FB

FB


Ads

Selasa, 16 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 139

Hal itu pun mendatangkan penyesalan yang amat hebat di dalam hatinya. Setelah itu, dia harus pula melihat kehancuran hati seorang dara yang amat baik, yaitu Phang Cui Lan, karena dia tidak dapat memaksa diri membalas cinta dara yang bijaksana itu. Dan masih ada lagi Ang-siocia yang dia lihat ada gejala jatuh cinta kepadanya pula, dan juga dia tidak mungkin dapat membalas cinta murid Raja Maling itu.

Kini, setelah dia tertarik secara hebat kepada Siang In, dara yang di waktu remajanya memang pernah menarik hatinya akan tetapi karena ketika itu Siang In masih merupakan seorang dara remaja, maka hal itu tidak berkesan mendalam di hatinya, setelah kini dia merasa suka sekali, mungkin jatuh cinta kepada Siang In, dara ini malah menyimpan dendam sakit hati kepadanya karena kenakalannya dahulu, yaitu mencium dara ini, ciuman yang sesungguhnya ketika itu tidak berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi yang sekarang, setelah timbul rasa kagumnya terhadap Siang In, agaknya menjadi hidup kembali dan mendatangkan kesan yang amat mendalam.

“Aku sudah salah.... aku sudah berdosa besar, terserah kepadamu, hendak memberi hukuman apa kepadaku kalau engkau tidak dapat memaafkan aku, Siang In,” katanya dengan nada sedih dan muka tunduk sehingga dia tidak melihat betapa sinar mata yang tadinya keras dari dara itu kini melembut, bahkan nampak dara itu seperti terharu.

“Selama bertahun-tahun ini aku mencarimu untuk.... untuk membunuhmu!”

Kian Bu mengangkat mukanya dan terbelalak.
“Membunuhku....? Hanya untuk kesalahan.... men.... eh, menciummu itu....? Siang In, engkau agak terlalu keras! Memang aku bersalah dan aku menyesal, aku minta maaf, akan tetapi engkau hendak membunuhku? Ini sih.... keterlaluan....“ Wajah pemuda itu berubah agak pucat karena dia merasa penasaran.

“Memang tadinya aku ingin membunuhmu, sungguhpun aku tahu bahwa tidak mungkin aku akan dapat melakukannya. Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada semua ilmu yang kumiliki, bahkan guruku sendiri sekalipun takkan mampu menandingimu. Biarpun begitu, aku tetap akan berusaha membunuhmu karena apa yang kau lakukan itu hanya dapat dicuci dengan melayangnya nyawamu atau nyawaku.”

Kian Bu terkejut bukan main, wajahnya menjadi pucat.
“Ah, Siang In, mengapa pikiranmu demikian sempit? Urusan yang telah lalu itu terjadi ketika kita masih remaja dan aku.... aku masih belum dewasa. Mengapa kau jadikan soal yang demikian hebatnya? Tidak bisakah engkau memaafkan aku?”

Dara itu menyandarkan punggungnya di atas batang pohon dan sejenak dia menatap wajah Kian Bu penuh perhatian, lalu dia menarik napas.

“Memang aku sudah meragu, dan agaknya hanya ada dua pilihan bagiku, membunuhmu atau memaafkanmu. Akan tetapi untuk itu, aku harus yakin dulu dan inilah yang membuat aku selama bertahun-tahun ini ragu-ragu dan selama hidupku akan meragu kalau tidak ada keyakinan sekarang juga selagi kita bertemu. He, Kian Bu! Benarkah engkau menyesali perbuatanmu dahulu itu? Benarkah engkau menyesal dan minta maaf bahwa engkau dahulu pernah menciumku?”

Timbul harapan di dalam hati Kian Bu. Tadinya dia sudah khawatir setengah mati. Dara seaneh Siang In ini mungkin saja melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya, kalau tidak berhasil membunuhnya mungkin saja akan membunuh diri untuk “mencuci aib” dan kalau sampai terjadi demikian, tentu selama hidupnya dia akan merana dan merasa berdosa. Dan dia.... dia mulai tertarik dan mencinta dara ini! Maka, mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siang In!

“Siang In, demi Langit dan Bumi, aku sungguh merasa menyesal dengan perbuatanku beberapa tahun yang lalu itu, dan aku mohon maaf kepadamu atas perbuatanku itu,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh karena memang dia rela minta maaf seperti itu daripada harus melihat dara itu mati di tangannya atau mati membunuh diri!

