FB

FB


Ads

Kamis, 18 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 141

“Uhu-huuuuk-huuu....!”

Dara itu menangis mengguguk sambil berlutut di depan kaki gurunya, memeluk kaki itu dan air matanya bercucuran.

Hek-sin Touw-on terkejut bukan main menyaksikan keadaan muridnya ini. Datang-datang muridnya merangkul kakinya dan menangis sedih seperti itu, sungguh membuatnya bingung sekali. Berkali-kali dia menyuruh muridnya menceritakan apa yang begitu menyusahkan hatinya, namun Kang Swi Hwa atau Ang-siocia tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, hanya menangis mengguguk makin sedih sehingga akhirnya kakek itu maklum bahwa dia harus membiarkan muridnya menangis dulu sampai kedukaan yang menyesak di dada itu terlampiaskan dalam tangisnya.

Dari mana timbulnya duka? Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran dan tidak sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah untuk menolong dirinya dari ancaman bahaya karena duka, yaitu dengan jalan menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan peristiwa ini dapat melampiaskan duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu dapat membanjir keluar. Akan tetapi dari manakah timbulnya duka? Jelaslah bahwa duka timbul dari pikiran sendiri.

Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang sudah lewat, hal-hal yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok dengan apa yang dikehendaki sehingga hal yang telah terjadi itu mendatangkan kekecewaan yang kemudian menciptakan rasa nelangsa dan iba kepada diri sendiri, menjadi duka. Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak sadar, pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin diselubungi kenangan hal-hal yang sudah lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka, yang datang menyerang, kita ingin lari dari duka, kita ingin menghibur dan melupakan hal yang mendukakan.

Usaha menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri! Kita tidak pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana adanya mengamati duka dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, betapa kita mengenang-ngenang hal yang merugikan itu, terus mengunyah-ngunyah kenangan itu sehingga semua kenangan itu seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang meremas-remas hati kita sendiri!

Untuk dapat terbebas dari duka, kita harus mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan inilah maka akan timbul pengertian yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan menimbulkan kesadaran yang dengan sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita berusaha menghilangkannya.

Namun sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri ter¬seret ke dalam arus suka-duka ini. Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan yang mendatangkan suka, untuk kemudian diseret ke dalam duka kembali, dan demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang berupa suka dan duka. Dan lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bahwa memang sudah demikian itulah hidup! Seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini kecuali menjadi hamba suka duka yang menyedihkan.

Akhirnya reda juga tangis Ang-siocia, tinggal terisak-isak jarang. Gurunya, kakek Hek-sin Touw-ong lalu mengangkatnya bangun dan disuruhnya murid itu duduk di atas bangku di depannya. Mereka berada di dalam sebuah kuil rusak dan mereka duduk di atas bangku-bangku batu yang kasar. Kuil itu berada dalam sebuah hutan di lereng bukit.

“Swi Hwa, mengapa engkau menangis seperti ini? Sungguh memalukan sekali melihat muridku menangis seperti seorang perempuan lemah yang cengeng. Mana kegagahan yang kugemblengkan pada dirimu selama bertahun-tahun ini?”

Kakek itu menarik napas panjang, agaknya dia melihat bahwa betapapun gagahnya, muridnya itu hanya seorang wanita, dan menurut kata pujangga kuno, wanita tidak dapat dipisahkan dari air mata!

“Suhu, maafkan teecu....“ Gadis itu berkata di antara isaknya.

“Hemmm, entah sudah berapa ratus kali selama menjadi muridku engkau minta maaf, dan sebanyak itu pula aku selalu memaafkanmu. Sekarang, ceritakan, mengapa kau menangis?”

“Suhu.... teecu ingin mati saja....!”

Gadis itu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah antara jari tangannya nampak air matanya menetes.

“Hehhh? Apa-apaan lagi ini? Mana bisa manusia minta mati kalau belum tiba saatnya? Kalau sudah tiba saatnya, tanpa diminta pun akan mati. Hayo bilang, mengapa kau sampai mengeluarkan kata-kata gila ini? Apa yang terjadi dengan dirimu?”

