FB

FB


Ads

Kamis, 18 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 144

Dia menjatuhkan dirinya yang sudah amat lelah itu ke atas rumput tebal di dalam hutan yang sunyi itu, di bawah sebatang pohon, menangis terisak-isak. Makin diingat, makin sakitlah rasa hatinya. Syanti Dewi menangis sampai mengguguk dan memijit-mijit betis kakinya yang terasa amat lelahnya. Dia tadi telah mengerahkan seluruh tenaga dan ilmunya berlari cepat, berlari terus sampai dia tidak kuat lagi dan akhirnya terpaksa menjatuhkan diri di situ.

“Tek Hoat....!”

Nama ini keluar dari bibirnya seperti rintihan dan memang dia merintih karena jantungnya terasa perih dan nyeri. Dia tidak merasa syak lagi bahwa dia amat mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sikap Tek Hoat amat menyakitkan hatinya. Dia pun tahu bahwa Tek Hoat salah sangka, mengira wanita palsu yang menyamar seperti dia itu adalah dia yang sesungguhnya sehingga makian Tek Hoat bukan tidak beralasan.

Namun, pengertian ini tidak cukup kuat untuk meredakan kemarahan dan sakit hatinya karena sambutan Tek Hoat itu sungguh menyakitkan hati. Dia telah bertahun-tahun menderita karena pemuda itu, dia telah sengsara dan beberapa kali terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri dalam usahanya mencari kekasihnya. Dia telah berkorban lahir batin untuk Tek Hoat, akan tetapi pemuda itu malah memakinya dengan kata-kata keji! Hati siapa tidak akan menjadi panas karenanya? Makin diingatnya peristiwa tadi ketika Tek Hoat memakinya, makin marahlah hati Syanti Dewi dan makin membuyar pengertiannya bahwa pemuda itu melakukannya bukan tanpa sebab.

Marah, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan oleh kekecewaan karena merasa dirinya dirugikan, lahir maupun batin. Dirinya itu pada hal-hal biasa adalah si aku, akan tetapi sering kali juga meluas sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya yang sesungguhnya tiada bedanya dengan si aku karena di dalam semua itu bersembunyi si aku yang menyamakan dirinya. Si aku ini selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, marahlah dia.

Dari pengalaman, atau pelajaran kebudayaan, atau pelajaran agama, kita mengenal akibat-akibat kemarahan yang mendatangkan kekerasan, permusuhan, kebencian dan kesengsaraan. Oleh karena ini maka timbullah daya upaya untuk melenyapkan kemarahan, atau setidaknya menekannya dan mengesampingkannya. Maka muncullah pelajaran untuk bersabar. Apakah “belajar sabar” ini dapat membebaskan kita daripada kemarahan? Kiranya hasil belajar sabar ini hanya untuk sementara saja.

Belajar sabar berarti penekanan terhadap kemarahan dan biarpun kadang kala nampaknya berhasil, namun sesungguhnya kemenangan itu hanya sementara saja. Api kemarahan itu masih ada, hanya ditutup secara paksa oleh kesabaran yang dilandasi pengetahu¬an bahwa kemarahan itu tidak baik. Api kemarahan itu masih belum padam, hanya nampaknya saja padam karena tertutup oleh kesabaran, seperti api dalam sekam, nampaknya tidak bernyala namun sebenarnya di sebelah dalam masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat meledak dan menyala kembali!

Belajar sabar menyeret kita ke dalam lingkaran setan, marah, ditekan kesabaran, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya seperti yang dapat kita lihat kenyataannya sehar-hari. Akhirnya, bukan api kemarahan yang padam, melainkan api semangat kita sendiri, membuat kita menjadi apatis, tak acuh, tidak peduli, atau sinis! Belajar sabar hanya pemulas, di sebelah dalam, batin, kita marah, akan tetapi di luar, lahir, kita sabar.

Setelah melihat kenyataan ini semua, tindakan apa yang harus kita ambil dalam menanggulangi kemarahan dalam batin? Bagaimana kita harus melenyapkan kemarahan yang setiap saat muncul apabila kita merasa diganggu dan dirugikan lahir batin?

Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kemarahan tidak akan berhasil membebaskan diri daripada kemarahan. Kemarahan tidak dapat dilenyapkan oleh daya upaya. Kemarahan adalah si aku itu sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu marah. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal kemarahan, mengerti kemarahan dan hal ini hanya dapat terjadi apabila kita mau menghadapi kemarahan tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menekan atau melenyapkan!