Dia menundukkan mukanya sehingga tidak melihat betapa perbuatannya itu membuat wajah yang cantik itu sejenak berseri dan matanya bercahaya! Akan tetapi hanya sebentar saja karena sambil bersandar kepada batang pohon itu, Siang In berkata dengan suara seperti orang yang sama sekali tidak tertarik atau bahkan kesal melihat sikap Kian Bu yang berlutut kepadanya mohon maaf itu!

“Tidak begitu mudah untuk memaafkan dan menghabiskan persoalan itu begitu saja! Aku harus yakin dulu dan untuk membuktikan penyesalanmu, engkau harus dapat memenuhi permintaanku.”

Suaranya terdengar keras dan tenang, akan tetapi suara itu agak gemetar, tanda bahwa di balik ketenangannya, dara itu hendak menyembunyikan perasaan tegangnya.

Mendengar ini, Kian Bu meloncat berdiri, timbul harapannya.
“Baik, aku akan memenuhi semua permintaanmu, Siang In! Katakanlah, apa yang harus kulakukan?”

Kian Bu maklum sepenuhnya bahwa kesanggupan seperti itu merupakan kebodohan, akan tetapi kesanggupannya itu tidaklah ngawur, karena berdasarkan keyakinan hatinya bahwa seorang gadis gagah perkasa seperti Siang In, yang sudah bersahabat erat dengan kakaknya, tentulah merupakan seorang gadis yang berjiwa luhur dan tidak akan minta dia melakukan suatu kejahatan.

Dengan sikap ditenang-tenangkan, namun matanya sayu dan suaranya gemetar, juga tangan yang menunjuk ke mukanya sendiri itu menggigil, berkatalah Siang In,

“Kian Bu.... kau.... kau harus mencium bibirku seperti dulu!”

Wajah Kian Bu menjadi pucat dan matanya memandang terbelalak kepada wajah dara itu, tangan kanan mengusap dagu penuh keheranan. Hampir dia tidak percaya akan apa yang didengarnya keluar dari mulut gadis itu. Minta dicium bibirnya? Bagaimana pula ini? Sedangkan ciumannya beberapa tahun yang lalu itu saja membuat dara ini menjadi sakit hati dan menaruh dendam sampai bertahun-tahun mencarinya untuk membunuhnya. Bagaimana sekarang dara itu minta dicium lagi? Gilakah dara cantik jelita ini? Atau.... jangan-jangan dara ini telah tersesat sedemikian jauhnya, menjadi wanita cabul semacam Mauw Siauw Moli? Celaka?

Akan tetapi, dara itu kelihatan wajar saja, sepasang matanya bahkan kelihatan betapa dara itu menahan kengerian, senyumnya hilang dan tubuhnya menggigil, tanda bahwa apa yang dimintanya merupakan hal yang sama sekali asing baginya dan dia merasa ngeri dan takut. Akan tetapi, kalau dara ini tidak gila dan bukan seorang wanita yang cabul, mengapa mengajukan permintaan seperti itu?






“Siang In....“ Kian Bu mendengar suaranya sendiri dengan perasaan heran karena suaranya itu menjadi bisik-bisik dan agak parau penuh perasaan tegang, “.... apa artinya ini....?”

Suara Siang In juga berbisik-bisik dan parau, jelas suara itu menggetar penuh ketegangan, suara yang dipaksakan keluar karena sesungguhnya, saking tegangnya dara itu sudah merasa amat sukar untuk bicara,

“Hanya.... ini sajalah.... yang dapat menentukan.... apakah aku akan membunuhmu atau memaafkanmu.“

Setelah berkata demikian, sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon itu, Siang In memejamkan matanya, agaknya tidak kuat lagi dia menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata penuh selidik, penuh pertanyaan, dan penuh keheranan itu.

Kian Bu mengerutkan alisnya, otaknya bekerja cepat. Akhirnya dia tak dapat berbuat lain kecuali menuruti permintaan gila itu. Dia masih belum tahu mengapa dara ini mendasarkan pilihannya kepada ciuman! Akan tetapi karena dia sudah menyatakan sanggup untuk melakukan apa saja yang diminta Siang In, maka tidak mungkin dia menarik kembali janjinya. Dia sudah matang memperoleh “pendidikan” Siluman Kucing sehingga mencium bukan merupakan hal yang terlalu aneh baginya.

