FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 117

Kemudian guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi Jenderal Kao Liang.

“Sungguh kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu,” kata Touw-ong, “Dia seperti seekor naga yang telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya tertawan, maka mau tidak mau dia harus menuruti semua permintaan koksu. Akan tetapi, jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu saja hanya untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan besar, dan hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi kepada kami pun dia tidak mau membuka rencana siasatnya itu.”

Touw-ong lalu melatih Bun Beng untuk bergaya dan bicara seperti dia agar penyamarannya menjadi sempurna. Kemudian pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia untuk menemui Jenderal Kao Liang. Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia tidak banyak bicara, hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata,

“Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini. Sekarang makin yakinlah hatiku bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini dan keluargaku akan dapat diselamatkan!”

Gak Bun Beng menekan tangan jenderal itu.
“Percayalah, Goanswe, saya akan membantu sampai keluargamu semua selamat.”

Mereka tidak berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biarpun Jenderal Kao Liang, Touw-ong dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, namun mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu. Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu berpamit dan pergi lagi kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia.

Bukan hanya Jenderal Kao yang berbesar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong dan muridnya merasa girang sekali dan mereka lalu mengadakan perundingan secara diam-diam untuk mengatur siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak sudah tiba.

Koksu Nepal merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao terhadap penyerbuan tentara kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali serangan dari pasukan kerajaan itu dapat dihalau dan dipukul mundur. Dan pada malam itu, saking girangnya, Koksu Nepal bersama para saudaranya dalam gerombolan Im-kan Ngo-ok, mengadakan pesta kemenangan untuk menghormat dan menyenangkan hati Jenderal Kao Liang. Pesta besar diadakan dan semua pembantu diundang.

Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta bersama Ang-siocia. Dalam kesempatan ini Gak Bun Beng dapat melihat sendiri semua anggauta Im-kan Ngo-ok. Juga dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat, pemuda lihai yang berwatak aneh dan keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi palsu yang kelihatan sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal.

Diam-diam Gak Bun Beng merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia sendiri pun tidak akan menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu! Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi kesempatan kepada Jenderal Kao untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan menghadiri pesta.

Karena Koksu Nepal benar-benar merasa bersyukur dan gembira, bahkan mulai percaya akan kejujuran Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang jenderal diperbolehkan untuk beramah-tamah dengan keluarganya.

Akan tetapi, pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati Gak Bun Beng. Jenderal Kao Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang, yaitu tokoh-tokoh pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya, kemudian anak-anaknya dan semua anggauta keluarganya seorang demi seorang.

Ada beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya. Adegan yang mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu.

“Kao-goanswe, pekerjaanmu sungguh amat baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kemenangan, tentu engkau akan dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi sayang, kita sekarang agaknya terancam bahaya, kita telah dikepung musuh dan agaknya musuh hendak memperketat kepungan, membikin putus hubungan antara kita dengan dunia luar benteng.”

Jenderal Kao Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata,
“Harap Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu.”

“Ha-ha-ha, hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Pangeran. Berkat siasat Jenderal Kao Liang yang sudah lama memperhitungkan kemungkinan bahaya ini, gudang-gudang kita telah penuh dengan ransum kering yang akan cukup untuk kita pakai selama satu tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan mengepung kita selama itu dan sudah tentu Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi pengepungan musuh,” kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal itu.

“Kong-kong, kenapa Kong-kong menangis? Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong adalah seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa seorang yang gagah pantang menangis. Mengapa Kong-kong menangis?”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring ini yang membuat semua orang memandang kepada Cin Liong, karena bocah itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao sendiri menoleh dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu.

Diam-diam Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat menduga bahwa tentu anak itulah yarg oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, putera dari Kao Kok Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat, pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan hati seorang gagah seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya yang masih kecil!

Melihat keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu Nepal lalu mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh pengawal mengantar kembali semua keluarga Kao, juga termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu.

