FB

FB


Ads

Kamis, 18 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 142

“Kai-ong, aku telah melakukan kesalahan besar padamu....!”

Dia berkata dengan suara penuh kedukaan, bukan duka karena menyesali kesalahannya, melainkan duka melihat betapa muridnya yang dianggap sebagai keluarga sendiri itu kini benar-benar telah bertemu dengan keluarga asli muridnya, dan baru terasa olehnya bahwa dia bukan apa-apa, bahwa dia adalah orang luar, tidak berhak terhadap diri muridnya itu, bahkan dia orang luar yang telah melakukan kesalahan terhadap keluarga Yu!

“Kau.... kau.... plakkk!”

Tiba-tiba tangan kanan Sai-cu Kai-ong menampar pipi Hek-sin Touw-ong. Melihat ini, Yu Hwi terkejut bukan main. Akan tetapi yang ditampar masih berdiri dan menundukkan mukanya. Pipi kirinya menjadi merah sekali oleh tamparan itu.

Kedua kakek itu saja yang tahu bahwa betapapun marahnya Si Raja Pengemis, namun dia tadi menampar tanpa mengerahkan tenaga sinkang, karena kalau hal itu dilakukannya, tentu yang ditamparnya sudah roboh dengan tulang pipi remuk! Dan juga, yang ditampar tadi sama sekali tidak mengelak, bahkan sama sekali tidak mengerahkan sinkang untuk melawan atau melindungi pipinya!

“Aku sudah layak kau tampar, bahkan kalau engkau hendak membunuhku sekalipun, Kai-ong, aku tidak akan melawan. Silakan!”

“Engkau tua bangka keparat!” Sai-cu Kai-ong membentak dan tangannya sudah bergerak lagi.

“Kong-kong, tahan....!”

Tiba-tiba Yu Hwi berteriak dan dara ini sudah meloncat ke depan dan memegang lengan kakeknya. Kakeknya memutar tubuh dan menatap wajah cucunya dengan sinar mata penuh selidik.

“Kong-kong, biarlah aku yang mintakan ampun untuk Suhu!” Dara itu menjatuhkan diri berlutut. “Setelah aku mendengar riwayat itu, aku tahu bahwa Suhu bersalah besar kepada keluarga kita, terutama telah membuat Kong-kong menderita duka. Akan tetapi, selama ini, semenjak aku kecil, Suhu telah menjadi guruku, sahabatku, dan juga menjadi pengganti orang tuaku. Kalau Kong-kong mau menghukumnya, biarlah aku yang mewakilinya sebagai pembalas semua budi kebaikannya yang telah dilimpahkan kepadaku selama ini.”

Sai-cu Kai-ong berdiri tegak sambil menunduk, memandang kepala cucunya yang berlutut itu, dan Hek-sin Touw-ong juga berdiri dengan kepala tunduk, kelihatan terharu sekali. Hening sekali suasana di dalam ruangan itu setelah Yu Hwi menghentikan kata-katanya.

Tiba-tiba meledak suara ketawa bergelak yang memecahkan keheningan itu. Hek-sin Touw-ong mengangkat muka memandang, juga Yu Hwi memandang wajah kakeknya dengan penuh keheranan. Kakek itu tertawa bergelak, menghadapkan mukanya ke atas dan tertawa lagi.

“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Kiranya Hek-sin Touw-ong tidak mencemarkan namanya dan tetap terbukti sebagai seorang laki-laki sejati yang pandai mendidik. Touw-ong, aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Engkau telah mendidik Yu Hwi sebagaimana mestinya sehingga dia tetap menjadi seorang dara yang gagah perkasa, berjiwa pendekar, sungguh tidak memalukan sebagai keturunan terakhir keluarga Yu. Ha-ha-ha, kau maafkanlah tamparanku sebagai ledakan kemarahanku tadi, Touw-ong!”

Hek-sin Touw-ong kini juga tertawa, akan tetapi ketika dia tertawa, ada dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya, dua titik air mata yang hinggap di pipi dan cepat dihapusnya dengan punggung tangannya.

