FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 116

Bagaimana pula ini? Ternyata Ang-siocia dan suhunya yang amat cerdik itu, dengan kepandaian mereka menyamar dan mendandani orang, telah dapat menarik hati koksu dan mereka berdua selamat dan diampuni dari dosa-dosa mereka ketika mereka menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dahulu itu, bahkan mereka lalu diangkat sebagai pembantu-pembantu yang diawasi gerak-geriknya.

Mereka, seperti Jenderal Kao, tidak boleh keluar, akan tetapi kecerdikan Ang-siocia tidak memungkinkan koksu dan kaki tangannya mengetahui betapa guru dan murid ini secara diam-diam mengadakan hubungan rahasia dengan Jenderal Kao Liang!

Touw-ong dan Ang-siocia segera tahu akan duduknya semua perkara, dan tahu pula bahwa jenderal itu membantu fihak pemberontak hanya karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena semua keluarganya tertawan. Maka, dengan cerdik Ang-siocia lalu menghubungi jenderal ini yang segera menaruh kepercayaan besar kepada mereka dan diam-diam dua orang ini menjadi pembantu-pembantu Jenderal Kao Liang yang seperti telah diduga oleh puteranya sendiri dan oleh Gak Bun Beng dan para orang gagah lainnya, diam-diam mempunyai rencana yang hebat terhadap para pemberontak yang telah memaksanya berkhianat itu!

Maka, ketika Jenderal Kao tahu akan kedatangan orang pandai, karena hanya orang pandai sekali sajalah yang tidak sampai melanggar jebakan-jebakan, hanya tanda rahasia untuk dirinya sendiri, cepat dia memberi tanda rahasia kepada Ang-siocia dan gurunya untuk “menyambut” kedatangan orang pandai itu dan dia menunjukkan di mana tempat orang pandai itu datang yang diketahuinya dari alat rahasia yang oleh Bun Beng itu.

Demikianlah, dapat dibayangkan betapa kagetnya Bun Beng ketika baru saja dia melayang turun di tempat yang amat sunyi, di taman yang indah dalam benteng itu, suara wanita yang halus menegurnya,

“Selamat datang, sahabat!”

Baru saja berhenti bicara mulut Ang-siocia, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena orang itu dengan kecepatan kilat telah menotoknya tanpa ia mampu bergerak sama sekali. Ang-siocia terkejut bukan main dan dengan tidak berdaya sama sekali dia merasa betapa tubuhnya dipondong dan dibawa ke belakang sebuah gudang, di mana terdapat lampu penerangan.

Orang itu memeriksanya di bawah lampu dan ketika melihat bahwa dia benar-benar seorang wanita muda yang cantik, orang itu kembali membawanya menyelinap ke dalam gelap lalu membuka totokannya, akan tetapi jari-jari tangan yang kuat menempel di tengkuknya dan orang itu berkata,

“Jawablah baik-baik. Kalau berteriak, sekali tekan kau akan mati!”

“Sialan dangkalan....!”

Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel dan merengut, mengerling kepada laki-laki setengah tua yang lihainya bukan alang kepalang itu.

Laki-laki itu adalah Bun Beng dan dia merasa sungkan juga harus menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita yang ternyata adalah seorang gadis muda yang cantik. Akan tetapi dia berada di sarang musuh, di dalam benteng yang berbahaya dan kedatangannya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati itu ternyata telah ketahuan oleh gadis ini!

“Hayo kau cepat bawa aku kepada Jenderal Kao, dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni lain dari benteng ini. Awas, nyawamu berada di tanganku!”

Akan tetapi jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan Bun Beng.
“Justeru aku menyambutmu adalah atas perintah Jenderal Kao Liang yang sudah mengetahui akan kedatanganmu. Akan tetapi ternyata kau bukan manusia baik-baik, melainkan seorang yang kasar dan kejam. Tidak, aku tidak mau membawamu kepada Jenderal Kao, karena agaknya engkau berniat buruk. Biar kau seribu kali membunuh aku, aku Ang-siocia sudah berani memasuki sarang naga dan harimau ini tentu tidak takut mampus!”

Marah sekali Ang-siocia, bukan hanya karena dia diancam dan diperlakukan dengan kasar, akan tetapi melihat kenyataan betapa dia sama sekali tidak berdaya, tidak berkutik ketika ditangkap dan di bawa ke tempat terang lalu diseret lagi ketempat gelap, dibebaskan totokannya dan kini tengkuknya diancam. Seperti ayam yang sama sekali tidak berdaya! Padahal biasanya dia amat mengandalkan kepandaiannya!

