FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 114

Di atas tebing bukit yang tinggi dari mana orang dapat melihat tembok benteng di kejauhan, Milana memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Pembawa bendera menggerak-gerakkan bendera sebagai isyarat dan barisan itu pun berhenti.

Puteri Milana menunggang seekor kuda besar berbulu hitam, diiringkan oleh beberapa orang panglima dari kota raja. Gagah dan cantik sekali puteri ini, seorang wanita berusia empat puluh tahun namun kelihatan masih muda, dengan wajah yang cantik dan matang, kelihatan angker dan mendatangkan rasa hormat ketika dia duduk dengan tenang di atas kuda yang besar itu, memegang kendali dengan tangan kiri.

Pakaiannya tertutup oleh baju perang bersisik baja berwarna kuning emas, sehelai mantel merah menutupi pundak dan punggungnya. Rambutnya disanggul ke atas dan ekor rambut berjuntai ke belakang diikat dengan pita kuning. Sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah tanda bahwa pedang itu adalah pedang kebesaran dari kota raja, dari istana, tergantung dipinggang kirinya.

Hati setiap orang perajurit tentu akan penuh semangat kalau memandang kepada pemimpinnya seperti itu! Milana membagi-bagi barisannya dalam pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Srigala, Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan lain nama binatang yang perkasa pula.

Para komandan masing-masing pasukan memakai lukisan binatang yang menjadi tanda pasukannya, demikian pun setiap pasukan membawa bendera lambang pasukan berupa gambar binatang itu. Hal ini untuk memudahkan mereka saling mengenal dan sifat setiap pasukan disesuaikan pula dengan lambang binatang yang menjadi nama mereka.

Setelah semua pasukan berhenti, Milana mengamati keadaan benteng yang nampak dari jauh dan kelihatan sunyi itu. Dia sudah mempelajari keadaan tempat di sekitar benteng itu dari gambar yang dibuat oleh para penyelidik, maka kini dia memandang untuk mempelajari keadaan itu sesuai dengan gambar yang pernah dipelajarinya.

Memang sebuah benteng yang amat kuat, pikirnya. Dan hatinya terasa perih kalau dia teringat bahwa benteng itu dibuat atas petunjuk Jenderal Kao Liang! Keadaan benteng yang angker, sunyi dan kelihatan kokoh kuat itu benar-benar menggiriskan hati, berbeda dengan benteng-benteng lain di mana kelihatan anggauta pasukan penjaga hilir-mudik dan kelihatan sibuk. Tidak, benteng ini seperti kosong saja, dari luar tidak nampak seorang pun penjaga.

Milana masih duduk di atas pelana kudanya dan memandang ke arah benteng dengan alis berkerut dan sinar mata melamun. Dari sebelah kanannya datang seorang Panglima Pasukan Srigala yang melapor dengan suara tegas,

“Laporan, Panglima! Para penyelidik melaporkan bahwa benteng itu tak dapat diserang dari belakang karena membelakangi tebing sungai yang penuh rawa-rawa liar dan berbahaya. Kanan dan kirinya tertutup jurang yang dalam. Laporan selesai!”

Milana mengangguk-angguk.
“Hemmm, jadi cocok dengan keterangan dalam gambar. Kalau begitu, siapkan pasukan, jalan satu-satunya hanyalah menyerang dari depan untuk mencoba sampai di mana ketangguhan lawan. Akan tetapi, kalau ternyata fihak lawan kuat sekali, jangan memaksakan diri, tunggu tanda untuk mundur agar jangan sampai kehilangan banyak anak buah menjadi korban!”

Komandan itu lalu mundur dan Milana memberi perintah kepada pemegang bendera isyarat untuk menyampaikan perintahnya. Pemegang bendera itu berdiri di atas batu besar dan menggerakkan benderannya dengan gerakan-gerakan tertentu agar terbaca oleh semua komandan.

Perintah dari Panglima Puteri Milana adalah agar Pasukan Srigala maju menyerang pintu gerbang depan benteng itu sedangkan pasukan-pasukan lain hanya bersiap di kanan kiri sesuai dengan kedudukan mereka tanpa ikut menyerang, hanya melindungi kalau-kalau Pasukan Srigala terdesak agar membantu mereka mundur dengan selamat.

