FB

FB


Ads

Selasa, 16 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 134

Adakah yang lebih panas daripada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih daripada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta!

Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apalagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walaupun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang amat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh.

Hal ini, amat menjijikkan hatinya, apalagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.

Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan.

Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan ke dua adalah karena bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mohinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya!

Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga daripada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan!

Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu akan menimbulkan kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tak masuk di akal! Dia sendiri, andaikata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu!

Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun dia sedang dimabuk kemarahan dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono.

Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkangnya untuk berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian.

Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tetapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya.

Panglima Jayin merupakan panglima tua yang ke dua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Ang Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguhpun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu daripada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi!

Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apalagi dia maklum bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara fihak yang setia kepada raja dan agaknya, biarpun tidak kentara, terdapat pula fihak yang menentang raja secara diam-diam. Dan yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu disebabkan terutama sekali karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.

“Selamat malam, Panglima!”

Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja dalam ruangan kerjanya di malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.

“Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tidak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat, Panglima?” tanya Tek Hoat, di dalam suaranya terkandung penyesalan dan kepahitan.

“Eh.... ohhh.... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya.... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana Taihiap datang.?” tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran.

Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya.

“Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,” keluhnya.






Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, lalu bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir.

“Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin.”

Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan dengannya dan yang sedang mengamati wajahnya penuh selidik.

“Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa pentingnya, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri”.

“Ahhh....!” Wajah panglima itu menjadi pucat. “Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga.”

“Nanti dulu, Panglima.” Tek Hoat menggeleng kepala. “Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, baru kau pertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja.”

“Baik, baik, lekas kau ceritakan, Taihiap!”

“Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja, dan selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan.”

Tek Hoat sengaja tidak menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri. Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya kalau aku sempat bertemu lagi dengan dia, pikirnya.

Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidak percayaan, akan tetapi keheranan menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!

“Hemmm, kulihat engkau pun agakrrya tidak percaya kepadaku, Panglima!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.

“Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu.... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku.”

“Ah, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!” seru Tek Hoat dengan girang. “Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu.”

Wajah Panglima Jayin berseri. Biarpun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam hatinya. Apalagi di situ terdapat pemuda perkasa ini yang membantunya, maka dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.

“Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan diketahui fihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.”

Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar terpercaya.

Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi. Jayin menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di lorong dalam istana.

Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang ke dua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.

“Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,” kata panglima itu, “di mana beliau?”

“Beliau sudah memasuki kamar, baru saja.”

“Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang.”

“Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar.”

Mereka bertiga lalu berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.

“Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri baginda sendiri,” kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan.

“Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri.”

“Sang Puteri Syanti Dewi.?”

Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu.

Tak lama kemudian, daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu muncul, mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata,

“Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda.”

Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum dikenalnya.

Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.

“Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Dimana dia sekarang?”

Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu memperhatikan Tek Hoat.

Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat,

“Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja.”

Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.

“Nah, ceritakan, Jayin.” Sri baginda cepat berkata.

“Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu.”

Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.

Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya,
“Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?”

“Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji.”

Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, akan tetapi kini dia memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin,

“Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya dengan berita ini?”

“Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan hambalah yang datang membawa berita ini.”

Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh pertanyaan.

“Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini.”

Betapapun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!

“Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!” katanya singkat.

Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja.

Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata,

“Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta.... dia putera Sangita.... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?”

“Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, akan tetapi hendaknya Paduka memaklumi bahwa hamba sendiri percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”

“Hemmm, bagaimana kalau bohong?”

“Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!” kata Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena dia masih juga belum dipercaya.

“Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”

Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata,

“Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, engkau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!”

“Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana.”

“Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Lebih penting memadamkan sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dulu sambil menanti sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian hamba akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira yang pura-pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui.”

Raja tua itu menghela napas panjang.
“Baiklah.... baiklah, atur saja sebaiknya. Aku sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!”

“Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat.

“Baik, nah, kau bawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah seorang kepercayaanku, Ang Tek Hoat.”

Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindak atas nama raja!

Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih lima puluh orang panglima dan perwira tinggi!

Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda dan yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawanya ke dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.

“Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berfihak padanya ditangkap atas perintah sri baginda.”

“Akan tetapi.... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biarpun diatur oleh puteranya sendiri!”

“Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman-temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini.”

“Aku bersedia!” jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang perajurit siap menerima perintah.

Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan sikap setia kepada negara, Jayin lalu mempergunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini.

Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa sehingga peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan fihak pemberontak, sungguhpun kini kekuatan utama telah diamankan sehingga andaikata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan.

Kini mereka tinggal menanti saja munculnya Mohinta. Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di perbatasan.

Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.

Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menemuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan dimana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya.

Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya maka dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya dan kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana.

Kemudian dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya.

Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk “melaksanakan” rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.