FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 130

“Suheng....!”

Cui Yan menjerit dan menubruk suhengnya. Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan menyesalnya. Dia ingin menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.

“Tek Hwi, awas....! Cegah dia....!”

Tiba-tiba Kim-mouw Nio-nio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan lunglai.

“Sumoi....!” Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.

Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah,
“Balaskan Suheng....“ Kemudian tubuhnya lunglai dan matanya terpejam.

“Sumoi....! Cui Yan.... ah, Cui Yan kekasihku....!”

Liong Tek Hwi menangis dan berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya.

“Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!”

Liong Tek Hwi menurunkan jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subonya.

“Tek Hwi, nanti dulu....!”

Subonya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka dan marahnya, tidak mempedulikan subonya sehingga terpaksa Kim-mouw Nio-nio mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.

Ketika tiba di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan kebetulan sekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang berada di ruangan depan.

Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah berhasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran, akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan mereka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.

Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan,
“Bian Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk menemani arwah sumoiku!”

Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat seorang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nio-nio, datuk luar tembok besar dari utara itu!

Biarpun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhunya, akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.

“Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?”

“Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku sampai dia membunuh diri.... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus mati!” bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat keras.

Liong Bian Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata,
“Sabar dulu, saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik daripada sumoimu itu!”






“Manusia iblis! Harus kau ganti dengan nyawamu!”

Tek Hwi menerjang lagi, kini menggunakan ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di depan dada dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan.

Pangeran Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat daripada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya ini masih lebih tinggi daripada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apalagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal!
Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan, dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah dan biarpun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, namun pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan dapat membujuknya maka terpaksa harus membunuhnya.

Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cui Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini.

Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nio-nio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan kalau fihak lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nio-nio secara terang-terangan selalu memandang kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!

Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata tangguh sekali.

“Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak menghabiskan saja urusan perempuan ini?” dia berseru sambil menangkis sebuah pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke belakang. Akan tetapi Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.

“Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di depan kakiku!”

“Keparat!”

Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru. Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan, penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap hati-hati.

Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak! Serangan-serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia mengharapkan bantuan gurunya.

“Suhu, harap bantu....!”

Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ke tiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat.

Di dalam hati kakek botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri. Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apalagi sekarang dia melihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya pangeran ini!

Gerakan pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu.

Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.

Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau pengejaran terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai suatu kecerdikan atau langkah-langkah demi mencapai apa yang dicita-citakan atau yang dikejar-kejar.

Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap kedudukan menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan sogok-menyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap kehormatan, kebersihan nama dan apa yang dinamakan kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan.

Perbuatan apa pun, betapa mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apabila didorong oleh suatu pamrih, karena perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa yang dipamrihkan itu. Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita beri pakaian dan menyebutnya sebagai “pamrih baik”, “pamrih mulia” dan sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapapun baik dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang menguntungkan atau menyenangkan diri kita, lahir maupun batin!

Hanya tindakan yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang mengandung cinta kasih!

Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya, bahkan menjawab permintaanya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.

“Crotttt....!”

Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenaga sinkang amat kuat itu memasuki rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga, dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat dengannya itu.

“Prakkk!”

Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!

Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nio-nio amat mencinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena pemuda ini memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia.

Tadi dia menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!

Ban Hwa Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya, ke dua, pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi kemarahan Kim-mouw Nio-nio, dia tertawa.

Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah nenek tua ini. Dan untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh.

Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw Nio-nio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun.

Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas, menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.

Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.

“Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!” kata Sam-ok sambil tertawa.

Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing.

Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur, dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah lengan mencuat untuk menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan.

Kini nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan.

Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nio-nio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu-tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah!

Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nio-nio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!

Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, kemudian dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun.

Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal. Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran. Andaikata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok.

**** 130 ****