Pasukan Srigala yang terdiri dari sepuluh ribu orang itu lalu dikerahkan dan mulailah pasukan ini menyerang dan menyerbu benteng dari pintu gerbang depan. Setelah jarak mereka mulai dekat dan sejauh sasaran anak panah, tiba-tiba dari atas tembok benteng itu berhamburan datang anak panah dan batu-batu bagaikan hujan menyambut mereka!

Hal seperti ini tidak mengejutkan pasukan yang sudah berpengalaman itu dan memang sudah mereka duga lebih dulu. Maka mereka pun cepat mengangkat perisai masing-masing untuk melindungi diri dan mereka terus menyerbu sambil bersorak-sorak, dan pasukan-pasukan bagian panah lalu membalas dengan melepaskan anak panah mereka ke tembok benteng, tubuh mereka dilindungi oleh teman yang mengangkat perisai besar. Hiruk-pikuk bunyi anak panah dan batu menimpa perisai-perisai itu.

Puteri Milana menyaksikan penyerbuan Pasukan Srigala itu dengan seksama sambil memandang ke arah atas tembok benteng. Dari menara tembok itu dia melihat bendera merah dikibarkan dan tiba-tiba anak panah dan batu yang meluncur bagaikan hujan dari atas tembok itu berhenti. Pasukan Srigala masih menyerbu terus, kini sudah mulai menaiki lereng menuju ke pintu gerbang.






“Perintahkan mereka mundur!”

Tiba-tiba Milana berseru dan pemegang bendera lalu memberi isyarat, disusul bunyi tambur sebagai perintah kepada pasukan itu. Namun terlambat, karena tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka dan dari dalam pintu gerbang itu keluar batu-batu besar bergulingan ke bawah lereng, juga dari atas tembok dilempar-lemparkan batu-batu sebesar kepala orang ke bawah sehingga batu-batu ini pun bergulingan ke bawah menyambut pasukan musuh!

Diserang secara bertubi-tubi dan mendadak ini, Pasukan Srigala menjadi terkejut. Mereka berusaha menyingkir dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tertimpa dan tertumbuk batu-batu besar sehingga ramailah suara mereka yang diserang oleh batu-batu ini.

Terpaksa mereka mundur secara tidak teratur dan dalam penyerbuan pertama ini Pasukan Srigala kehilangan dua ratus orang lebih. Milana melihat dari atas dan nampak olehnya betapa pintu gerbang tertutup kembali dan bendera merah di atas menara itu bergerak-gerak memberi tanda. Tembok benteng musuh kembali menjadi sunyi dan tidak nampak seorang pun perajuritnya!

Milana menarik napas panjang. Hebat, pikirnya. Benar-benar Jenderal Kao Liang telah bekerja untuk musuh! Baik, dia pun harus melawan dengan kekerasan! Dia memberi kesempatan agar Pasukan Srigala memulihkan tenaga dan mengatur kembali keberesan pasukan itu. Kemudian terdengar aba-abanya nyaring,

“Lepaskan panah berapi!”

Pasukan anak panah lalu berindap-indap memencar dari depan, kanan dan kiri, dan tak lama kemudian berluncuranlah anak panah yang membawa api menuju ke benteng itu. Akan tetapi, karena benteng itu berlapis-lapis, maka anak-anak panah berapi itu hanya mengenai tembok benteng di sebelah dalam, tidak mengenai bangunan-bangunan di dalam benteng.

Betapapun juga, hujan anak panah berapi itu membuat para perajurit di dalam benteng terpaksa berlindung dan memadamkan api begitu anak panah itu menimpa tembok sebelah dalam. Sementara itu, diam-diam Milana lalu memberi perintah kepada pasukan untuk menggali lubang-lubang naik ke lereng itu.

Kemudian, tiba-tiba Puteri Milana memerintahkan tiga pasukan, yaitu Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan Pasukan Singa untuk menyerbu dari kanan kiri dan tengah, didahului oleh pasukan yang mengerjakan penggalian-penggalian itu.

