FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 113

Malam telah larut, lewat tengah malam. Bulan purnama telah condong ke barat dan malam itu dingin dan sunyi sekali. Akan tetapi, sesosok bayangan seperti setan berkelebatan di bawah tembok benteng. Bayangan orang itu bukan lain adalah Tek Hoat yang telah meninggalkan Ceng Ceng dan suaminya.

Ceng Ceng tidak melihat Syanti Dewi di dalam benteng, akan tetapi siapa tahu? Dan seandainya dia tidak menemukan Syanti Dewi di situ, tidak pula bisa memperoleh kabar tentang puteri itu, setidaknya dia akan dapat menuntut agar putera Ceng Ceng dibebaskan. Dia tidak perlu banyak berjanji kepada suami isteri itu, akan tetapi kalau di sana tidak ada Syanti Dewi, dia tentu akan membebaskan putera Ceng Ceng!

Saudara tirinya itu kelihatan demikian gelisah, dan diam-diam dia merasa amat kasihan kepada Ceng Ceng. Dia tidak takut biarpun di sana ada Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan yang disebut Im-kan Ngo-ok yang tidak dikenalnya itu. Biar semua iblis dan setan berkumpul di sana, dia tidak takut!

Ketika dia mulai mendekati tembok benteng, Tek Hoat yang berpenglihatan tajam itu mengerti bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Orang yang membayanginya itu juga amat cepat gerakannya. Mula-mula dia menduga bahwa bayangan itu tentulah Ceng Ceng atau Kok Cu, akan tetapi setelah dia melihat sekelebatan, dia tahu bahwa bayangan itu bukan Ceng Ceng, karena orang itu tinggi besar tidak seperti bentuk tubuh Ceng Ceng dan lengannya lengkap tidak seperti lengan Kok Cu.

Akan tetapi karena bayangan itu hanya mengikutinya, maka dia pun tidak mempedulikan dan melanjutkan gerakannya meloncat naik ke atas tembok benteng seperti seekor burung garuda terbang saja. Loncatannya tidak mungkin dapat mencapai di atas tembok yang demikian tingginya, akan tetapi seperti seekor cecak terbang, dia hinggap di tembok dan menggunakan kaki tangannya menempel tembok dan terus merangkak ke atas menggunakan sinkangnya yang membuat telapak tangannya menyedot dan menempel dinding, menahan tubuhnya.

Dengan cepat dia merayap seperti seekor cecak dan akhirnya dia dapat mencapai pinggiran tembok dan meloncat naik ke atas tembok benteng yang tinggi itu. Akan tetapi baru saja dia berdiri, kakinya telah menginjak alat jebakan dan dari bawah menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya!

Namun, Tek Hoat telah siap waspada dan begitu mendengar bunyi berdesir dari bawah, dia telah meloncat ke atas dan mengelak, lalu turun lagi di atas dinding tembok di depan. Kiranya semenjak benteng itu kebobolan, Im-kan Ngo-ok telah memasang jebakan-jebakan di atas tembok benteng dan satu di antara alat jebakan itu tadi terinjak oleh Tek Hoat.

Tek Hoat terus berloncatan di atas tembok benteng yang berlapis-lapis itu, dari tembok pertama ke atas tembok ke dua. Dia melihat bayangan di belakangnya tetap mengikutinya akan tetapi dia tidak peduli dan terus meloncat ke tembok sebelah dalam.

Tiba-tiba dia terkejut sekali ketika tembok yang diinjaknya bergoyang dan melesak ke bawah! Karena secara tiba-tiba tubuhnya terjeblos ke bawah, tentu saja dia tidak dapat meloncat lagi ke atas dan ketika dia memandang ke bawah, ternyata di bawahnya telah menanti ujung-ujung tombak yang meruncing.