Gadis itu menggeleng kepala, lalu menurunkan kedua tangan dari depan muka. Mukanya yang cantik itu agak pucat dan amat muram, basah oleh air matanya. Hati kakek itu terkejut dan kasihan juga melihat ini karena maklumlah dia bahwa muridnya ini mengalami pukulan batin yang parah juga.

“Tidak terjadi apa-apa dengan diri teecu, akan tetapi telah terjadi hal yang hebat dengan diri.... dia....“ Gadis itu megap-megap seperti ikan di darat.

“Dia? Dia siapa?”

Hek-sin Touw-ong bertanya, memandang wajah muridnya penuh selidik karena dia khawatir kalau-kalau kesedihan membuat muridnya ini mengalami guncangan batin yang akan mengganggu ketenangan jiwanya.

“Dia Pendekar Siluman Kecil....!”

Alis kakek itu berkerut. Dia sudah mengerti bahwa muridnya ini tergila-gila kepada pendekar sakti itu.

“Ada apa dengan dia?” desaknya.

Siluman Kecil itu menurut muridnya dapat mengalahkan Sin-siauw Seng-jin, berarti memiliki kesaktian setinggi langit yang sukar diukur lagi, maka apakah yang dapat menimpa seorang pendekar sakti seperti itu? Apakah pendekar itu terkena malapetaka maka muridnya menjadi berduka seperti ini?

“Siluman Kecil? Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi?”

“Dia.... dia.... mencinta wanita lain, Suhu.... uuuhhhu-hu-huuuhhh....!” Dara itu menangis lagi.






Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya dan memandang kepala yang menunduk dan pundak yang berguncang-guncang dalam tangisnya itu. Dia menarik napas panjang berkali-kali dan hatinya penuh rasa iba kepada muridnya ini. Terbayanglah semua peristiwa semenjak dia mengambil anak itu sebagai murid. Dia tahu bahwa Kang Swi Hwa adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong yang dititipkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk dilatih ilmu silat. Karena penasaran terhadap Sin-siauw Seng-jin, maka dia menculik anak itu untuk dilatihnya sendiri.

Akan tetapi kemudian, maksud yang hanya ingin menimpakan rasa penasaran itu kepada Sin-siauw Seng-jin, akhirnya berubah setelah dia mulai mencinta murid itu sebagai puterinya sendiri! Maka anak itu pun dididiknya terus sampai menjadi dewasa dan dia telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya, baik ilmu silat, ilmu maling dan ilmu menyamar kepada dara itu.

Dia tahu bahwa muridnya ini adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong, seorang yang sudah dikenalnya dengan baik maka dia pun mendidik muridnya itu sekuat tenaganya sehingga muridnya kini memiliki tingkat kepandaian yang sudah hebat, hampir menyamai tingkatnya sendiri.

Maka ketika dia mendengar betapa muridnya itu “dihina” secara tidak sengaja oleh murid Sai-cu Kai-ong, dia terkejut bukan main dan heran mengapa justeru murid dari kakek gadis ini yang bertemu dan “menghina” nya! Maka timbul pula niatnya untuk menjodohkan muridnya dengan pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, dengan demikian, selain untuk menebus kesalahannya terhadap Sai-cu Kai-ong, juga untuk menghapus aib yang telah dialami oleh Swi Hwa.

Dia sengaja mengganti nama muridnya yang ketika itu masih kecil sekali sehingga tidak mungkin dapat mengingat apa-apa, mengganti namanya menjadi Kang Swi Hwa, bahkan dia telah menghapus tahi lalat di dagu anak itu agar tidak akan dikenal oleh Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin! Dan kini, ternyata muridnya itu mencinta Siluman Kecil dan merana, patah hati, karena Siluman Kecil mencinta gadis lain!

Setelah sejenak membiarkan dara itu menangis lagi, dengan hati terharu Hek-sin Touw-ong lalu memegang kedua pundak muridnya, dan berkata dengan suara menghibur,

“Kalau begitu, masih jauh lebih baik bagimu, muridku....“

Mendengar ini, dara itu mengangkat mukanya yang basah air mata itu, memandang gurunya dengan penasaran.