Ang Tek Hoat yang sejak tadi belum berhasil mendekati Syanti Dewi, merasa kecewa, akan tetapi dia tidak melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat kekasihnya itu dalam keadaan sehat dan selamat.

Pesta dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan melihat ini, Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan membawanya kembali ke kamarnya. Dalam perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di kamarnya, mereka berunding.






Perundingan singkat itulah yang membuat Panglima Milana menemukan surat pemberitahuan Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana mengerahkan pasukannya menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu “menahan” musuh.

Maka sudah terjadi permufakatan antara mereka berempat untuk membakar gudang-gudang ransum sesuai dengan rencana yang diatur oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti tanda yang akan diberikan oleh jenderal itu.

Ketika terjadi penyerbuan yang terakhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng mempergunakan keadaan yang ribut untuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk menyelundup masuk benteng lewat tembok tinggi di samping kiri agak jauh dari tempat penyerbuan pasukan kerajaan.

Ang-siocia yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda-tanda rahasia, menyambut datangnya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri ini yang tanpa mereka sadari telah menginjak alat-alat rahasa pribadi Jenderal Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan mereka dan menyambut.

Maka terkejutlah suami isteri itu ketika mereka meloncat turun dan menyelinap di antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada sesosok tubuh ramping berkelebat disusul suara Ang-siocia yang halus.

“Kao-taihiap dan Lihiap, cepat ke sinilah....“

Suami isteri itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata pendekar itu mencorong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil berbisik,

“Harap Taihiap jangan curiga, saya adalah utusan dari Jenderal Kao. Cepat, ke sinilah....“

Kao Kok Cu dan Ceng Ceng lalu cepat mengikuti Ang-siocia, menuju ke sebuah kandang kuda dan mereka memasuki sebuah kamar sederhana di belakang kandang kuda itu.

“Harap kalian bersembunyi dulu di sini sampai keributan dari perang di luar itu selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu, yaitu Hek-sin Touw-ong, Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sendiri.”

Mendengar ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah tidak sabar lagi menanti berkata,

“Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan engkau bekerja sama dengan ayah mertuaku?”

Ang-siocia mengangguk.
“Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa menjadi pembantu-pembantu di sini.”

Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa dia dan suhunya bertemu dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka berdua membantu dua orang muda itu berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi sehingga akhirnya mereka berdua tertawan.

“Untuk menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu Nepal. Akan tetapi diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao Liang.”

Hati Ceng Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan berkata,
“Adik yang baik, kalau begitu harap kau cepat membawaku bertemu dengan puteraku!”

Ang-siocia mengangguk.
“Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini, koksu telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga para tawanan dengan ketat. Sebaiknya nanti saja kalau keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi Enci harus menyamar, jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengaturnya.”

Kao Kok Cu juga menasehati isterinya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali saja mereka itu gagal dan diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan membahayakan semua keluarga mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah pimpinan Puteri Milana kembali mengalami kegagalan dan setelah menerima surat yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui anak panah yang dilancarkan diam-diam oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong, Milana lalu menarik mundur pasukannya, lalu membagi-bagi pasukannya untuk melakukan pengepungan dengan ketat.

Gak Bun Beng lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding dan Ceng Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak lama kemudian di ruangan itu telah ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala-galanya!

“Sebaiknya Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga kandang,” kata Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia pun tahu bahwa dia tidak mungkin dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain.

Jenderal Kao Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya, yaitu Kok Cu, bersama isterinya, telah tiba di dalam benteng. Betapapun rindu rasa hatinya, namun dia tidak mau bertemu dengan putera atau mantunya. Amat berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan umum, karena puteranya itu pernah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar mereka semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang.

“Kalian harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil. Musnahnya gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu barulah aku akan memberi tanda kepada Puteri Milana untuk melakukan penyerbuan besar-besaran,” demikian pesan Jenderal Kao Liang yang telah mengatur rencana.

