FB

FB


Ads

Kamis, 18 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 148

Sepasang mata itu berseri dan pandang matanya memperhatikan Hwee Li penuh selidik.

“Namamu Hwee Li?”

“Benar, Kek.”

“Siapa nama keturunanmu?”

Hwee Li membuang muka, merasa sebal.
“Uhhh, tak perlu menyebut nama keturunanku, Kek, hanya mendatangkan sial saja kepadaku. Namaku Hwee Li, cukuplah.”

Karena membuang muka, Hwee Li tidak melihat betapa pandang mata kakek itu makin berseri, karena sikap dara ini amat menarik hatinya dan menimbulkan rasa suka di hatinya.

“Hwee Li, ketika aku diserang oleh wanita itu, mengapa engkau membelaku? Bukankah wanita itu bibi gurumu? Mengapa engkau berani melawan bibi guru sendiri?”

“Huh, bibi guru macam apa dia? Jangankan bibi guru, biar ayah sendiri, kalau jahat, tentu akan kutentang!” jawab Hwee Li marah.

Kakek itu makin tertarik. Gadis ini benar-benar luar biasa. Jarang menemukan seorang gadis yang begini keras namun tegas dan wajar, penuh kepolosan dan keberanian. Mirip watak mantunya, isteri dari muridnya!

“Bukankah engkau sudah mendengar dari bibi gurumu bahwa ayahmu tewas karena aku? Bukankah Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungmu?”

“Sama sekali bukan!” Hwee Li makin gemas karena dia diingatkan akan keadaan keluarganya yang hanya mendatangkan kesialan baginya. “Dia adalah musuh besarku!”

“Hemmm.... bagaimana pula ini?” Kakek itu bertanya dan tersenyum.

“Sebenarnya aku tidak suka bicara tentang ini, Kek, akan tetapi agar engkau tidak menjadi penasaran dan bingung, biarlah kuceritakan kepadamu. Memang aku dan semua orang tadinya menganggap Hek-tiauw Lo-mo itu ayah kandungku. Akan tetapi kini telah terbuka kedoknya. Dia sama sekali bukan ayah kandungku, bahkan dia musuh besarku yang dulu menculik ibuku dan menjadi sebab kematian ibuku. Ah, andaikata dia itu ayahku sendiri sekalipun, tetap saja kutentang karena dia jahat.”

Kakek itu memandang dengan penuh perhatian.
“Kau akan menentang ayah kandung sendiri?”

“Tentu!”

Hwee Li berkata gemas dan mengepal kedua tinju tangannya, lalu bangkit berdiri dan berdongak memandang ke udara.

“Apa artinya ayah kandung kalau dia jahat? Dia hanya akan melumuri aku dengan kekotoran namanya! Nama busuk seorang ayah akan diwarisi anaknya yang tidak bersalah, mendatangkan kesialan, membuat aku dibenci orang, hanya karena orang tua....!” Dan tiba-tiba Hwee Li menangis dan membanting-banting kakinya.

Sepasang mata kakek itu terbelalak. Dia membiarkan gadis itu menangis sesenggukan sambil menutupi muka dengan kedua tangan. Akan tetapi tidak lama Hwee Li menangis. Dia tadi menangis karena mendapat kesempatan menumpahkan rasa penyesalan dan penasaran hatinya, teringat betapa Kian Lee menyia-nyiakan dan meninggalkannya hanya karena dia keturunan pemberontak! Kekerasan hatinya membuat tangisnya itu hanya sebentar lalu mereda.

Melihat ini, Dewa Bongkok menarik napas panjang.
“Hwee Li, apakah orang tuamu sendiri, ayah kandungmu, juga seorang jahat seperti Hek-tiauw Lo-mo?”

Hwee Li menggeleng kepala. Dia tidak mengenal kakek ini. Dan karena kakek ini orang asing, orang asing yang kebetulan saja kini terlibat menjadi orang yang menjadi tempat pencurahan semua rasa penasaran hatinya, maka dia tidak ragu-ragu untuk bicara tentang dirinya sendiri.