Kembali hujan anak panah dan batu, yang dibalas oleh serangan anak panah dari pasukan kerajaan. Seperti juga tadi, ketika pasukan penyerbu sudah mulai naik ke lereng, batu-batu besar berjatuhan dari atas dan keluar dari pintu gerbang.

Akan tetapi kini pasukan-pasukan itu sudah siap. Cepat mereka bertiarap ke dalam lubang-lubang itu sehingga batu-batu yang menggelundung itu melewati tubuh mereka. Ada pula yang terkena, akan tetapi tidak begitu banyak dan sebagian besar pasukan selamat dan setelah hujan batu mereda, mereka terus mendaki naik sambil menggali lubang-lubang berikutnya.

Siasat Milana ini berhasil dan akhirnya tiga pasukan itu dapat bergabung dan sambil bersorak-sorak mereka lari menuju ke depan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka disambut oleh teriakan yang mengejutkan dan dari dalam tanah di depan tembok benteng itu terbuka lubang-lubang dan ternyata di situ terdapat pasukan-pasukan pendam yang sudah lama menanti.

Begitu keluar dari tempat persembunyian mereka, pasukan pendam ini melepaskan anak panah dari kanan kiri, sedangkan pasukan inti menyerbu dari tengah, dan kini pintu gerbang terbuka dan bersama dengan bunyi tambur dan teriakan-teriakan menggegap-gempita, keluarlah pasukan besar menyerbu dari tengah, menghimpit pasukan kerajaan dari kanan kiri dan tengah.

Terjadilah pertempuran yang hebat, akan tetapi pasukan kerajaan sama sekali tidak mampu untuk mendesak musuh. Bahkan mereka yang mencoba untuk mendekati tembok, menerima siraman-siraman air panas dari atas tembok sehingga mereka terpaksa mundur kembali! Melihat ini, kembali Milana memerintahkan mundur semua pasukan. Serangan yang ke dua itu pun gagal dan ternyata lebih dari seribu orang anak buah pasukan tewas!

Setelah dua kali kegagalan ini dan melihat betapa tembok benteng itu kembali sunyi, Milana lalu menarik mundur pasukannya dan membiarkan mereka mengaso. Dia sendiri lalu mengadakan perundingan dengan para panglima kerajaan menghadapi benteng musuh yang demikian kuatnya.

Dia tahu atau dapat menduga bahwa yang menggerakkan bendera merah di menara itu tentulah Jenderal Kao, atau setidaknya tentulah pembantu jenderal yang pandai itu. Untuk menyerbu secara nekat dan membobolkan benteng dengan kekerasan, agaknya lebih dulu akan mengorbankan banyak sekali perajurit dan hasilnya pun belum dapat meyakinkan, mengingat betapa kuatnya penjagaan di benteng itu.

Malam tiba dan Milana masih melakukan perundingan dan mencari siasat bersama para panglima pembantunya, mencari-cari kemungkinan untuk menyerbu dengan lain cara.

****

Sementara itu, pendekar Gak Bun Beng yang mendahului pasukan isterinya, menyusup-nyusup melalui hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan dia melihat Kok Cu dan Ceng Ceng yang bersembunyi di tepi sungai. Dia lalu muncul di depan suami isteri pendekar itu.

Kok Cu dan isterinya terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat bayangan berkelebat. Orang yang datang ini sama sekali tidak mereka ketahui, tanda bahwa orang ini hebat sekali ilmunya. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat siapa adanya orang itu, dia girang bukan main.

“Paman Gak Bun Beng....!” serunya ketika melihat pria yang berdiri sambil tersenyum di depannya itu.

Juga Kok Cu menjadi girang dan cepat dia memberi hormat. Melihat pendekar ini, hati Ceng Ceng menjadi besar dan cepat dia bertanya,

“Paman, kapankah pasukan Bibi Milana akan menyerbu ke sini?”

“Dalam satu dua hari ini, kini telah berangkat setelah menduduki Lok-yang.”