Kalau kemarahan datang, yang membuat jantung berdebar panas, yang membuat napas terengah, muka merah dan mata mendelik, kalau kita merasa tidak senang lalu marah, kita menghadapi kemarahan itu seperti kenyataannya, kita mengamatinya, memandang dan mengamati saja penuh perhatian, penuh kewaspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyapkan. Kalau kita memandang dan mengamati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kemarahan akan musnah tanpa kita hilangkan atau tekan.

Hal ini tak mungkin dapat dimengerti tanpa penghayatan, tanpa pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari! Dan kalau kemarahan sudah lenyap sendiri, tanpa dilenyapkan, kalau api kemarahan sudah padam, bukan ditutup sekam, melainkan padam sama sekali, kalau di dalam batin sudah tidak ada lagi kemarahan, apa perlunya kita belajar sabar? Tidak dibutuhkan lagi apa yang dinamakan kesabaran itu.

Kemarahan dalam hati Syanti Dewi mendatangkan perasaan nelangsa, iba diri dan duka. Dia merasa hidupnya sengsara, penuh derita batin, dan tidak bahagia.

“Ah, betapa buruk nasibnya....“ dia mengeluh di antara tangisnya. “Betapa jauh dari kebahagiaan....“

Gadis ini menghapus air matanya, lalu duduk bersandarkan batang pohon, termenung dengan hati sayu dan sepi. Mulailah Puteri Bhutan ini bertanya-tanya apakah sesungguhnya kebahagiaan hidup! Apakah yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Harta bendakah?

Dia adalah seorang puteri kerajaan yang tentu kaya raya, dan apa pun juga yang diinginkannya dalam bentuk benda, sudah pasti akan dapat dia peroleh. Dia memiliki harta benda berlimpahan, namun tetap tidak berbahagia. Jelas bukan dalam harta bendalah letaknya kebahagiaan! Lalu di mana? Apakah dalam kedudukan dan kemuliaan? Juga tidak, karena sebagai puteri raja yang dimanja, kedudukannya tinggi dan terhormat, kemuliaan selalu dirasakan semenjak dia kecil, namun semua itu akhirnya, seperti juga pada harta benda, mendatangkan kebosanan dan dia tetap tidak berbahagia. Apakah dalam petualangan hidup? Juga tidak. Hal itu pun hanya berlalu begitu saja, yang tinggal hanya kenangan hampa. Ataukah dalam cinta? Dia saling mencinta dengan Tek Hoat, akan tetapi selama ini lebih banyak dukanya dirasakan dari cintanya ini daripada sukanya.

Memang kasihan sekali dara jelita puteri bangsawan ini. Wajahnya pucat dan basah air mata, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut seperti pakaiannya pula, sinar mata yang biasanya bening, jeli dan tajam itu kini sayu tak bercahaya, dan segala yang nampak oleh sepasang mata itu buruk dan membosankan belaka, seolah-olah matahari sudah kehilangan cahayanya. Dia terbenam dalam lautan duka yang makin mendahsyat oleh gelombang iba diri.






Memang kasihanlah Puteri Syanti Dewi atau siapa saja yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal yang harus menjadi sumber kesenangan menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas keinginan diri sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti akan menemui kegagalan dalam cinta, sudah pasti pada suatu waktu akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai sumber kesenangan ternyata tidaklah seperti yang diharapkan semula.

Setiap bentuk kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan keduka¬an, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, jelaslah bahwa hal itu berarti bahwa cinta kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan! Kesenangan mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka, kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau kedukaan.

Patutkah kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan? Benarkah anggapan sementara orang bahwa cinta kasih adalah pemuasan berahi belaka? Tepatkah kalau cinta kasih mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan kedukaan?

Tidaklah mungkin untuk menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan cinta kasih kalau mendatangkan duka! Dan pementingan mendatangkan duka, pengejaran kesenangan mendatangkan duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih!

Yang menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Yang masih dicengkeram suka-duka tak mungkin mengenal bahagia Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka duka!