“Ha-ha-ha, engkau Raja Pengemis, jembel tua bangka yang menjemukan! Kau bilang menampar, akan tetapi sesungguhnya engkau hanya mengelus pipiku saja. Kalau engkau benar menampar, apakah mukaku yang buruk ini masih utuh sekarang? Ha-ha-ha, mengelabuhi anak sekalipun engkau tidak becus, Raja Pengemis! Sekarang hutangku telah impas, cucumu telah kukembalikan. Dan tentang si sombong Sin-siauw Seng-jin, sampaikan kepadanya bahwa aku mentertawakan dia, katakan bahwa akulah yang dulu mencuri muridnya dan kalau dia tidak terima, dia boleh mencariku. Rumahku tidak tersembunyi seperti rumahnya! Dan katakan lagi bahwa sekumpulan kitab-kitab palsunya telah dicuri orang, dan pencurinya adalah.... ha-ha-ha, cucumu inilah! Jangan heran, Kai-ong, cucumu ini adalah murid Hek-sin Touw-ong, maka jangankan hanya milik manusia macam Sin-siauw Sengjin, biar milik kaisar sekalipun dia sanggup untuk mencurinya tanpa diketahui sang pemilik! Dan kalau si suling sombong itu ingin mendapatkan kitab-kitab palsunya kembali, suruh dia mengambil di rumahku. Nah, aku sudah cukup bicara, dan di antara kita tidak ada hutang-pihutang lagi. Selamat tinggal, Kai-ong!”

Setelah berkata demikian, Hek-sin Touw-ong membalikkan tubuh dan melangkah keluar dengan langkah lebar, tanpa menoleh kepada Yu Hwi lagi.

“Suhu....!”

Yu Hwi meloncat dan menghadang di depan suhunya. Kini tampak olehnya betapa muka suhunya itu basah oleh air mata yang masih menetes-netes dari kedua mata itu dan mengalir di sepanjang kedua pipi yang keriput.

“Suhu....!”

Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut dan menangis di depan kaki suhunya, memegangi tangan suhunya dengan perasaan penuh keharuan. Teringatlah dia akan semua kebaikan suhunya itu semenjak dia masih kecil sekali. Terasa benar olehnya kasih sayang gurunya ini kepadanya. Tahulah dia mengapa tadi suhunya pergi tanpa pamit, bahkan sama sekali tidak menoleh kepadanya. Kiranya suhunya merasa tidak kuat untuk berpamit padanya, dan suhunya hendak menyembunyikan kedukaan hatinya karena harus berpisah darinya, bukan hanya berpisah lahir, bahkan harus memutuskan hubungan karena kini dia sudah kembali kepada keluarganya, kepada kakeknya.

“Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Suhu terhadap teecu, dan sampai mati teecu tidak akan melupakan budi kebaikan Suhu....“

“Swi Hwa, muridku, biarpun engkau adalah Yu Hwi cucu si Raja Pengemis, akan tetapi bagiku engkau tetap Kang Swi Hwa muridku. Engkau sekarang telah kembali kepada kakekmu, seorang gagah perkasa yang patut kau junjung tinggi, patut kau hormati dan patut kau taati. Aku hanyalah seorang maling yang tidak berhak menjadi gurumu, dan aku telah melakukan kesalahan besar terhadap keluargamu. Akan tetapi, biarpun aku tidak mengharapkan lagi untuk kau ingat, aku minta kepadamu, Swi Hwa, agar engkau mempergunakan semua ilmu yang pernah kuajarkan kepadamu untuk membela kebenaran dan keadilan. Nah, sudahlah, muridku, kita berpisah dan jangan ingat aku lagi.”

Sebelum muridnya sempat menjawab, kakek itu telah berkelebat dan lenyap dari situ, melarikan diri dengan mengerahkan tenaga ginkangnya sehingga sebentar saja dia sudah jauh sekali.

“Suhu....!”

Yu Hwi memekik dan hendak mengejar, akan tetapi sebuah tangan memegang pundaknya dengan lembut.

“Yu Hwi, belum pernah keturunan keluarga Yu memperlihatkan kelemahan! Apakah yang kekal di dunia ini? Pengikatan diri hanya merupakan sumber segala derita. Ada waktu berkumpul, pasti ada waktu berpisah.”

Ucapan yang keluar dari mulut kakek Raja Pengemis itu terdengar sedemikian penuh wibawa dan semangat sehingga Yu Hwi atau Kang Swi Hwa atau Ang-siocia seketika berdiri tegak dengan muka agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. Dia dapat merasakan kegagahan yang terpancar keluar dari sikap, kata-kata dan pandang mata kakeknya itu dan dia merasa bangga menjadi keturunan keluarga Yu.






Kebanggaan makin membesar dalam diri dara itu ketika kakeknya mengajaknya berkeliling ke dalam istana kuno itu dan mendengar penuturan kakeknya tentang kebesaran nama keluarga Yu, yaitu keluarga nenek moyangnya yang terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Kiranya dia bukanlah keturunan keluarga sembarangan, dan hatinya mengandung perasaan penasaran! Dia adalah keturunan keluarga Yu yang besar dan gagah perkasa, tidak kalah hebat dibandingkan dengan keluarga Pulau Es, keluarga dari Siluman Kecil!