Dari atas, ujung-ujung tombak itu kelihatan menyeramkan dan orang yang terjatuh ke tempat itu tentu akan tembus-tembus tubuhnya oleh puluhan batang tombak itu. Untuk meloncat ke lain tempat sudah tidak mungkin lagi, maka mau tidak mau Tek Hoat harus terus meluncur ke bawah!

Dia cepat mengerahkan ginkangnya dan ketika ujung-ujung tombak itu telah dekat sekali, dia menggunakan ujung kakinya menotol ujung tombak dan mengenjot ke atas untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak.

Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak seperti seekor burung saja!

Dengan berjongkok tangannya mencabut sebatang tombak. Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan gagang tombak itu, lalu dia mengenjot tubuhnya meloncat ke atas. Ketika dia tidak mencapai atas tembok, dia menggunakan tombak patahan tadi untuk menyodok dinding dan dengan tenaga sodokan ini dia dapat berpoksai lagi ke atas. sehingga akhirnya dapat juga dia hinggap di atas tembok kembali.

“Bagus sekali....!”

Pujian ini terdengar dari bayangan yang masih mengikutinya dari jauh. Akan tetapi Tek Hoat tidak peduli lagi dan melanjutkan penyelidikannya, meloncat terus ke tembok sebelah dalam lagi.

Kini Tek Hoat telah tiba di lapisan tembok benteng yang paling dalam. Tiba-tiba terdengar suara berdering-dering ketika kakinya menyangkut tali rahasia dan Tek Hoat melihat pasukan berbondong-bondong datang ke sebelah dalam tembok. Bahkan ada pasukan dua puluh orang lebih yang menghujankan anak panah ke arah dia berdiri di atas tembok.

Akan tetapi, Tek Hoat sama sekali tidak menjadi gentar, dia malah terus meloncat ke dalam sambil memutar tombak yang dicabutnya dari tempat jebakan tadi dan semua anak panah dapat ditangkisnya dan runtuh ke bawah. Dengan ringan kakinya menginjak tanah di tengah-tengah lapangan di sebelah dalam benteng itu dan sebentar saja dia sudah terkurung oleh pasukan penjaga yang banyak sekali.

Akan tetapi, pemuda ini berdiri tenang dan sepasang matanya bersinar-sinar menyeramkan. Tidak ada anggauta pasukan yang berani menyerang karena selain tidak ada perintah dari atasan, juga mereka maklum bahwa yang datang ini adalah seorang pemuda yang lihai sekali, seperti Si Naga Sakti dan isterinya yang juga datang ke benteng ini beberapa hari yang lalu.

Menghadapi orang-orang sakti seperti ini bukanlah tugas mereka dan memang benar saja, tak lama kemudian terdengar aba-aba dari komandan mereka untuk membuka jalan dan nampaklah Koksu Nepal dan para pembantunya menghampiri tempat itu dan berhadapan dengan Tek Hoat yang memandang kepada rombongan ini dengan sikap tenang dan sinar mata tajam penuh selidik.

“Ha-ha-ha, dia adalah Si Jari Maut! Dari tadi aku sudah mengenalnya!”

Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Hek-hwa Lo-kwi. Juga Hek-tiauw Lo-mo yang ikut datang bersama Koksu Nepal segera mengenal pemuda itu.

“Ang Tek Hoat si Jari Maut, mau apa kau berkeliaran ke sini?” bentaknya.






Tek Hoat memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, kemudian terdengar dia berkata dengan sikap angkuh dan tenang,

“Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apakah kalian menjadi pimpinan di sini ataukah hanya sebagai pembantu-pembantu belaka? Kalau begitu, siapakah pemimpinnya? Aku mau bicara dengan pemimpin benteng ini.”

Begitu mendengar julukan Si Jari Maut, biarpun dia belum pernah mendengar julukan yang memang belum lama terkenal di dunia kang-ouw ini, namun koksu sudah merasa kagum. Orang yang mendapat pujian dari dua orang kakek iblis itu tentulah bukan orang biasa, dan pemuda ini masih begini muda, dan cekatan pula, buktinya dapat melalui jebakan-jebakan dengan begitu mudah. Maka dia lalu melangkah maju dan tersenyum lebar.

