwe, jangan....!”

Akan tetapi terlambat sudah. Dewa Bongkok sudah mengerahkan tenaganya dan lima orang lawan itu terjengkang ke belakang dan bergulingan dengan muka pucat. Suma Han terlepas dari bahaya, akan tetapi dia melihat kakek berlengan buntung itu terhuyung, lalu duduk bersila dan tak bergerak lagi.

“Locianpwe....!”

Suma Han berteriak dan berlutut di dekat tubuh yang bersila akan tetapi sudah menjadi mayat itu! Lima orang lawannya sudah bangkit berdiri lagi. Mereka tidak mengalami luka, akan tetapi hanya terkejut dan terdorong saja ke belakang sampai terjengkang. Kini mereka memandang kepada Suma Han yang perlahan-lahan sudah bangkit berdiri menghadapi mereka dengan sinar mata seperti mata naga berapi-api.

“Im-kan Ngo-ok, lihatlah apa yang kalian lakukan! Sungguh terkutuk kalian! Beliau ini adalah Dewa Bongkok, Penghuni Istana Gurun Pasir, dan sedang menderita luka. Kini, akibat dari perbuatan kalian yang memaksaku bertanding, beliau sampai menjadi korban! Sekarang, aku Suma Han tidak akan mau melepaskan kalian lagi!”

Dan dengan kemarahan meluap-luap Suma Han lalu menerjang dengan dahsyat kepada lima orang itu.