Akan tetapi, sekali ini, Kian Bu menggigil, tubuhnya terasa panas dingin dan kepalanya terasa puyeng! Dia merasa seperti terkena sihir yang amat kuat, maka cepat dia mengerahkan tenaga sinkangnya untuk mengusir perasaan itu. Namun, dia tidak tersihir, tenaga sinkangnya tidak berhasil mengusir sesuatu karena memang ketegangannya itu sudah sewajarnya, datang dari dalam.

Amat berat rasanya melaksanakan tugas ini! Dia tertarik kepada Siang In, bahkan dia merasa jatuh cinta. Tentu saja, untuk mencium dara ini merupakan hal yang amat menyenangkan, jangankan satu kali, biar disuruh menciumnya seribu kali pun dia sanggup. Akan tetapi bukan dalam keadaan seperti ini! Bukan ciuman untuk percobaan atau untuk ujian belaka! Dan dia masih belum juga mengerti mengapa dara yang mendendam sakit hati karena pernah diciumnya lagi untuk meyakinkan hatinya apakah dia akan membunuh atau memaafkan! Sungguh tak masuk akal dan gila! Namun, tidak ada pilihan lain bagi Kian Bu.

Kian Bu melangkah maju, lalu diraihnya kedua pundak dara itu, ditariknya mendekat. Merasa betapa kedua pundaknya disentuh, Siang In makin keras memejamkan matanya, kedua kakinya menggigil dan napasnya terengah-engah, jelas bahwa dara itu merasa tegang bukan main. Wajahnya ditengadahkan, mulutnya agak terbuka karena napasnya tersengal-sengal.

Melihat wajah yang demikian cantiknya, mulut yang demikian menggairahkan, dan kedua pundak yang lembut di bawah telapak tangannya, jantung Kian Bu berdebar. Biar apa pun jadinya, biar akibatnya dia akan dibunuh atau dimaafkan, dia harus mencurahkan segenap perasaannya sekarang juga. Gadis ini minta dicium, baik, dia akan menciumnya dengan sepenuh perasaan hatinya, sepenuh kemesraannya, akan dicurahkan rasa berahi dan kasih sayangnya dalam ciuman itu!

Didekapnya tubuh itu, dirangkulnya sampai tubuh bagian depan mereka bertemu ketat, kemudian Kian Bu mendekatkan mukanya dan perlahan-lahan diciumnya sepasang bibir yang setengah terbuka itu, diciumnya dengan penuh perasaan dan sepenuh kemesraan yang terkandung di dalam hatinya terhadap Siang In.

Seketika naik sedu-sedan dari dalam dada Siang In dan kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan, akan tetapi kedua tangan dara itu tiba-tiba merangkul leher Kian Bu dan bibirnya membalas ciuman itu. Keduanya seperti tenggelam bersama ke dalam ciuman itu, merasa seolah-olah hati mereka saling bertemu, bertaut dan bersatu.

“Siang In....!”

Seluruh lahir batin Kian Bu mengeluh dan memanggil nama ini, ciumannya makin mesra, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut sekali karena kalau tadinya Siang In merangkulnya dan membalas ciumannya penuh gairah, kini tiba-tiba dara itu menjadi lemas dalam pelukannya. Ketika dia melepaskan ciumannya untuk memandang wajah itu, terdengar dari mulut dara itu keluhan lirih dan wajahnya pucat sekali, matanya terpejam dan tubuhnya lunglai. Melihat bahwa dara itu telah pingsan, Kian Bu terkejut setengah mati!

“Siang In....!”

Kini mulutnya yang memanggil nama ini untuk membangunkannya, akan tetapi dara itu tetap pingsan, seperti orang tidur pulas, dan detak jantungnya lemah sekali. Kian Bu cepat memeriksa pukulan nadi dan detakan jantung, dan dia menjadi gelisah ketika melihat bahwa keadaan tubuh dara itu lemah sekali.

Cepat dipondongnya tubuh itu, lalu direbahkannya di atas rumput hijau dan dengan penuh kekhawatiran, dia lalu menempelkan telapak tangannya di atas perut, dekat ulu hati dan disalurkannya tenaga yang hangat untuk membantu bekerjanya perjalanan darah dan pernapasan gadis itu yang amat lemah!