“Kami, koksu dari Nepal, adalah yang mewakili Pangeran Bharuhendra memimpin benteng ini. Ang-sicu sudah memerlukan malam-malam datang ke tempat ini, ada keperluan apakah?” tanyanya dengan sikap ramah.

Sinar bulan tenggelam, akan tetapi sebagai gantinya, banyak obor dinyalakan untuk membantu penerangan lampu yang banyak tergantung di tempat itu sehingga Tek Hoat dapat mengamati wajah banyak orang itu. Kini dia berhadapan dengan Ban Hwa Sengjin dan setelah sejenak memandang wajah kakek ini dengan penuh selidik, dia lalu berkata dengan lantang,

“Kiranya yang memimpin adalah koksu dari Nepal! Sungguh hebat benteng ini, dan kulihat banyak orang-orang pandai membantu di sini. Koksu, aku sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemberontakan. Aku datang untuk urusan pribadi, yaitu aku mencari Puteri Bhutan....”

“Ah, Puteri Syanti Dewi?” Koksu Nepal itu memotong sambil tersenyum lebar.

“Benar!” Jantung Tek Hoat berdebar keras. “Bukankah dia berada di sini? Aku datang untuk mencari dia!”

“Ah, tentu saja sang puteri berada di sini, Ang-sicu. Beliau berada di sini sebagai tamu agung!”

Tek Hoat mengerutkan alisnya.
“Hem, siapakah yang tidak tahu bahwa Nepal selamanya tidak pernah bersahabat dengan Bhutan?”

Mendengar ini, Koksu Nepal terkejut dan tiba-tiba Gitananda berbisik dalam bahasa Nepal kepada koksu itu. Wajah koksu itu menjadi berseri.

“Aha, kiranya engkau adalah panglima muda yang amat terkenal di Bhutan, yang pernah akan menjadi mantu Raja Bhutan itu? Ah, sungguh kebetulan sekali! Agaknya engkau telah meninggalkan Bhutan dan tidak tahu bahwa antara Bhutan dan Nepal telah terjadi persahabatan. Buktinya, Puteri Syanti Dewi kini menjadi tamu kami, diantar oleh panglimanya.” Dia lalu bicara kepada Gitananda untuk memanggil Mohinta.

Tek Hoat terkejut melihat munculnya panglima muda Bhutan itu di situ. Sebaliknya, ketika Mohinta melihat Tek Hoat, dia menjadi marah sekali dan bersama para pengikutnya, dia sudah melolos senjata dan hendak menyerang. Akan tetapi koksu mengangkat tangannya dan memberi isyarat kepada Mohinta untuk mundur.

“Ang-sicu, kau lihat sendiri, Panglima Mohinta dari Bhutan sendirilah yang mengawal Sang Puteri Syanti Dewi dan menjadi tamuku. Kita semua adalah merupakan satu keluarga, mengingat bahwa Sicu juga sudah berjasa untuk Bhutan. Nah, sekarang katakanlah, apa maksud kedatanganmu? Sebagai kawan ataukah sebagai lawan?”

Semua orang terkejut dan merasa heran mendengar ucapan koksu yang mengaku bahwa Puteri Bhutan itu berada di situ sebagai tamu. Padahal, bukankah puteri itu telah terculik orang dan sampai kini belum diketahui di mana adanya? Akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan kelicikan koksu ini. Dia memang sengaja mengatakan bahwa Syanti Dewi masih berada di situ, karena dia mempunyai rencana yang dianggapnya baik sekali untuk dapat menahan pemuda yang lihai ini agar dapat membantunya.

“Terserah kepada koksu akan menganggap aku sebagai kawan atau lawan. Maksud kedatanganku sudah jelas, yaitu aku ingin melihat Puteri Syanti Dewi dalam keadaan selamat”.

