FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 118

“Kau lari dulu, nanti aku menyusul!” teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu.

“Lee-koko, tunggu aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!”

Dara itu berteriak nyaring dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri.

Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In, namun dara itu lenyap entah ke mana.

Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya perajurit musuh yang mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-tokoh lihai sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi.

Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan kembali tenaganya. Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah ke tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.

Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruangan belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok banyak orang.

Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tidak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!

Dia masih terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah menciumnya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil!

Sekarang, begitu bertemu dia melihat pemuda yang dicari-carinya itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan rendah hati siapa takkan menjadi panas? Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya dan dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna, berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya.

“Byar-byar-byarrr....!”

Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang-orang yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu!

Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah berdiri seorang tosu berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang pedang di tangan kanannya, diikuti oleh tujuh orang perajurit pengawal.

Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu! Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini bersekutu dengan Koksu Nepal.

Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggauta Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi perajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya.

“Hemmm, kiranya pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!” Hak Im Cu membentak marah.

Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek,
“Kiranya para pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk berkhianat kepada negara!”

“Bocah bermulut lancang!”

Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke depan dan Siang In mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping dan payungnya bergerak untuk melindungi dirinya. Tak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, tahu-tahu tangan tosu itu sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat menggerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram.

Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu, maka dia menarik kembali tangannya, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang.

Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam penyerangannya ke dua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya.

“Singgg....!”

Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggauta Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.

“Trang-trang-tranggg....!”

Siang In memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu.

Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali menggunakan sihirnya.






“Kalian adalah laki-laki semua bukan?”

Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara beradunya senjata mereka. Biarpun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!

“Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur?”

Delapan orang itu tertarik dan biarpun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak? Dan apa hubungannya makanan dengan bertempur?

“Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit.... aduhhh...., perutku sakit, mulas sekali....!”

Tiba-tiba Siang In meloncat ke belakang, dan menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian hebat.

Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya!

“Aduh.... perutku....”

“Aduh mulas.... ahhh....!”

“Tak tertahankan.... ingin buang air...!”

Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang In melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka membayangkan kesakitan hebat.

Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidakwajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkangnya melawan rasa mulas di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh Siang In, dara ini yang bermata tajam melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payungnya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir.

“Desss....!”

Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan! Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali, dia membuang muka dan meludah.

“Ihhh, sialan!”

Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka, apalagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran.

Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu.

Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee? Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara sepasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi. Ketika dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir dia bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat membelok di sudut bangunan itu.

“Heeeiiittttt!”

“Aihhhhh!”

Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini. keduanya terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang.

“Kau....?”

“Hemmm, kiranya engkau?”

Dua orang dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!

“Kau perawan genit binal!”.

Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar hatinya begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari Siluman Kecil itu. Di lain fihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dia, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah.

“Ah, engkau perempuan tak tahu malu!”

“Engkau yang tak tahu malu!”

“Engkau perampas laki-laki!”

“Engkau yang pengeret hina!”

Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati-matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri! Melihat Hwee Li, Hwai-kongcu tertawa.

“Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau di sini!”

Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak menangkap dua orang dara itu.

Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan saling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka menghadapi musuh yang sama sekarang sehingga mereka menghadapi lawan bersama-sama.

Hwee Li yang kini menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tak mengenal rasa takut itu tidak tahu betapa ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya sehingga terpisah dari Siang In. Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru.

Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.

“Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang lemah dan tak berdaya? Kalian merasa malu kalau harus mengeroyok seorang anak perempuan!”

Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok itu menahan senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya, lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong.

Akan tetapi setelah Siang In lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos, maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut.

“Mundur semua! Mana wanita itu tadi?”

“Dia.... dia sudah melarikan diri....” Seorang di antara mereka menjawab.

“Bodoh, kejar!” teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, “Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!”

Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.

Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis seperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subonya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir.

Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biarpun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.

“Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra! Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?”

Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut apalagi takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apalagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka.

Oleh karena itulah maka dia mau membonceng kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan demikian, dia termangu.

“Mampuslah!” Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.

“Aihh....! Cringgg....!”

Tang Hun terkejut bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi karena serangan itu datangnya tak tersangka-sangka, ketika Hwee Li menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.

“Desss!”

Pahanya kena ditendang dan tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun sambil meringis karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap, telah melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.

Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi-sembunyi jangan sampai bertemu dengan para perajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng.

Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk dibekuk, karena itulah kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.

Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang perajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!

Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata,

“Mundur kalian semua!”

Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih.

Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum.

“Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya kini malah berani mendatangi tempat ini. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!”

Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat namun tidak melepaskan kewaspadaan.

Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis.

Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.

“Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!”

Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Memang hebat sekali kepandaian dari orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar-nyambar, bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan!

Kian Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan, menangkis, mengelak dan balas menyerang. Namun, setiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mujijat yang aneh! Dia makin terkejut, namun dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.

“Lee-ko, kau serang bagian bawahhya!”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan ada bayangan orang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu-tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.

“Aughhhhh....!”

Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar, dan biarpun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.

“Dukkk....! Desss....!”

Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mujijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan.

Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.

Twa-ok memandang dengan kaget.
“Ah, kiranya engkau yang disebut Siluman Kecil? Hebat, hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat,” katanya halus akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya.

Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar-benar amat menggiriskan.

Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Sin-siauw Seng-jin, kakek yang menyimpan pusaka-pusaka Suling Emas itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi, maka kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.

Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya?

“Lee-ko, mari kita pergi!”

Kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata.

Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.

“Hebat.... hebat....!”

Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda yang amat hebat itu.

Sementara itu, Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri dan bersembunyi di wuwungan rumah yang gelap.

“Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali,” kata Kian Bu.

“Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia.”