FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 120

Gak Bun Beng menggeleng kepala.
“Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan.”

“Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu,” bisik Kok Cu. “Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka.”

“Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Akan tetapi, tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Kalau sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu....“

Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat itu.

“Paman Gak....!”

“Sssttttt cepat ke sinilah....!”

Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan.

Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biarpun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi.

Akan tetapi ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang.

Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau-pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa tahu kalau-kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk Syanti Dewi.

Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal!

Dalam keadaan bimbang inilah akhirnya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia berjaga, yaitu di depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat untuk mencari dan bertemu dengan seorang di antara para pengacau untuk menyelidiki apa yang mereka kehendaki.

Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun Beng, dia terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada di dalam benteng! Dia maklum bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan pernah menyelamatkan nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia menaruh kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti Bun Beng menyelinap ke dalam tempat gelap.

Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia menegur adik iparnya ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.

“Engkau juga di sini?”

Kao Kok Cu tersenyum.
“Sama dengan engkau.”

“Tek Hoat, engkau harus membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluarga Kao yang tertawan,” kata Bun Beng.

Tek Hoat mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia berkata dengan suara meragu,

“Akan tetapi aku.... saya harus melindungi dia di sana....”

“Aku tahu, Tek Hoat. Engkau melindungi Syanti Dewi, akan tetapi bukankah engkau juga tahu bahwa Syanti Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu? Syanti Dewi tidak akan terganggu, sebaliknya keluarga Kao terancam keselamatan nyawanya. Dan benteng ini telah dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi pasti akan runtuh. Engkau harus membantu kami. Kau bantulah Kok Cu menyerang mereka yang menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar.”

“Tapi Syanti....“

“Jangan khawatir, akulah yang menanggung bahwa kalau benteng ini dibobolkan, dan kalau benar Syanti Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya.”

Tentu saja ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh Tek Hoat. Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada koksu dan semua pembantunya dan dia tidak sudi membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia tidak sudi tinggal di dalam benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya, Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia mengangguk.

“Cepat, waktunya tinggal sedikit lagi!” kata Gak Bun Beng dengan girang.

Dia telah mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari pagi muncul, dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman, yaitu di dalam gudang bawah tanah yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao Liang.

Dan waktu itu, tengah malam telah lama terlewat. Fajar sudah menjelang tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat, kemudian dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini meloncat ke depan.

Seperti sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung menyerang Ngo-ok yang tinggi itu sedangkan Kok Cu menyerang Su-ok, adapun Tek Hoat sudah menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo.






Perhitungan Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang-orang yang paling lihai adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu kini diserang oleh dua orang sakti seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, maka biarpun mereka itu cepat menyambut, namun mereka terkena hantaman dengan hawa pukulan sinkang yang amat hebat sampai mereka itu terhuyung-huyung ke belakang.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak Ngo-ok dengan ilmu sakti Lo-thiam-sin-ciang. Biarpun Si Jangkung itu sudah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang panjang, namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki tingkat ilmu lebih tinggi dari padanya, dia menjadi bingung dan gugup, akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia terlempar sampai beberapa kaki jauhnya!

Sepak terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti seekor naga dan begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung karena dorongan hawa pukulan, Kok Cu menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong dan hanya ada lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke arah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari lawan.

Su-ok berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari ancaman maut, tetap saja dia kena ditendang sehingga tubuhnya menjadi semacam bola dan terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok.

Tek Hoat mengalami kesukaran karena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Akan tetapi tiba-tiba Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar karena hawa pukulan yang meluncur dari tangan tunggal Kok Cu sudah mendorong mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gitananda yang memutar tongkatnya, bertemu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan.

“Krakkk!”

Tongkat itu patah dan Gitananda meloncat ke belakang dengan muka pucat. Pendeta Nepal ini lalu berkemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring,

“Tiga orang jahat berlututlah kalian!”

Bun Beng dan Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka biarpun jantung mereka tergetar oleh pengaruh sihir ini, dengan menahan napas mereka dapat menolak pengaruh itu.

Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara melengking seperti seekor naga marah dan tiba-tiba Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal, dengan kemarahan meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, mendoyongkan tubuh ke belakang dan menggerakkan tangan kanan menangkis.

“Cusss.... aughhh....!”

Lengan yang menangkis itu bertemu dengan jari tangan Tek Hoat dan lengan itu tertusuk jari seperti tertusuk pedang saja! Memang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini dan bukanlah julukan kosong kalau di dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut. Kiranya pengaruh sihir dari Gitananda tadi membuyar dan lenyap oleh suara lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu.

“Harap kalian suka menahan mereka!”

Bun Beng berseru dan dia sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan merobohkan setiap orang pengawal yang berani menghalanginya. Dengan kekuatan tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu besi yang terkunci itu ambrol dan terbuka.

Keluarga Kao yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut melihat munculnya seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong. Semenjak dia pergi bersama Kao Kok Cu untuk menolong keluarga Kao, dia sudah menanggalkan penyamarannya yang dianggapnya tidak berguna lagi.