“Ha-ha-ha, permintaan yang amat mudah, Ang-sicu. Tentu engkau maklum bahwa keselamatan sang puteri sepenuhnya berada di tangan kami. Kalau Sicu mau membantu kami, sudah pasti sang puteri akan selamat....“

“Sudah kukatakan bahwa aku tidak hendak mencampuri urusan pemberontakanmu!” Tek Hoat memotong cepat.

“Baiklah, setidaknya asal engkau suka berjanji bahwa engkau tidak akan membantu fihak musuh kami dan bahwa engkau suka melindungi Puteri Syanti Dewi di sini.”

“Tentu saja aku akan suka melindunginya dari siapapun juga!” jawab Tek Hoat. “Akan tetapi biarkan aku lebih dulu bertemu dengan dia.”

“Ang-sicu, hendaknya Sicu maklum bahwa setelah Sicu berada di dalam benteng, maka kamilah yang menentukan segala sesuatu, karena betapapun lihainya Sicu, seorang diri saja tidak berdaya terhadap kami. Sicu baru saja datang, tentu tidak baik kalau bertemu dengan sang puteri. Akan tetapi tunggulah satu dua hari, kalau memang Sicu benar-benar mau tinggal di sini melindunginya dan memperlihatkan iktikad baik bahwa Sicu bukan mata-mata musuh kami, barulah Sicu akan dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.”

Tek Hoat memandang ke sekeliling. Dia melihat bahwa selain Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga terdapat banyak orang yang kelihatan berilmu tinggi. Semua tokoh ini sudah berbahaya, apalagi ditambah dengan banyak pasukan dan keadaan benteng yang kokoh kuat, memang kalau dia menggunakan kekerasan hal itu adalah bodoh sekali.

Apalagi setelah ada kepastian bahwa Syanti Dewi berada di situ dan dalam keadaan selamat, apalagi yang dikehendakinya? Dia harus bersabar sampai dia benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi, setelah bertemu barulah dia akan mencari akal bagaimana untuk dapat membawa keluar puteri itu dari benteng ini. Kalau hal ini tidak mungkin, setidaknya dia berdekatan dengan wanita yang dicintanya itu dan dapat melindunginya dari gangguan siapapun juga dengan taruhan nyawanya.

“Baiklah, asal benar-benar dia berada di sini, aku akan melindunginya di sini dan tidak akan mencampuri urusan kelian dengan mnusuh-musuh kalian,” katanya.

Tek Hoat lalu diberi sebuah kamar dan diam-diam gerak-geriknya selalu diikuti. Pemuda ini pun tidak memperlihatkan sikap mencurigakan karena dia hanya menanti sampai dia dapat dipertemukan dengan kekasihnya. Satu dua hari, kata koksu. Baik, dia akan bersikap baik selama dua hari sampai dia benar-benar melihat sang puteri dalam keadaan selamat.

Sementara itu, kalau semua orang merasa heran, koksu dengan tenang lalu memanggil pembantunya yang ahli dalam hal itu, yaitu Ang-siocia dan gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong. Adanya dua orang yang pandai melakukan penyamaran inilah yang membuat koksu tanpa ragu-ragu mengatakan kepada Tek Hoat bahwa Syanti Dewi memang berada di situ sebagai tamu!

“Pemuda selihai itu sebaiknya kalau berfihak kepada kita,” kata koksu kepada para pembantunya setelah Ang-siocia dan gurunya hadir, “atau setidaknya, dalam menghadapi masa gawat ini, sebaiknya kalau dia di sini dan tidak membantu musuh. Karena itulah aku menggunakan dalih adanya Puteri Syanti Dewi untuk menahan dia di sini, dan untuk melaksanakan akal ini, aku mengharapkan bantuan Ang-siocia, dan Hek-sin Touw-ong.”

