FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 124

Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot-perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat daripada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali.

Anak buah kapal yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi. Apalagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biarpun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.

Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya.

Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui lalu melatih ilmunya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi.

Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya.

Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya!

Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari, pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.

Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!

Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang asli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.

Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengah hari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.

Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!

Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri.

Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air.

Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!

Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!

Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biarpun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apalagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya.

Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan terurai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat daripada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya berkilauan tertimpa sinar matahari.

Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya. Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang-kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa.






Kain sarinya melambai-tambai tertiup angin kencang. Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga ketika berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindarkan hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya.

Kedua lengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh, kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu.

Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.

Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan daripada Syanti Dewi, namun tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari untuk menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.

“Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!” Syanti Dewi berseru gembira.

“Baik, kau larilah dulu, nanti kukejar!” jawab Ouw Yan Hui.

Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Biarpun dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan muridnya itu sudah hampir menyamainya!

“Bibi Maya Dewi....!” Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal. “Kapan Bibi datang....?”

Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk.

Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah “bibi Maya” yang pernah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!

“Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat.... ah, diakah orangnya?” Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.

“Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!” Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, “Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!”

“Ahhh....!” Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. “Tidak mungkin!”

Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran-heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun?

“Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam.”

Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam.

“Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan? Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti.”

Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya.

“Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan.”

Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras.

Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.

Ouw Yan Hui segera memegang lengannya.
“Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya.”

Wanita itu memejamkan matanya.
“Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kalau kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!”

Rasa kaget sudah mereda, dan hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Kini mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya,

“Apa.... apa maksudmu?”

Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini amat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, akan tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin.

“Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihara kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi.”

“Ahhh....! Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih....”

“Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang daripada rambut orang muda?” Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. “Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!”

“Tapi.... tapi....”

“Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?” tanya Ouw Yan Hui.

“Tentu.... tentu saja....”

Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia muda?

“Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan seperti yang kau miliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!”

Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu.

Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan. Sambil memejamkan mata membaca mantera-mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tiba saja air itu mendidih!

Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorag nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.

“Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi” kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.

“Menanggalkan pakaian....?”

Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.

“Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau....”

Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.

“Bukan main....” Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.

“Adikku yang manis, engkau hebat....”

Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah-olah tanpa cacat di depannya itu.

“Apa.... apa yang harus kulakukan, Enci....?”

Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.

“Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang....“ Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula. “Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua.”

Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biarpun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya.

“Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu,”

Kata nenek itu, kemudian Syanti Dewi merasa ada jari-jari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.

“Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan....!”

Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya,

“Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!”

Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil.

Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya.

Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah “pengobatan” dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.

“Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!” kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. “Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!”

“Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, mari kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan,” kata Ouw Yan Hui.

Maya Dewi mengangguk-angguk.
“Benar, sebaiknya Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia.”

“Apakah.... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi....!” tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.

“Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya.”

Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum.

Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi.
“Kau telanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku.”

Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak.
“Apakah saya harus pantang makan sesuatu?”

“Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya....“

“Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi membiasakan diri lebih dulu.”

Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.

Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang.

Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apabila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai-belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya.

“Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah.”

Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapapun juga, gerakan-gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang amat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta sehingga jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya.

Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat.

Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia! Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan!

Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja.

Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan.
“Dia sungguh bodoh dan hatinya keras....“ terdengar suara Maya Dewi.

Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.

“Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa....! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat.... shhhhh....“

Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi la1u sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.

Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.

**** 124 ****