Merasa betapa dirinya amat celaka dan bernasib buruk, Syanti Dewi merasa nelangsa dan iba diri. Semenjak menjadi murid Ouw Yan Hui, sedikit banyak watak dan sifat dingin keras dari tokoh wanita majikan Pulau Ular Emas itu menular kepadanya. Tidak, pikirnya sambil mengepal tinju. Aku tidak akan membiarkan diri merendah lebih lama lagi! Dia tidak akan sudi merendah kepada Tek Hoat, betapa besar pun rasa cintanya kepada pemuda itu. Sudah tiba saatnya dia bersikap sebagai seorang puteri raja! Kini sudah tiba waktunya bagi Tek Hoat untuk menerima giliran, bersusah payah mencarinya, menderita karena dia, dan akhirnya bertekuk lutut kepadanya, membuktikan cinta kasihnya, kalau memang Tek Hoat benar cinta kepadanya!

Syanti Dewi terbangun dengan kaget karena dia seperti mendengar teriakan-teriakan suara Tek Hoat memanggil-manggilnya. Dia terloncat dan membelalakkan mata, memandang ke kanan kiri namun sunyi saja. Kiranya dia mimpi! Tanpa disadari, ketika melamun dengan hati penuh duka di bawah pohon tadi, dia tertidur saking lelahnya. Dan kini matahari telah condong ke barat, keadaan di dalam hutan itu sudah mulai remang-remang.

Perutnya terasa lapar bukan main. Syanti Dewi meneliti keadaan di sekeliling tempat itu. Hutan yang sunyi, bahkan suara burung pun tidak didengarnya, padahal pada saat seperti itu biasanya burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Jelas bahwa tempat ini tidak dihuni burung, dan ini berarti pula bahwa di tempat itu tidak terdapat pohon-pohon yang berbuah. Padahal perutnya amat lapar. Di hutan itu tidak dapat mengharapkan memperoleh makanan, dan dia pun tidak tahu mana dusun terdekat. Agaknya dia harus menahan rasa lapar di perutnya sampai lewat malam itu!

“Hemmm, pada hari dan malam pertama saja aku sudah harus menderita lagi karena ulah Tek Hoat!”

Dia menggerutu sambil mengepal tinju dengan hati gemas. Kalau tidak ada Tek Hoat yang bersikap menyakitkan hatinya, tentu saat itu dia berada di istana ayahnya, melepas rindunya kepada ayah bundanya dan mereka tentu sedang bercakap-cakap dengan gembira, menghadapi hidangan-hidangan yang amat lezat dan yang disukainya.

Dia berjalan menyusup lebih dalam ke hutan itu, dengan harapan akan melihat rumah-rumah orang. Kalau ada dusun, dia tentu akan bisa mendapatkan makanan, baik secara meminta, membeli, atau mencuri sekalipun! Akan tetapi ternyata hutan itu kecil saja dan setelah dia menembus hutan itu, dia tiba di padang rumput yang luas!

Sialan, pikirnya memandang ke depan, pada padang rumput yang agaknya tidak bertepi itu. Angin senja ditiup dan permukaan padang rumput itu bergelombang, merupakan lautan hijau kemerahan karena bermandikan cahaya matahari senja. Bukan main indahnya pemandangan di saat itu, akan tetapi keindahan itu tidak nampak oleh mata Syanti Dewi karena dia sedang merasa jengkel dan duka, apalagi rasa lapar di perutnya amat menyiksa.

Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Keindahan dan kebahagiaan itu SUDAH ADA di manapun dan kapanpun. Akan tetapi keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh kita apabila batin kita penuh dengan masalah-masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan, kekhawatiran, keputusasaan, kemarahan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka. Jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari DILUAR DIRI KITA, karena sumber dari segalanya berada di dalam diri kita sendiri.

Kalau batin kita sudah bebas dari segala pamrih, bebas dari segala macam keinginan memperoleh hal-hal yang tidak ada, maka akan nampaklah segala keindahan yang terbentang di hadapan kita, di manapun dan bilamanapun, akan terasalah kebahagiaan dan cinta kasih! Hal-hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri.

Makin besar penderitaannya, makin besar pula Syanti Dewi menimpakan kesalahannya kepada Tek Hoat. Makin besar pula kemarahannya kepada pemuda itu dan makin besar pula tekadnya untuk membiarkan Tek Hoat menderita sebelum dia mau “mengalah”. Dia sudah membuktikan cintanya terhadap Tek Hoat, maka kini dia pun menuntut agar pemuda itu membuktikan cintanya pula, dengan cara bersengsara untuknya! Aihhh, betapa sudah gilanya orang yang tercengkeram oleh cinta! Cinta yang sesungguhnya bukan lain hanyalah nafsu menyenangkan diri sendiri belaka, melalui orang lain!