Akan tetapi, Kao Kok Tiong, putera ke dua dari Jederal Kao, segera mengenal Bun Beng.
“Gak-taihiap....!” serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun Beng.

“Cepat, kita harus pergi ke gudang bawah tanah, ini perintah Jenderal Kao!” kata Bun Beng.

Kok Tiong lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat tahanan. Ternyata Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda dan semua penjaga sudah melarikan diri, tidak dapat menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat.

Melihat ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi matanya mencari-cari dan wajahnya berubah.

“Mana Cin Liong....?” tanyanya.

Kok Tiong, adiknya, cepat berkata,
“Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka tengkorak, Twa-ko.”

“Ji-ok....!”

Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok.

Melihat keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih,
“Maafkan bahwa aku tidak dapat mempertahankan puteramu, Twa-ko. Nenek itu lihai bukan main dan dia berkata bahwa koksu yang menyuruh dia menjemput Cin Liong.”

Kao Kok Cu tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa lihainya Ji-ok yang sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata kepada Gak Bun Beng.

“Paman Gak, tolong Paman lindungi keluarga kami, aku sendiri harus cepat mencari Cin Liong.”

Setelah berkata demikian dan melihat Bun Beng mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya.

Gak Bun Beng kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang bawah tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jenderal Kao sebagai tempat persembunyian keluarganya kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng berhasil mengantar mereka semua memasuki gudang bawah tanah.

“Paman Gak, sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syanti Dewi! Sedapat mungkin saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat.”

Gak Bun Beng mengangguk dan hendak membuka mulut, akan tetapi ditahannya dan dia memandang tubuh pemuda itu yang sudah berkelebat pergi. Tadinya dia hendak memberi tahu bahwa yang dilindunginya itu adalah Syanti Dewi palsu, akan tetapi dia ingat betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda ini sehingga kalau sampai diberitahu, mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat dan hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu.

Dengan sikap gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang kini timbul kembali semangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apalagi ketika dia mengetahui bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu keluarganya. Dia merampas sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi.

Ketika Tek Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah bangunan kecil bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu sedang mengamuk di luar rumah besar seperti istana yang dia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat lihai itu dikeroyok oleh im-kan Ngo-ok!

Tadinya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah keselamatan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang sibuk mengeroyok dua orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik untuk melarikan Syanti Dewi.

Akan tetapi, melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh Im-kan Ngo-ok, sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia merasa tidak tega. Dia teringat bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah orang-orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa mereka itu sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung dari lbu Suma Kian Lee.

Mendiang ayahnya dan Suma Kian Lee adalah seibu berlainan ayah. Mana mungkin dia mendiamkannya saja mereka yang terancam bahaya di tangan Im-kan Ngo-ok? Dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi kalau melihat dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam saja, selamanya dia akan merasa menyesal. Apalagi kalau hal itu terdengar oleh Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk sebagai seorang manusia yang tidak mengenal prikemanusiaan!

Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan meloncat ke depan, langsung dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal.

“Haiiiiittt....!”

Hantaman yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan kesaktian koksu atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Ban Hwa Sengjin.

“Ehhh....?”

Kakek botak itu terkejut bukan main. Tadi bersama dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga orang saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan diahsyat ini, dia berseru keras dan melempar tubuh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia terluput dari serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desakan, bahkan dengan pukulan-pukulan gabungan tenaga Im-yang amat dahsyat dia dapat membuat Twa-ok meloncat ke belakang pula.

Melihat bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekali.
“Ah, kiranya engkau membantuku, Tek Hoat?” tanyanya sambil tersenyum lebar.

“Bagus, Tek Hoat!” Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan girang.

Melihat Kian Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu menerjang dan menyerang Ji-ok yang mengerikan itu sambil berkata,

“Mari kita hancurkan mereka ini atau kita mati bersama!”

Kakak beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mendengar hal ini. Semangat mereka bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka lalu mengamuk dan biarpun lima orang Im-kan Ngo-ok memiliki kepandaian yang rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok sedikit lebih tinggi daripada tingkat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk merobohkan mereka bertiga.

“Mari kita masuk!”

Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam hebat. Mendengar teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke dalam istana itu! Anehnya, Im-kan Ngo-ok tidak menghalangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari belakang.

Tiba-tiba terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke arah kamar di sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar.

“Pangeran, hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka.”

Suara ini terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati Kian Lee dan Kian Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau sekali pangeran itu dapat mereka tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan.

Tiga orang muda perkasa itu masih bersikap hati-hati ketika mereka menyerbu memasuki pintu kamar itu. Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di atas pembaringan kamar yang amat indah itu, hati mereka girang sekali dan seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu saja dalam perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu ginkangnya yang luar biasa.

“Bu-te, hati-hati....!”

Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu kamar di belakangnya tiba-tiba tertutup. Kian Bu sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika tiba-tiba pembaringan itu terjeblos ke bawah dengan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa mengejek. Kian Bu maklum bahwa pangeran itu melarikan diri dengan alat rahasia, maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga saktinya.