“Yu Hwi, setelah engkau dapat kutemukan, kita harus cepat-cepat pergi menemui keluarga calon suamimu.”

Ucapan tenang dan lembut dari kakeknya itu mengejutkan hati Yu Hwi bukan kepalang. Namun dara ini dapat menekan perasaannya. Dia adalah keturunan keluarga besar, maka dia pun harus berjiwa besar dan berwatak gagah, tidak boleh memperlihatkan perasaan hatinya! Kenyataan bahwa dia adalah keturunan keluarga besar ini seketika telah mengubah sedikit watak Yu Hwi, mendatangkan semacam keangkuhan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang merasa dirinya “besar”.
.
Maka dengan kekuatan batinnya dia telah berhasil menindas perasaannya yang terkejut ketika mendengar ucapan kakeknya itu dan dia hanya memandang tajam kepada kakeknya. Suaranya terdengar tenang saja ketika dia bertanya.

“Calon suami? Apa yang kau maksudkan, Kong-kong?”

Sikap Sai-cu Kai-ong juga tenang sekali dan diam-diam dia merasa girang melihat sikap cucunya. Benar-benar Si Raja Maling tidak mengecewakan, telah mendidik cucunya ini menjadi seorang dara yang gagah perkasa. Dia tersenyum dan memandang cucunya dengan wajah berseri.

“Yu Hwi, semenjak engkau masih bayi, engkau telah bertunangan. Dan jangan engkau khawatir atas keputusan yang diambil kakekmu ini. Tunanganmu itu bukanlah orang sembarangan. Dia adalah keturunan dari keluarga yang jauh lebih besar dan gagah perkasa daripada keluarga kita malah! Dia adalah keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, satu-satunya keturunan pendekar itu yang masih ada. Dan jangan kau khawatir, Kam-kongcu, calon suamimu itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki kepandaian silat yang amat tinggi karena dia mewarisi kepandaian nenek moyangnya, yaitu, Pendekar Suling Emas.”

Biarpun sikapnya masih tenang, namun sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut. Tentu saja dia sama sekali tidak tertarik mendengar seorang pemuda bernama Kam-kongcu itu, biarpun kakeknya mengatakan betapa pemuda itu tampan dan gagah.

“Kong-kong, mengapa kau mengikat perjodohanku ketika aku masih seorang bayi? Bukankah perjodohan adalah urusan dua orang yang berhak memilih sendiri calon jodohnya sesuai dengan perasaannya?”

Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek menarik napas panjang.
“Boleh jadi benar anggapanmu, cucuku. Akan tetapi di antara kita keluarga Yu dan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam, terdapat ikatan yang amat erat semenjak nenek moyang kita dahulu. Kebetulan sekali keturunan keluarga kita yang terakhir terlahir sebagai seorang wanita, yaitu engkau, dan keluarga Kam yang terlahir sebagai seorang pria. Oleh karena itu, atas persetujuan bersama, engkau kutunangkan dengan Kam-kongcu, sehingga dengan demikian, keturunan Yu biarpun akan putus karena tidak ada lagi keturunan laki-laki, namun keturunanmu akan menjadi keturunan keluarga Kam dan berarti keluarga kita tidak putus melainkan menggabungkan dengan keluarga Kam. Sungguh penggabungan yang amat baik dan mengharukan.”

Suara kakek itu agak gemetar ketika mengatakan kalimat terakhir. Biarpun di dalam hatinya merasa tidak setuju dan tidak senang, namun sebagai keturunan keluarga “besar”, Yu Hwi hanya menunduk. Dia tahu bahwa janji seorang seperti kakeknya itu pasti tidak mungkin dapat ditarik kembali! Maka dia pun akan melihat dulu bagaimana keadaan tunangan itu, kalau kelak dia merasa tidak cocok, sampai bagaimanapun juga dia tidak akan tunduk dan menyerah begitu saja!

Sai-cu Kai-ong merasa girang bukan main ketika dia minta kepada cucunya untuk bersilat mempertunjukkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh cucunya itu dari Touw-ong. Dia merasa kagum melihat kehebatan Kiam-to Sin-ciang, dan lebih kagum sekali melihat kecepatan gerakan tangan cucunya yang memperlihatkan kemahiran ilmunya mencopet, kemudian tertegun melihat cucunya dapat “pian-hoa” (mengubah diri) menjadi orang lain dalam ilmu penyamarannya yang hebat!