“Aku sendiri tidak pernah melihat ayah kandungku, Kek. Entah dia orang baik atau jahat aku pun tidak tahu. Hanya karena dia dikenal sebagai seorang pemberontak, maka orang lalu menghinaku, bahkan orang yang paling baik.... yang paling kucinta.... telah meninggalkanku. Kek, apa sih salahnya orang yang menjadi anak pemberontak? Ayah kandungku memberontak ketika aku masih bayi, aku tidak tahu mengapa dan untuk apa dia memberontak. Akan tetapi mengapa semua orang benci kepadaku?”






Kakek itu menarik napas panjang dan menengadah seolah-olah dia bicara kepada awan yang berarak di langit, bukan kepada Hwee Li,

“Begitulah memang pendapat umum, watak masyarakat yang sudah membudaya! Manusia dinilai dari keturunannya, dari agamanya, dari kedudukannya, dari harta bendanya, dari pengetahuannya. Betapa menyedihkan ini. Dan karena penilaian didasarkan atas semua itu, maka manusia lalu memperebutkan semua itu yang dianggap sebagai syarat untuk dapat hidup mulia! Manusia dianggap seperti pohon-pohon, pohon yang buahnya masam pasti menghasilkan bibit yang masam pula. Manusia yang dianggap jahat pasti menurunkan anak yang jahat pula! Betapa menyedihkan anggapan ini! Dan betapa banyaknya anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban nama buruk orang tuanya.

Memang tidak adil! Bahkan menilai seseorang sebagai jahat pun tidak adil. Kehidupan ini selalu berubah. Manusia pun selalu mengalami perubahan, ada kalanya dia dianggap jahat, ada kalanya dia dianggap baik. Anggapan itu hanya penilaian belaka, tergantung kepada kepentingan si penilai.

“Aih, Hwee Li, kalau orang menganggap engkau rendah dan hina, maka yang jelas dia itulah yang rendah dan hina, karena anggapan seperti itu sudah rendah namanya. Mengapa engkau hiraukan benar? Jangankan hanya beberapa orang yang menganggapmu jahat, kalau engkau meneliti diri sendiri dan mendapat kenyataan bahwa engkau tidak jahat, peduli apa? Biarlah semua orang menilaimu jahat. Hidup bukan tergantung daripada penilaian orang lain. Yang penting adalah mengamati diri sendiri. Biar tidak ada seorang pun manusia lain mengetahuinya, akan tetapi kalau dalam pengamatanmu itu engkau melihat dirimu kotor, haruslah segera dibersihkan! Jadi, yang penting bukan penilaian orang lain, melainkan pengamatan diri sendiri terhadap diri sendiri. Mengertikah engkau, Hwee Li?”

Ucapan kakek yang dilakukan dengan suara halus itu meresap ke dalam hati sanubari Hwee Li dan gadis itu merasa bangkit kembali semangatnya,

“Engkau benar, Kek! Terima kasih. Akan tetapi, aku pun tidak akan peduli penilaian orang lain, biar orang sedunia sekalipun, hanya.... karena mereka berdua itulah yang membuat hatiku terasa perih...., penilaian mereka berdua yang kini menjauhiku membuat hatiku merana.”

“Hemmm, mereka berdua itu siapakah? Mengapa justeru mereka berdua yang kau hiraukan?”

“Dia.... dia.... pacarku, Kek. Dan yang seorang guruku....“

Diam-diam kakek itu terharu juga. Dara ini sungguh amat jujur, tidak seperti orang lain yang malu-malu kucing dan menyembunyikan perasaannya. Dara ini berterus terang, apa adanya, dan amat menarik hatinya.

“Hemmm, mereka itu tidak bijaksana. Tidak mengherankan kalau pacarmu memiliki pandangan umum seperti itu karena tentu dia masih muda dan hijau. Akan tetapi gurumu, mengapa dia sepicik itu pula?”

“Guruku pun masih muda, Kek, tidak banyak selisihnya usianya dengan pacarku. Dia pantas menjadi enciku. Aku amat sayang kepadanya dan dia pun tadinya amat cinta kepadaku, akan tetapi setelah dia tahu bahwa aku keturunan pemberontak.... dia memutuskan hubungan....“

Hwee Li memejamkan mata menahan air matanya yang sudah membikin panas kedua matanya lagi.

“Hemmm, gurumu masih begitu muda? Dan kau sudah selihai itu? Tentu gurumu lihai sekali.”

