FB

FB


Ads

Selasa, 16 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 138

“Hiaaaaakkk!” Gitananda berteriak mengejutkan.

“Syeeettttt.... Syeeeeettttt....!”

Jenggot itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar meluncur ke arah Siang In! Dara ini terkejut sekali, berusaha mengelak akan tetapi ujung jenggot masih menyapu kakinya dan dia terguling! Kini jenggot itu seperti seekor ular merayap hendak menggulungnya dan Siang In sudah merasa ngeri bukan main.

Akan tetapi tiba-tiba ada angin keras dan kuat membawa dan menerbangkan tubuh Siang In yang melayang dan gulungan jenggot itu tidak mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak jauh ke sebelah kanan. Jenggot itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon yang tumbuh di sebelah kiri Siang In.

“Brolll!!” Pohon itu terlibat dan tertarik jebol oleh jenggot panjang yang luar biasa kuatnya itu.

Siang In maklum bahwa dia telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana mungkin dia tadi dapat membebaskan diri dari jenggotnya itu? Kini, melihat Gitananda sibuk melepaskan jenggotnya dari batang pohon yang tumbang, dia cepat meloncat ke depan dan menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya.

Tentu saja Gitananda menjadi sibuk sekali, cepat dia menarik jenggotnya menjadi pendek kembali dan dia melempar tubuh ke belakang, bergulingan dan setelah dia terbebas dari desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini jenggotnya menyambar seperti tongkat!

“Ihhh!”

Siang In terkejut dan cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu lewat di dekat mukanya, dia mencium bau yang apek dan memuakkan. Akan tetapi jenggot itu sudah datang lagi, maka terpaksa Siang In memperlihatkan kelincahannya dan balas menyerang dengan pukulan dan tendangan. Kembali kedua orang ini bertanding dengan seru.

Akan tetapi sekali ini, Siang In tidak mampu mendesak seperti tadi ketika dia masih memegang pedang payungnya. Kini dia bertangan kosong dan kakek itu dapat mempergunakan jenggotnya yang panjang sebagai senjata! Dan hebatnya, jenggot itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar merupakan senjata yang amat berbahaya bagi Siang In.

Akan tetapi, beberapa kali ketika nyaris dara itu terkena totokan atau libatan jenggot ada saja kekuatan tersembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In terlolos dari bahaya. Siang In menjadi penasaran. Dia belum kalah dan dia belum membutuhkan bantuan siapapun juga. Dia harus dapat mengalahkan kakek Nepal ini, akan tetapi bagaimana akalnya? Sukar menyerang kakek ini kalau jenggotnya masih merupakan senjata yang demikian ampuhnya.

Tiba-tiba Siang In mendapatkan akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan tiada hentinya mengejek,

“Jenggotmu seperti jenggot kambing!” Kakek itu menyerangnya dan kembali Siang In meloncat ke belakang.

“Jangan lari kau, bocah setan!”

Gitananda membentak setelah beberapa kali serangannya hanya dielakkan sambil main mundur saja oleh dara itu.

“Jenggotmu bau apek, bau tahi kambing, aku tidak tahan!”

Siang In kembali mengejek. Kembali kakek itu mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang gerakannya kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu gagal. Akhirnya dia mengeluarkan seruan memekik nyaring seperti tadi dan jenggotnya sudah mulur lagi!

Jenggot itu mulur panjang dan dipergunakan untuk menyerang, dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar bagi Siang In untuk mengelak lagi. Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu, yaitu memancing agar kakek itu memanjangkan lagi jenggotnya.

Ketika melihat jenggot itu menyambar dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap lambat, akan tetapi ketika ujung jenggot hendak melibat pinggangnya, dia meloncat ke atas dan ketika ujung jenggot lewat di bawah kakinya, dia mencengkeram dan berhasil menjambak ujung jenggot panjang itu. Tanpa membuang waktu lagi, dia mengerahkan ginkangnya dan berlari secepatnya membawa ujung jenggot itu, lari mengitari kakek itu.