“Ah, engkau telah menjadi seorang gadis yang lihai Yu Hwi. Dalam penggemblenganku sendiri, belum tentu engkau akan menjadi lihai seperti ini. Akan tetapi, engkau berhak untuk mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Yu kita, maka engkau harus menghafal semua ilmu itu untuk kemudian kau latih perlahan-lahan.”

Tentu saja Yu Hwi merasa girang sekali dan selama tiga hari tiga malam kakeknya menurunkan ilmu yang amat hebat, yaitu ilmu warisan keluarga Yu yang mengangkat nama keluarga itu selama puluhan, bahkan ratusan tahun, yaitu Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang, ilmu inti dari para raja pengemis perkumpulan Khong-sim Kai-pang! Setelah dara itu menghafal teori ilmu silat ini dengan baik, maka kakek itu lalu mengajaknya untuk pergi menemui tempat tinggal tunangannya!

Yu Hwi tidak membantah, dan jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika dia melakukan perjalanan dengan kakeknya menuju ke tempat tinggal calon suaminya, yang menurut kakeknya tinggal bersama Sin-siauw Seng-jin! Dia tidak pernah menyinggung nama tunangannya itu, akan tetapi mendengar nama Sin-siauw Seng-jin, dia berkata,

“Apakah Kong-kong lupa akan pesan suhu? Aku pernah mencuri kumpulan kitab-kitab dari kakek suling sakti itu. Kalau dia mendengar itu dan melihatku, apakah dia tidak akan marah?”

Kakek itu tertawa.
“Dia marah kepadamu? Ha-ha-ha, tidak mungkin cucuku. Dan dia tentu malah akan tertawa girang melihat kelihaianmu, apalagi kitab-kitab yang kau curi itu hanya kitab-kitab palsu. Sudahlah, jangan khawatir. Kita akan menemui keluarga yang paling hebat dalam dunia ini, dan Sin-siauw Sengjin itu hanya merupakan keturunan dari pelayan saja dari keluarga tunanganmu!”

Diam-diam Yu Hwi terkejut sekali mendengar ini dan timbul keinginan hatinya untuk melihat seperti apakah gerangan macamnya orang yang menjadi calon suaminya itu sehingga kakek sakti Sin-siauw Seng-jin hanya merupakan keturunan pelayan dari keluarga pemuda itu!

Hari telah sore dan cuaca mulai gelap ketika akhirnya kakek dan cucu itu tiba di puncak sebuah bukit kecil yang kini menjadi tempat tinggal Sin-siauw Seng-jin dan para pengikutnya. Di puncak itu terdapat sebuah bangunan sederhana namun cukup besar dan kelihatan sunyi saja. Di sekeliling bangunan terdapat tanaman bermacam-macam sayur dan bunga-bunga, suasananya hening dan bersih sekali.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di depan rumah besar itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri menghadang seorang kakek bertubuh tinggi kurus yang memegang tongkat butut. Yu Hwi kagum melihat gerakan kakek ini yang memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi sehingga dapat bergerak secepat itu.

Sejenak kakek tinggi kurus itu memandang kepada Sai-cu Kai-ong dan Yu Hwi, akan tetapi segera sikapnya berubah ketika dia mengenal Sai-cu Kai-ong. Kalau tadinya dia bersikap galak dan angkuh, kini wajahnya tersenyum dan dia cepat membungkuk dengan hormat.
“Ah, kiranya Kai-ong yang berkenan datang berkunjung. Harap maafkan bahwa guru kami tidak mengetahui sebelumnya sehingga tidak sempat menyambut.”

“Ha-ha-ha, Gin-siauw Lo-jin, engkau makin tua makin gagah saja. Tak usah bersikap sungkan, lebih baik lekas beritahukan gurumu bahwa aku datang dan minta menghadap kepadanya karena urusan keluarga yang amat penting,” kata Sai-cu Kai-ong.

“Silakan Kai-ong masuk dan menanti di ruangan tamu, saya akan melaporkan kepada suhu”, kata kakek itu sambil mempersilahkan dua orang tamu itu masuk. Sai-cu Kai-ong mengangguk dan mengajak Yu Hwi masuk, kemudian mereka berdua duduk di sebuah ruangan yang lebar dan sederhana, sedangkan kakek bertongkat itu lalu mengangguk lagi dan meninggalkan mereka.

“Siapakah kakek lihai itu, Kong-kong? Kalau tidak salah, ketika Sin-siauw Seng-jin bertanding melawan Pendekar Siluman Kecil, aku pernah melihatnya,” bisik Yu Hwi yang masih kagum melihat kakek itu.

