FB

FB


Ads

Selasa, 16 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 136

Seperti juga dengan para pendekar yang membantu pemerintah menentang pemberontakan yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu dapat dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu.

Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta telah lebih dulu meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Juga rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun telah lolos dari benteng, mengambil jalannya sendiri.

Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi, mencari puteri angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri meninggalkan benteng.

Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Biarpun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal itu. Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu.

Kalau tadinya keempat orang diantara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal dan mengambil jalan sendiri, sungguhpun mereka berempat masih belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.

Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu.

Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu.

Andaikata ada yang melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang dewa!

Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang manusia di punggungnya.

Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanannya saja, pakaiannya sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.

Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya menyesakkan napas itu.

“Hemmm, perang...., lagi-lagi perang.... pertempuran, bunuh-membunuh di antara manusia....!”

Kakek itu menggumam sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.

Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isterinya yang tercinta untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya.

Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau dan mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.

Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.

Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan melihat dua orang puteranya.

Dari tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana! Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun Eeng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.

Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya bunuh-membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam bergumpal-gumpal itu maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.

Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya menukik dan mendekati.






Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini. Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu.

Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.

Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka, yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal.

Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok! Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah.

Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena kini ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.

“Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!”

Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.

“Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau-kalau Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.” Dia berhenti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah....“

Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Sian-su, si tosu yang tingginya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang.

Serangan ini hebat sekali, dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping sudah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam-diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masing-masing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!

Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar dan ke manapun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka. Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggumakan Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.

Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil berseru,

“Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!”

Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu.

Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti “hidup” dan hendak bergerak sendiri itu.

Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk!

Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu yang menjulang tinggi!

Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda-kuda mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.

“Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?”

Empat orang itu tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.

Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.

“Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!”

Semua orang menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksasa yang kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!

“Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya sampai mampus!”

Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia tertarik.

“Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?”

“Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau Neraka ini dengan marah.

Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti.

Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tidak dihiraukannya.

“Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini.”

“Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!”

Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu.

Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan kini Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini? Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata.

“Twa-ok mengatakan kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?”

“Tidak ada yang bohong! Dua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang dua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!”

“Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara.

Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!

Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapapun juga, dia mulai marah.

“Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?”

Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak bergerak lagi.

Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala bangkai rajawalinya.

Tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo sudah menyerangnya selagi dia berjongkok memeriksa bangkai burungnya.

Kini marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur kedudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biarpun mereka bertanding tanpa suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, hebat sekali karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang juga dingin bukan main.

Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa yang berubah-ubah itu.

Twa-ok yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi, merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan menghadapi seorang lawan seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada di situ bersama mereka. Biarpun dalam urutan tingkat, Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok.

Belasan tahun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biarpun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekalipun, seperti Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi.

Biarpun kini di sini terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) yang amat dahsyat itu.

Kekhawatiran Twa-ok memang beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu.

Kerja sama antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena mereka itu masing-masing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.

Mengerti bahwa kalau dilanjutkan tentu fihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.

“Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di dunia kang-ouw!”

“Ha-ha-ha, Twa-ko, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?” tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan hati Suma Han.

Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu, apalagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu menarik hati.

“Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!”

“Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga daripada nyawa. Jangan khawatir, Suma-taihiap, bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!”

Setelah berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau Es itu.

“Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!” Tiba-tiba pendekar itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.

“Persetan!”

Bentak Hek-tiauw Lo-mo dan tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu pendekar kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!

“Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han.

“Keparat sombong!”

Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut, golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!

Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata,
“Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!”

“Crakkk!”

Golok itu benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu “pecah” menjadi dua dan muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!

“Ehhh?”

Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han itu.

“Crakkk! Crakkk!”

Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan.... dua kali dua sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan senyum-senyum di depannya! Dan sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar Siluman ini sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak lagi!

“Hek-tiauw Lo-mo, katakan dimana adanya Suma Kian Lee!”

Biarpun dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa tak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah,

“Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah kemana dia pergi membawa anakku itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!” ¬

Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.

“Sudahlah,” katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.

Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih,

“Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.

Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya dengan perasaan was-was.

Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!

Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayang¬kan kematian? Kematian adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukum¬an, dan sebagainya, namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut menghadapi kematian.

Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenangan, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati!

Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapan-harapan agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu.... mengejar kesenangan lagi, sungguhpun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya, disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya rasa takut!

Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul dengan seorang gadis seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biarpun dia kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepatnya.

**** 136 ****