“Heee....!”

Gitananda berteriak, akan tetapi dara itu tidak peduli, terus saja berlari cepat sekali sehingga jenggot panjang itu mulai melibat tubuh Gitananda sendiri! Kakek itu meronta-ronta dan berusaha melepaskan rambut jenggotnya, akan tetapi Siang In berlari makin cepat, malah dia berloncatan dan terus melibatkan jenggot panjang itu ke leher Gitananda, terus membelenggu kedua lengannya sampai kakek itu tidak mampu berkutik.

Siang In masih berlari terus, mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menarik sehingga jenggot itu mencekik leher dan ketika dara ini akhirnya melepaskan ujung jenggot, tubuh kakek itu roboh dengan kaku dan lidahnya terjulur keluar, matanya mendelik dan napasnya putus!

“Ihhh!”

Melihat keadaan lawannya itu, Siang In bergidik ngeri dan dia lalu melarikan diri, lari meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Sampai terengah-engah dia lari dan akhirnya dia menjatuhkan diri di atas rumput tebal dalan hutan, dadanya bergelombang dan wajah serta lehernya berpeluh.

Sementara itu, Kian Bu tak pernah berhenti membayangi Siang In. Setelah menyaksikan pertandingan antara dua orang ahli sihir itu, Kian Bu seperti orang terkena sihir! Tersihir oleh setiap gerak-gerik dara itu. Dia mengintai dan semua tingkah dan gerak-gerik Siang In mempesona, membuatnya kagum, membuatnya senang dan kini melihat dara itu menjatuhkan diri di atas rumput, mengusap keringat dan tiba-tiba kedua mata dara itu basah dan Siang In mulai terisak menangis, Kian Bu makin terpesona!

Jantung Kian Bu berdebar tegang dan dia bingung melihat gadis itu menangis tanpa sebab. Mengapa menangis? Bukankah gadis itu keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang seru tadi? Apakah gadis itu terluka? Tidak, dia tidak melihat gadis itu terkena pukulan.






Dan memang Siang In bukan menangis karena terluka. Dara ini menangis karena hatinya mengkal dan kesal. Pedang payungnya rusak, dia kehilangan benda yang disayangnya, dan memikirkan betapa dia belum juga bertemu dengan orang yang dicarinya, sebaliknya malah bertemu dengan orang-orang lain seperti Ang-siocia dan Gitananda yang hampir saja mencelakainya, dia merasa sedih dan jengkel. Maka menangislah gadis ini, menangis sepuas hatinya untuk mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan hatinya yang bertumpuk selama ini. Makin dikenang makin sedih dia akan nasib dirinya yang terlunta-lunta seorang diri.

Apakah yang menyebabkan dia selalu gagal dan sial? Mencari-cari Kian Bu bertahun-tahun belum juga dapat berkesempatan menyampaikan isi hatinya, setelah bertemu bahkan berpisah lagi. Bertemu dengan Syanti Dewi yang ditolongnya juga kemudian gagal melindungi puteri itu. Kemudian melihat Kian Bu demikian mesra dengan Hwee Li, dan bahkan dicari-cari oleh Ang-siocia. Ah, apakah sebaiknya dia kembali saja ke Gua Tengkorak di pantai Po-hai, bertapa bersama gurunya yang sudah tua, dan membiarkan dirinya menjadi pertapa sampai tua di dalam gua itu? Teringat akan hal ini, kembali Siang In menangis tersedu-sedu.

Dara ini biasanya lincah jenaka, murah senyum dan gembira, dan wataknya itulah yang seolah-olah menutupi semua duka dan kecewa sampai kini sudah bertumpuk dan membanjir keluar melalui air matanya di tempat sunyi itu.

Tiba-tiba terdengar langkah halus disusul suara orang yang halus pula,
“Nona, mengapa Nona begini berduka?”