“Dia adalah Gin-siauw Lo-jin. Kau lihat, muridnya saja demikian lihai, apalagi gurunya! Dan selihai itu pun masih belum dapat menguasai ilmu-ilmu Pendekar Suling Emas dengan sempurna. Yang dapat menguasainya kelak tentu hanya Kam-kongcu, tunanganmu itu,” kata kakek itu dengan bangga sehingga makin tertarik hati Yu Hwi untuk melihat bagaimana tampangnya pemuda yang dipuji-puji kakeknya ini.

Terdengar suara orang tertawa halus dari arah pintu dalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang bukan lain adalah Sin-siauw Seng-jin sendiri. Kakek ini nampak tua sekali dan begitu melihat tamunya, dia cepat menjura dengan dalam ke arah Sai-cu Kai-ong sambil berkata,

“Ah, sungguh girang sekali mendapat kunjungan Kai-ong yang terhormat. Mengapa tidak memberi kabar lebih dulu sehingga kami dapat mengadakan penyambutan meriah?”

Sai-cu Kai-ong cepat bangkit dan membalas penghormatan sahabatnya itu, kemudian dia menjawab,

“Kami datang secara tergesa-gesa, membawa berita yang amat penting dan tentu akan menggirangkan hati Seng-jin yang sudah tua.”

Kakek berambut putih itu memandang kepada Yu Hwi, dan Si Raja Pengemis tahu betapa sinar mata kakek itu nampak tertegun, kemudian sinar mata itu meneliti ke arah dagu cucunya, maka dia tertawa,

“Ha-ha-ha, Seng-jin, engkau mencari tahi lalat di dagunya?” Dia teringat akan teguran Si Raja Maling kepadanya dan dia tertawa gembira.

Wajah kakek berambut putih itu berubah.
“Apa maksudmu, Kai-ong?”

Kini dia memandang kepada kakek raja pengemis itu penuh keheranan. Memang tadi dia tertegun melihat Yu Hwi, akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan amat besar antara Yu Hwi belasan tahun yang lalu sebagai anak kecil dengan Yu Hwi sekarang yang telah menjadi seorang dara jelita yang sudah dewasa.

Kalau dia tadi memandang tertegun, bukan karena dia melihat persamaan, seperti persamaan antara Yu Hwi dan mendiang ibu kandungnya yang dapat dikenal oleh Sai-cu Kai-ong, melainkan karena dia merasa heran mengapa sahabatnya itu datang membawa seorang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenalnya. Maka, mendengar ucapan sahabatnya tentang tahi lalat di dagu, dia terkejut sekali.

“Maksudku, Seng-jin, bahwa yang berdiri di depanmu ini adalah Yu Hwi, cucuku yang dulu kutitipkan kepadamu kemudian hilang diculik orang.”

Mendengar ini, kakek berambut putih itu terkejut bukan main dan dia melangkah maju ke depan, mendekati Yu Hwi dan memandang makin teliti.

“Ahhhhh.... terima kasih kepada Thian bahwa engkau akhirnya dapat ditemukan dalam keadaan selamat, anak yang baik!” katanya.

“Yu Hwi, lekas beri hormat kepada Sin-siauw Seng-jin, karena dia inilah sesungguhnya gurumu sebelum engkau dilarikan oleh gurumu yang sekarang.”

Biarpun hatinya meragu, apalagi mengingat bahwa dia telah mencuri kitab-kitab milik kakek sakti ini, namun Yu Hwi tidak berani membantah perintah kakeknya dan dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu.

Sin-siauw Seng-jin tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk. Dengan sikap lembut jari-jari tangannya meraba baju di punggung dara itu dan membetotnya. Ada tenaga kuat yang memaksa Yu Hwi bangkit berdiri lagi.

“Jangan banyak sungkan, Yu-siocia. Silakan duduk,” katanya lembut dan Yu Hwi merasa heran mendengar betapa di dalam suara itu terkandung penghormatan yang agak berlebihan, seolah-olah kakek itu merendahkan diri dengan menyebutnya Yu-siocia. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap dan duduk di atas bangku yang ditunjuk, yaitu di depan kakek rambut putih itu.

“Kai-ong yang baik, mengapa engkau tidak cepat-cepat memberi kabar kepadaku bahwa engkau telah menemukan kembali cucumu?” Sin-siauw Seng-jin menegur sahabatnya.

“Ketahuilah, Seng-jin, bahwa aku sendiri pun baru beberapa hari saja bertemu dengan cucuku, dan setelah menurunkan ilmu-ilmu keluarga kami, aku cepat mengajaknya menghadapmu di sini.”