Dara itu saling pandang dengan gurunya. Mereka itu semenjak berada di dalam benteng, tidak pernah melihat kesempatan untuk melarikan diri karena biarpun mereka itu dianggap pembantu-pembantu, akan tetapi seperti juga Jenderal Kao, mereka adalah pembantu-pembantu yang dicurigai sehingga selalu terjaga dan tidak pernah diperkenankan keluar dari benteng.

“Memang hal itu mudah dilakukan karena kami melihat di sini banyak wanita Nepal yang potongan wajahnya agak mirip sang puteri sehingga mudahlah untuk meriasnya sehingga tidak akan ada bedanya dengan wajah sang puteri sendiri, kata Touw-ong.”

“Menghias mukanya memang mudah sekali, juga pakaian dan gerak-geriknya, akan tetapi meniru suaranya harus dipimpin oleh seorang yang mengenal betul cara sang puteri bicara,” kata Ang-siocia. “Kalau benar Ang Tek Hoat itu dahulu adalah tunangan sang puteri, tentu dia akan dapat mengenal cara wanita itu bicara.”

“Bagus!” kata Ban Hwa Sengjin berseru girang. “Soal cara bicara dan lagaknya, di sini terdapat Mohinta yang akan mampu melatihnya karena dia tentu hafal akan kebiasaan sang puteri bicara dan bersikap.”

Mohinta mengangguk-angguk, sungguhpun di dalam hatinya dia tidak setuju kalau Tek Hoat diterima sebagai sekutu di tempat itu. Menurut keinginannya, pemuda itu sebaiknya dibunuh saja! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah kehendak Koksu Nepal yang bertindak demi kepentingan benteng.

Mudah saja bagi Ang-siocia dan gurunya untuk menyulap seorang dayang Nepal yang menjadi pelayan Pangeran Bharuhendra, menjadi Puteri Syanti Dewi. Biarpun baru satu kali guru dan murid ini melihat Syanti Dewi, namun ingatan mereka kuat sekali, dan pula di situ terdapat Mohinta dan para bekas dayang yang melayani sang puteri sehingga mereka ini dapat memberi petunjuk.

Dalam waktu satu dua jam saja berubahlah seorang dayang menjadi Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dari rambut sampai ke kakinya, persis sekali! Kini tinggal melatih dayang itu untuk bersikap dan bicara seperti Syanti Dewi dan hal inilah yang lebih sukar sehingga membutuhkan waktu dua hari di bawah pimpinan Mohinta, baru dayang itu dapat meniru dan agak mirip dengan gerak-gerik dan cara bicara Puteri Bhutan itu.

Oleh karena itu, Koksu Nepal memesan kepada dayang itu untuk bicara seperlunya saja dan wanita ini sudah dilatih sampai hafal betul apa yang harus diucapkannya kalau dia sebagai Puteri Syanti Dewi bertemu dengan Ang Tek Hoat!

Demikianlah, setelah dua hari lamanya menanti di situ, akhirnya Ang Tek Hoat ditemui oleh koksu dan kakek ini tertawa lebar.

“Ha-ha-ha, girang hati kami melihat bahwa engkau ternyata tidak memperlihatkan sikap buruk, Sicu. Maka, sekarang kami memenuhi janji untuk mempertemukan engkau dengan Puteri Bhutan. Tentu saja hanya terbatas, pokoknya Sicu dapat membuktikan bahwa dia selamat di sini dan dapat bicara sepatah dua patah kata.”

Tek Hoat tidak memperhatikan syarat itu karena hatinya sudah berdebar penuh ketegangan dan juga kegirangan. Semenjak dia meninggalkan Bhutan, hatinya menderita hebat oleh rasa rindunya kepada Syanti Dewi dan dia sudah merasa putus asa karena tidak mungkin dia akan dapat bertemu lagi dengan kekasihnya itu.