“Lebih baik....? Apa.... apa maksud Suhu?” Dia sedih setengah mati, gurunya malah mengatakan lebih baik! Hati siapa tidak menjadi penasaran?

Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menarik napas panjang.
“Jauh lebih baik gagal sebelum menikah, daripada gagal setelah menjadi suami isteri.... seperti gurumu ini....“

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak. Tak disangkanya gurunya akan berkata demikian. Gurunya tidak pernah bercerita tentang diri sendiri, bahkan tidak pernah bercerita tentang riwayatnya, tentang ayah bundanya.

“Apakah Suhu pernah menikah?” tanyanya, hatinya tertarik karena seluruh perhatiannya tertarik akan keadaan suhunya, maka otomatis dia melupakan diri sendiri dan lenyaplah seketika rasa duka di hatinya.

Memang, kedudukan bukan lain hanyalah permainan ingatan, permainan pikiran yang mengingat-ingat dan membayang-bayangkan, penuh dengan iba diri. Begitu pikiran meninggalkan semua itu, ditujukan kepada lain hal dengan penuh perhatian, maka duka pun lenyap tanpa bekas!

Kakek itu mengangguk.
“Aku pernah menikah, akan tetapi terdapat ketidak cocokan dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami hidup menderita, seperti dalam neraka karena percekcokan terjadi setiap hari. Akhirnya, setelah menikah selama tiga tahun tanpa ada keturunan, kami terpaksa berpisah, dan semenjak itu, aku tidak mau lagi menikah....“

Melihat wajah suhunya membayangkan penderitaan batin, seketika lupalah Swi Hwa akan kesusahan hatinya sendiri. Dia memandang kepada suhunya dengan hati penuh perasaan iba. Akan tetapi kakek itu lalu melanjutkan,

“Karena itulah, Swi Hwa, kukatakan lebih baik gagal sebelum menikah seperti yang kualami ini. Bayangkan saja kalau kegagalanmu ini terjadi setelah engkau menikah dengan seorang suami yang tidak menaruh cinta kepadamu, tentu akan lebih pahit dan sengsara lagi.”

Dara itu kini menunduk, dia mengerti akan maksud ucapan gurunya itu.
“Jadi, dalam pernikahan Suhu itu hanya terdapat cinta sepihak?”

Hek-sin Touw-ong mengangguk.
“Ya, hanya dariku adanya cinta itu, tidak dari fihaknya. Maka, kalau Siluman Kecil tidak mencintamu dan mencinta orang lain, apa yang perlu disesalkan? Dunia tidak hanya setapak tangan lebarnya, dan masih terdapat banyak sekali pria yang cukup baik untuk menjadi calon jodohmu. Terutama sekali, kita harus mencari pemuda bernama Siauw Hong itu, karena menurut pandanganku, hanya dialah yang harus menjadi suamimu, karena dia yang pernah melihat tubuhmu!”

Dara itu makin menunduk dan mukanya berubah merah mendengar ucapan ini, karena dia teringat akan peristiwa itu, ketika dia yang menyamar sebagai pria terbuka rahasianya oleh Siauw Hong, ketika Siauw Hong berusaha mengobatinya dan memeriksa dadanya!

“Hanya ada dua pilihan terhadap pemuda itu. Membunuhnya atau menikah dengan dia! Kehormatan dan nama baikmu tergantung sepenuhnya kepada persoalan ini, muridku. Maka, marilah engkau ikut bersamaku pergi mencari Sai-cu Kai-ong untuk membicarakan urusan muridnya itu.”

“Tapi.... Suhu, teecu belum mempunyai ingatan untuk menguruskan persoalan jodoh sebelum.... sebelum teecu mendengar dari Suhu tentang keadaan keluarga teecu. Suhu selalu mengelak dan tidak mau memberi keterangan kepada teecu. Sekarang teecu mohon Suhu suka memberi penjelasan. Siapakah ayah bunda teecu? Apakah mereka masih hidup dan mengapa teecu sejak kecil ikut bersama Suhu?”

