FB

FB


Ads

Selasa, 16 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 135

“Bagus! Permintaannya yang pertama harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!” kata Jayin menahan kemarahannya.

Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang “utusan” panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk “mengurung” istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan.

Tentu saja Mohinta menjadi girang bukan main. Biarpun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira.

“Puteri” Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dahulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut.

Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biarpun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak menimbulkan kecurigaan sesuatu.

Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para perajurit pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan agungnya memasuki istana.

Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi yang memegang tombak.

Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah “diberi” oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah.

Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguhpun jantungnya berdebar penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguhpun dia maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguhpun dia telah diberi tahu akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.

“Mohinta, apa yang kau lakukan itu?” Suara sri baginda gemetar.

Dengan wajah beringas Mohinta berkata,
“Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada di telapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak melawan!”

Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya.
“Pengkhianat busuk! Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!”

“Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!” bentak Mohinta.

“Apa kehendakmu?” tanya raja, juga membentak.

“Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai mantu yang akan menggantikan kedudukan di Bhutan!”

“Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!” Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya bergerak ke depan.

“Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!” bentak Mohinta dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.

Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri.

Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

Sementara itu, Sri baginda lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya.
“Syanti.... anakku.... ah, anakku....!”






Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta,

“Jahanam busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!”

“Ahhh.... kau.... kau....!”

Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.

“Syanti....! Kau gila....!”

Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan terus menyerang raja. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata terbelalak dan ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.

“Dewi....!”

Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan lalu diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui pintu rahasia.

Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi “puteri” itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.

Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar istana, yaitu antara para pengikut Mohinta melawan para pengawal.

Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya.

Dan memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut-pengikut biasa, bahkan diantara mereka terdapat orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Mohinta sendiri!

Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.

“Mohinta keparat, jangan lari!”

Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.

“Kepung! Bunuh!”

Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.

Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu.

Tek Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.

Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya.

Kedua pahanya luka-luka, celananya robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!

Biarpun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biarpun dia sudah merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu.

Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya.

Melihat kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu Mohinta itu.

Ketika pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai. Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Tek Hoat yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya telah menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah lengan kanannya.

“Blesssss....!”

Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih.

“Itu untuk ibuku!” teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.

“Crakkk! Crakkk!” Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku kena disambar Cui-beng-kiam.

“Itu untuk Kerajaan Bhutan!” kembali Tek Hoat berteriak.

Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini darah muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Akan tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.

“Crakkk!” Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang mengerikan tadi.

“Itu untuk Syanti Dewi!” kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam.

Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!

Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan. Sebagian besar di antara mereka menakluk.

Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak, mempersilakan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan, setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal meninggalkan banyak korban.

Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup. Apalagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar!

Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya menderita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas.

Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.

Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.

Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang-kadang duduk diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta.

Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau-kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasihatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar.

Para tabib ini khawatir kalau-kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasihat ini dan memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.

Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta, dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jerih mereka yang masih mempunyai niat untuk memberontak.

Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan kawan-kawannya, dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.

Setelah Panglima Sangita yang tua itu dipensiun dan dibebas tugaskan, dengan sendirinya Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biarpun belum diadakan pengangkatan resmi, namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.

Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti-hentinya. Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang politik, ekonomi, kebudayaan, perang halus maupun kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian dan permusuhan. Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian manapun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak peduli di manapun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam perang atau tidak pada saat itu.

Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing.

Setiap saat, setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain.

Demi mencapai cita-cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu. Demikianlah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini.

Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya “perang” di dalam batin mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi.

Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin! Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!

Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi pemberontakan, akan tetapi mereka lupa bahwa pemberontakan-pemberontakan tidak akan pernah berhenti, baik pemberontakan halus maupun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi daripada si manusia sendiri.

Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, melainkan hanya memperoleh kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya.

Manusia tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang lain apabila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu!

Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan ketidak tertiban yang dipulas.

Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apabila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh ke¬inginan menyenangkan diri sendiri, apabila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu!

Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik-konflik dalam batin yang akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin.

**** 135 ****