Siang In terperanjat seperti mendengar suara setan. Dia sampai terlonjak dari atas rumput dimana dia duduk, cepat memutar tubuh dan memandang dengan muka pucat dan mata basah. Dari balik air matanya dia melihat wajah tampan dikurung rambut putih keperakan itu. Dia mengusap air matanya untuk dapat melihat lebih jelas. Benar! Siluman Kecil yang berdiri di depannya, kini berjongkok dan memandang dengan sinar mata penuh iba kepadanya.

Kembali Siang In menggosok kedua matanya seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Jangan-jangan dia masih berada dalam pengaruh sihir kakek Nepal tadi, pikirnya dan setelah membuka mata kembali, ternyata memang Suma Kian Bu yang berada di depannya itu!

Melihat wajah yang demikian cantik jelita dekat di depannya, wajah yang agak pucat, rambut indah hitam awut-awutan, air mata masih menuruni kedua pipinya, Kian Bu terpesona dan hatinya tergerak, penuh keharuan.

“Nona.... mengapa engkau menangis di sini seorang diri? Apakah kau terluka dalam pertempuran tadi? Mengapa kau berduka?”

Suara pemuda itu demikian penuh perhatian dan penuh iba sehingga Siang In merasa hatinya tertusuk dan kini dia makin terisak! Dia menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergerak-gerak dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya. Suara halus yang menghibur itu malah membuatnya terharu dan makin berduka!

Bertahun-tahun dia mencari pemuda ini, setelah dia hampir putus asa, tiba-tiba saja pemuda ini muncul di depannya, seperti dalam mimpi, dan menghibur dia seperti menghibur seorang anak kecil yang cengeng sedang menangis!

Melihat Siang In menangis makin sedih, Kian Bu menjadi bingung.
“Kenapakah, Nona? Siapa yang menyakiti hatimu....?” tanyanya.

Akan tetapi Siang In tidak mampu menjawab, tersedu-sedu dan ketika dara itu bingung mencari saputangan di kedua sakunya tanpa hasil, tiba-tiba Kian Bu menyodorkan saputangannya, saputangan sutera berwarna biru muda. Tanpa berkata apa-apa Kian Bu menyodorkan saputangannya dan tanpa berkata apa-apa pula Siang In menerimanya dengan pundak masih terguncang oleh tangis, kemudian dia mempergunakan saputangan itu untuk mengusap air mata dan membersihkan hidungnya!

Kian Bu mengikuti semua gerakan ini dengan hati tertarik dan rasa iba makin menebal. Kini Siang In sudah dapat menguasai dirinya, tangisnya terhenti dan air matanya tidak mengucur lagi, sungguhpun mata dan terutama ujung hidungnya masih merah! Tanpa bicara pula dia menyerahkan kembali saputangan biru yang kini menjadi basah itu. Kian Bu menerimanya dan tanpa berkata apa-apa juga lalu menyimpan saputangan basah itu ke dalam saku bajunya.

“Jadi engkaukah kiranya yang menolongku tadi?”

Tiba-tiba Siang In bertanya, biarpun suaranya masih agak serak-serak basah karena habis menangis, namun dia benar-benar telah sembuh dari rasa mengkal dan kesalnya, kini memandang kepada Kian Bu dengan sepasang mata yang membuat Kian Bu tidak berani menentang terlalu lama!

Untuk menjawab pertanyaan itu, dia mengangguk.
“Kenapa engkau menangis sedih seperti itu tadi?”

Akan tetapi Siang In seperti tidak mendengar pertanyaan itu karena sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, dia malah bertanya, pertanyaan tiba-tiba yang membuat Kian Bu memandang heran,

“Sungguh tak pernah kusangka bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu! Apakah engkau Siluman Kecil?”

Kian Bu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk.

“Dan engkau Suma Kian Bu?”

