FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 129

Sepasang mata wanita itu berapi-api saking marahnya.
“Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!”

Tentu saja diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum sungguhpun pandang matanya mulai berapi.

“Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?”

“Aku akan menghajarmu!” bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.

“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian? Baik, akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan minta ampun kepadamu seperti yang kau minta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah....“ Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, “Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana....“

“Keparat!”

Cui Yan membentak dan dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali.

Ketika merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru,

“Bagus sekali!” dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan.

Cui Yan yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.

Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu pukulan sembarangan. Ilmu pukulan ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-mouw Nio-nio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main.

Biarpun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi.

Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang bernama Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang ke tiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan ilmu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua serangan Cui Yan biarpun setiap kali lengan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.

Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan.

Memang, kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran Nepal itu masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong Bian Cu mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu melepaskan lengannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!

Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu!






Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok sehingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa.

“Engkau cantik, manis, engkau seperti Hwee Li.... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah, engkau harus membayar taruhan.” Lalu dipondongnya tubuh dara itu.

“Lepaskan aku ! Atau.... kau bunuh saja aku....“

Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main. Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa dirinya.

“Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali, engkau terlalu cantik.... ha-ha-ha....!”

Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini. Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ pula!

Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apalagi menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya memasuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya.

Pada jaman itu, baik di Tiongkok maupun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan.

Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus tunduk kepadanya, bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela.

Oleh karena itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum saja melihat muridnya memondong seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apalagi karena memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya. Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini.

Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak.

Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu bergerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkangnya. Dia hanya mampu membuang muka dan air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya.

Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia tidak mampu, apalagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan sia-sia.

Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suhengnya, dengan kekasihnya, calon suaminya, untuk menceritakan semua malapetaka yang menimpa dirinya ini.

Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita, dapat melihat dan menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita itu.

Baru setelah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia telah berhasil “menundukkan” wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi “jinak”, seperti yang sudah sering kali dia alami.

Di antara para selirnya, banyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!

Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam ke lima itu, malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap!

Ke manakah perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa malapetaka hebat ini. melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu, sambil menangis dia terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya. Hampir putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suhengnya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerahkan segenap tenaganya.

Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoinya datang berlari-lari, lalu menubruk padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.

“Sumoi, apa yang telah terjadi? Kemana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu sampai kemana-mana, hatiku risau dan bingung sekali....“ Pemuda berkulit putih bermata kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.

“Cui Yan, apa yang telah terjadi?”

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan leher suhengnya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan.

Nenek itu bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nio-nio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sembilan puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan senjatanya yang ampuh sekali.

Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang.

“Wuhhh, memalukan sekali! Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Hayo katakan apa yang telah terjadi!”

Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoinya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus,

“Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Ceritakanlah.”

“Suheng.... demi Thian.... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu....!”

Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara misannya dan sekarang sumoinya atau kekasihnya ini minta kepadanya untuk membunuh saudara misannya itu!

“Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan yang luar biasa ini?”

“Sepekan yang lalu.... aku bertemu dengan dia, kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan.... dan....“ Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-isak.

Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoinya itu penuh kekhawatiran.

“Lalu bagaimana, Sumoi?”

“Dia.... selama sepekan ini.... dia.... memaksaku, dia memperkosa aku.... dan aku tidak berdaya.... ditotoknya dan.... diperkosanya.... hu-hu-huuu!”

“Ahhh....!”

Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.