FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 122

Twa-ok tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk anaknya dan diciuminya. Dua titik air mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan puteranya.

“Eh, mana, Lee-ko....?”

Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada di situ lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li.

“Aku tadi melihat dia mengejar Pangeran Nepal,” kata Siang In.

Kiranya tadi secara diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton pertandingan yang amat hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta bantuan Gitananda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk menggunakan sihirnya melindungi dia melarikan diri membawa Hwee Li bersama.

Semua orang mudah saja seperti terlupa karena perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah pertandingan itu. Hanya Suma Kian Lee yang tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li, maka ketika Gitananda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah mengerahkan sinkangnya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar.

Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian Lee mengejar sang pangeran.

Melihat kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu merasa penasaran.

“Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus kekalahanmu dan membasmi mereka ini,” kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk.

Akan tetapi tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggauta pasukan pengawal baju emas yang terkenal itu.

Melihat munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok merasa gentar juga. Di antara para pendekar tadi, yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka fihak lawan menjadi terlampau kuat, apalagi masih dibantu oleh pasukan yang amat besar.

Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri. Cepat dia berkata lantang,

“Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini lebih lama berada di sini? Mari kita pergi!”

Mendengar ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lain dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain-lain mengerti akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi dari istana itu.

Melihat ini, Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu berkata,

“Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang kami telah menjanjikan mereka untuk pergi.”

Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, akan tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya,

“Biarkanlah mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi dengan Kerajaan Nepal, dan kami hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang memberontak!”

Gak Bun Beng mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri durna sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat.

Dalam keadaan lemah itu, biarpun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah berbahaya kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau membunuh Koksu Nepal. Yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur Ho-nan yang memberontak.

Rombongan Koksu Nepal tidak mengalami banyak hambatan karena para perajurit tidak ada yang berani mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu rahasia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak pasukan pemberontak yang tewas, akan tetapi lebih banyak lagi yang menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.

Dengan tubuh gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cui Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya.






Puteri Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena kakaknya pergi entah ke mana, melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li.

Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan,

“Ayaaahhh....!”

Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat lari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran-pembakaran.

Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!

“Ayah....!”

Kao Kok Cu berseru dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlumba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!

“Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukan seorang pengecut, aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!” terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara mengguntur. “Selamat tinggal semua!”

Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu!

Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis ketika para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan.

Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu. Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan benteng itu.

Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya.

Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata,

“Enci Miiana, aku akan pergi mencari Lee-ko.”

Milana memandang kepada adiknya ini.
“Ke mana dia?”

“Katanya mengejar Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li.”

Milana mengangguk.
“Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan.”

“Baik, Enci Milana.”

Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia!

**** 122 ****