“Siang In.... ah, Siang In...., maafkan aku.... maafkan aku....!”

Kian Bu meratap penuh kekhawatiran dan sekarang dia yakin benar bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, bukan hanya baru sekarang, bahkan mungkin semenjak mereka bertemu beberapa tahun dahulu, ketika mereka masih sama remaja, dalam sebuah hutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali).

Dia sungguh merasa bingung dan heran terhadap dara ini, apalagi ketika dia melihat bahwa Siang In memegang sebuah pisau yang amat tajam runcing, pisau kecil yang tadi tentu dipegangnya dan kalau dara itu menghendaki, ketika mereka berpelukan dan berciuman tadi, sekali tusuk saja tentu akan tewaslah Kian Bu! Betapapun saktinya dia, dalam keadaan berpelukan dan berciuman tadi, dia tentu menjadi lengah dan sama sekali tidak akan mampu menghindarkan tusukan pisau itu. Akan tetapi, dara ini tidak menyerangnya dan bahkan pingsan! Ini saja sudah menjadi bukti bagi Kian Bu bahwa dara itu tidak hendak membunuhnya, berarti mengampuninya!

“Siang In.... sadarlah...., kau maafkan aku....“ bisiknya dan sekali ini terdorong oleh rasa haru dan sayangnya, dia mendekatkan mukanya dan dengan sepenuh kasih hatinya, dia mencium dahi dara itu yang agak basah oleh keringat.

“Kian Bu....“

Suara itu lemah menggetar dan Kian Bu girang bukan main, melihat dara itu telah membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, sepasang mata indah itu seperti terkatup, atau setengah terpejam, dan dua sinar mata yang aneh memancar dari balik bulu mata hitam lentik yang setengah menyembunyikan mata itu.

“Siang In.... kau.... kau tidak apa-apa, bukan? Kau.... kau maafkan aku, bukan?”

Siang In tersenyum. Bukan main manisnya, biarpun wajahnya masih pucat dan bibirnya agak gemetar, seperti seekor kelinci yang baru saja terlepas dari ancaman harimau.

“Kini tak perlu lagi engkau minta maaf, Kian Bu. Lihat, aku tidak akan membunuhmu dan aku memaafkan sudah, aku malah bersyukur akan hal yang telah terjadi itu.” Dan sekali menggerakkan tangannya, pisau tajam runcing itu melesat dan lenyap ke dalam semak-semak.

“Tringgg....!” Pisau itu mencelat, membalik dan meluncur ke arah Siang In dengan kecepatan kilat.

“Ahhh!”

Kian Bu menggerakkan tangannya dan sekali mengibaskan tangan, pisau kecil itu melesat ke bawah masuk ke dalam tanah sampai tidak lagi nampak gagangnya. Pemuda ini cepat membalikkan tubuh memandang ke arah semak-semak, dan Siang In juga sudah meloncat bangun dan memandang ke arah semak-semak itu dengan mata terbelalak.

Dari dalam semak-semak itu keluarlah seorang wanita. Siang In dan Kian Bu terlonjak kaget melihat wanita cantik ini, cantik pesolek yang berdiri tersenyum mengejek kepada mereka. Siang In samar-samar masih mengenal wanita ini, dan bagi Kian Bu, perjumpaannya dengan wanita ini benar-benar amat mengejutkan hatinya. Bagaimana dia tidak akan terkejut ketika mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Siluman Kucing?

Mauw Siauw Mo-li yang bernama Lauw Hong Kui itu benar-benar luar biasa sekali. Usianya sekarang tentu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik jelita. Pakaiannya rapi dan indah, rambutnya digelung halus dan dihias intan permata, mukanya yang cantik itu dibedaki dan yang perlu warna merah dipoles gincu. Tubuhnya masih ramping padat, dan terutama sekali gayanya ketika dia melangkah maju, lenggangnya sungguh memikat seperti lenggang seekor harimau kelaparan! Sepasang matanya seperti hendak menelan Kian Bu bulat-bulat, penuh dengan rayuan.

Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, wanita cantik ini pernah berhasil merayu dan membujuk Kian Bu beberapa tahun yang lalu ketika Kian Bu masih remaja, sehingga pemuda itu terjatuh ke dalam pelukan wanita cabul ini. Akhirnya Kian Bu insyaf dan menjauhkan diri, namun betapapun juga, wanita pertama yang pernah dikenalnya sebagai teman bermain cinta ini tentu saja selalu masih mendatangkan kenangan padanya dan betapapun juga, dia tidak dapat membenci wanita yang dia tahu amat mencintanya lahir batin ini.

Maka, melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li, tentu saja Kian Bu menjadi terkejut dan makin khawatirlah dia karena sekarang dia tahu bahwa sejak tadi wanita cabul ini mengintai dan melihat perbuatannya ketika dia saling berciuman dengan Siang In tadi.

Dan Siang In juga ingat akan wanita ini, yang sejak dahulu tidak disukainya, dianggapnya seorang wanita perayu yang cabul dan menjemukan. Dia mengenal wanita iblis cabul yang lihai ini, maka dia pun kaget melihat kemunculannya yang tidak terduga sama sekali dan wajahnya yang tadinya pucat seketika menjadi merah ketika dia teringat bahwa perbuatannya bersama Kian Bu tadi tentu terlihat oleh wanita cabul ini yang sejak tadi telah bersembunyi di balik semak-semak. Kalau saja dia tahu bahwa iblis betina ini tadi bersembunyi di dalam semak-semak itu, tentu dia akan melontarkan pisaunya dengan tenaga sepenuhnya!

Melihat Kian Bu memandangnya dengan alis berkerut dan dara jelita itu memandangnya dengan mata terbelalak, keduanya jelas memperlihatkan sikap tidak senang, Mauw Siauw Mo-li malah tertawa. Suara ketawanya merdu, mengandung suara seperti seekor kucing, dan gayanya memikat sekali, kemudian lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor kucing habis makan daging dan darah, dan gerakan bibir yang dijilat-jilat lidah ini amat menggairahkan karena memang dimaksudkan untuk membangkitkan berahi pria yang memandangnya.

“Hi-hi-hik, setelah mendapatkan baju baru lalu mencampakkan baju lama, setelah menemukan makanan baru lalu melupakan kelezatan makanan lama, itulah watak laki-laki dan agaknya engkau tidak terkecuali, Kian Bu! Mendapatkan kekasih baru lupa kepada kekasih lama. Hi-hi-hik, dan tak kusangka bahwa pemuda tampan yang kini sudah berjuluk Pendekar Siluman Kecil kiranya hanya seorang laki-laki yang pembosan.”

Sinar mata Kian Bu menyambar dan kalau saja sinar mata itu dapat dipergunakan untuk menyerang, tentu Siluman Kucing itu sudah menghadapi serangan maut!

“Mauw Siauw Mo-li, mau apa engkau datang mengacau di sini? Pergilah sebelum aku hilang sabar dan menghalaumu dengan kekerasan!” bentak Kian Bu, mukanya sudah menjadi merah sekali.

Dia memang tidak mungkin membenci wanita ini yang bagaimanapun juga pernah menghiburnya, akan tetapi melihat wanita itu bersikap mengejek di depan Siang In, tentu saja dia menjadi marah dan tidak ingin wanita itu bicara yang bukan-bukan seperti itu.

“He-he-he, engkau marah, Kian Bu? Sekarang engkau marah, akan tetapi beberapa tahun yang lalu.... hemmm, di atas kereta itu, lupakah....”

“Tutup mulutmu yang kotor! Dan pergilah!” bentak Kian Bu sambil melangkah maju setindak, kedua tangan dikepal dan sinar matanya penuh ancaman.

Tentu saja dia marah karena wanita cabul itu mengingatkan betapa dulu di atas kereta anak buah Lembah Bunga Hitam, dia dan wanita cabul itu telah bermain cinta dengan mesra (baca Kisah Sepasang Rajawali)! Diingatkan akan hal yang amat memalukan hatinya itu, apalagi di depan Siang In, benar-benar membuat dia naik darah!

“Hemmm, hendak kulihat apakah pendekar yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil itu benar-benar tega membunuhku dan melupakan segala-galanya,” kata wanita itu dan pada saat itu terdengar suara dahsyat dari jauh.