“Ah, kalau begitu maafkan teguranku dan terima kasih atas perhatianmu, Kai-ong. Sekarang, coba kau tolong beri tahu kepadaku, bagaimana engkau dapat menemukan cucumu ini? Siapakah yang menculiknya?”

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.
“Inilah jadinya kalau kita yang sudah tua-tua ini selalu tidak mau kalah mengadu ilmu dengan orang lain. Apakah engkau ingat akan Hek-sin Touw-ong?”

“Ah, Si Raja Maling dari pantai Po-hai yang lihai itu?”

“Benar dia, dan pernahkah engkau bentrok dengan dia?”

Sin-siauw Seng-jin mengangguk-angguk.
“Ah, aku masih menyesal sekali dengan peristiwa itu. Kami sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah sehingga akhirnya dengan menyesal aku terpaksa melukainya.... apa hubungannya dia dengan urusan ini?”

“Bukan hanya jasmaninya yang terluka, akan tetapi juga hatinya, Seng-jin. Karena merasa penasaran, apalagi ketika mendengar bahwa aku, sahabatnya yang akrab, menyerahkan cucuku untuk menjadi muridmu, hatinya menjadi panas sekali dan dialah yang menculik Yu Hwi, yang kemudian diangkat sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri dan dicintanya.”

“Ahhh....!” Wajah kakek tua itu berubah merah, akan tetapi kemarahannya itu segera meluntur. “Salahku sendiri.... semua sebab tentu berakibat....!”

“Engkau benar, tidak perlu kita merasa penasaran karena Si Raja Maling itu tidak berniat buruk terhadap Yu Hwi. Bahkan semua kepandaiannya telah diturunkannya kepada Yu Hwi dan cucuku dicinta seperti anak sendiri. Dan kau tahu apa yang dikatakannya kepadaku untuk disampaikan kepadamu? Bahkan kumpulan-kumpulan kitab palsumu telah dicuri orang, dan pencurinya adalah.... Yu Hwi sendiri!”

“Ahhh....?” Sin-siauw Seng-jin terbelalak memandang kepada Yu Hwi dan dara itu cepat menundukkan mukanya.

“Harap Locianpwe sudi memaafkan kekurang-ajaranku....“

Kakek tua renta itu tertawa pahit.
“Aihhh, si maling itu sungguh tidak kepalang membalas sakit hatinya. Tidak, Yu-siocia, aku tidak marah dan sudah sepatutnya aku menerirna hajaran itu agar aku tidak lagi memandang rendah kepandaian orang lain.”

“Seng-jin, kenapa urusan penting dilupakan dan kita bicara urusan sendiri saja? Mana dia Kam-kongcu? Peristiwa yang amat menggembirakan ini harus kita saksikan, ha-ha-ha! Ingin aku melihat pertemuan antara dua orang calon pengantin yang amat cocok dan sama-sama elok, bukan? Lekas kau persilakan Kam-kongcu keluar!”

Sin-siauw Seng-jin tersenyum gembira dan mengangguk-angguk.
“Wah, aku sudah pikun, Kai-ong. Dia tadi sedang tekun melatih sinkang bagian terakhir. Anak itu dengan cepat dapat menguasai ilmu-ilmu yang paling sukar dan kini sudah melampaui tingkatku. Semua ini berkat bimbinganmu, Kai-ong. Biar kupanggil dia.”

Setelah berkata demikian, kakek itu menoleh ke kiri kemudian bibirnya bergerak mengeluarkan suara lirih, akan tetapi suara lirih ini menggetarkan jantung Yu Hwi yang merasa terkejut setengah mati dan cepat dia pun mengerahkan sinkang untuk menahan jantungnya agar tidak terguncang hebat oleh pengaruh khikang suara itu.

“Kam-kongcu, silahkan keluar ke kamar tamu, di sini ada Suhumu dan tunanganmu!”

Suara itu lirih saja, akan tetapi mengandung getaran amat kuat dan agaknya getaran itu dapat menembus dinding. Hening sejenak setelah gema suara aneh itu lenyap, kemudian lapat-lapat terdengar bisikan yang lirih pula akan tetapi terdengar jelas oleh Yu Hwi.

“Aku datang, Locianpwe....!”

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang halus dari pintu samping ruangan tamu itu. Jantung di dalam dada Yu Hwi berdebar tegang. Kalau dia menurutkan bisikan hatinya yang biasanya wajar, polos dan lincah, tentu dia akan memandang ke arah pintu itu untuk cepat melihat seperti apa gerangan Kam-kongcu yang dikatakan sebagai tunangan atau calon suaminya itu.

