FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 112

Malam terang bulan yang indah sekali, apalagi di tempat sunyi di tebing Sungai Huang-ho yang penuh dengan batu-batu besar dan bersih itu, tempat persembunyian Kok Cu dan Ceng Ceng. Biarpun musuh pernah menemukan mereka di situ, namun suami isteri ini tidak takut dan mereka tetap menanti di situ, tempat yang paling menyenangkan bagi mereka di sepanjang tepi sungai, karena dari situ mereka dapat melihat tembok benteng, dan tempat ini selain indah, juga amat sunyi dan bersih. Hanya kini mereka selalu berjaga dengan bergilir, tidak pernah lengah karena maklum akan kelihaian musuh-musuh yang berada di dalam benteng.

Malam itu terang bulan, karena bulan sedang purnama. Di permukaan bumi tidak ada angin, akan tetapi di angkasa awan-awan berarak dengan cepat, tanda bahwa di atas sana terdapat angin yang menggerakkan awan-awan sehingga kadang-kadang awan putih tipis menyembunyikan bulan yang menjadi agak suram cahayanya. Akan tetapi karena awan itu bergerak cepat, hanya sebentar saja bulan muncul lagi dengan lebih berseri.

Kao Kok Cu nampak duduk bersila di atas sebuah batu besar, sedang tenggelam dalam siulian (samadhi) yang hening. Samadhi akan kehilangan artinya kalau di dalamnya tersembunyi pamrih untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Samadhi adalah keadaan hening dan bersih, bersih dari segala macam pamrih, hening karena berhentinya segala pikiran.

Keheningan barulah benar-benar hening kalau datang tanpa diundang, kalau ada tanpa diadakan, kalau tidak dibuat agar supaya hening. Di waktu segala keinginan dan pamrih berhenti, maka keheningan akan ada dan itulah samadhi yang sesungguhnya. Bukan acuh tak acuh, bukan tidur duduk, melainkan sadar dan waspada akan segala sesuatu, di luar dan di dalam diri, mengamati apa adanya tanpa keinginan, untuk mengubah, menerima atau pun menolak, tanpa menilai, tanpa membenarkan atau menyalahkan. Tanpa “aku” yang bersamadhi, itulah samadhi yang sebenarnya.

Ceng Ceng juga duduk tidak jauh dari suaminya, akan tetapi dia tidak dapat duduk diam karena pikirannya selalu teringat akan puteranya, akan keluarga suaminya. Dia merasa gelisah karena sudah hampir sepekan dia dan suaminya duduk menanti di tempat itu. Sampai berapa lama dia harus menanti, membiarkan puteranya terancam bahaya di dalam tangan musuh-musuh yang dia tahu adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat itu? Dia tidak dapat beristirahat seperti suaminya, makin lama makin merasa gelisah sehingga akhirnya dia turun dari atas batu dan berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Malam itu memang indah sekali, namun sayang, bagi seorang yang sedang kacau batinnya oleh kegelisahan seperti Ceng Ceng, tidak ada apa pun yang kelihatan indah di dunia ini.

Tiba-tiba sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar dan tubuhnya yang tadinya kelihatan lemas itu tiba-tiba saja menjadi cekatan. Dia melihat sesuatu yang tentu saja menimbulkan kecurigaannya. Melihat bayangan manusia berkelebat tak jauh dari situ. Tentu musuh yang datang! Atau mata-mata musuh yang mengintai!

Kemarahannya bangkit dan dengan gerakan ringan dan cepat sekali Ceng Ceng sudah bergerak melakukan pengejaran, menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu. Akan tetapi bayangan itu dapat bergerak cepat sekali dan sekali berkelebat bayangan itu menyusup dan lenyap di balik semak-semak belukar.

Ceng Ceng makin curiga, akan tetapi karena dia maklum akan kelihaian orang-orang di dalam benteng dan dia yakin bahwa yang nampak bayangannya tentulah orang dari dalam benteng, dia bersikap hati-hati sekali dan menyelidik dengan jalan memutar. Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga cahayanya menjadi remang-remang saja. Dengan langkah satu-satu dan amat waspada, Ceng Ceng memutari semak-semak di mana dia melihat bayangan tadi lenyap.

