FB

FB


Ads

Selasa, 16 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 131

“Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?”

Gadis cantik itu menundukkan mukanya dan biarpun dia berusaha untuk menahannya, namun tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.

Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum menjadi nikouw. Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika namanya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pendekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia merana dan mengalami penderitaan batin yang amat hebat.

Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, betapa cinta kasih yang mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin menyenangkan diri sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi kesengsaraan karena pada hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka ke dua dari kesusahan.

Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan penderitaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapatkan balasan dari Suma Han yang dicintanya itu.

“Cui Lan hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kau rasakan sekarang ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu, Cui Lan.”

Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik. Sepasang matanya yang indah terbelalak karena penasaran dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya.

“Subo.... bagaimana Subo dapat mengatakan demikian? Teecu (murid).... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu....“ dia berhenti sebentar, menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. “Subo, bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?”

“Anak yang baik,” kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, “Kalau kita benar-benar mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya. Akan tetapi tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita, yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta, sehingga kita mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri belaka?”

“Subo....!” Dara itu terisak. “Teecu memujanya, menghormatnya, mengaguminya dan teecu mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, akan tetapi juga ingin berdekatan selama hidup teecu di sampingnya...., salahkah ini?”

Nikouw itu tersenyum haru.
“Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang mengharapkan balasan pada hakekatnya adalah nafsu berahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di samping mendatangkan kesenangan, anakku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita, lalu bagaimana?”

“Teecu akan tetap mencintanya....“

“Dengan hati hancur dan menderita?”

Gadis itu mengangguk dan terisak.
“Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak cukup berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biarpun dia tidak membalas cinta teecu, teecu tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu....“

Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti!

“Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan menyadari bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan dan kepatahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang lain?”

Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang gemetar menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah dapat menenangkan hatinya, dia lalu berkata,

“Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo....“

Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya dengan lembut.

“Duduklah yang baik, mari kita bicara.”

Setelah Phang Cui Lan duduk dan menghapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata.

“Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki yang bijaksana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni yakin bahwa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan jodoh yang layak untukmu....“

“Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja, teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat....“






Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu.
“Alangkah baiknya watakmu, Cui Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandalkan kekerasan, sungguhpun pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei, melainkan karena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai puterinya yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan.”

Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami bahaya bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah angkat itu.

Demikianlah beberapa hari kemudian Cui Lan diantar oleh Kim Sim Nikouw meninggalkan Kuil Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu, untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi gubernurnya.

Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biarpun kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, akan tetapi kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang.

Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan makan waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari.

Pada hari ke tiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw sudah merasa khawatir sungguhpun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib atau juga dari pengejaran para pendekar.

Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu.

Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun bersama sisa anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir kalau-kalau namanya dan perkumpulannya telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan diserbu pasukan pemerintah. Apalagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia telah ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu tosu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-pang Ciok Gu To.

Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggauta Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal itu.

Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biarpun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.

“Ada apakah, Subo?” bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subonya yang serius.

“Sssttt....“ Kim Sim Nikouw berbisik pula.

Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subonya melihat atau mendengar suara seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja dan dara ini menjadi tenang kembali.

“Ah, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!” kata Cui Lan dengan wajah berseri dan senyum ramah. “Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!”

Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu, tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua.

“Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus menyerah untuk menjadi tawanan kami.”

“Menjadi tawanan?”

Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di fihak yang benar.

“Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?”

Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada.
“Kalian telah memasuki wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!”

Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya berhadapan dengan gerombolan perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus,

“Omitohud.... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami.”

Si jangkung itu membelalakkan matanya.
“Eh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kau kira kami ini perampok-perampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?”

Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu. Dia cepat menjura dan berkata,

“Ah, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan.”

“Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh....!”

Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang sekali. Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk menggunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguhpun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali.
Biarpun Cui Lan sendiri merasa tidak setuju mendengar gurunya membawa bawa nama ayah angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan menghormatnya, maka dia pun tersenyum dan berkata,

“Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Setelah bertemu dengan beliau, tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa....“

Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak diikuti oleh teman-temannya.

“Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja.”

“Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?” berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.

“Bunuh juga lebih baik!” kata si jangkung dan tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya.

Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subonya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.

“Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan dirinya anggauta-anggauta perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!”

Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini.
“Ha-ha-ha, kawan-kawan, lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!”

Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata,
“Cui Lan, mundurlah.” Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus, “Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?”

Si jangkung membentak,
“Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Akan tetapi kami tidak ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami berikan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!”

Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.

“Omitohud.... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?”

“Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!” bentak si brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman-temannya.

Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw!

“Ihhhhh....!”

Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.

Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok karena biarpun si brewok menyerang sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan ketika golok menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu. Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya,

“Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!”

Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat.

Namun sungguh mengejutkan mereka karena biarpun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara serangan-serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi.

Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan dengan ginkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka!

Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran-ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula.

Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.

Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan, menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu.

Kim Sim Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini menggenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.

Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama sekali tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi kini mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang!

Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget berturut-turut golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.

“Omitohud, kalian terlalu mendesak....!”

Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil. Mendengar suara “pletak-pletak” dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat!

Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang mereka.

“Apakah yang sedang terjadi di sini?”

Legalah hati Jiu Koan dan anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih, pakaiannya serba baru dengan baju berkembang-kembang, sepatunya mengkilap, seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biarpun dia bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.

Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!

“Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!”

Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat kekurangajaran dalam mata pemuda asing itu.

“Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,” kata Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.

“Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya.“

“Seorang gagah perkasa harus malu untuk berbohong!” tiba-tiba Cui Lan berkata lantang. “Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid melanjutkan perjalanan kami.”

“Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!” tiba-tiba si jangkung berkata dan berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan.

“Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat.”