Makin heranlah Kian Bu. Dara ini benar-benar aneh bukan main! Begini muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, begini cantik jelita, akan tetapi memiliki kekuatan sihir yang aneh! Juga wataknya begini luar biasa, baru saja menangis begitu sedih, sekarang sudah tidak kelihatan berduka lagi biarpun mata dan hidungnya masih merah. Hidung yang kecil mancung dan tipis itu kemerahan, menambah cantiknya!

“Heiii, bukankah engkau Suma Kian Bu? Apakah bukan? Kenapa diam saja?”

Kian Bu terkejut dan gagap.
“Eh.... ohhh.... benar, Nona. Aku bernama Suma Kian Bu. Kenapa Nona bertanya lagi? Apakah kakakku tidak menceritakan kepadamu?”

Siang In hanya mengangguk dan semenjak tadi sepasang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu, memandang penuh selidik. Sudah bertahun-tahun dia ingin bertemu dengan orang ini, ingin bicara, mencurahkan semua isi hatinya, dan kini setelah berhadapan, timbul rasa takut yang amat besar di dalam hatinya, takut kepada diri sendiri! Bagaimana kalau dugaannya selama ini benar, bahwa.... bahwa dia jatuh cinta kepada pendekar ini? Berubahnya keadaan Kian Bu, rambutnya yang menjadi putih semua, tidak mengubah perasaan hatinya, bahkan timbul semacam rasa iba yang besar, yang mengharukan hati Siang In. Akan tetapi, dia teringat akan hubungan Kian Bu dengan Hwee Li, kemesraan dan keakraban mereka, maka jantungnya berdebar penuh ketegangan.

“Mengapa Nona tadi menangis di sini setelah berhasil mengalahkan pendeta Nepal itu, kalau aku boleh mengetahui?” kembali Kian Bu bertanya agak mendesak karena hatinya masih merasa penasaran.

“Tadi aku menangis karena duka dan jengkel,” jawab Siang In tak acuh.

“Ahhh! Kusangka engkau sakit....“ kata Kian Bu, membayangkan keinginan hatinya bahwa dia ingin tahu mengapa nona itu berduka dan jengkel.

Siang In bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang agak kotor karena pertempuran tadi, lalu otomatis kedua tangannya diangkat ke atas untuk membereskan rambutnya yang awut-awutan. Gerakan ini adalah ciri khas wanita, gerakan yang manis sekali karena ketika kedua lengan diangkat itu, tubuh yang ramping dan padat itu makin menonjol dan kedua lengan itu membentuk lengkung-lengkung indah, jari-jari tangan yang lentik itu pun seperti menari-nari di antara rambut yang hitam halus dan panjang.

Kembali Kian Bu memandang seperti terpesona. Biasanya, tidak pernah dia memperhatikan wanita, akan tetapi entah mengapa, kini dia memperhatikan setiap gerakan dara ini, seolah-olah setiap gerakan yang betapa kecil pun amat berarti baginya.

“Akan tetapi sekarang aku tidak berduka atau jengkel lagi, dan aku sama sekali tidak sakit. Lihat, aku sudah tidak menangis lagi!”

Dan dara itu tersenyum manis. Melihat bibir itu merekah kemerahan, memperlihatkan kilatan gigi berderet rapi yang nampak sekilas, Kian Bu melongo dan tak disengaja atau disadarinya lagi pemuda ini menelan ludahnya. Bukan main dara ini, bukan main anehnya dan manisnya! Baru saja menangis demikian sedihnya, kini sudah tersenyum secerah itu. Seperti hari hujan lebat tiba-tiba menjadi terang dan matahari bersinar amat cerahnya.

“Eh, Kian Bu, dimana itu temanmu yang cantik?” tiba-tiba saja dara itu bertanya, sampai pemuda itu terkejut dibuatnya.

“Teman cantik? Siapa?” kata Kian Bu.

“Aih, masin pura-pura lagi! Siapa pula kalau bukan Hwee Li yang cantik itu? Bukankah dia itu sahabat baikmu dan bukankah engkau sudah mengejarnya ketika mendengar dia dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu? Apakah engkau tidak berhasil menolongnya?”