Tiba-tiba Syanti Dewi mendengar suara gaduh dan dari depan nampak serombongan orang berlari-lari ketakutan ke arah hutan dari mana dia muncul. Ah, ada orang! Hati puteri itu menjadi girang. Di mana ada orang tentu ada pula makanan!

Akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya ketika melihat orang-orang itu semua dalam keadaan ketakutan dan dari pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang dusun. Anehnya, di antara mereka terdapat pula orang-orang yang agaknya memiliki kepandaian lumayan karena dapat berlari cepat dan gerak-gerik mereka jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang dusun!

Ketika orang-orang itu melihat Syanti Dewi di tepi hutan, mereka memandang dengan terheran-heran karena sungguh merupakan hal yang aneh melihat seorang dara sedemikian cantiknya, lebih mirip bidadari daripada manusia, sendirian saja di tepi hutan pada waktu senja seperti itu! Orang-orang yang memang sedang panik dan ketakutan ini, makin menjadi takut, mengira bahwa Syanti Dewi sudah pasti bukan manusia, kareka kalau manusia, seorang gadis secantik jelita itu mana mungkin sendirian saja di senja hari di tepi hutan! Maka mereka menjadi pucat terbelalak, tidak tahu lagi harus lari ke mana.

Akan tetapi, beberapa orang yang kelihatan gagah perkasa itu, memandang kepada Syanti Dewi dengan kaget, kemudian mereka berseru girang dan lari menghampiri, terus langsung menjatuhkan diri di depan kaki dara bangsawan itu.

“Sang Puteri.... tak disangka hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini...., mari hamba antarkan pulang dengan segera karena ada bahaya mengancam di dusun sana!”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Orang-orang ini telah mengenalnya dan hal itu tidak mengherankan karena daerah ini tidak jauh dari Kota Raja Bhutan.

“Siapakah kalian dan mengapa kalian berlari-lari seperti ini?” tanyanya tenang.

“Hamba berlima adalah pengawal-pengawal yang diutus oleh Panglima Jayin untuk mencari jejak Paduka. Hamba tadinya merupakan pasukan kecil terdiri dari dua belas orang. Ketika hamba sekalian tiba di dusun di luar padang rumput ini, hamba melihat serombongan orang kate yang aneh sedang mengacau di dusun. Sebagai perajurit-perajurit Bhutan tentu saja hamba sekalian segera turun tangan menentang gerombolan itu, akan tetapi Sungguh celaka, Sang Puteri....“

Melihat orang yang bercerita itu kelihatan berduka dan empat orang perajurit lainnya kelihatannya takut-takut dan menoleh ke arah belakang, Syanti Dewi mendesak,

“Mengapa? Apa yang terjadi selanjutnya?”

Sementara, itu, orang-orang dusun yang ikut melarikan diri tadi kini pun sudah berlutut menghadap Syanti Dewi ketika mereka mendengar bahwa dara cantik jelita itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang amat terkenal itu. Mereka sudah mendengar bahwa sang puteri ini selain cantik jelita seperti bidadari, juga memiliki kepandaian tinggi, maka begitu melihat munculnya puteri jelita ini secara aneh di tepi hutan, apalagi melihat lima orang yang lihai itu demikian menghormatinya, mereka pun menjadi girang dan timbul harapan dalam hati mereka yang gelisah dan putus asa.

“Sungguh celaka, Sang Puteri, gerombolan orang cebol itu lihai bukan main. Bukan saja hamba sekalian dipukul mundur, bahkan tujuh orang teman hamba tewas oleh mereka dan hamba berlima tentu akan tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri untuk mencari bantuan. Hamba hendak melapor ke kota raja.”

“Hemmm, siapakah mereka itu? Dan apa yang mereka lakukan di dusun?” Syanti Dewi bertanya dengan marah.

“Hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka. Menurut cerita para penghuni dusun, mula-mula yang muncul hanya seorang kakek cebol yang aneh, yang tinggal di dalam kuil tua di dusun itu. Akan tetapi, munculnya kakek ini disusul kematian para hwesio di kuil itu yang jumlahnya hanya empat orang dan kuil itu sama sekali dikuasainya. Kemudian, berturut-turut bermunculan orang-orang cebol yang lihai dan ternyata dusun itu mereka jadikan semacam tempat pertemuan besar antara orang-orang cebol. Mereka lalu memaksa penduduk untuk melayani mereka, menyediakan makanan setiap hari untuk mereka, dan selain mereka menuntut makanan yang mahal-mahal, juga mereka mulai mengganggu wanita....!”