“Ah, maafkan aku.... siapakah engkau?” Bun Beng bertanya.

“Hemmm, orang kasar. Engkaulah yang harus lebih dulu memperkenalkan diri, baru aku akan mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk kubawa kepada Jenderal Kao ataukah tidak.”

Menghadapi gadis yang ternyata berani mati ini, Bun Beng merasa tidak berdaya. Akan tetapi dia sudah amat tertarik, karena kalau gadis ini adalah pembantu Jenderal Kao, bahkan tadi menyatakan bahwa gadis ini sudah berani memasuki gua harimau dan naga, maka berarti bahwa gadis ini bukanlah kaki tangan dari musuh!

“Namaku adalah Gak Bun Beng, Jenderal Kao tentu mengenalku.”

Sepasang mata yang jeli itu terbelalak.
“Gak.... Gak-taihiap....?” Ang-siocia berseru dengan kaget sekali. “Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Taihiap, mari kita cepat pergi dari sini, menemui suhu. Taihiap harus cepat menyamar, sesuai dengan rencana kami atas perintah Jenderal Kao,” bisiknya dan tanpa ragu-ragu lagi Ang-siocia menggandeng tangan pendekar itu dan dibawanya pergi menyelinap melalui semak-semak dan memasuki pintu belakang sebuah pondok.






Mereka tiba di dalam sebuah kamar dan di situ telah menanti seorang kakek yang mukanya hitam. Kakek itu segera menjura dan berkata,

“Selamat datang, Gak-taihiap, kami sungguh lega dan girang sekali melihat Taihiap datang.”

Bun Beng memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal kakek dan gadis ini, walaupun kini dia dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Gadis itu benar-benar seorang gadis muda yang cantik dan lincah, nampak gagah dan berani, sedangkan kakek itu biarpun mukanya hitam, namun memiliki sepasang mata yang tajam.

Bun Beng segera menjura kepada mereka.
“Agaknya Ji-wi telah mengenalku, akan tetapi maaf kalau aku tidak mengenal siapa Ji-wi dan apa hubungan Ji-wi dengan Jenderal Kao.”

Sebelum guru dan murid itu sempat menjawab, terdengar pintu depan diketuk orang! Guru dan murid itu kelihatan terkejut dan terdengar Touw-ong bertanya,

“Siapa di luar?”

“Touw-ong, apakah Ang-siocia di dalam?”

Mendengar suara Ngo-ok, guru dan murid itu makin kaget dan Bun Beng dengan tenang dan waspada mengamati gerak-gerik mereka.

“Aku di sini. Ada apakah, Siansu?” tanya Ang-siocia.

“Aku disuruh oleh koksu untuk memanggilmu, Ang-siocia. Ada urusan penting hendak dibicarakan. Sekarang juga!” terdengar suara dari luar itu.

Ang-siocia memandang gurunya yang mengangguk, dan gadis itu lalu melangkah menuju ke depan untuk membuka pintu depan.

“Dia itu Ngo-ok Toat-beng Siansu, saya harus membayangi dan melindungi murid saya, harap Taihiap tunggu di sini!”

Tentu saja Bun Beng belum percaya sepenuhnya kepada guru dan murid yang belum dikenalnya itu, maka dia berkata,

“Biar aku yang membayangi.”

Touw-ong terkejut bukan main dan seperti yang dialami oleh muridnya tadi, tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya lemas karena tertotok! Sebetulnya, tingkat kepandaian Touw-ong sudah cukup tinggi dan kiranya tidaklah akan demikian mudah bagi Bun Beng untuk menotok kakek itu dengan sekali gerakan saja, akan tetapi gerakan Bun Beng tadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakek itu sehingga dia hanya melihat tangan pendekar itu berkelebat dan tahu-tahu dia telah roboh lemas.

Akan tetapi Si Raja Maling ini tidak menjadi heran karena dia sudah mendengar nama besar pendekar Gak Bun Beng ini sebagai seorang pendekar yang luar biasa tinggi ilmunya.

Ang-siocia sudah membuka pintu dan mengikuti kakek tinggi seperti pohon bambu itu keluar dari pondok. Nona ini memang sengaja bersicepat agar Ngo-ok tidak melongok ke dalam di mana terdapat seorang asing. Dia tidak tahu betapa Bun Beng malah telah merobohkan gurunya dan kini bagaikan bayangan setan telah mengikutinya dengan diam-diam dari jarak tidak terlalu jauh, akan tetapi dengan amat hati-hati karena Gak Bun Beng sudah terkejut sekali ketika mendengar dari Si Raja Maling tadi bahwa si jangkung itu adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su.