“Ah, Paman. Benteng itu kuat bukan main, dipimpin oleh....“ Ceng Ceng tidak melanjutkan karena merasa tidak enak kepada suaminya.

“Aku sudah tahu. Jenderal Kao Liang, ayah mertuamu itu terpaksa karena semua keluarganya ditawan, bukan? Tentu ada apa-apanya ini. Aku akan menyelidiki lebih dulu ke dalam dan sebaiknya kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu. Eh, apakah kalian tidak bertemu dengan Suma Kian Bu? Dia sudah lebih dulu meninggalkan kota raja menuju ke sini!”

Kok Cu dan Ceng Ceng saling pandang dengan heran lalu menggeleng kepala.
“Kami bertemu dengan Ang Tek Hoat yang mencari Puteri Syanti Dewi dan dia memasuki lembah, entah apa jadinya dengan dia.”

Ceng Ceng lalu menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Tek Hoat. Mendengar ini, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.

“Sungguh aneh sekali, mengapa Syanti Dewi kembali terbawa-bawa dalam pemberontakan ini dan dia berada di lembah? Ah, benteng di lembah itu mengandung banyak rahasia, dan hal ini makin mendorongku untuk lebih dulu masuk menyelidiki ke sana.”

“Keadaan mereka kuat sekali.... Paman Gak,”

Kata Kok Cu yang merasa agak kaku menyebut paman kepada pendekar itu, akan tetapi karena memang pendekar itu adalah suami dari Puteri Milana, bibi dari isterinya, maka dia pun menyebut paman.

“Di sana terdapat Im-kan Ngo-ok, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan banyak lagi tokoh-tokoh kaum sesat. Karena putera kami juga tertawan di sana, maka kami terpaksa menahan diri dan mencari kesempatan untuk dapat menyelundup masuk dan menolong semua keluarga ayah.”

Lalu Si Naga Sakti ini bercerita tentang puteranya yang juga terculik dan tahu-tahu sudah dibawa oleh penculik itu ke dalam benteng dan menjadi tawanan bersama keluarga ayahnya pula.

Mendengar ini Gak Bun Beng menggeleng kepalanya dengan kagum dan juga penasaran sekali.
“Ah, agaknya Pangeran Liong Bian Cu putera Pangeran Liong Khi Ong yang ternyata juga menjadi Pangeran Nepal ini ternyata lebih cerdik dan berbahaya daripada ayahnya dahulu. Untuk mencapai cita-citanya, dia tidak segan-segan menggunakan segala macam kecurangan untuk memaksa Jenderal Kao membantunya dan membuatmu tidak berdaya pula dengan menguasai puteramu.”

“Kalau hanya seorang anggauta keluarga saja yang ditawan, kami berdua tentu sanggup untuk menyelamatkannya, akan tetapi anggauta keluarga sedemikian banyaknya, tidak mungkin menggunakan kekerasan menolong mereka semua,” kata Kok Cu dengan penasaran.

“Paman Gak, kalau Paman sudah berhasil memasuki benteng, harap Paman sudi mengamat-amati keadaan putera kami, Kao Cin Liong.”

Gak Bun Beng mengangguk. Dia maklum bahwa bagi Kok Cu tidak mungkin mengajukan permintaan seperti itu karena selain puteranya, juga ayah bundanya, dan keluarga ayahnya semua tertawan di sana, akan tetapi bagi Ceng Ceng sebagai seorang ibu, tentu saja yang diingat hanyalah keselamatan puteranya.

“Jangan khawatir, tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin agar mereka itu tidak sampai terancam.” Bun Beng lalu bangkit berdiri. “Nah, sebaiknya memang kalau kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu sehingga dalam kekacauan itu mereka tidak begitu memperhatikan kalian. Sebelum itu, kehadiran kalian di sana hanya membahayakan keselamatan keluarga kalian yang ditawan. Sampai jumpa,”

Setelah berkata demikian, Gak Bun Beng lalu meloncat pergi. Diam-diam Ceng Ceng merasa berbesar hati setelah bertemu dengan pendekar itu karena dengan adanya bantuan pendekar sakti itu, keselamatan puteranya lebih terjamin.

**** 114 ****