Kakek itu menghela napas.
“Dalam hal ini aku berdosa kepadamu, muridku. Ketahuilah, bahwa engkau adalah seperti cucu atau anak angkatku sendiri, di samping engkau muridku satu-satunya. Dan terus terang saja, aku tidak dapat menceritakan tentang keluargamu karena memang aku tidak tahu. Hanya ada satu orang saja yang akan dapat menceritakan hal itu kepadamu.”

“Siapa dia, Suhu?”

“Dia adalah Sai-cu Kai-ong....“

“Apa....?” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak lebar. “Kakek sakti guru.... Siauw Hong itu....?”

Hek-sin Touw-ong mengangguk.
“Muridku, agaknya sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang meliputi dirimu. Akulah yang bertanggung jawab akan semua itu. Maka, mari kau ikut bersamaku menemui Sai-cu Kai-ong, sekalian kita bicarakan urusan muridnya itu.”

Dara itu mengangguk sambil menundukkan mukanya. Dia akan selalu merasa canggung dan malu kalau bicara tentang pemuda yang menjadi pangeran pengemis itu, karena nama Siauw Hong selalu mengingatkan dia akan peristiwa yang dialaminya, ketika rahasia penyamarannya sebagai pria terbuka oleh pemuda itu.

Berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan kuil tua itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang-siocia lari mengejar ketika melihat Siluman Kecil pergi, kemudian di tengah perjalanan dia bertemu dengan Siang In.

Mereka berpisah dan tanpa disengaja, kembali dia bertemu dengan Siang In yang sedang berkasih-kasihan dengan Siluman Kecil. Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Kang Swi Hwa melihat betapa pria yang dikaguminya dan diam-diam dicintanya itu ternyata saling mencinta dengan seorang gadis lain. Maka dia lalu diam-diam meninggalkan tempat itu sambil menangis.

Dia tidak tahu bahwa ketika dia lari meninggalkan benteng yang terbakar, dari jauh gurunya selalu membayanginya dan melihat dara itu menangis, Hek-sin Touw-ong lalu mengejar, menyusulnya dan mengajaknya istirahat di kuil tua itu dan bertanya apa yang disusahkan oleh muridnya. Karena kakek ini membayangi muridnya dari jauh, maka dia tidak ikut menyaksikan apa yang menjadi sebab muridnya berduka, dia tidak melihat betapa Siluman Kecil sedang berkasih-kasihan dengan Siang In.

Beberapa hari kemudian guru dan murid ini sudah tiba di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Dari lereng saja sudah nampak bangunan besar kuno yang dahulunya merupakan bangunan semacam istana megah dari raja pengemis, nenek moyang dari Sai-cu Kai-ong.

Berbeda dengan nenek moyangnya, Saicu Kai-ong kini tidak suka menonjolkan diri dan biarpun dia dijuluki Kai-ong dan pengaruhnya masih besar sekali, dianggap sebagai datuk kaum pengemis dan dipuja-puja oleh semua perkumpulan pengemis, namun dia tidak secara langsung memimpin para pengemis itu. Dia lebih senang menyembunyikan diri di dalam bekas istana nenek moyangnya itu, hidup bersunyi di puncak Bukit Nelayan.

Ketika guru dan murid itu telah berdiri di depan rumah kuno yang kelihatan kosong dan sunyi itu, Hek-sin Touw-ong lalu berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya bergema sampai terdengar dari tempat jauh.

“Kai-ong, ini sahabatmu Touw-ong ingin berjumpa denganmu!”

Memang kedengarannya lucu. Touw-ong (Raja Maling) ingin bertemu dengan Kai-ong (Raja Pengemis)! Suara dari Hek-sian Touw-ong menimbulkan gema yang panjang dari dalam gedung besar itu, dan tak lama kemudian terdengar suara yang nyaring dari dalam gedung.

“Selamat datang, Touw-ong! Pintu rumahku tidak tertutup, harap kau masuk saja!”