Namun, mengingat bahwa dia adalah keturunan keluarga Yu yang “besar”, maka dia menekan perasaan hatinya dan hanya menundukkan mukanya tanpa menoleh. Terasa oleh dia betapa detak jantungnya seperti hendak memecahkan rongga dadanya!

Bukan hanya Yu Hwi saja yang terserang semacam “penyakit”, yaitu kehilangan kebebasan dan kewajaran begitu dia “menempel” kepada sesuatu yang lebih besar atau yang dianggap lebih besar daripada dirinya sendiri. Yu Hwi tadinya adalah seorang dara yang bebas dan wajar, polos dan tidak berpura-pura, hidup lincah gembira tanpa adanya penghalang apa pun.

Akan tetapi, begitu dia merasa bahwa dia adalah keturunan keluarga “besar”, maka dia menyamakan diri dengan kebesaran nama keluarga itu dan merasa dirinya besar pula, dan begitu dia merasa dirinya besar, lenyaplah kewajaran dan kebebasannya karena yang besar itu tentu mempunyai sifat-sifat besar tersendiri pula!

Bukan hanya Yu Hwi yang terserang penyakit itu, melainkan kita pada umumnya pun demikian! Dapat kita lihat di dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita mau membuka mata melihat kanan kiri, depan belakang dan terutama sekali melihat ke dalam diri sendiri, melihat batin sendiri. Betapa kita hidup dalam alam kepalsuan! Betapa kita memaksa diri untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, semua itu hanya karena ingin “menyesuaikan diri” dengan kesopanan, dengan kebudayaan, dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya.

Padahal, apa yang dinamakan kesopanan itu sesungguhnya tidak sopan lagi kalau dilakukan dengan pura-pura, dengan paksaan. Apakah artinya senyum di bibir kalau di dalam hati kita mencibir atau menangis? Apakah artinya sikap sopan di lahir kalau di batin kita memandang rendah? Apakah gunanya sikap ramah dan suka kalau di dalam hati kita membenci? Dan semua keadaan yang bertentangan ini terjadi setiap hari, setiap saat, di dalam kehidupan manusia di seluruh dunia!

Kita kehilangan kewajaran, kehilangan kebebasan, karena kita INGIN DIANGGAP BAIK, kita ingin dianggap sopan, dianggap ramah, maka kita mengejar anggapan itu dengan menggunakan kedok palsu dari kesopanan, keramahan, kebaikan dan selanjutnya! Betapa menyedihkan hal ini! Betapa munafik dan palsunya kita ini. Dapatkah kita hidup tanpa kepalsuan ini, dengan kesopanan yang tidak dibuat-buat, keramahan yang wajar dan tulus, senyum yang memancarkan cahaya kegembiraan dari hati, bukan sekedar usaha agar kita dianggap baik belaka? Dapatkah? Pertanyaan ini amat penting artinya bagi kita kalau kita ingir mengenal dan menyelidiki diri sendiri.

Biarpun sepasang mata Yu Hwi tidak menoleh, namun pendengaran telinganya dapat menangkap setiap gerakan dari orang yang memasuki ruangan itu. Langkah-langkah yang halus dan tetap, tidak tergesa-gesa, gerakan yang lembut.

“Suhu! Teecu girang sekali melihat kedatangan Suhu, dan teecu menghaturkan hormat kepada Suhu!” terdengar suara seorang pria dan hati dara itu tersentak kaget karena dia merasa seperti sudah mengenal suara itu dengan baik sekali.

Akan tetapi “kesopanan” masih membuat dia memaksa diri menundukkan muka, sama sekali tidak berani mengerling ke arah pria yang kini berlutut tak jauh di sebelah kiri bangku yang didudukinya itu. Dia hanya dapat melihat baju yang sederhana di pundak yang lebar.

Sai-cu Kai-ong cepat berdiri dari duduknya, menyentuh pundak pemuda itu untuk ditarik berdiri sambil tertawa.

“Ha-ha-ha! Anak baik, bangkitlah dan perkenalkan calon isterimu yang sudah hilang selama belasan tahun…”

Mula-mula Yu Hwi hanya melirik dengan ujung matanya ketika melihat bayangan tubuh pemuda itu membalik dan menghadap kepadanya, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia sudah mulai dapat memandang wajahnya.

“Kau…?!”

“Ahhhh….”

Walau pun dengan kata-kata yang berbeda, akan tetapi kedua orang ini berseru pada waktu yang bersamaan. Tidak mengherankan apabila dua orang ini sama-sama terkejut bukan main karena mereka sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa orang yang akan ditemuinya adalah yang kini sedang berada di hadapannya. Sejenak mereka hanya saling menatap dengan mata terbelalak, dan akhirnya Yu Hwi yang lebih dahulu mengeluarkan suara setengah berteriak.

