FB

FB


Ads

Selasa, 16 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 137

Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia mengerahkan ginkangnya untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat terbang!

Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu. Bertahun-tahun sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari pemuda ini!

Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?
“Ah, Kian Bu.... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?”

Dia termenung dan tenggelam dalam lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.

Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan, sampai akhirnya senjapun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi.

Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permukaan tanah di dalam hutan.

Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini. Dia memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.

Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biarpun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan.

Demikian pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala bahaya apa pun yang mengancamnya.

Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?

Kalau orang lain, apalagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan merasa takut dan pertama-tama tentu akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya, menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam gua, atau di mana saja!

Maka, mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah merantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.

Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan biarpun ginkangnya sendiri juga sudah terlatih baik, namun dalam malam gelap itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan sedikit suara.

Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang-bintang di langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.

“Kresekkk....!”

Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa tegang dan gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu, orang yang dicarinya. Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga melihat bayangan Siang In, karena bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita!

“Suma-taihiap! Siluman Kecil.... engkaukah itu....?”

Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang yang redup.

“Siapa engkau?” bentaknya.

Bayangan itu pun tercengang.
“Ahhh.... kiranya bukan....!”

Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng.

“Enci Swi Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.






“Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa engkau di sini?”

“Dan engkau pun disini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” balas Siang In. “Mau apakah engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?”

Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab,

“Aku.... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap.... dan kusangka dia yang masuk kesini....“

“Ada keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?”

“Ah, tidak.... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan.... eh, dari suhu...., sudahlah, aku harus cepat kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi.”

Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil “Suma-taihiap” tadi, demikian penuh perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi panas. Begitu banyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apalagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?

“Gila kau!”

Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!

Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran, Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi yang membuat dia gelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal.

Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat Kian Bu bergandeng tangan dan bersendau-gurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan perjalanannya, sungguhpun dia sendiri tidak tahu ke mana arah perjalanannya itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Ke dua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata kemudian gagal dan sia-sia belaka.

Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di didepannya seperti iblis. Memang kakek ini sejak tadi bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.

Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini. Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan Hwai-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya panjang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki kekuatan sihir yang hebat!

Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekall karena dia sudah mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula.

“Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki.

Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu.

Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng. Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Pangeran Nepal terhadap kaum wanita.

Melihat pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya.

“Hemmm....!”

Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk menangkis, bukan menangkis payung, melainkan menghantam ke arah pergelangan tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan balasan!

Akan tetapi Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali pedang payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke arah lambung lawan!

“Uuuhhh....!”

Kembali Gitananda berseru kaget dan cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun dengan muka berubah pucat, lalu merah, karena penasaran. Dalam dua gebrakan saja hampir dia termakan lawan!

Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana. Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan.

Ilmu silat kakek ini biarpun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, ditertawakan oleh Siang In.

“Hi-hik, kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?”

Dia mengejek dan pendeta itu menjadi makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah permainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli. Kemarahan membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya menjadi lengah.

Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!

Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andaikata Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk mengalahkanya.

Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang diseling dengan tusukan-tusukan pedang payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga tendangan kaki kirinya yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya.

“Dukkk!”

Gitananda mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.

Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas dan dia mengeluarkan pekik melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan tiba-tiba Siang In ikut pula menggigil! Maka tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, memusatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang.

“Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus tunduk kepadaku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara dari jauh, seperti suara setan!

Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadaranya, namun dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring,

“Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!”

Akan tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia terhuyung!

“Ha-ha-ha....!”

Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu.

Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat!

“Dukun lepus, siapa takut permainanmu ini?” bentaknya dan dia memapaki “singa” itu dengan bacokan pedang payungnya.

“Cusssss!”

Bayangan singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua tangannya ke arah tongkat yang menjadi “ular” dan melibat pedang payung itu.

Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga Iweekang.

“Krakkk! Krekkk!”

Pedang payung dan “ular” itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biarpun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia tadi repot menghadapi Siang In.

Suara ketawa ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw. Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepadanya.

Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia menyerahkan jiwa raganya kepadanya. Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cintanya.

Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin “parah” penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang sukar dicari keduanya.

Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat eratnya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!

Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia sendiri tertarik oleh Siang In.

Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengandung penderitaan rindu karena cinta gagal!

Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya, dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena kemanapun dia mencari, dia kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan.

Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan, dia merasakan adanya pengaruh mujijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang saling dorong!

Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir!

Memang demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat ditakutinya patah Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar-cakar setan hendak mencengkeram.

Dan biarpun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua lengannya untuk menolak.

Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu, membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkangnya untuk bertahan agar jangan sampai dia “terseret” oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.

Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.

“Ihhh!”

Gitananda berteriak kaget. Biarpun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambitkan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tidak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu, maka kini dia gelagapan!

Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai tubuhnya, melainkan runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.

Akan tetapi Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan.

“Haihiihhh!”

Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang dara ini. Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang mematuk kearah matanya, Siang In terkejut, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak,

“Kembali menjadi tongkat!” Dan burung itu tersampok jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.

“Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku, menjadi tawananku, kuhadapkan kepada pangeran....!” kata kakek itu sambil menyeringai.

Tiba-tiba dia memekik dahsyat dan terjadilah hal yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu!

Kian Bu terbelalak dan menahan napas memandang penglihatan yang luar biasa ini. Siang In juga kelihatan terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk menghentikan penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri.

Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh makin panjang. Kemanapun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.

Siang In berkemak-kemik, membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan nampak asap mengepul, dia mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya, namun kesemuanya itu tidak dapat membuyarkan sihir Gitananda yang membuat jenggotnya makin panjang dan hidup memenuhi seluruh tempat itu.

Tempat seluas sepuluh meter persegi itu penuh oleh rambut-rambut bergumpal-gumpal dan yang hidup itu, makin lama makin mulur dan ketat memenuhi tempat itu seperti jaring yang siap menangkap mangsa.