Agaknya di antara kedua orang sakti itu terdapat jalinan persahabatan yang sudah akrab, maka mereka menggunakan kata-kata yang ramah dan kasar, tanpa banyak peraturan dan sopan santun yang biasa timbul antara orang-orang yang baru berkenalan. Hek-sin Touw-ong tertawa bergelak, kemudian mengajak muridnya memasuki pintu gerbang besar dari rumah kuno itu.

Hek-sin Touw-ong sendiri hidup sebagai seorang yang kaya, memiliki rumah besar yang terjaga oleh banyak pelayan, maka tentu saja guru dan murid ini tidak asing dengan rumah-rumah besar dan mewah. Akan tetapi, ketika memasuki istana tua ini, dara itu merasa serem juga, dan kagum melihat hiasan-hiasan kuno yang antik dan indah.

Rumah kuno yang besar itu nampak sunyi menyeramkan karena kelihatan kosong tanpa ada seorang pun manusia yang menjaganya, kelihatan dingin karena kurangnya manusia di situ. Berindap-indap dara ini berjalan di samping gurunya, memandang ke kanan kiri seperti memasuki sebuah gua yang penuh ancaman bahaya.

Akan tetapi Hek-sin Touw-ong yang dahulu sudah sering memasuki gedung ini, berjalan seenaknya dan dengan wajah gembira, sungguhpun terdapat ketegangan yang nampak dari kerutan di antara kedua alisnya.

Kakek ini merasa gembira karena dia akan mengejutkan dan mendatangkan kegembiraan besar kepada sahabat lamanya ini dengan mengembalikan cucunya, akan tetapi juga dia merasa tegang karena merasa bersalah telah menculik cucu sahabatnya yang diserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk menjadi murid Kakek Suling Sakti itu. Juga hatinya tegang mengingat bahwa pemuda yang pernah “menghina” muridnya adalah murid sahabatnya ini.

Ketika mereka tiba di dalam sebuah ruangan, muncullah seorang kakek yang gagah perkasa, dan biarpun usianya sudah lebih dari enam puluh lima tahun, namun tubuhnya yang tinggi tegap itu masih nampak kokoh kuat, pakaiannya sederhana, pandang matanya tajam dan penuh kejujuran dan kegagahan.

Kakek ini, menggunakan sinar matanya menyapu wajah dua orang tamunya dan dia agaknya merasa puas sekali melihat keadaan Hek-sin Touw-ong karena sahabat lamanya itu masih nampak sehat dan sederhana, dengan mukanya yang hitam terbakar matahari dan pakaiannya yang serba hitam pula.

Dia tahu bahwa Si Raja Maling ini amat kaya raya, namun pakaian dan sikapnya jelas membuktikan bahwa kakek itu tidak membanggakan kekayaannya. Ketika Sai-cu Kai-ong, kakek tuan rumah itu, memandang wajah Ang-siocia, dia kelihatan tertarik sekali, bahkan seperti orang tertegun dan sinar matanya melekat pada wajah dara itu.

Kalau orang tidak mengenal bahwa kakek ini adalah seorang kakek sakti yang gagah perkasa, yang sudah tidak tertarik lagi oleh wanita muda dan cantik, maka tentu orang akan menyangka dia mata keranjang dan terpesona oleh kecantikan Ang-siocia.

Melihat tuan rumah seperti tertegun memandangnya, dengan sinar mata penuh selidik menjelajahi setiap bagian wajahnya, Ang-siocia mengerutkan alisnya dan diam-diam hatinya sudah merasa tidak senang, dan dia menyangka bahwa kakek itu tentu tergolong pria tua yang cabul dan mata keranjang! Akan tetapi tidak demikian dengan gurunya, Hek-sin Touw-ong tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Kai-ong, dia ini adalah muridku, mengapa engkau memandanginya seperti itu? Apakah engkau sudah mengenal muridku ini?” tanya Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.

Kalau memang dia terpesona oleh kecantikan gadis itu, tentu Sai-cu Kai-ong akan merasa canggung dan malu mendengar teguran itu, akan tetapi karena memang dia sama sekali tidak ada pikiran yang tidak patut, teguran itu diterimanya secara sungguh-sungguh dan dia pun menjawab tanpa melepaskan pandang matanya dari Ang-siocia.