“Keparat!” Syanti Dewi mengepal tinju dengan marah.

“Penduduk dusun tidak ada yang berani melawan. Lalu hamba dua belas orang secara kebetulan lewat di dusun itu dalam usaha hamba mencari jejak Paduka, dan begitu mendengar laporan mereka, hamba lalu menyerbu ke kuil dan akibatnya, tujuh orang teman hamba tewas dan orang-orang cebol itu mengamuk, membunuhi orang-orang dusun karena menuduh penduduk dusun sengaja melapor kepada perajurit-perajurit kerajaan.”

“Hemmm, kalau begitu kalian boleh minta bantuan ke kota raja, dan aku sendiri akan menghadapi mereka.”

“Akan tetapi, mereka itu lihai bukan main....“ perajurit itu berkata dengan khawatir.

“Aku tidak takut. Besok pagi-pagi aku akan ke sana, biar diantar oleh beberapa orang penghuni dusun, dan kalian sekarang juga boleh pergi ke kota raja mencari bala bantuan.”

Lima orang perajurit itu memberi hormat dan segera melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja, sedangkan Syanti Dewi mengajak para penghuni dusun itu bermalam di hutan sambil mendengarkan penuturan mereka. Juga dia tidak ragu-ragu untuk minta kepada mereka memasakkan makanan sekedarnya dari perbekalan mereka. Biarpun masakan yang dihidangkan dari perbekalan mereka itu adalah masakan sederhana sekali dari para penghuni dusun, namun nyatanya bagi Syanti Dewi, belum pernah dia makan selezat itu selama ini!

Sambil mendengarkan penuturan orang-orang dusun sebangsanya itu, dia makan dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan mata penuh kagum dan hormat dari puluhan pasang mata penghuni dusun yang mengungsi itu.

Siapakah sebenarnya gerombolan orang cebol yang telah mengacau dalam dusun itu? Kakek cebol pertama yang memasuki dusun itu bukan lain adalah Su-ok Siauwsiang-cu, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akherat)!

Seperti telah kita ketahui, Twa-ok, Ji-ok, Su-ok, dan Ngo-ok telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti dan mereka berempat terdesak mundur. Karena merasa penasaran mereka itu lalu mengajukan tantangan kepada Pendekar Super Sakti untuk mengadakan pertemuan di gurun pasir yang berada di dataran Bukit Chang-pai-san dan tantangan itu diterima pula oleh Pendekar Super Sakti!

Tentu saja empat orang datuk kaum sesat itu cepat mengadakan persiapan untuk keluar sebagai pemenang dalam pertemuan itu, karena mereka maklum betapa lihainya Pendekar Super Sakti yang telah mengalahkan mereka berempat dan mereka mengambil keputusan untuk dapat menebus kekalahan dengan persiapan sebaik mungkin.

Untuk persiapan inilah maka Su-ok, kakek cebol yang tingginya hanya satu seperempat meter itu meninggalkan rombongannya, pergi ke barat untuk minta bantuan dari saudara-saudaranya, yaitu sekumpulan orang cebol yang tinggal di sebuah lembah di lereng Pegunungan Himalaya, di sebelah timur batas Kerajaan Bhutan! Memang dari sinilah Su-ok berasal, dan di tempat ini dia mempunyai saudara-saudara seperguruan yang selain lihai-lihai, juga semua bertubuh cebol katai seperti dia!

Seperti juga Su-ok Siauw-siang-cu yang menjadi datuk kaum sesat, orang-orang cebol lihai yang menjadi saudara-saudaranya itu pun bukan termasuk golongan orang baik-baik. Maka ketika mereka berkumpul di dusun yang dipilih oleh Su-ok sebagai tempat berkumpul itu, mereka berlaku sewenang-wenang, bukan hanya memaksa penduduk untuk memasakkan daging dan mencari arak untuk mereka berpesta-pora, akan tetapi bahkan mereka tidak segan-segan untuk memaksa wanita-wanita muda untuk menemani mereka dan melayani mereka!
Daerah Pegunungan Himalaya memang merupakan daerah yang liar dan penuh rahasia aneh. Banyak bagian dari daerah ini yang masih belum pernah didatangi manusia karena selain liar dan amat luas, juga terlampau tinggi, penuh salju dan amat berbahaya dan sukar sekali didaki.