Anehnya, jenderal ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara terperinci sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat menduga-duga saja siasat apa yang akan dipergunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang sedemikian kuatnya itu di samping membakar gudang-gudang ransum.

Puteri Milana mentaati pesan dari Jenderal Kao Liang. Dia mengatur pasukannya, mengepung benteng itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya kadang-kadang saja dia membiarkan pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali menjaga dengan ketat sehingga fihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan hubungan dengan luar benteng.

Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah menanti sampai beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan belum juga ada tanda dari Jenderal Kao untuk membolehkan dia melakukan penyerbuan.

Gak Bun Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat menanti dengan sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka semua itu percaya penuh akan kelihaian sang jenderal mengatur dan menjalankan siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu akan hal ini dan tidak dapat menanti!

Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng ketika empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam benteng menjadi geger! Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In yang menyelundup masuk dari dinding timur, dan Suma Kian Bu bersama Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat!

Mula-mula terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur karena ada tanda rahasia terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan anak panah pada dua sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun semua anak panah itu luput dan dua sosok bayangan orang itu cepat lenyap dalam kegelapan malam di sebelah dalam benteng!

Waktu itu sudah lewat tengah malam, sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi gempar ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di dalam benteng itu serentak bangun dan melakukan pengejaran dan pencarian. Namun, dua sosok bayangan orang yang dikabarkan menyelundup ke dalam benteng itu telah lenyap.

Selagi para tokoh dan penjaga mencari-cari, tiba-tiba terdengar tanda bahaya di sebelah barat, menandakan bahwa ada fihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat pula. Maka keadaan menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana-sini, para tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari karena dikabarkan bahwa dari dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan manusia yang memiliki gerakan luar biasa gesitnya.

Gegerlah di seluruh benteng. Koksu sendiri sampai terbangun dari tidurnya dan dia sendiri bersama para saudaranya memimpin pengejaran dan pencarian terhadap empat orang penyelundup yang dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu.

Tentu saja sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus-terusan di dalam benteng setelah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi itu mencari dengan penuh semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para penjaga yang mencari-cari sehingga mereka terpaksa mempergunakan kepandaian dan lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga keadaan menjadi makin kacau-balau.

Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang mengenal baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah untuk bersembunyi. Hwee Li hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu.

“Kita bekuk dia dan dengan dia menjadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka semua,” kata Hwee Li. “Kau tangkap dia dan betapapun lihainya, aku yakin engkau akan dapat menang dan membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar suka membebaskan Jenderal Kao dan keluarganya.”

“Hemmm, mana mungkin begitu mudah? Kalau koksu menolak?”

“Apa? Menolak? Kita ketuk kepala si hidung kakaktua itu sampai dia minta-minta ampun. Dia adalah seorang Pangeran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan mengalah. Kita kan hanya minta tukar orang?”

“Hemmm, kau benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu terjaga kuat. Jangan kau bertindak ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap lebih dulu.”

“Cerewet amat sih, kau ikut aku saja. Mari....!”

“Tangkap penjahat.!”

Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap mereka, diikuti oleh enam orang perajurit. Teriakannya diikuti oleh teriakan-teriakan enam orang perajurit itu sehingga keadaan menjadi gaduh.

“Sialan! Diam kau!”

Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan sebelum perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li sudah menampar. Telapak tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu mengenai telinga kiri si perwira dan terasa olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya melihat seribu bintang runtuh. Dia terpelanting dan roboh tak sadarkan diri!

Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang perajurit itu, dia melihat betapa enam orang itu telah roboh semua oleh Kian Bu, padahal dia tadi tidak mendengar apa-apa. Entah apa yang dilakukan oleh Kian Bu kepada enam orang itu sehingga mereka roboh tanpa mengeluarkan suara dalam waktu secepat itu.

“Kau boleh juga!” Hwee Li memuji. “Mari....!”

Keduanya lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan rumah-rumah di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa orang penjaga menemukan tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa terluka.

Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan mereka itu telah pergi jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, sebaliknya malah karena tiba-tiba saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang diiringkan oleh sepasukan pengawal pribadinya yang berjumlah dua losin orang! Bukan main marahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang yang membikin kacau benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li.

“Kiranya kalian datang kembali mengantar nyawa?” bentaknya.

“Kian Bu, kau hadapi si botak menjemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah itu!”

Para pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan si kakek botak yang juga memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa Sengjin itu memang sudah menerjang ke depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang itu.

”Hemmm....!”

Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyambut dengan pukulan saktinya. Namun, Koksu Nepal yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu tenaga, melainkan menggerakkan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah menjadi tubuh yang berlengan banyak sekali karena dia berpusing seperti gasing.

Semua tangan yang menjadi banyak itu menyerang dan mengirim pukulan, tamparan, dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu. Siluman Kecil maklum pula akan kehebatan lawan ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan cepat dia pun mengerahkan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan seperti cahaya kilat ke sana-sini, menghindarkan diri dari semua serangan dan membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya.

Namun kakek botak yang lihai, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis sehingga berkali kali terjadi pertemuan tenaga yang membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sin-kang yang bersembunyi di kedua tangan masing-masing.

Sementara itu, Hwee Li juga sudah dikeroyok oleh para pengawal yang banyak jumlahnya itu. Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi koksu dalam upacara resmi, dalam kedudukannya sebagai koksu, maka tentu saja mereka merupakan orang-orang pilihan dari koksu sendiri, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

Dalam keadaan lain, pengawal pribadi dari koksu adalah Gitananda. Biarpun para pengawal pribadi itu tidak selihai Gitananda, namun mereka itu lebih lihai dari para pengawal biasa dan karena dikeroyok, setelah berhasil merobohkan lima enam orang, Hwee Li mulai terdesak dan terkepung dengan ketat.

Kian Bu dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir sekali. Sekali ini, dia tidak dapat merobohkan koksu dengan cepat karena agaknya koksu kini berlaku hati-hati sekali, memusatkan seluruh kepandaiannya kepada penjagaan diri sehingga dia tidak sempat membantu Hwee Li. Maka dia lalu berseru,

“Enci Hwee Li, cepat kau larilah!”

Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biarpun dengan amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, namun kini para pengepungnya memperlebar kepungan sehingga sukarlah bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu.

Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya, dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal.

“Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku? Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian menyentuhku? Beranikah kalian menyerangku? Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukuman apa yang akan kalian terima dari pangeran!”

Para pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang kepada koksu, akan tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun tahu bahwa kata-kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka.

Memang mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apalagi membunuh dara ini, selagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang mengepung itu tidak berani menggerakkan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.

“Tangkap dia.!” teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk memanggil para pembantunya.

Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada Kian Bu untuk lari.

Kian Bu memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biarpun dia tidak dapat dengan mudah merobohkan koksu, namun kalau hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.

“Mari kita lari!”

Serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan kedua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh.

“Ehhhhh....!”

Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada lagi di depannya.

Akan tetapi pada saat itu, muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga. Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke kanan kiri.

Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri dan sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!

Kalau Kian Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian dari dalam benteng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan mereka juga ketahuan oleh fihak penjaga, dihujani anak panah yang dengan mudah dapat mereka hindarkan.

Akan tetapi mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyokan setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri!

“Siang In, kau larilah biar aku menahan mereka!”

Kian Lee berseru keras karena pemuda ini menghawatirkan keselamatan Siang In. Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri saja.

“Hi-hi-hik, kau kira ahu takut mati? Mari kita lawan mereka itu!” jawab Siang In sambi memutar payungnya dan merobohkan dua orang perajurit musuh yang berani mendekat.

Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini langsung menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja.

Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya berubah menjadi bayangan hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi kacau-balau.

Akan tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain dan berdatanganlah puluhan orang penjaga dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan juga.

“Siang In, lari....!”

“Kau juga tidak!” jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu oleh beberapa, orang perwira yang lihai.