“Serasa kukenal dia.... wajahnya serupa benar dengan.... mantuku yang telah meninggal dunia.... akan tetapi....“ kini matanya meneliti ke arah dagu Ang siocia.

“Ha-ha-ha, pengemis tua bangka, engkau mencari-cari sebuah tahi lalat kecil di dagu?”

Mendengar ini, secepat kilat kakek itu menoleh dan memandang kepada tamunya dengan sinar mata berkilat, wajahnya berubah pucat.

“Engkau maling tua, hayo katakan yang sebenarnya, apa maksudmu itu? Dari mana kau tahu tentang tahi lalat di dagu?”

Tiba-tiba mata kakek itu terbelalak dan dia menoleh lagi kepada Ang-siocia, memandang wajah dara itu, kemudian dia menoleh lagi kepada Hek-sin Touw-ong, suaranya gemetar ketika dia berkata,

“Touw-ong, demi Tuhan! Siapakah dia ini? Benarkah dia ini....?”

“Kai-ong, mari kita duduk yang baik dan akan kuceritakan sesuatu yang pasti akan mendatangkan kegembiraan besar bagimu.”

Dengan mata masih memandang kepada Ang-siocia, tuan rumah itu membawa dua orang tamunya ke sebuah ruangan dan mereka duduk berhadapan. Kemudian tuan rumah itu memandang wajah Si Raja Maling, dan dari sinar matanya dia mengajukan seribu satu macam pertanyaan.

“Kai-ong, tak perlu kujelaskan lagi, engkau tentu mengenal baik Sin-siauw Seng-jin, bukan? Biarpun engkau belum pernah membongkar rahasia kakek suling sakti itu, namun aku dapat menduga bahwa antara engkau dan dia terdapat suatu ikatan yang amat mendalam. Benarkah demikian?”

Urusan yang menyangkut Sin-siauw Seng-jin merupakan rahasia besar bagi Si Raja Pengemis, akan tetapi karena dia percaya bahwa Raja Maling ini merupakan seorang gagah yang dapat dipercaya, maka tanpa banyak cakap lagi dia mengangguk.

“Nah, terus terang saja, aku pernah bentrok dengan kakek yang angkuh dan sombong itu dan aku telah kalah olehnya. Memang dia lihai bukan main dan betapapun aku berusaha, aku tidak pernah dapat menangkan kakek yang penuh rahasia itu.”

Sai-cu Kai-ong tersenyum.
“Hal itu tidak aneh, Touw-ong. Aku sendiri pun tidak akan mampu menandinginya.”

“Dan aku merasa penasaran, bukan main,....“

“Ahhh, orang-orang macam kita ini, tua bangka-tua bangka yang sudah banyak makan garam dunia, masa masih harus merasa penasaran kalau dikalahkan orang? Engkau tentu tahu bahwa tidak ada orang terpandai di dunia ini” cela Si Raja Pengemis.

“Engkau benar. Akan tetapi entah bagaimana, aku merasa penasaran sekali. Lebih-lebih ketika aku mendengar betapa engkau mempercayakan seorang cucumu kepada kakek sombong itu untuk dididik! Kai-ong, engkau memang terlalu. Kalau hanya untuk mendidik cucumu saja, di dunia ini masih banyak sahabat-sahabat lainmu yang tidak sombong, dan termasuk aku yang tentu akan bersedia untuk menurunkan seluruh ilmu tak berharga yang ada padaku kepada cucumu. Akan tetapi, engkau justeru menyerahkan cucumu itu kepada kakek tekebur yang kubenci itu! Tentu saja aku menjadi makin penasaran saja.”

Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya.
“Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Touw-ong? Urusan keluarga adalah urusan kami sendiri dan kalau aku menyerahkan cucuku kepada Sin-siauw Seng-jin, hal itu tentu terjadi dengan suatu sebab dan alasan yang kuat. Kalau tidak demikian, apa kau kira aku malas untuk mendidik cucuku sendiri?”