Maka ketika dia mendengar bahwa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan berada di timur, dia mencari-cari sampai akhirnya sekarang tiba saatnya dia akan bertemu muka, berhadapan dan bicara dengan kekasihnya itu! Jantungnya berdebar-debar dan dia hanya dapat mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin dengan perasaan berterima kasih.

Mereka menuju ke satu bagian di dalarn benteng itu dan dari dalam sebuah pintu di pondok besar, muncullah Syanti Dewi dengan gerak-geriknya yang lemah lembut dan halus diiringkan oleh beberapa orang dayang.

Ketika Syanti Dewi melihat Tek Hoat, dia mengeluarkan seruan tertahan dan berhenti melangkah, lalu memandang dengan mata terbelalak kemudian menundukkan mukanya, lalu jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya. Kebiasaan sang puteri kalau sedang tegang, kebiasaan yang amat dikenal oleh Tek Hoat!

“Dewi....!”

Tek Hoat berseru lirih dan melangkah maju, lehernya seperti dicekik rasanya karena terharu dan juga girang. Ternyata kekasihnya itu benar-benar dalam keadaan selamat dan hal ini amat menggirangkan hatinya!

“Terima kasih kepada Thian bahwa engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat!” Hanya demikianlah Tek Hoat dapat berseru dengan girang sekali.

“Ang Tek Hoat” terdengar sang puteri berkata dengan suara agak gemetar, tanpa mengangkat mukanya. “Mau apakah engkau minta bertemu dengan aku....?” Dalam suara itu terkandung kedukaan dan kemarahan.

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Biasanya, Puteri Syanti Dewi menyebut koko atau kanda, kini menyebut namanya begitu saja. Dia dapat mengerti bahwa tentu sang puteri ini marah kepadanya, dan dia dapat mengerti mengapa puteri ini marah kepadanya.

“Dinda Syanti Dewi, engkau tahu.... betapa berat hatiku berpisah.... dan betapa kaget hatiku mendengar engkau berada di sini, meninggalkan Bhutan. Aku hanya ingin melihat engkau selamat dan bahagia....“

Tek Hoat mengeluarkan isi hatinya tanpa malu dan sungkan lagi sungguhpun di situ terdapat empat orang dayang dan juga terdapat Ban Hwa Sengjin. Bahkan dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan tak jauh dari situ. Dan memang diam-diam empat orang Im-kan Ngo-ok lainnya bersiap-siap tidak jauh dari tempat itu, menjaga kalau-kalau Tek Hoat melihat penyamaran itu.

Puteri palsu itu sengaja menyebut Tek Hoat dengan namanya saja karena hal ini sudah diperhitungkan baik-balk oleh Mohinta yang mengatur percakapan itu! Maka berkatalah puteri itu sesuai dengan hafalannya,

“Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita. Akan tetapi kalau engkau memperlihatkan bantuan untuk menghadapi musuh dari Pangeran Nepal, baru aku mau mengenalmu lagi. Nah, sampai jumpa pula.... dan semoga kau berhasil!”

Setelah berkata demikian, puteri palsu itu membalikkan tubuhnya dan diiringkan oleh para dayang dia masuk kembali ke dalam pondok.

“Syanti....! Syanti Dewi....!”

Tek Hoat berseru akan tetapi sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya, puteri itu tidak mau berhenti atau menoleh. Daun pintu ditutupkan oleh para dayang dan ketika Tek Hoat melangkah ke depan, Ban Hwa Sengjin sudah mendekatinya dan menegurnya.

“Sicu, pondok ini khusus untuk sang puteri, tidak ada pria yang boleh masuk. Marilah kita bicara. Saya kira sang puteri sudah cukup jelas bicara.”

Seperti orang yang kehilangan semangat Tek Hoat mengikuti Koksu Nepal dan dengan ucapan Syanti Dewi masih terngiang di telinganya, apalagi kata-kata terakhir

“Semoga kau berhasil!”