“Tentu saja dia lihai! Suaminya lebih lihai lagi, Kek. Suaminya adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir!”

Karena kakek itu menundukkan mukanya, Hwee Li tidak melihat keheranan yang membayang di kedua mata kakek itu. Tentu saja kakek itu terkejut dan heran. Kiranya gadis yang amat menarik hatinya ini adalah murid dari Ceng Ceng, isteri muridnya sendiri! Dia memang pernah mendengar bahwa isteri muridnya itu mempunyai seorang murid yang selama beberapa bulan pernah pula ikut ke Istana Gurun Pasir, akan tetapi dia tidak pernah tahu siapa namanya dan tidak pernah pula saling bertemu. Memang selama itu dia hanya bertapa saja, menyendiri di kamar rahasia dalam istana itu. Dan tadi ketika melawan Mauw Siauw Mo-li, Hwee Li juga tidak pernah menggunakan jurus dari aliran Dewa Bongkok maka dia tidak mengenalnya.

Kakek ini tidak tahu bahwa sesungguhnya gadis ini menjadi murid Ceng Ceng hanya dalam hal penggunaan racun dan pukulan-pukulan beracun saja, dan mendapat bimbingan untuk mematangkan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya, yaitu yang dipelajarinya dari Hek-tiauw Lo-mo.

Sebaliknya, Hwee Li tentu saja tahu bahwa suami dari gurunya adalah murid seorang manusia dewa yang berjuluk Si Dewa Bongkok atau Go-bi Bu Beng Lojin, akan tetapi karena belum pernah jumpa, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kakek yang ditolongnya ini adalah kakek gurunya itu! Apalagi dia membayangkan kakek guru itu sebagai dewa yang tidak pernah memperlihatkan diri kepada manusia lain.

Hening sampai lama semenjak Hwee Li menyebut nama Naga Sakti Gurun Pasir tadi. Berbagai pikiran memenuhi kepala Dewa Bongkok dan dia sudah mengambil keputusan mengenai gadis ini.

“Hwee Li, maukah engkau menjadi ahli waris ilmu silat yang akan membuat engkau tidak mudah dikalahkan orang, apalagi kalau hanya oleh orang seperti wanita tadi? Maukah engkau mempelajari ilmu simpananku yang belum lama kuciptakan?!” Tiba-tiba kakek itu bertanya.

“Dan menjadi muridmu, Kek?” Hwee Li mengangkat muka memandang. Dia merasa pernah melihat sepasang mata mencorong seperti itu, akan tetapi dia lupa lagi entah di mana. Dia lupa bahwa yang memiliki mata mencorong seperti itu adalah suami gurunya, Si Naga Sakti Gurun Pasir! “Akan tetapi, aku belum mengenalmu.”

“Hemmm, tidak perlu mengenal. Engkau sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi tewas karena mereka itu menyerangku dan aku menderita luka parah. Biarpun aku telah menyembuhkan luka itu, namun aku perlu beristirahat dan mengingat usiaku sudah amat tua, kalau tidak sekarang kuturunkan kepada seseorang, tentu aku tidak akan sempat lagi mewariskan kepada orang lain. Kau cocok untuk menjadi ahli warisku, Hwee Li.”

“Kalau begitu aku tidak perlu menjadi muridmu?”.

“Murid atau bukan hanya sebutan saja. Aku percaya bahwa di tanganmu, ilmuku tidak akan sia-sia.”

“Baiklah, Kek. Akan tetapi, aku harus melakukan perjalanan jauh menyusul dia....!”

“Pacarmu?”

“Benar. Aku masih penasaran. Dia tidak boleh membawa-bawa aku ke dalam keburukan nama ayah kandung yang sama sekali tak pernah kukenal itu. Dia tidak adil dan aku harus menegurnya!”

“Bagus! Memang engkau benar, dan pacarmu itu picik. Dia tentu seorang pemuda bodoh, mengapa engkau memilih pacar macam dia?”

“Uwah! Kakek terlalu memandang rendah dia! Engkau tidak tahu siapa dia, Kek, dia adalah Suma Kian Lee, putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!”