Kian Bu menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekhawatiran. Itulah yang menjadi pengganjal hatinya sejak dia mencari kakaknya. Dia tahu bahwa Kian Lee mengejar Pangeran Nepal untuk menolong Hwee Li, akan tetapi sampai kini dia tidak berhasil menemukan mereka dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Hwee Li yang dilarikan Pangeran Nepal. Melihat pemuda itu menarik napas panjang dan wajahnya muram, Siang In tersenyum mengejek untuk menutupi perasaan hatinya yang panas oleh cemburu!

“Engkau tentu mencinta sekali kepada Hwee Li, bukan? Dan engkau khawatir akan keselamatannya?”

Mendengar ini, Kian Bu teringat betapa dara ini amat membenci Hwee Li, atau sebaliknya Hwee Li membenci dara ini karena cemburu, maka mendengar ucapan itu dia cepat menjawab,

“Harap Nona jangan salah mengerti. Hwee Li adalah seorang sahabat baikku, tentu saja aku merasa khawatir mendengar dia dilarikan Pangeran Nepal. Akan tetapi tidak ada perasaan saling cinta antara kami seperti yang Nona sangka itu.”

Jawaban ini benar-benar menyenangkan hati Siang In dan senyumnya makin cerah, lalu dia berkata,

“Ahhh, kalau begitu aku telah berdosa terhadap Hwee Li! Kiranya dia seorang yang setia terhadap cintanya. Kian Bu, aku sudah salah sangka sehingga aku merasa kasihan kepada Kian Lee dan membenci Hwee Li.”

“Mengapa begitu, Nona?”

“Ih, engkau ini menjemukan! Nona-nonaan segala macam, seperti kita ini belum pernah berkenalan saja!”

Kian Bu menahan senyumnya. Memang dara ini luar biasa sekali, tiada keduanya di dunia ini. Begitu lucu! Padahal, memang dia belum pernah berkenalan dengan dara ini, mengapa sikap dara ini demikian polos terbuka? Akan tetapi, dia tidak mau membikin hati gadis itu tidak senang, maka katanya lagi,

“Mengapa tadinya engkau merasa kasihan kepada Lee-ko dan membenci.... Enci Hwee Li?”

“Karena kusangka engkau dan Hwee Li sudah saling jatuh cinta!”

Berdebar rasa jantung Kian Bu.
“Andaikata benar begitu, mengapa?” Dia mendesak, menatap wajah yang ayu itu penuh perhatian dan penuh selidik.

Siang In juga memandang. Dua pasang mata bertemu, akan tetapi Siang In lalu membuang muka.

“Mengapa? Tentu saja aku kasihan kepada Kian Lee karena cintanya terhadap Hwee Li menjadi sia-sia, dan aku membenci Hwee Li karena berarti dia gadis tidak setia. Akan tetapi syukur, engkau dan dia tidak saling mencinta!”

Ucapan ini membuat jantung Kian Bu makin berdebar girang.
“Kalau begitu.... kalau begitu.... kami, aku dan Hwee Li juga salah sangka! Kami mengira bahwa antara engkau dan Lee-ko....“

“Ya, ada apa? Bicara mengapa gagap-gugup begitu? Beginikah Pendekar Siluman Kecil yang terkenal itu? Bicara saja takut!”

“Kami berdua tadinya mengira bahwa kalian sudah saling cinta. Ah, kiranya tidak, sungguh gembira hatiku!” Kian Bu berkata, wajahnya berseri-seri.

Kini Siang In yang memandang penuh selidik, demikian tajam sinar kedua matanya yang jeli dan mempunyai kekuatan sihir itu sehingga Kian Bu teringat akan sinar mata ayahnya.

“Kenapa begitu? Kenapa kau gembira? Kenapa hatimu gembira mendengar bahwa aku dan Kian Lee tidak saling mencinta?”