“Sumoi, memang dia itu laki-laki tak tahu malu, perayu jahat! Puteriku pun dirayunya sampai habis-habisan dan sekarang malah puteriku diculik oleh kakaknya. Memang anak-anak Pendekar Siluman Pulau Es ini kurang ajar sekali dan harus dibasmi habis!” Muncullah seorang kakek raksasa yang ganas, yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo!

Melihat munculnya kakek ini, Kian Bu makin marah.
“Bagus! Kalian dua orang manusia iblis, selalu melakukan kejahatan di dunia ini dan sudah sepatutnya kalau aku turun tangan melenyapkan kalian!”

“Kian Bu, kalau aku tak dapat mendapatkan tubuhmu, biarlah kuperoleh nyawamu! Suheng, mari kita bunuh dia, baru nanti dara itu kuhadiahkan kepadamu!”

Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Sinar hijau pedangnya meluncur cepat ke arah Kian Bu.

Mendengar kata-kata itu, lenyaplah sisa-sisa kenangan dan perasaan lembut di dalam hati Kian Bu terhadap wanita itu dan dengan cepat dia mengelak lalu balas menyerang dengan dorongan tangan kiri ke arah perut wanita itu. Mauw Siauw Mo-li sudah mengenal kelihaian Kian Bu, apalagi setelah pemuda ini berjuluk Siluman Kecil yang sakti dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw, maka dia tidak berani lengah. Cepat dia meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh.

Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo yang membenci semua orang Pulau Es, mengeluarkan teriakan dahsyat dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan golok gergaji di tangan kanan. Bacokan golok yang mempunyai gerakan berputar ini disusul tamparan tangan kiri yang mengeluarkan uap hitam. Tamparan ini bahkan lebih dahsyat daripada senjata golok gergajinya yang mengerikan itu, karena pukulan itu adalah Ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang amat ampuh, suatu ilmu yang diperolehnya dari kitab curian milik Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok dari Gurun Pasir Go-bi.

Namun Pendekar Siluman Kecil sudah melesat dan menghindarkan diri dari serangan raksasa itu dengan kecepatan kilat, tubuhnya berkelebat seperti kilat, bahkan dia sudah membalas serangan itu dengan kontan, menerjang dari atas setelah tubuhnya tadi melesat naik seperti burung terbang. Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengelak sambil memutar goloknya, bayangan Kian Bu sudah mencelat ke arah Mauw Siauw Mo-li dan menyerang dengan tendangan kilat yang hampir saja mengenai lengan wanita cabul itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat. Tingkat kepandaian Siluman Kecil Suma Kian Bu pada waktu itu sudah amat tinggi sehingga andaikata dia harus melawan dua orang kakak beradik seperguruan itu satu lawan satu, maka kiranya dia akan berhasil merobohkan lawan dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus.

Akan tetapi, dua orang manusia iblis itu maju bersama dan karena mereka itu adalah kakak dan adik seperguruan, tentu saja mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik. Mereka saling mengenal dasar gerakan mereka yang sesumber, maka kerja sama mereka teratur sekali dan kelihaian mereka tentu saja menjadi berganda, membuat Kian Bu harus berhati-hati dan pemuda ini mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Sin-ho-coan-in, ilmu yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti kilat dengan kecepatan luar biasa sehingga dua orang lawannya menjadi bingung seperti mengejar-ngejar bayangan.

Siang In sejak tadi menonton dengan mata terbelalak. Dia masih kagum dan juga ngeri, kagum kepada Kian Bu yang luar biasa hebatnya itu, dan ngeri menyaksikan keganasan dua orang yang mengeroyok Siluman Kecil itu. Dari gerakan-gerakan mereka, dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian silatnya mungkin hanya dapat menandingi wanita siluman itu, sungguhpun dia tahu bahwa tidak akan mudah bagi dia untuk merobohkan wanita yang amat lihai itu, dan dia pun tahu bahwa dibandingkan dengan raksasa itu, dia masih kalah jauh. Dan kini, dua orang lihai itu menyerang dengan senjata yang ampuh, namun Kian Bu menghadapi mereka hanya dengan bertangan kosong, dan pemuda itu sama sekali tidak kelihatan terdesak!