Tentu saja dia pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok dan tidak disangkanya sama sekali dia akan melihat seorang di antara mereka berada di tempat ini. Memang dia dan Milana belum mendengar bahwa Im-kan Ngo-ok berada di dalam benteng lembah, bahkan Kian Bu dan Hwee Li sendiri pun belum tahu maka kedua orang muda ini tidak menceritakan tentang adanya Im-kan Ngo-ok itu kepada Milana. Baru dari Ceng Ceng dan suaminya dia mendengar tentang mereka.

Di tempat yang sunyi, tiba-tiba Ang-siocia berhenti dan menegur si jangkung yang berjalan di depannya,

“Eh, kita mau ke mana?”

“Ke sana! Koksu menanti di sana,” jawab si jangkung menuding ke arah sebuah pondok.

“Aneh, kenapa koksu tidak menanti di tempat tinggalnya sendiri?”

Ang-siocia mengomel akan tetapi dia melangkah terus bersama si jangkung. Setelah mereka tiba di depan pondok yang sunyi itu, tiba-tiba si jangkung membuka pintu dan berkata,

“Mari kita menemui koksu.”

Dia lalu memegang lengan gadis itu dan menariknya masuk, menutupkan kembali pintu itu, lalu dia menyeringai. Ang-siocia terkejut bukan main. Pondok itu kosong dan melihat sikap si jangkung itu, jelaslah apa kehendaknya.

“Mau apa kau? Mana koksu? Biarkan aku keluar!” teriaknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya sudah disambar oleh tangan Ngo-ok.

“Nona, sudah lama aku tergila-gila kepadamu!”

“Eh, lepaskan aku!”

Bentak Ang-siocia, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terangkat ke atas dan dipegang oleh sebelah tangan saja, dia tidak berdaya melepaskan diri sama sekali, sedangkan tangan yang lain dari si jangkung itu bergerak hendak merenggut pakaian Ang-siocia.

Dara itu terkejut setengah mati, kakinya menendang ke depan, ke arah perut si jangkung itu.

“Desss....! Hukkk....!”

Ngo-ok melepaskan tubuh Ang-siocia dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya terbelalak memandang ke arah gadis itu. Tak disangkanya bahwa tendangan nona itu sedemikian kuatnya sehingga perutnya seketika terasa mulas! Dia tidak tahu bahwa sebenarnya yang menghantam perutnya bukanlah kaki atau tendangan Ang-siocia melainkan sambaran angin pukulan yang dilakukan oleh Gak Bun Beng dari luar pondok.

Pendekar ini mengintai dari jendela dan pada saat Ang-siocia menendang, dia telah membantunya dengan pukulan jarak jauh, tepat mengenai perut si jangkung yang amat lihai itu. Orang lain yang disambar angin pukulan jarak jauh dari Gak Bun Beng, tentu akan remuk isi perutnya, akan tetapi Ngo-ok hanya merasa mulas saja sebentar! Marahlah Ngo-ok dan kini dia memandang kepada Ang-siocia dengan mata disipitkan dan mukanya berubah menyeramkan.

“Tunggu!”

Ang-siocia yang cerdik cepat berseru.
“Ingat, aku telah menerima janji dari Sam-ok atau koksu bahwa kalau perjuangan ini selesai, aku akan diambil selir olehnya. Kau sama sekali tidak boleh ganggu aku!”

Mendengar ini, Ngo-ok terkejut, akan tetapi dia lalu menyeringai.
“Kalau begitu, aku takkan membunuhmu, hanya mendahuluimu apa salahnya? Heh, tendanganmu boleh juga.”

Ang-siocia sudah merasa heran sendiri betapa tendangannya tadi dapat membuat terlepas pegangan kakek jangkung itu, bahkan membuatnya terhuyung. Akan tetapi kini melihat kakek itu melangkah maju, dia menjadi gentar.

“Kalau kau memaksaku, aku akan menceritakan kepada koksu, hendak kulihat apakah dia tidak akan marah dan menghukummu!”

Mendengar ini, Ngo-ok menjadi ragu-ragu. Dia kena digertak dan dia mulai melihat bahaya kalau dia memaksa.