Kian Bu terkejut. Tentu saja dia tidak berani mengatakan bahwa dia girang karena dengan demikian berarti bahwa hati Siang In masih “bebas”, maka dia cepat berkata,

“Sama dengan alasanmu tadi. Aku gembira karena hubungan cinta kasih antara Kian Lee koko dan Enci Hwee Li tidak menjadi putus.”

“Hemmm, kukira....”

Siang In menundukkan mukanya, tangannya memetik ujung rumput dan jari-jari tangannya mempermainkan rumput itu.

“Kau kira apa, Nona?”

Sepasang mata itu mengerling tajam penuh tuntutan, Kian Bu terperanjat karena ingat bahwa kembali dia memanggil nona. Akan tetapi dia merasa sungkan untuk menyebut nama gadis itu.

“Eh, kau kira apa?” Dia mengulang, tanpa menyebut nama apa pun di belakang pertanyaan itu.

Siang In tersenyum.
“Tidak apa-apa....”

Keduanya terdiam. Siang In masih menunduk dan kini melangkah lambat ke arah sebatang pohon, lalu bersandar ke pohon itu, matanya dipejamkan. Kian Bu juga melangkah mengikutinya, akan tetapi pemuda ini tidak tahu lagi harus berkata apa. Berada di dekat dara ini dia merasa canggung, bingung, akan tetapi juga gembira dan senang sekali. Seolah-olah dia baru mengenal dara ini, akan tetapi juga hatinya was-was karena dia takut kalau-kalau tidak menyenangkan hati dara yang lucu dan aneh ini.

Hening keadaan di situ. Kian Bu memandang wajah yang bersandar batang pohon dengan mata terpejam. Wajah yang cantik molek. Kulit pipinya halus kemerahan, hidungnya kecil lucu, dan dia seolah-olah dapat merasakan napas hangat yang keluar dari hidung dan bibir yang setengah terbuka itu.

Tiba-tiba Siang In membuka matanya dan Kian Bu yang sedang bengong memandang wajahnya itu gelagapan, cepat menundukkan mukanya, pura-pura menendang-nendang batu kecil dengan sepatunya. Dia merasa heran mengapa dia menjadi begini kikuk di depan dara ini, padahal dia bukan anak kecil lagi. Sama sekali bukan. Bahkan dia sudah pernah berhubungan erat dengan wanita, dalam arti sedalam-dalamnya, yaitu ketika untuk beberapa lamanya dia tenggelam dalam peluk rayu Siluman Kucing. Dia sudah cukup dewasa, akan tetapi mengapa berhadapan dengan dara ini dia merasa seperti seorang anak kecil?

“Tak kusangka sama sekali bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu,” terdengar dara itu berkata dan Kian Bu cepat mengangkat muka memandang. “Kalau aku tahu, tentu sudah dulu-dulu aku dapat menjumpaimu.”

“Sekarang kita sudah saling jumpa,” kata Kian Bu, mencoba untuk senyum dan membesarkan hatinya mengusir rasa canggung.

Dara itu rnenarik napas panjang.
“Kian Bu, tahukah engkau betapa sudah bertahun-tahun lamanya aku menginginkan pertemuan ini? Betapa aku mencari-carimu sampai bertahun-tahun, sampai aku pergi ke Bhutan dan menjelajahi seluruh negeri, mencari-carimu?”

Tentu saja hati Kian Bu merasa heran bukan main mendengar pengakuan ini. Biarpun dia amat tertarik kepada dara ini, begitu bertemu, yaitu ketika dara ini berkelahi dengan Hwee Li secara mati-matian, dia sudah tertarik sekali kepada dara ini. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Teng Siang In, dara yang ketika beberapa tahun yang lalu sudah nampak cantik jelita dan lincah jenaka, apalagi karena dia pernah mencium dara ini. Mana mungkin dia dapat melupakan Siang In?

