FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 128

Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, hidup sebagai pertapa di tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang dibagi-bagi dan yang sesungguhnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan Apakah adanya cinta kasih?

Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin benar, si aku yang ingin mem¬peroleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih!

Betapa kecewa hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba di bekas benteng pangeran dari Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu. Mereka melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga oleh puluhan orang perajurit yang ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu.

Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para perajurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para perajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu ke mana perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak.

Akan tetapi ada seorang perajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. Sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu. Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung.

Kurang lebih sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang yang lari seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapapun dan akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berkeliaran di dalam hutan itu.

Karena mereka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja.

Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara demikian sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.

Tiba-tiba dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati-hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau.

Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pangeran Nepal! Tentu saja Hwee Li segera mengenal wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian.

Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan amat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan.

Makin teranglah keadaan di dalam kuil rusak itu ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah. Agaknya semalam itu encinya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh.

Hati Hwee Li menjadi panas. Betapapun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti encinya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh yang begitu ditakuti encinya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu saja.

Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu dipecahkan oleh suara wanita yang nyaring,

“Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?”

Hwee Li terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!

Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar.

“Kau.... kau terlalu mendesakku!” kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan.

“Perempuan keparat, ketika engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku mendesakmu?” Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian.






Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh penyesalan,

“Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik daripada ayah mertuamu?”

Sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat.
“Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya dihukum!”

“Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, keluarga ayah juga berdosa?” Cui Yan balas menghardik.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biarpun dia dapat mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela fihaknya sendiri.

“Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?”

“Perempuan sombong!”

Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar. Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah mengambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bahwa musuh encinya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir.

Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nio-nio, datuk barat di luar tembok besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apalagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiam-sut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya.

Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga (baca Kisah Sepasang Rajawali) telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat ditemukan tandingannya di waktu itu.

Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu berkelahi mati-matian. Namun, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan.

Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit tenggorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri! Cui Yan hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sampai akhirnya Cui Yan tak mampu mundur lagi karena punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu.

“Bunuhlah, siapa takut mati?” teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata terbelalak.

“Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu....“

“Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo....!” Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya.

Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan pedangnya yang menodong leher Cui Yan, dia membentak,

“Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?”

“Subo, jangan bunuh dia.... dia adalah enciku sendiri....“

Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan.

“Encimu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” tanya Ceng Ceng dengan alis berkerut.

“Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin....”

“Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia encimu?”

“Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga, dari seorang selir yang dilarikan oleh Hektiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan.”

Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya.

“Ah, kau.... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagai murid ?”

Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.

“Krekkk!”

Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah, matanya menatap wajah muridnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.

“Ahhh....“

Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi.

Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu.

“Ya Tuhan.... jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu.?” Setelah berkata demikian, Kian Lee berkelebat pergi.

“Lee-koko....!”

Hwee Li menjerit dan meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat daripada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak sambil bersandar di ambang jendela yang retak-retak.

Memang tadinya dia sudah merasa berduka sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan menyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat rasanya.

Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa dalam keadaan yang menyedihkan.

Setelah tangis mereka mereda, biarpun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan telah dapat menguasai hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata,

“Aku sudah menduga-duga dengan penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ke tiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia tiga bulan. Mengapa engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di benteng?”

Hwee Li menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu.
“Aku.... aku tidak ingin diketahui oleh.... mereka bahwa aku adalah puteri pemberontak, maka aku diam saja walaupun aku sudah mendengar bahwa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan.”

Gadis baju hijau itu menarik napas panjang.
“Aku mengerti. Mereka itu semua membenci ayah kita. Sungguh menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Mengapa kita diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?” Kemudian Cui Yan merangkul lagi leher adiknya. “Engkau.... engkau telah berkorban untuk keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk itu engkau kehilangan guru.... dan pemuda itu....”

Diingatkan begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada encinya dan kembali keduanya bertangisan.

Memang demikianlah satu di antara “kebiasaan umum” yang sudah membudaya dalam kehidupan kita. Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai dari segala yang melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya, masyarakatnya, agamanya, orang tuanya, keluarganya, pendidikannya, kedudukannya, hartanya dan sebagainya lagi. Sungguh merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain, kecuali dirinya sendiri.

Kalau kita membenci bangsanya atau sukunya, setiap orang yang menjadi anggauta bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan seperti ini tentu saja amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik antara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara perorangan.

Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan ketergantungan dan penilaian ini sehingga kita menghadapi siapapun juga tanpa mengingat kebangsaannya, kesukuannya, agamanya, kaya miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, melainkan sebagai manusia dengan manusia lain pada saat itu juga, tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manusia pun takkan pernah dapat dihentikan!

Kakak beradik itu lalu saling menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing-masing. Dengan segala kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing sehingga mengertilah Hwee Li bahwa encinya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan pernikahan mereka.

Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi meninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri pemberontak.

“Sudahlah, jangan engkau terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar kita dianggap anak-anak pemberontak yang hina, kita pun tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau ikut bersamaku, hidup di samping encimu ini yang akan menghibur dan melindungimu, Hwee Li.”

Akan tetapi Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas kedua pipinya, dia berkata keras,

“Tidak....! Aku harus mencarinya, aku harus menyusulnya.... aku.... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!”

Dan Hwee Li lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis. Setelah bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

“Kasihan Hwee Li.... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari Nepal yang konyol itu! Kalau bertemu dengan mereka, akan kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan menjodohkan Hwee Li dengan dia....“

Dengan pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui suhengnya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suhengnya itu setelah meninggalkan benteng yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli suhengnya.

Mereka menanti datangnya Kim-mouw Nio-nio, guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu musuhnya terus mengejar dan mencari-carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan bersembunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng.

Tentu suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung, pikirnya. Dia pergi sejak kemarin dan kepada suhengnya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia berlari menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya yang cukup jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus dikejar oleh musuh sampai ke hutan itu.

Kim Cui Yan mengambil keputusan untuk mengajak suhengnya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan suhengnya yang juga menjadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadi telah beres. Keluarganya yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah himpas dendamnya karena jenderal itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao Liang adalah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya.

Jenderal itu gagah perkasa, para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang berjiwa satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari hatinya, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, walaupun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya.

Diam-diam dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gurun Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga biarpun dia mempergunakan pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agaknya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan wanita itu dengan mudah. Apalagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang demikian saktinya, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia bergidik.

Biarlah dia mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suhengnya, atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal ibu dari suhengnya yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw Nio-nio.

Matahari telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, dimana suhengnya tentu sedang menanti kedatangannya dengan gelisah.

Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu!

Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi isterinya! Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan kekasih dari saudara misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia berkata,

“Ah, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?”

Sikap yang ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang-kempis karena kemarahan membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring dan kaku,

“Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!”

Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis sekali. Akan tetapi mengapa dia marah-marah dan berani memakinya?

Hati pangeran ini memang sedang tertekan oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang memakinya sebagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali.

Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali Hwee Li yang dicintanya, sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang wanita yang marah-marah sampai kedua pipinya kemerahan dan amat menarik itu.

“Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biarpun kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui mengapa engkau marah kepadaku.”

Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang menyala di dalam Cui Yan. Mukanya bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

“Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!”

Pangeran Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu. Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan penasaran karena kegagalannya.

Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang keberanian wanita ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan berahinya!

Biar aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa nnenjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li!

“Ah, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kau anggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis seperti engkau.”