Siang In tidak bergerak membantu Kian Bu. Selain bingung menyaksikan gerakan Kian Bu yang mencelat ke sana-sini secepat itu dan takut kalau bantuannya malah akan mengacaukan gerakannya, juga dia merasa tidak enak mendengar ucapan-ucapan Siluman Kucing tadi. Apalagi mendengar ucapan Hek-tiauw Lo-mo bahwa Kian Bu merayu puterinya habis-habisan! Hatinya mulai merasa tidak senang dan kini dia hanya menonton sambil berjaga-jaga untuk membantu Kian Bu apabila perlu, sungguhpun kini dia merasa hampir yakin bahwa Kian Bu pasti akan dapat mengatasi kedua orang lawannya.

Dugaan Siang In memang tidak keliru. Dengan kecepatan gerakan Ilmu Sin-ho coan-in, Kian Bu mulai mendesak kedua orang lawannya. Dia lebih banyak menyerang, karena dua orang lawan itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk menyerang bayangan yang berkelebatan menyambar mereka dari segala jurusan itu. Sedemikian cepatnya gerakan Kian Bu sehingga dia seolah-olah berubah menjadi beberapa orang banyaknya!

“Hyaaaaakkk....!”

Hek-tiauw Lo-mo membentak dan tangan kirinya bergerak. Sinar hitam lebar menyambar ke arah bayangan Kian Bu dan itu adalah senjata rahasianya yang amat ampuh dan bebahaya, yaitu jala hitam terbuat dari benang lembut yang amat kuat. Jala itu menyambar cepat sekali, akan tetapi gerakan Kian Bu masih lebih cepat karena dia sudah dapat menghindarkan diri, bahkan tangannya menyambar ujung jala dan ditariknya jala itu ke arah sinar hijau dari pedang Mauw Siauw Mo-li yang menusuknya.

“Brettt....!”

Jala itu terobek pedang, akan tetapi pedang hijau di tangan wanita cabul itu pun terbelit jala. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kian Bu untuk menendang. Wanita itu masih berusaha menghindarkan tendangan dengan melempar tubuh ke belakang dan menarik pedang sekuatnya, namun tetap saja pangkal paha kirinya tercium ujung sepatu.

“Aduhhh....!”

Wanita itu terpental dan pedangnya sudah terlepas dari libatan jala, kemudian dia terbanting dan bergulingan lalu meloncat berdiri sambil meringis dan tangan kirinya mengelus-elus pangkal paha yang terasa nyeri dan panas. Akan tetapi, hatinya lebih panas lagi daripada pangkal pahanya yang tidak terluka parah hanya nyeri dan panas itu, karena dia mengingat betapa dahulu, bagian tubuh itu pernah diusap dan dibelai sayang oleh Kian Bu, akan tetapi kini ditendang! Dia merasa terhina sekali.

Sementara itu, melihat jalanya robek, Hek-tiauw Lo-mo membentak dan goloknya membacok ke arah Kian Bu, disusul hantaman tangan kirinya. Kian Bu miringkan tubuhnya ke kanan, membiarkan golok menyambar lewat dan melihat tangan kiri lawan yang mengeluarkan asap itu memukulnya dengan tangan terbuka ke arah dada, dia pun cepat memapaki dengan tangan kanannya.

“Desss!”

Dua telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terjengkang dan roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Biarpun dia tidak terluka parah, namun tenaga pukulannya yang membalik karena kalah kuat bertemu dengan hawa sinkang lawan tadi telah memukulnya sendiri, membuat napasnya sesak dan tubuhnya gemetar!

Akan tetapi pada saat itu, Mauw Siauw Mo-li yang melihat bahwa dia dan suhengnya takkan mampu mengalahkan Kian Bu, sudah melontarkan beberapa buah benda hitam ke arah Siang In! Dara ini tidak tahu benda apa yang menyambar ke arahnya itu, maka dengan cepat dia hendak menangkis.

“Jangan ditangkis....!”

Kian Bu berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Siang In telah dipondongnya dan dibawanya berloncatan ke kanan kiri. Terdengar ledakan-ledakan keras bertubi-tubi, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Kian Bu yang memondong tubuh Siang In. Setelah ledakan tidak terdengar lagi, tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam dan dua orang manusia iblis itu telah lenyap.

Kian Bu beberapa kali melompat jauh, keluar dari lingkungan asap itu, lalu menurunkan Siang In dan mengomel gemas,

“Hemmm, lain kali aku tidak akan memberi kesempatan kepada mereka untuk melarikan diri.”