Berkesan di dalam hatinya, dia mendengarkan bujukan-bujukan Koksu Nepal dan akhirnya dia menyetujui untuk melindungi sang puteri di dalam benteng itu dan akan membantu menghalau musuh yang membahayakan keselamatan Syanti Dewi sedapat mungkin!

Selagi koksu membujuk Tek Hoat, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan datanglah penjaga melapor bahwa pasukan Gubernur Ho-nan datang berlari-larian, nampaknya ketakutan dan mengalami kekalahan! Mendengar ini, Ban Hwa Sengjin cepat pergi melapor kepada Pangeran Bharuhendra yang cepat keluar dan pintu gerbang dibuka lebar untuk menyambut datangnya sang gubernur bersama pasukannya yang melarikan diri dari Lok-yang itu.

Sang Gubernur Kui Cu Kam dengan muka pucat dan napas terengah-engah menceritakan betapa pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Milana telah menggempur Lok-yang dan telah menduduki semua kota, dan tentu akan segera menyerbu ke lembah.

Dalam pertemuan ini, dengan singkat Tek Hoat diperkenalkan kepada sang pangeran oleh Koksu Nepal. Pangeran Liong Bian Cu sudah mendengar laporan lengkap tentang Tek Hoat, maka dia pun menyatakan kegirangannya bahwa pemuda itu suka membantunya. Kemudian, pangeran memerintahkan agar semua pembantunya dikumpulkan dan diadakanlah persidangan kilat untuk mengatur rencana dan siasat menghadapi musuh yang sudah mengancam.

Kepada Jenderal Kao Liang yang juga diharuskan hadir, sang pangeran berkata,
“Sekaranglah tiba saatnya engkau memperlihatkan kepandaianmu dan memenuhi janjimu, Jenderal Kao!”

Jenderal yang tua itu dengan wajah muram mengangguk.
“Saya akan memperlihatkan bahwa janji saya akan tetap saya penuhi, dan tidak akan ada pasukan manapun yang mampu membobolkan benteng ini!”

Jenderal Kao Liang lalu berpamit mundur untuk mulai mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas kepada para komandan bawahannya.

Pangeran Liong Bian Cu mengajak Gubernur Kui Cu Kam untuk bicara di dalam sedangkan persidangan itu dilanjutkan oleh Koksu Nepal yang membagi-bagi tugas kepada para tokoh pembantunya untuk memperkuat kedudukan benteng di sebelah dalam, karena kedudukan di sebelah luar seluruhnya menjadi tanggung jawab Jenderal Kao Liang.

Sibuklah semua orang yang menanti dengan jantung berdebar tegang karena para pasukan gubernur yang melarikan diri ke benteng itu bercerita betapa kuatnya pasukan kota raja yang dipimpin oleh Puteri Milana yang memang terkenal pandai sekali dalam hal memimpin pasukan itu.

Puteri Milana ini memang mengingatkan kaum tua kepada Puteri Nirahai, ibunya, yang dahulu juga merupakan seorang panglima besar yang amat pandai. Tek Hoat juga memperoleh bagian dalam pembagian kerja itu, yaitu dia harus melindungi bagian bangunan di mana juga tinggal Puteri Syanti Dewi. Tentu saja pemuda ini menerima tugas itu dengan girang dan dia pun bersungguh-sungguh, karena dia akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawanya.

Pada keesokan harinya, muncullah pasukan kerajaan yang telah dinanti-nanti dengan hati penuh ketegangan oleh semua orang di benteng itu! Pasukan yang besar dan berbaris rapi, dipimpin oleh Puteri Milana.

Dari atas menara di tembok benteng, sudah nampak debu mengepul tinggi ketika pasukan itu datang dari jauh, kemudian makin lama nampaklah barisan itu seperti serombongan semut yang bergerak dengan teratur. Jantung mereka yang memandang dari atas menara berdebar tegang karena gerakan pasukan besar itu memang amat menyeramkan.

**** 113 ****