“Ah, Nona Manis, mari layani aku sebentar.... aku tidak akan menyakitimu....“

Akan tetapi Ang-siocia sudah lari ke pintu.
“Kalau kau tidak menyentuhku, aku tidak akan bicara apa-apa kepada koksu!” katanya sehingga ketika Ngo-ok hendak mengejar, si jangkung ini kembali tertegun dan meragu.

Ang-siocia terus berlari cepat dan teringat akan ini, Ngo-ok mengejar, akan tetapi begitu keluar dari pintu pondok, dia jatuh menelungkup! Dia cepat bangkit dan mencaci-maki ambang pintu, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana dia, seorang ahli berlari cepat dengan kaki yang panjang dan langkah yang tinggi, dapat tersandung pada ambang pintu sampai jatuh menelungkup?

“Setan....!” dia mengomel lalu pergi dari situ.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang membuatnya jatuh menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng!

Ang-siocia memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat gurunya rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba dari belakangnya, Gak Bun Beng sudah memegang lengannya dan pendekar ini bertanya,

“Apa artinya janji koksu mengambilmu sebagai selir itu?”

Ang-siocia menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi merah. Pendekar ini tadi telah membayanginya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan tendangannya yang ampuh tadi dan dia menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam dan tidak peduli melihat nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak berhasil melepaskan diri.

“Benarkah engkau menjadi calon selir Koksu Nepal?” tanyanya dengan suara mendesak, sinar matanya tajam penuh selidik.

Kalau benar gadis ini yang memang cantik dan lincah, menjadi calon selir koksu, maka gadis ini berarti kaki tangan musuh!

Kalau menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia menjadi calon selir koksu, pendekar itu mau apa? Akan tetapi dia tahu akan gawatnya keadaan, apalagi melihat gurunya dalam keadaan tertotok tak berdaya, maka biarpun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga dengan marah.

“Kalau aku tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos? Siapa sih yang sudi menjadi selir manusia macam Koksu Nepal?” Dia berkata setengah berteriak saking marahnya karena dia dicurigai.

“Sssttttt..... jangan keras-keras berteriak!”

Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara itu berteriak, karena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya.

“Biar aku berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!”

“Sudahlah, aku bersalah telah mencurigaimu, Nona,” kata Gak Bun Beng sambil melepaskan pegangannya.

Ang-siocia cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang erat-erat tadi.

“Habis Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan mengapa Suhu menjadi begini?”

“Maaf, maaf.... sekarang aku baru percaya,” kata Gak Bun Beng dan pendekar ini segera membebaskan totokannya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu.

Touw-ong dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis berkerut.

“Sungguh aneh sikap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami guru dan murid,” katanya setengah menegur.

Gak Bun Beng kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tidak senang lalu cepat berkata,

“Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng musuh, maka tentu saja dia terlalu berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat. Untung ada Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah celaka, Suhu.”

Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak Bun Beng telah menolong dengan ilmunya yang tinggi. Mendengar ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada Gak Bun Beng.

“Ah, terima kasih saya haturkan kepada Gak-taihiap yang telah menyelamatkan murid saya....“

Gak Bun Beng menggoyang tangannya dengan tidak sabar.
“Sudahlah, kita adalah orang sendiri, menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi? Lebih baik Ji-wi menceritakan kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan siapa-siapa saja yang tertawan, siapa pula yang menjadi pembantu koksu, siapa di antara mereka yang lihai.”

“Sebelum kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak sampai mudah ketahuan musuh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita sambil melakukan penyamaran yang akan dikerjakan oleh Suhu.”

Mendengar kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk.
“Memang sebaiknya demikian. Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya cukup dikenal di sini, kalau Taihiap menyamar sebagai saya, tidak akan dapat diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula.”

Gak Bun Beng setuju dan Touw-ong mulai “mengerjakan” muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong ke dua! Sambil mengerjakan penyamaran itu, Touw-ong dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan di dalam benteng yang didengarkan penuh perhatian oleh pendekar itu.

Bun Beng mendengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ kini telah lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia mendengar betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng, betapa pemuda itu telah tertipu dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di situ sebagai tawanan.

“Kami yang merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi” kata Ang-siocia sambil tertawa. “Yang dikira Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat percaya sepenuhnya.”

Gak Bun Beng mengerutkan alisnya,
“Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian yang amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biarkan dia tertipu yang akan membuat dia tenang. Kalau dia tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita.”