“Ternyata kau adanya… laki-laki kurang ajar…!”

Setelah berkata demikian, gadis itu langsung membalikkan badan dan lari ke arah pintu, meninggalkan suara isak bercampur kemarahan. Dua orang kakek dan pemuda yang ternyata Kam Hong adanya, sekejap hanya bengong terlongong, tidak menduga bahwa kejadian akan berlangsung demikian.

Sai-cu Kai-ong yang sadar lebih dahulu kemudian berseru,
“Siauw Hong, cepat kejar anak itu…!”

Seruan Sai-cu Kai-ong ini menyadarkan Sin-siauw Sengjin dan Kam Hong, dan bagai kuda dipecut, tanpa membuang waktu segera Kam Hong berkelebat ke arah pintu pula mengejar bayangan Yu Hwi yang sudah tidak nampak itu. Di dalam ruangan itu kini hanya tersisa dua orang kakek, Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin.

Sai-cu Kai-ong menarik napas, lalu dia berkata,
“Aihhh, anak itu… dengan maksud baik kuajak ke sini untuk memperkenalkannya kepada Kam Hong. Eh, tidak tahunya mereka sudah saling mengenal, dan malah ada rahasia di antara mereka!” Kakek ini menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalau begitu, lebih baik lagi,” kata Sin-siauw Sengjin. “Biarlah mereka saling berkenalan agar kelak mereka tidak menyalahkan kita kalau dalam perjodohan mereka terjadi ketegangan-ketegangan. Dan sebaiknya kalau Kam-kongcu yang mencari sendiri, karena dia telah menguasai ilmu-ilmu nenek moyangnya secara hampir sempurna. Sungguh hebat anak itu, ilmu-ilmu aneh yang selama puluhan tahun tak dapat aku kuasai, kini dia kuasai intinya. Agaknya dia mendapat petunjuk langsung dari arwah leluhur-leluhurnya.”

Ke manakah perginya Yu Hwi? Dan mengapa Kam Hong yang mengejarnya belum juga kembali setelah ditunggu selama semalam suntuk oleh dua orang kakek itu?

Pertanyaan ini juga mengganggu hati Kam Hong yang mencari sampai semalam suntuk tanpa hasil. Pemuda ini merasa khawatir bukan main. Padahal dia telah mempergunakan ilmu ginkangnya yang membuat dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Sudah dijelajahinya seluruh daerah itu, sudah dikejarnya ke empat penjuru, namun dia tidak berhasil menemukan jejak dara yang telah menggerakkan hatinya semenjak peristiwa pembukaan rahasia itu, dara yang ternyata adalah tunangannya, calon isterinya sendiri!

Berbagai perasaan mengaduk di hati Kam Hong. Diam-diam ada perasaan bahagia yang luar biasa oleh kenyataan bahwa tunangannya, calon isterinya yang dipilihkan oleh Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu Kai-ong, adalah justeru gadis yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya itu!

Akan tetapi, perasaan bahagia ini mulai berubah menjadi perasaan gelisah ketika dia tidak berhasil menyusul dan menemukan Yu Hwi. Padahal, dalam hal ilmu berlari cepat, dia menang jauh dibandingkan dengan dara itu. Tidak mungkin rasanya dara itu dapat berlari sedemikian cepatnya sehingga dia tidak mampu menyusulnya. Dia merasa cemas sekali karena menduga tentu telah terjadi sesuatu atas diri tunangannya itu.

Maka, Kam Hong mengambil keputusan untuk mencari terus sampai dia dapat menemukan Yu Hwi dan tidak akan pulang ke tempat tinggal Sin-siauw Seng-jin sebelum dia dapat menemukan Yu Hwi.

Dan mengingat bahwa cerita ini masih panjang, dan akan terlalu panjang kalau harus mengikuti perjalanan Yu Hwi dan Kam Hong, maka terpaksa dua orang muda ini kita tinggalkan, dan cerita tentang mereka akan dapat diketahui dalam sebuah cerita terpisah yang akan terbit kemudian, merupakan sambungan atau juga cabang dari cerita Jodoh Sepasang Rajawali ini.

Cerita tentang Kam Hong dan Yu Hwi akan merupakan sebuah cerita sendiri, karena keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan dari keluarga Raja Pengemis Yu itu akan mengalami hal-hal yang amat hebat. Dan kini kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh lainnya dari cerita ini, yaitu tokoh-tokoh utamanya.

**** 142 ****