Seluruh perhatian dicurahkannya melalui pendengaran dan penglihatannya. Tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang dan ketika secepat kilat dia membalik, dari sudut matanya Ceng Ceng melihat bayangan orang menyerangnya dengan totokan yang cepat dan hebat. Akan tetapi Ceng Ceng memang sejak tadi sudah siap sedia, maka diserang seperti itu dia tidak menjadi gugup. Dia miringkan tubuh mengelak dan tangannya membalas dengan tamparan kilat ke dada penyerangnya itu.

Orang itu terkejut bukan main, agaknya tidak mengira bahwa yang diserangnya itu selain dapat mengelak, juga dapat membalas dengan tamparan yang demikian hebatnya, terbukti dari sambaran angin yang menandakan sinkang yang dahsyat. Maka dia pun menggerakkan lengannya menangkis.

“Dukkk....!”

Keduanya terhuyung ke belakang dan mereka kaget bukan main mengetahui betapa kuatnya lawan. Ceng Ceng cepat memandang akan tetapi karena bulan masih tertutup awan, cuaca remang-remang dan dia hanya melihat seorang pria yang berdiri di depannya, seorang pria yang memiliki sepasang mata yang tajam bersinar.

“Manusia curang, siapakah engkau? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!” bentak Ceng Ceng dengan marah sekali.

Orang itu kelihatannya terkejut mendengar suara ini.
“Ehhh....? Kau....“






Pada saat itu awan telah meninggalkan bulan dan cahaya bulan yang terang menyinari wajah kedua orang yang saling pandang itu. Keduanya kini kelihatan makin kaget.

“Kau Ceng Ceng....!”

“Tek Hoat....!”

Memang orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini terus-menerus mengikuti jejak Puteri Syanti Dewi setelah dia gagal merampas Syanti Dewi dari puncak Naga Api sarang dari perkumpulan Liong-simpang yang diketuai oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun. Dia dibantu oleh Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang katanya tahu di mana harus mencari Syanti Dewi.

Akan tetapi sebetulnya Siluman Kucing itu pun tidak tahu, hanya menduga-duga saja dan sebenarnya wanita cabul itu bermaksud untuk mendekati pemuda ini dan kalau mungkin mencengkeram pemuda lihai ini untuk menjadi korban nafsu berahinya.

Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang mulai sadar akan kesesatannya itu, apalagi setelah dia berjumpa dengan seorang pelacur yang membuka matanya, dia malah mempermainkan Siluman Kucing dan meninggalkannya pergi untuk mencari sendiri jejak Syanti Dewi.

Akhirnya dia mendengar tentang keadaan di lembah Huang-ho dan dia menaruh hati curiga. Dia pernah menyerang lembah itu sebagai sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang untuk memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pang, bersama dengan Siluman Kucing yang menjadi guru dari ketua Hek-eng-pang, sehingga mereka akhirnya dapat membobolkan bendungan air dan membuat lembah itu tenggelam dalam genangan air bah setelah tanggul atau bendungannya itu dijebolkan oleh alat-alat peledak dari Mauw Siauw Mo-li.

Kini dia mendengar berita angin bahwa lembah itu telan berubah menjadi benteng yang kuat. Dia merasa curiga sekali dan ingin tahu, maka dia lalu menyelidiki ke lembah. Siapa tahu kalau-kalau Syanti Dewi yang seperti lenyap ditelan bumi itu berada di tempat itu, pikirnya. Hal ini memasuki pikirannya ketika dia mendengar bahwa banyak tokoh kaum sesat kabarnya juga berada di dalam benteng itu. Andaikata Syanti Dewi tidak berada di situ, setidaknya dia akan dapat bertanya kepada para tokoh sesat itu dan tentu ada di antara mereka yang tahu di mana adanya Syanti Dewi dan siapa yang telah menculiknya.

Malam itu dia tiba di dekat benteng lembah dan selagi dia berjalan dan hendak mulai dengan penyelidikannya, dia melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan mengejarnya. Maka dia lalu menyelinap dan menyerang bayangan itu untuk menotoknya, karena dia menduga bahwa bayangan itu tentulah mata-mata dari dalam benteng. Akan tetapi betapa kagetnya ketika bayangan itu sedemikian lihainya, dan makin kagetlah dia ketika cahaya bulan menyinari wajah yang cantik itu, wajah dari Ceng Ceng, saudara tirinya seayah berlainan ibu!