Hek-sin Touw-ong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
“Agaknya engkau benar pula. Akan tetapi ketika itu aku dibikin buta oleh perasaan penasaranku terhadap si suling sombong itu, maka aku tidak dapat berpikir jernih. Untuk melampiaskan kemarahan dan rasa penasaranku, aku lalu memasuki rumahnya dan.... kuculik cucumu itu, kubawa pergi!”

Terdengar teriakan nyaring dan Sai-cu Kai-ong sudah bangkit berdiri dari bangkunya, matanya melotot dan mukanya menjadi merah sekali. Mendengar teriakan nyaring tadi, Ang-siocia terkejut bukan main karena dia merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan tentu dia sudah roboh kalau saja dia tidak cepat mengerahkan sinkangnya untuk melawan serangan suara yang luar biasa itu. Itulah Ilmu Sai-cu Ho-kang yang dikeluarkan oleh Sai-cu Kai-ong dalam kemarahannya.

“Hemmm, jadi kiranya engkaukah yang menculik cucuku itu?” Suara Raja Pengemis itu terdengar penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan-tahan.

Akan tetapi Hek-sin Touw-ong masih bersikap tenang saja sungguhpun wajahnya berubah agak pucat. Dia mengangguk.

“Benar, Kai-ong, akulah yang menculiknya, dan aku tidak menyesal karena aku menganggap anak itu seperti anakku atau cucuku sendiri, aku menurunkan seluruh ilmuku kepada muridku itu....“

“Suhu....!”

Ang-siocia berteriak kaget mendengar ini. Sejak tadi dia mendengarkan saja tanpa mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu. Akan tetapi, ucapan terakhir suhunya itu membuka matanya. Kiranya dialah anak kecil yang dipercakapkan itu. Dialah cucu Raja Pengemis ini yang dititipkan kepada Sin-siauw Seng-jin kemudian diculik oleh suhunya! Pantas saja suhunya rnengatakan bahwa yang dapat menceritakan semua keluarganya adalah Sai-cu Kai-ong yang ternyata adalah kakeknya sendiri!

“Dia.... dia ini Yu Hwi cucuku....? Tapi.... tapi....“

Sai-cu Kai-ong memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat, suaranya gemetar karena keharuan yang mendalam.

“Maksudmu tahi lalatnya? Tahi lalat di dagu itu telah kuhilangkan dengan obat, dan dia pun hanya mengenal namanya sebagai Kang Swi Hwa, atau julukannya Ang-siocia murid Si Raja Maling.”

“Yu Hwi.... kau.... kau cucuku....“ Sai-cu Kai-ong berseru dan melangkah maju.

Kang Swi Hwa atau lebih tepat lagi Yu Hwi juga memandang kakeknya itu, yang agaknya merupakan satu-satunya keluarganya, maka dia pun lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu.

“Kong-kong....!”

“Yu Hwi.... ah, Yu Hwi....!” Kakek itu mengangkat dara itu dengan memegang kedua pundaknya, memandangi wajah itu. “Benar, benar...., engkaulah satu-satunya keturunan keluarga Yu kita.... wajah dan mulutmu serupa dengan mendiang ibumu, akan tetapi matamu.... ah, matamu adalah mata keturunan keluarga Yu....!”

Kakek itu merasa terharu sekali dan memeluk cucunya. Tak dapat menahan keharuan hatinya, Yu Hwi menangis.

Hek-sin Touw-ong tertegun. Baru sekarang dia merasa betapa dia telah melakukan suatu kesalahan besar. Dia melihat sekarang persamaan sinar mata kedua orang itu, dan dia merasa betapa dia telah membuat sahabatnya itu menderita hebat. Dia tidak mengira sama sekali bahwa sahabatnya itu pun baru belum lama ini mendengar tentang hilangnya Yu Hwi, baru setelah Sin-siauw Seng-jin menemuinya beberapa bulan yang lalu. Tadinya, Raja Pengemis itu mengira bahwa cucunya masih belajar pada Kakek Suling Sakti itu dalam keadaan sehat.