Akan tetapi, dia harus mengaku terus terang bahwa selama ini dia tidak pernah lagi memikirkan Siang In, dan peristiwa yang lalu itu dianggapnya sudah lewat begitu saja, sampai pada saat dia bertemu kembali dengan Siang In ketika Siang In bertanding melawan Hwee Li. Barulah perhatiannya tertarik dan pengalaman-pengalaman yang lalu bersama Siang In teringat olehnya, membuat dia merasa canggung sekali. Akan tetapi kini mendengar betapa dara itu mencarinya selama bertahun-tahun jauh ke Bhutan, dia benar-benar merasa terkejut dan heran sekali.

“Engkau? Mencariku selama bertahun-tahun? Sungguh mengherankan sekali! Siang In, ada urusan apakah engkau mencari-cariku?”

Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai berkurang rasa canggung yang menghimpit hati Kian Bu, sungguhpun dia masih seperti terpesona oleh segala gerak-gerik dara ini. Dara ini adalah seorang kenalan lama, akan tetapi seperti seorang sahabat baru saja bagi Kian Bu. Dulu, di waktu dia berjumpa dan berkenalan dengan Siang In, dara ini masih merupakan seorang dara remaja, akan tetapi sekarang Siang In telah dewasa, sungguhpun masih belum kehilangan kelincahannya, kegalakannya dan keanehan wataknya. Dulu, dara ini suka sekali menggoda orang, mengejek dan menirukan gerak-gerik orang.

Mendengar pertanyaan Kian Bu itu tiba-tiba saja sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar marah.

“Engkau sudah lupa ataukah engkau pura-pura lupa akan perbuatanmu yang biadab beberapa tahun yang lalu, yang kau lakukan kepadaku?”

Seketika wajah Kian Bu rnenjadi merah sekali dan kembali dia menjadi gelisah, gugup dan canggung! Jantungnya berdebar tegang dan tentu saja dia tahu apa yang dimaksudkan oleh dara itu! Ah, celaka sekali. Kiranya ciumannya dahulu itu menggores perasaan dara ini dan agaknya hal itu dijadikan dendam yang hebat oleh Siang In!

Dengan muka masih merah sekali dan pandang mata hampir tidak berani bertemu dengan sinar mata dara itu, Kian Bu berkata, kepalanya menunduk, suaranya terdengar penuh penyesalan besar,

“Aihhh.... itukah maksudmu? Memang.... aku menyesal sekali, aku mohon maaf sebesarnya atas kelancangan dan kekurang ajaranku itu, Siang In, akan tetapi, hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, ketika kita masih.... eh, sama-sama belum dewasa benar. Aku sungguh menyesal dan harap kau suka memafkanku.“

“Maafkan, setelah selama bertahun-tahun aku tak pernah dapat melupakan penghinaan itu! Maafkan begitu saja? Aih, terlalu enak di situ dan celaka di sini kalau begitu! Susah payah aku mencarimu bertahun-tahun, setelah sekarang dapat saling jumpa, hanya cukup dengan maaf-memaafkan begitu saja?”

Kian Bu menarik napas panjang, hatinya merasa menyesal dan berduka sekali. Siapa duga, kenakalannya di waktu remaja itu agaknya kini akan mempunyai akibat yang hebat pula! Dara yang menarik hatinya ini, yang benar-benar membangkitkan rasa kagum dan suka di hatinya, ternyata mengandung dendam hebat kepadanya dan bahkan tidak bersedia memaafkan!

Memang hidupnya selalu dirundung malang dan agaknya memang dia harus selalu menderita dalam asmara. Pertama-tama dia merasakan hati kiamat untuk pertama kalinya ketika cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi tidak terbalas karena Puteri Bhutan itu mencinta Tek Hoat. Kemudian dia terbenam ke dalam pelukan seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li, Siluman Kucing, yang sama sekali hanya mendasarkan hubungan antara mereka karena nafsu berahi semata sehingga dia terseret ke dalam gelombang nafsu berahi yang menghanyutkan.