Ibu dari Ceng Ceng adalah Lu Kim Bwee, sedangkan ibu dari Tek Hoat bernama Ang Siok Bi. Ketika kedua orang wanita itu masih gadis, mereka telah tertimpa malapetaka dan aib. Mereka itu dicemarkan oleh seorang laki-laki yang berilmu tinggi sehingga mereka keduanya mengandung. Dari kandungan itulah terlahir Ceng Ceng dan Tek Hoat.

Karena mereka terlahir sebagai akibat perkosaan, maka mereka berdua menggunakan she ibu masing-masing. Ceng Ceng menggunakan she Lu sedangkan Tek Hoat menggunakan she Ang. Ayah kandung mereka yaitu pria yang mencemarkan ibu masing-masing itu bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah putera tiri dari Pendekar Super Sakti yang bernama Wan Keng In (baca cerita Sepasang Pedang Iblis dan Kisah Sepasang Rajawali).

Ketika masih kecil, baik Ceng Ceng maupun Tek Hoat tidak tahu akan rahasia itu karena ibu masing-masing tidak mau menceritakan aib itu kepada anak masing-masing. Baru setelah kedua orang anak ini menjadi dewasa, di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, mereka bertemu dan bahkan mereka hampir saling jatuh cinta. Kemudian terbukalah rahasia itu dan keduanya baru tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah saudara tiri, seayah berlainan ibu! Dan keduanya sesungguhnya adalah she Wan.

“Ah, kusangka engkau seorang mata-mata dari benteng!” seru Tek Hoat.

Ceng Ceng cemberut.
“Engkaulah yang kukira mata-mata dari dalam benteng!”

Keduanya lalu tersenyum dan saling pandang. Memang keduanya mempunyai perasaan suka satu sama lain, apalagi setelah mereka tahu bahwa mereka adalah saudara seayah. Dalam pandang mata mereka itu terdapat keharuan karena memang keduanya tidak mempunyai saudara lain, bahkan tidak bersanak kadang lagi.

“Bagaimana keadaanmu....?”

Keduanya bicara berbareng dan dengan pertanyaan yang sama. Kemudian keduanya tersenyum dan pada saat itu muncullah Kao Kok Cu.

Di dalam siulian tadi, Kok Cu mendengar suara isterinya, maka dia pun cepat meloncat turun dan mencari. Dia merasa heran sekali melihat isterinya berhadapan dengan seorang pria dan ketika dia tiba di situ, segera dia mengenal Tek Hoat.

“Ah, kiranya engkau, Tek Hoat!” katanya.

Tek Hoat memandang wajah Kok Cu penuh perhatian. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan bahwa antara Tek Hoat dan Kok Cu sesungguhnya terdapat hubungan yang tidak asing lagi, akan tetapi sesungguhnya baru sekarang inilah Tek Hoat sempat mengenal dan memandang wajah Kok Cu, karena dahulu Kok Cu selalu memakai topeng yang amat buruk sehingga dia pun hanya dikenal sebagai Si Topeng Setan. Setelah memandang wajah suami Ceng Ceng itu dia menarik napas panjang.

“Ah, kiranya engkau adalah seorang yang gagah dan tampan, Topeng Setan!” katanya. “Aku girang sekali bahwa saudaraku ini memperoleh seorang suami hebat seperti engkau.”

Akan tetapi hanya sebentar saja Tek Hoat kelihatan gembira dengan pertemuan ini. Segera wajahnya muram kembali, apalagi karena dia teringat betapa keadaannya jauh dibandingkan dengan Ceng Ceng yang berbahagia dengan suaminya, sedangkan dia, sampai sekarang pun belum juga dapat mengetahui di mana adanya Syanti Dewi.

“Bagaimana engkau sampai tiba di sini?” tanya Ceng Ceng.

“Aku memang perantau yang bisa berada di mana saja. Akan tetapi kalian? Mau apa di sini?” Tek Hoat balas bertanya karena dia tidak suka menceritakan keadaan dirinya.