Menurut dongeng, banyak daerah rahasia yang tersembunyi dan tidak pernah dapat dipijak kaki manusia dan di tempat-tempat rahasia ini tinggal mahluk-mahluk aneh, kabarnya menurut dongeng itu terdapat manusia-manusia salju yang berbulu putih dan tinggi besar seperti raksasa, ada pula manusia-manusia monyet, yaitu monyet-monyet besar yang bertubuh manusia atau manusia-manusia raksasa berwajah monyet, dan bahkan di Himalaya ini pula tempat tinggal para manusia dewa, pertapa-pertapa suci, dan sebagainya yang aneh-aneh lagi menurut khayal kelompok dan golongan masing-masing menurut kepercayaan masing-masing pula.

Dan orang-orang cebol ini merupakan segolongan manusia aneh pula yang bertempat tinggal di sebuah lereng Pegunungan Himalaya dan yang menjadi kampung halaman Su-ok. Di sini dia mempunyai saudara-saudara pula dan hampir semua orang cebol ini memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh, bahkan di antara mereka ada lima orang yang menjadi sute-sute (adik-adik seperguruan) dari Su-ok, maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka itu setelah kini berkumpul menjadi satu di dusun itu!

Pertemuan ini selain dimaksudkan oleh Su-ok untuk mencari bantuan saudara-saudaranya, juga merupakan semacam pertemuan dengan Su-ok yang lama tidak meninjau kampung halaman, dan merupakan pertemuan gembira yang dirayakan dengan pesta. Akan tetapi celakanya, orang-orang cebol itu yang hidup dalam keadaan miskin sederhana di lereng mereka, kini berpesta di dalam dusun dan memaksa penghuni dusun yang lemah untuk melayani mereka.

Karena khawatir kalau-kalau tidak akan mampu menghadapi Pendekar Super Sakti yang amat lihai, maka Su-ok bertugas untuk minta bantuan saudara-saudaranya, juga sekalian mengundang Sam-ok atau Koksu Nepal yang berada di Nepal, tidak begitu jauh dari tempat di mana dia berkumpul dengan saudara-saudaranya ini.

Sungguh patut dikasihani para penduduk dusun yang didatangi orang-orang cebol itu. Biarpun jumlah mereka hanya ada belasan orang, dan rata-rata bertubuh kecil pendek pula, namun setiap orang penduduk dusun yang coba-coba berani menentang, dengan sekali pukul saja roboh muntah darah!

Maka, ketika mereka itu menculik beberapa orang wanita muda, yang menjadi suami wanita itu, atau ayah atau keluarga mereka, hanya mampu mengutuk dalam hati saja, dengan wajah pucat tangan terkepal mereka hanya dapat melihat betapa wanita-wanita itu diseret dan dibawa masuk ke dalam rumah-rumah terbesar di dusun itu yang untuk sementara waktu diduduki oleh para orang cebol.

Su-ok sendiri bersama lima orang sutenya berpesta-pora dalam kuil, dilayani oleh lima orang gadis tercantik di dusun itu yang telah dipilih oleh lima orang sutenya. Su-ok sendiri sudah sejak lama tidak lagi suka mengganggu wanita, dan hanya membiarkan lima orang sutenya dan para saudara lain untuk memuaskan diri di dusun itu, sambil tersenyum melihat betapa wanita-wanita itu menjerit dan menangis, takut dan juga jijik melihat lagak orang-orang katai yang buas itu.

Akan tetapi, melihat betapa semua laki-laki di dalam dusun itu tidak ada yang berani menentang, akhirnya wanita-wanita yang dipilih oleh gerombolan orang cebol itu terpaksa menerima nasib sambil menangis.

Juga lima orang gadis yang kini melayani Su-ok dan lima orang sutenya makan minum di dalam kuil, tidak lagi memperlihatkan sikap melawan, hanya melayani sambil bermuram durja, dengan pakaian dan rambut kusut, muka pucat dan air mata sudah mengering, kalau sekali-kali digoda oleh mereka dan tubuh mereka diraba, mereka itu hanya menunduk saja tanpa menolak akan tetapi juga tidak pernah mau tersenyum.