Kembali kakek itu terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu.
“Ah, kiranya begitu? Sungguh kebetulan sekali aku memilihmu sebagai ahli waris ilmuku karena dengan ilmu itu engkau harus dapat melindungi Pendekar Super Sakti.”

“Eh, apa maksudmu, Kek?”

“Menurut pengakuan Hek-hwa Lo-kwi sebelum dia tewas oleh ulahnya sendiri, di gurun pasir di dataran Bukit Chang-pai-san akan diadakan pertemuan yang pasti akan menjadi pertandingan mati-matian antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok, maka mereka ini tentu mendatangkan jagoan-jagoan untuk membantu mereka mengeroyok Pendekar Super Sakti. Kalau aku tidak sedang terluka, tentu aku akan dapat mendamaikan mereka dan melindungi Majikan Pulau Es itu, akan tetapi aku terluka, maka aku sengaja memilihmu untuk mewarisi ilmuku dan mewakili aku melindungi pendekar sakti itu.”

“Jadi untuk itukah maka engkau hendak menurunkan ilmu itu kepadaku, Kek?”

“Sebagian, yang terutama, untuk itu. Akan tetapi juga karena aku suka melihatmu, Hwee Li.”

“Biarpun aku keturunan pemberontak?”

“Hemmm, mereka yang menghinamu karena keturunanmu akan kutegur kalau aku sempat bertemu dengan mereka. Mereka itu tolol dan picik!”

Besarlah hati Hwee Li mendengar ini. Kakek ini adalah orang pertama yang bukan saja tidak merendahkan keturunannya, bahkan hendak membelanya dan lebih dari itu, hendak menurunkan ilmunya kepadanya. Dan mengingat betapa kakek ini dapat merobohkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apalagi sudah dapat dia buktikan kesaktiannya ketika memberi petunjuk dia menghadapi Mauw Siauw Mo-li, dia yakin bahwa ilmu yang akan diturunkan itu tentu hebat bukan main.

“Nah, sekarang bersiaplah, Hwee Li. Engkau harus menghafal kauw-koat (teori silat) lebih dulu, baru kuberi petunjuk tentang gerakan-gerakannya, yaitu gerakan dasar dan gerakan pokok. Kita hanya memiliki waktu sebulan lebih lagi, yaitu pada malam bulan purnama bulan depan.”

“Mana mungkin menghafal ilmu yang hebat hanya dalam waktu sesingkat itu?” tanya Hwee Li.

“Ilmu itu hanya terdiri dari delapan jurus, Hwee Li.”

“Delapan jurus? Kalau hanya sedemikian pendeknya, mana bisa disebut hebat?”

“Ah, engkau tidak tahu. Aku telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk merangkai ilmu yang kunamakan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Mengejar Arwah) ini. Dan biarpun kauw-koatnya dapat kau hafalkan dalam waktu singkat setelah kuberi kunci-kuncinya, namun untuk mematangkan ilmu ini, biar sampai lima puluh tahun sekalipun masih dapat terus ditingkatkan, Hwee Li. Dasar dan pokok gerakan ilmu yang hanya delapan jurus ini telah mencakup semua dasar ilmu silat dan dapat kau pergunakan untuk menghadapi ilmu yang bagaimana lihai pun dari lawan.”

Hwee Li menjulurkan lidahnya karena kaget, kagum dan juga girang. Dia lalu mulai mempelajari Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang dengan penuh ketekunan dan kakek itu merasa girang karena gadis ini memang cerdas sekali, dengan mudah dapat mengerti ketika dia memberi penjelasan tentang kunci rahasia ilmu itu, kemudian menghafal teorinya.

Semua ini mereka lakukan sambil melanjutkan perjalanan perlahan-lahan karena kakek itu harus sering beristirahat untuk menghimpun tenaganya. Siang malam Hwee Li menghafal dan melatih gerakan-gerakan pokok dan dasar dari ilmu silat baru itu, dan dengan girang sekali dia memperoleh kenyataan betapa baru melatih beberapa hari saja, sinkangnya bertambah kuat. Apalagi ketika kakek itu memberi petunjuk kepadanya cara mengumpulkan hawa murni dan mempergunakan tenaga dari pusarnya, dia memperoleh kemajuan hebat dalam waktu beberapa hari saja!

**** 148 ****