“Ah, engkau tidak tahu, Tek Hoat. Malapetaka besar menimpa keluarga kami,”

Kata Ceng Ceng dan dia lalu bercerita tentang keluarga Kao dan juga puteranya yang diculik orang dan ditawan di dalam benteng itu.

Kok Cu tidak sempat mencegah isterinya bercerita, apalagi dia merasa kurang enak karena dia maklum bahwa isterinya sangat suka kepada saudara tirinya itu. Dia melihat betapa Tek Hoat mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang mengeluarkan seruan kaget mendengar betapa orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, bahkan Im-kan Ngo-ok yang terkenal itu semua berkumpul di dalam benteng! Bukan tidak mungkin Syanti Dewi berada di situ pula sebagai tawanan, pikirnya. Dia tidak dapat memikirkan lain kecuali Syanti Dewi.

Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tek Hoat menegur,
“Kalau begitu, kenapa kalian tidak segera masuk dan menolong mereka yang tertawan?”

“Ah, kami sudah masuk, akan tetapi kami melihat betapa keluarga kami terancam, maka kami hendak menanti saat baik untuk menolong mereka,” jawab Ceng Ceng, akan tetapi jawaban ini seolah-olah tidak didengar oleh Tek Hoat. Dia lalu bangkit berdiri, dan berkata kepada suami isteri itu.

“Aku pergi dulu....!”¬

“Engkau hendak ke mana?” Kok Cu menegur.

“Aku akan mencoba masuk ke dalam benteng itu!”

“Tek Hoat, jangan....!” Ceng Ceng berkata. “Keadaannya amat berbahaya, engkau akan celaka di sana sebelum berhasil....“

“Aku tidak takut!” jawab Tek Hoat dengan sikapnya yang keras kepala.

Ceng Ceng merasa terharu sekali. Dia mengira bahwa Tek Hoat kini telah berubah menjadi seorang yang berwatak pendekar gagah, dan yang merasa penasaran mendengar tentang ditawannya Cin Liong dan keluarga Kao lainnya, dan bermaksud untuk nekat memasuki benteng dan menolong keluarga yang tertawan itu.

“Tek Hoat, tidak perlu engkau mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Keluarga kami terlalu banyak untuk dapat kau selamatkan seorang diri saja. Sebaiknya tunggu kesempatan dan kelak bersama kami bergerak.”

Sebetulnya, niat dari Tek Hoat itu amat cocok dengan niat di hati Ceng Ceng yang juga sudah tidak sabar lagi menanti kesempatan, dan ingin dia mengajak suaminya untuk bersama dengan Tek Hoat malam itu juga menyerbu benteng. Akan tetapi ucapan Tek Hoat sungguh tidak diduganya sama sekali.

“Aku harus mencari Syanti Dewi, sekarang juga!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari situ.

Ceng Ceng termangu-mangu, kemudian mengepal tinjunya dan merasa mendongkol sekali.
“Ah, kiranya dia hendak mencari Enci Syanti Dewi? Hemmm, tidak sempat kutanya dia mengapa dia meninggalkan Enci Syanti Dewi di Bhutan dan sekarang pura-pura ribut mencarinya, hemmm....“

Ceng Ceng marah dan mendongkol karena kecewa. Tadinya dia kira Tek Hoat mau membela keluarga suaminya, tidak tahunya pemuda itu sama sekali tidak memikirkan tentang keluarga Kao, dan keinginannya memasuki benteng itu tidak lain hanya untuk mencari Syanti Dewi.

Kok Cu maklum akan kejengkelan hati isterinya, dia merangkul isterinya dan berkata,
“Kasihan dia. Dia menderita tekanan batin yang hebat sekali, hal itu dapat kulihat dari wajahnya.”

“Hemmm, mungkin dia menjadi jahat lagi....“

Ceng Ceng berkata, membayangkan kembali cerita tentang ayah kandungnya, seorang manusia yang amat jahat! Dia merasa beruntung bahwa dia menjadi isteri seorang bijaksana seperti Kok Cu, karena kalau dia teringat akan pengalamannya dahulu, setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, mungkin saja dia pun menjadi seorang tersesat yang jahat, seperti mendiang ayah kandungnya. Dan tiba-tiba dia bergidik dan menyembunyikan mukanya dalam rangkulan lengan kanan suaminya.

**** 112 ****