Keadaan lima orang sute dari Su-ok itu juga sama mengerikan seperti keadaan Su-ok Siauw-siang-cu sendiri. Melihat wajah mereka, jelaslah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang sudah berusia sedikitnya empat puluh tahun, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berwajah menyeramkan, sungguhpun tidak ada pula yang dapat disebut tampan. Akan tetapi, karena tubuh mereka itu pendek kecil, mereka itu nampak seperti anak-anak yang sudah tua!

Sebetulnya mereka itu nampak lebih lucu daripada menakutkan. Akan tetapi karena tindakan mereka demikian buas, terutama sekali dalam menghadapi para wanita yang mereka tawan, mereka itu demikian penuh nafsu sehingga sama sekali bukan kanak-kanak lagi, maka para wanita itu merasa jijik dan juga takut. Kelihatannya saja mereka itu bertubuh kecil-kecil, namun kalau sudah menarik wanita-wanita itu ke kamar masing-masing, mereka buas melebihi binatang liar!

Setelah disekap selama dua hari dua malam, lima orang gadis itu kelihatan jinak, akan tetapi sebetulnya mereka itu bukan jinak, melainkan sudah patah semangat mereka untuk melawan, penderitaan mereka sudah melampaui batas pertahanan sehingga mereka itu menjadi seperti boneka-boneka hidup yang berwajah pucat dan bergerak seperti dalam keadaan tidak sadar saja. Mereka menurut saja apa yang diperintahkan oleh para orang cebol itu, seperti mayat-mayat hidup.

“Eh, Suheng, apakah engkau sekarang sudah menjadi pertapa betul-betul dan sudah menjauhkan diri dari wanita?”

“Ha-ha-ha, Suheng agaknya hendak menjadi dewa, maka tidak mau menjamah wanita!”

Mendengar kelakar para sutenya itu, Su-ok tertawa bergelak.
“Siapa mau menjadi pertapa atau dewa? Ha-ha-ha, aku masih suka akan semua kesenangan dunia, akan tetapi terus terang saja, aku bosan dengan perempuan, kecuali kalau.... eh, kalau ada seorang perawan yang benar-benar cantik molek. Katakanlah.... eh, puteri istana. Nah, kalau ada perawan istana, tentu saja aku tidak menampik. Akan tetapi segala macam perawan dusun? Huh, menghambur-hamburkan sumber tenaga saja! Padahal kita akan menghadapi lawan tangguh.”

Lima orang sutenya menyeringai dan tangan kiri mereka segera meraih pinggang ramping dari tawanan masing-masing dan menarik tubuh wanita-wanita itu sehingga mereka terduduk di atas pangkuan lima orang cebol itu. Sambil menggunakan tangan kiri menggerayangi tubuh-tubuh wanita itu yang hanya memejamkan mata dan menggeliat sedikit, lima orang cebol itu melanjutkan makan minum.

“Ha-ha-ha, Suheng mengapa kini menjadi demikian kecil hati? Menghadapi seorang lawan saja, apa sih beratnya? Biarpun lawan itu mempunyai nama menjulang setinggi langit seperti.... apa yang kau katakan tadi, Pendekar Super Sakti? Biarpun namanya setinggi langit, menghadapi ilmu kami berlima yang baru kami ciptakan, tanggung dia akan terjungkal!”

“Benar, Suheng, tidak perlu khawatir. Selama Suheng pergi, kami tidak pernah lalai menggembleng diri, bahkan kami telah berhasil menciptakan kerja sama berlima yang merupakan barisan berlima dan kami namakan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur Dari Malaikat Pembuka Jalan). Biar seorang lawan mempunyai kepandaian seperti dewa sekalipun, menghadapi tin kami tentu akan celaka dia!”

Mendengar ucapan para sutenya itu, agak lega rasa hati Su-ok. Dia tahu bahwa masing-masing sutenya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya setingkat lebih rendah daripada tingkatnya sendiri, dan mungkin setingkat dengan kepandaian Ngo-ok, maka kalau mereka berlima ini berhasil menciptakan barisan seperti itu, agaknya tentu amat lihai.

Dia akan dapat membanggakan diri kalau sute-sutenya ini berhasil mengalahkan Pendekar Super Sakti, dan siapa tahu, berkat kelihaian para sutenya, kedudukannya dalam Im-kan Ngo-ok dapat naik!