“Blarrr....!”

Pembaringan itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang di mana ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke tempat itu dan menggunakan kakinya untuk menginjak dan menendang, namun hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu yang di bawahnya dipasangi baja.

Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak. Mereka berlarian ke pintu dan jendeta, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang amat kuat pula! Mereka telah terjebak dalam sebuah kamar luas yang kuat sekali. Melihat adanya sebuah pintu kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu menendangnya.

“Brakkkkk....!”

Pintu kayu itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar di belakang pintu itu! Mereka itu adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang In, dan Hwee Li!

“Ahhh....!”

Otomatis Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan karena mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang datang bersama mereka, maka Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee Li, sungguhpun hatinya merasa berkhawatir sekali akan keselamatan Hwee Li, maka dia lalu “mengalah” dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya.

Dia berlutut di dekat tubuh Siang In. Melihat ini, Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakaknya itu benar-benar telah jatuh hati kepada Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li mencinta kakaknya. Dia merasa kasihan kepada Hwee Li dan dia pun berlutut di dekat Hwee Ll. Sementara itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata sama juga. Jendela kamar ini amat kuatnya, terbuat daripada baja dan terkunci dari luar!

Kian Lee dan Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius saja, demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Setelah mengurut tengkuk mereka, sebentar saja mereka berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu meloncat adalah Hwee Li.

“Mana si bedebah pangeran dan koksu? Biar kupatahkan batang lehernya!” bentaknya marah, apalagi ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In.

Rasa cemburu bercampur rasa mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga tertawan di dalam kamar itu.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Kembalikan anakku!”

Dan terdengar suara hiruk-pikuk ketika pintu besar terbuka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu.

“Ceng Ceng, tahan pintu itu!”

Tiba-tiba Kian Lee berteriak, namun terlambat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng Ceng membalik, mendorong dan menendang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu terlampau kokoh kuat.

Mereka semua kini berkumpul di tengah kamar besar itu. Ceng Ceng bercerita betapa dia tadi berpisah dari Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam keadaan ribut itu dan pula karena sudah diketahui musuh betapa Ang-siocia sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia hendak mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat ke dalam istana ini.

“Ibuuuuu.... tolonggg....!”

Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar. Akan tetapi Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana terbuka, cepat menerjang masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain.

“Bagaimana kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah?”

Kian Lee bertanya kepada Siang In, tanpa berani memandang kepada Hwee Li yang dianggapnya telah saling jatuh cinta dengan Kian Bu.

Akan tetapi yang ditanya sedang menatap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah Siang ln terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik napas panjang.

“Si keparat Koksu Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya.” Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke arah Hwee Li.

Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia juga merasa amat sungkan dan sukar untuk menceritakan betapa dia kembali telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia lalu bercerita sambil melewati adegan ketika dia bertanding melawan Siang In itu.

“Kami berdua.... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal sendiri. Karena aku gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pangeran Nepal yang main mundur dan akhirnya kami berdua kena dipancing ke dalam kamar ini. Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintu-pintu rahasia, dan ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari dalam kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang hendak menolong kami berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun terjebak dan begitu masuk, mereka tidak dapat keluar kembali.”

Dia tidak mau menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka.

“Eh, bagaimana bisa begitu?”

Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia yang sejak tadi juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan.

“Koksu Nepal memang lihai bukan main,” Touw-ong bercerita. “Dia sudah tahu bahwa kami berdua telah memberontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu. Ketika bertemu dengan kami, dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang Nona ini sedang.... eh....“ Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu saling serang!

“Kau dan muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!” Hwee Li melanjutkan cepat.

Touw-ong mengangguk.
“Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka pintu dari luar. Akan tetapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar dan pada saat itu koksu menyemburkan asap beracun ke dalam kamar. Kami tak dapat menghindarkan asap itu dan roboh pingsan.”

Kian Bu dan Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka semua kini telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat dipancing masuk ke dalam ruangan.

“Ha-ha-ha, semua tikus yang mengacau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan hidup, kalian mau berkata apalagi sekarang?” Tiba-tiba terdengar suara koksu dari lubang jendela yang terbuat daripada baja.

“Kami telah terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!”

Ceng Ceng yang tidak kehilangan keberaniannya itu memaki. Tek Hoat memandang saudara tirinya seayah berlainan ibu itu dengan kagum.

“Ceng Ceng, engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku,” katanya.

Ceng Ceng memandang saudaranya ini dan tersenyum.
“Dan aku girang melihat engkau berdiri di fihak kami, bukan menjadi lawan kami, Tek Hoat.”

Melihat kedua orang keponakannya itu, Kian Lee yang pernah jatuh hati secara mendalam dan mati-matian kepada Ceng Ceng, memegang tangan mereka dan berkata,

“Dan aku girang sekali mempunyai dua orang keponakan seperti kalian. Aku akan merasa bangga dapat mati bersama kalian.”

Ucapan yang jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apalagi Ceng Ceng yang maklum akan isi hati “pamannya” itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda itu.