FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 127

“Pergilah kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau.!”

Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas memenuhi dadanya.

Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena dia memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan perasaan tidak enak di dalam hatinya.

“Hwee Li.... Nona.... harap jangan marah dulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya? Apa sebabnya?”

Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak,
“Dia.... betapapun jahatnya dia.... dia sungguh-sungguh mencintaku.... ahhh....!” Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis terisak-isak.

Kian Lee menjadi makin bingung melihat dara itu sesenggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.

“Dan kau.... kau mencinta dia....?” Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was.

Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, dan suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan,

“Engkau bodoh! Engkau buta....! Dia.... dialah satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh-sungguh cinta kepadaku.... biarpun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya.... hu-hu-huuhhh, akan tetapi.... selain dia.... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku.... hu-hu-huuuhhh....!”

Tangisnya makin menjadi-jadi dan Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta kepadanya.

“Engkau keliru, Hwee Li...., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus diragukan. Akan tetapi aku....“

“Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya.!”

“Eh? Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?” Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya dengan alis berkerut.

Hwee Li menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.

“Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu.... ah, kalau jumpa, akan kubunuh dia....!”

Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran!

“Ahhh....! Jadi kiranya.... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung....“

“Tentu saja! Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta....“ Kembali Hwee Li terisak.

Kian Lee melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah-marah kepadanya dan kepada Siang In?

“Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat....“

Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu,

“....tidak ....tidak saling mencinta....? Tapi.... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan perjalanan berdua.“

“Tentu saja, karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li.... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?”

Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik.

Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya, perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.

“Karena.... karena.... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain.... tidak semenjak subo.... kau tidak boleh mencinta wanita lain....“






“Hemmm....“

“Kecuali.... kecuali aku....“

“Hwee Li....!”

Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandangan.

“Hwee Li...., apakah maksudmu? Apa yang akan kau katakan? Mengapa engkau berpendirian demikian.?” Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan ini.

Sepasang mata yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.

“Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu akan tetapi engkau lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?”

Kian Lee merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, akan tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya.

“Akan tetapi.... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan....“

“Sungguh bodoh engkau, Lee-koko.... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya engkau menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal.... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku.... aku cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci.“

“Hwee Li....!”

Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini sehingga dia tak kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu. Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu, memejamkan kedua matanya.

Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya.

“Hwee Li.... Moi-moi.... sungguh tak kusangka...., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap.... tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku.... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah anak-anak. Akan tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan obat untukku, kemudian.... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan.... dan demikian cantik jelita, aku.... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri sendiri, aku sudah hampir jera.... hampir kapok untuk jatuh cinta.”

Hwee Li membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan hatinya itu.

“Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo.... karena itulah aku makin kasihan kepadamu, ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo.“

“Hwee Li....“ Kian Lee menghela napas panjang. “Engkau tahu akan urusanku dengan.... dengan Ceng Ceng?”

Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu.
“Aku sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku.“

“Ahhh.... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan.... sekarang aku sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala-galanya daripada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau.“

Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.

Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat menunduk malu-malu seperti itu!

Kian Lee mengulurkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia meronta dan melepaskan diri!

“Kenapa, Li-moi? Kenapa.... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta.?”

Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh gairah kemesraan.

“Lee-koko, harap kau maafkan aku. Percayalah tidak ada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan.... pelukanmu. Akan tetapi.... semenjak apa yang kualami.... semenjak saat itu.... aku telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membiarkan diri dicium oleh pria manapun juga kecuali oleh suamiku! Engkau.... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi.... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau.... menjadi suamiku.... kau maafkanlah aku, Lee-ko....“

Kian Lee mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan girang akan pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.

“Moi-moi, mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kau alami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?”

“Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan ciumanmu, akan tetapi.... semenjak saat jahanam itu.... pangeran dari Nepal itu.... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah.“

“Ahhh....!”

Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu.
“Kenapa, Koko.?”

“Dan kau senang?”

“Senang apa maksudmu?”

“Kau senang di.... ciumnya?”

Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu.
“Eh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.”

“Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?”

Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.

“Diapakan? Aihhhhh.... kau maksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapapun selain suamiku.”

“Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!”

Kian Lee mengepal tinjunya, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya ini.

“Baik sekali, dan aku pun akan membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!” Hwee Li berkata penuh semangat.

Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan.
“Eh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan sekarang engkau malah hendak membantuku membunuhnya!”

Hwee Li menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum.
“Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain.”

“Kalau begitu?”

“Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau perbuatannya terhadap diriku memarahkan hatimu, dia harus mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.”

Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil.

Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya.

“Hwee Li, setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?”

“Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?” Hwee Li balas bertanya.

Kian Lee memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang.

Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelincahan dan kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu.

Ceng Ceng juga memiliki watak yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia yakin bahwa dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang ke dua adalah perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum sesat!

“Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!”

Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan. Dia memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu dan dia sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela cinta kasih antara mereka.

Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apapun yang terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.

“Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajaknya pulang ke Pulau Es.”

“Aku ikut denganmu, Koko!”

Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.

“Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada.... ibuku.”

Dia tidak berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo!

Hwee Li tersenyum manis.
“Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka.”

“Benar, Li-moi.”

“Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa bangga dan gembira sekali dapat menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!”

Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua daripada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya!

Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini!

Sambil bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta!

Cinta asmara, betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa, mencengkeram seluruh raga dan jiwa menerbangkan manusia ke sorga menghempaskan manusia ke neraka! Cinta asmara, terkadang suci dan mulia penuh kelembutan indah dan mesra mendatangkan suka cita terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina mendatangkan duka nestapa!

Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena berhasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan kebahagiaan dan juga dianggap mendatangkan kesengsaraan.

Penggambaran seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat dipisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka.

Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada kepentingan diri sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekalipun! Baik cinta, maupun hal-hal seperti hujan, panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun malapetaka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.

Kita, sebagai akibat dari si aku masing-masing yang mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi-bagi cinta kasih sesuai dengan “tempatnya” yang semua sarat dengan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta terhadap sahabat. Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi.

Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu karena dikecewakan hatinya oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya!

Demikian pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, terhadap apa saja. Selama masih mendatangkan kesenangan atau yang dianggap menyenangkan lahir maupun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Namun, begitu yang dicinta itu tidak lagi mendatangkan kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin saja terganti oleh perasaan benci. Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada dalam duka nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan.

Harapan untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apabila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan janji-janji kesenangan itu tidak ada. Da¬lam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan, kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan.

Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk memperoleh kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka?

Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita memang berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Akan tetapi, mengejar-ngejar kesenangan jelas menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga.

Akan tetapi kita dapat melihat jelas pula betapa PENGEJARAN terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencurian, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan.