FB

FB


Ads

Jumat, 05 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 111

“Sicu dan Li-enghiong, Ji-wi hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu ini adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan sumoinya ini adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa keluarga Kim Bouw Sin dihukum dan dibasmi karena Jenderal Kao, dan juga betapa Pangeran Liong Bin Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena Jenderal Kao. Semua orang menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah maka terjadi penculikan-penculikan terhadap keluarga Kao dan juga terhadap puteramu, Sicu. Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang yang buta oleh dendam dan sakit hati. Tidak, kami adalah orang-orang yang mementingkan perjuangan. Oleh karena itu, Sicu, maka sampai sekarang pun keluarga Kao dan puteramu masih dalam keadaan selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau tewas.”

“Koksu, engkau dan semua orang yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau Pangeran Liong bukan karena bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang panglima yang bertugas membasmi pemberontakan dan mereka itu adalah pemberontak-pemberontak. Kalau sampai mereka kalah dan tewas, hal itu tentu saja tidak boleh disalahkan kepada ayahku. Andaikata ayahku tewas dalam melaksanakan tugas, tentu aku pun tidak menaruh dendam pribadi kepada lawannya di medan perang! Oleh karena itu, sekarang aku datang bersama isteriku dan aku menuntut agar ayahku dan semua keluarga dibebaskan sekarang juga, untuk mana kami tentu akan berterima kasih sekali.”

“Hemmm, Kao-sicu, permintaanmu itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,” kata koksu. “Perjuangan kami belum selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar Jenderal Kao suka membantu kami sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil, tentu kami akan membebaskan semua, bahkan akan memberi ganjaran dan penghargaan atas jasa-jasa keluarga Kao kepada kami.”

“Koksu keparat! Hayo kau maju lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!” Tiba-tiba Ceng Ceng membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.

Akan tetapi Sam-ok atau Koksu Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak pengalaman. Dia tentu saja tidak jerih menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat kehadiran Si Naga Sakti Gurun Pasir di situ, dia tidak mau dipancing untuk bertanding satu lawan satu. Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang pun yang akan sanggup menandingi Si Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agaknya tidak akan menang.

“Li-enghiong, kami menghargai sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan bukan urusan pribadiku, melainkan urusan seluruh isi benteng. Kalau engkau dan suamimu hendak menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami semua berikut seluruh pasukan kami!”

Kembali Ceng Ceng merasa tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan kekerasan tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biarpun matanya masih berapi-api ditujukan kepada koksu.

“Baiklah, kami akan mundur dan kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat membebaskan keluarga kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang saja di antara keluarga Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat ini, maka Im-kan Ngo-ok yang bertanggung jawab dan kelak tentu akan berhadapan dengan kami! Camkanlah ini!”

Setelah berkata demikian, Kok Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan semua orang memandang dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu melangkah pergi diikuti oleh pandang mata mereka semua.

Melihat ini, Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah memandang dengan marah dan yang sudah mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang, cepat memberi aba-aba dan majulah dua puluh lima orang Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk tokoh-tokohnya yang berkepandaian, dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji, tokoh ke dua dari Kui-liong-pang yang kemudian keduanya menjadi pembantu-pembantu Hek-hwa Lo-kwi.

Hek-hwa Lo-kwi penasaran sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biarpun wanita itu lihai, namun dia sanggup melawannya, apalagi kalau dibantu oleh anak buahnya, biarpun di situ ada Si Naga Sakti!

Melihat Hek-hwa Lo-kwi dan anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti tenang saja, akan tetapi Ceng Ceng sudah mendamprat,

“Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan hidup! Mau apa kau menghadang kami?”

“Ha-ha-ha!” Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Kalian dua orang manusia sombong sudah memasuki lembah kami, tidak akan mudah keluar begitu saja!” Lalu kakek ini melambaikan tangan kepada para anak buahnya dan berkata, “Tangkap mereka!”

Kok Cu masih sempat berbisik kepada isterinya,
“Jangan membunuh!” dan isterinya yang sedang marah itu terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak mereka dan keluarga Kao berada di tangan musuh.

Ketika dua puluh lima orang itu menyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak maju dan terjadilah pertempuran yang amat luar biasa.

Yang mula-mula menubruk maju adalah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama dan kedua dari Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini sesungguhnya cukup lihai. Khiu Sek adalah seorang bertubuh kecil yang lihai sekali permainan cambuknya. Cambuk hitam bercabang di tangannya itu adalah senjatanya yang istimewa. Adapun Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Kerbau Belang, memiliki tenaga besar, tubuhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang istimewa pula, yaitu sebatang dayung panjang yang amat berat.






Dua orang tokoh Kui-liong-pang ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita. Mereka memang sudah mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak menyerahkan lawan berat itu kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri memilih yang lunak dan menyenangkan, yaitu Ceng Ceng. Maka dengan ganas dan sangat dahsyat, keduanya sudah menerjang Ceng Ceng.

Akan tetapi, apa yang terjadi benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka melihat dua orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan ternyata wanita itu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia menggunakan lengannya yang berkulit putih halus dan kecil itu untuk menangkis dayung, sedangkan sambaran cambuk itu didiamkannya saja.

Akan tetapi setelah cambuk menyambar dekat kepalanya, dia tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi menangkis sudah bertemu dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung, menariknya sehingga dayung bertemu cambuk dan dilibat oleh ujung cambuk.

Tentu saja dua orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik senjata masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja ketika kedua senjata mereka bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk melepaskan dayung, menggerakkan kedua tangan ke bawah dan tubuhnya meluncur ke bawah seperti hendak menelungkup.

“Plak! Plak!”

Kedua tangannya berhasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan jari-jari tangan terbuka, kemudian dia sudah berjungkir balik dan meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan dua orang yang mengaduh-aduh dan memegang paha yang terpukul tadi karena Ceng Ceng bukan menggunakan pukulan sembarangan saja, melainkan menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang yang amat kuat dan panas!

Memang berkat darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya (baca Kisah Sepasang Rajawali), hawa beracun di tubuhnya telah hilang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang pukulan beracun hilang pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang terkena pukulannya di paha itu merasa betapa bagian yang terpukul itu selain panas juga gatal-gatal dan mereka berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari.

Tentu saja semua orang menjadi terkejut. Kepandaian dua orang itu, biarpun bagi para tokoh sakti di situ, tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang kang-ouw, mereka telah termasuk orang-orang yang tangguh. Kini, dalam segebrakan saja mereka telah dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik itu.

Pada saat itu, Hek-hwa Lo-kwi telah menyerang Kok Cu. Seperti telah diketahui, Hek-hwa Lo-kwi belum lama ini telah menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya, yaitu ilmu pukulan beracun yang bernama Pek-hiat-hoatlek. Memang bekas pelayan dari Dewa Bongkok ini adalah seorang yang ahli tentang racun, dan ilmu pukulannya yang baru itu amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda lengan buntung itu adalah murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang dia telah menggunakan ilmu barunya itu!

Namun, dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu sudah amat tinggi, bahkan tidak lagi berselisih jauh dibandingkan dengan kepandaian gurunya sendiri! Maka, menghadapi serangan yang luar biasa itu, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap tenang-tenang saja dan beberapa kali dia mengelak karena dia sedang memperhatikan isterinya.

Ceng Ceng kini mengamuk seperti seekor singa betina. Dia menerjang ke kanan kiri, menghantam atau menendang siapa saja yang berdekatan sehingga gegerlah dua puluh lebih anggauta Kui-liong-pang itu. Terdengar teriakan susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi setelah terkena tamparan atau tendangan dari nyonya yang sedang marah itu.

Andaikata Ceng Ceng tidak ingat akan pesan suaminya, tentu mereka yang dirobohkannya itu akan tewas semua, termasuk dua orang tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan maksud suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar semua orang tahu akan kelihaian mereka berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga yang ditawan tidak akan mengalami gangguan.

Setelah melihat betapa isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu lalu mencurahkan perhatiannya terhadap lawannya. Dia harus memperlihatkan kelihaiannya karena dia maklum bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini selain dimaksudkan untuk mencegahnya keluar, juga untuk mengujinya dan semua mata dari Im-kan Ngo-ok tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan teliti.

Oleh karena itu, tiba-tiba pendekar sakti ini mengeluarkan suara melengking yang amat dahsyat, yang menggetarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat segera terguling roboh dan mereka yang kuat pun tergetar hebat sampai terguncang jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar itu meluncur ke depan seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut dan cepat dia menyambut dengan pukulan Pek-hiat hoat-lek yang dahsyat. Pendekar itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya mendorong.

“Desssss....!”

Tubuh Hek-hwa Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok Cu membantu isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang Kui-liong-pang sudah roboh dan kedua orang suami isteri itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam, di mana terdapat banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga itu pun diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng Ceng lewat.

Setelah melalui beberapa lapis tembok benteng yang berpintu gerbang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu gerbang paling luar dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu.

Setelah mereka jauh meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka berhenti dan Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri di atas rumput di bawah pohon sambil menangis!

Kok Cu berdiri memandang isterinya dan untuk beberapa saat lamanya dia membiarkan isterinya menumpahkan semua kedukaannya melalui tangis. Dia tahu betapa isterinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang hebat, yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan kini isterinya menangis karena guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga girang melihat bahwa puteranya itu ternyata masih hidup dalam keadaan sehat, akan tetapi berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk membebaskan putera mereka itu!

Tiba-tiba Ceng Ceng menghantamkan tangannya ke batang pohon di sampingnya.
“Braaakkkkk!” pohon itu tumbang!

“Kubunuh mereka semua! Kubunuh seorang demi seorang kalau sampai Liong ji mereka ganggu....!” teriaknya dengan kalap.

Kini Kok Cu merangkul isterinya dan berkata tenang,
“Mereka takkan berani, isteriku. Mereka justeru akan menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka takkan berani mengganggu anak kita.“

Ceng Ceng memandang wajah suaminya, kemudian mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas dan pingsan di dalam pelukan suaminya! Terlampau hebat kemarahan, ketegangan dan kekhawatiran selama ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat isterinya sehingga guncangan perasaan itu tidak sampai mengakibatkan hal yang buruk atas diri wanita itu.

Setelah Ceng Ceng siuman kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu berkata,
“Kita tentu saja dapat menyerbu ke sana dan mengamuk, akan tetapi apa artinya kalau akhirnya mereka bahkan membunuh keluarga kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik dan kesempatan itu baru akan tiba apabila Bibi Milana telah menyerbu benteng itu. Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi serbuan pasukan Bibi Milana kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan keluarga kita.”

“Akan tetapi, benteng itu sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi Milana untuk membobolkannya. Apalagi.... yang mengatur dan menjaga adalah.... adalah....” Tak sampai hatinya untuk menyebut nama mertuanya.

Kok Cu mengangguk-angguk.
“Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan mudah dilawan begitu saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya kalau ayah benar-benar hendak berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat keluarga celaka maka ayah sengaja pura-pura menyerah, akan tetapi tentu ayah mempunyai suatu rencana lain yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan menunggu, kiranya tidak akan lama Bibi Milana datang bersama pasukannya.”

Demikianlah, suami isteri pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok benteng, dan Ceng Ceng terpaksa menurut karena dia maklum bahwa pendapat suaminya itu memang tepat.

Akan tetapi, suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di dalam keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri menjadi makin rapat, makin dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa iba satu kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan hiburan yang setidaknya meringankan penderitaan batin masing-masing itu.

****

Barisan yang besar di bawah panji Puteri Milana itu bergerak dengan teratur dan tertib sekali memasuki wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada pasukan besar lewat dengan tujuan perang, sekali ini pasukan-pasukan berjalan tertib dan tidak pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran.

Biasanya, dusun-dusun yang dilalui oleh pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggauta pasukan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kekerasan. Hal ini adalah karena adanya disiplin yang kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan lagi oleh para pimpinannya, karena semua dewan pimpinan sendiri juga amat tertib.

Ketertiban di dalam kelompok atau golongan haruslah dimulai dari atas. Biasanya, yang di atas selalu menekankan dan menghendaki agar kaum bawahan berdisiplin dan tertib, sedangkan mereka sendiri yang merasa berkuasa tidak memperhatikan disiplin dan ketertiban diri mereka sendiri.

Hal ini adalah tak mungkin karena manusia itu condong untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu tentulah yang berada di atas. Kalau sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak korup? Dan untuk melenyapkan sifat buruk dari bawahan, yang di atas haruslah melenyapkan lebih dulu sifat buruknya sendiri. Kalau atasan bersih, barulah dia berhak dan dapat menunjukkan kekotoran bawahannya dan membersihkanya. Sebaliknya, kalau dia sendiri kotor, mana mungkin dia membersihkan bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa sungkan dan malu karena si bawahan tentu hanya akan mentertawakannya saja dan melawan dengan menunjuk kekotorannya pula.

Pasukan dari kota raja ini hanya mengalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang dipimpin oleh Gubernur Ho-nan, ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa pasukan itu selain amat besar dan kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana, sebelum bertempur nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat mereka menjadi lemah.

Hal ini tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana menggerakkan pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan hanya bertempur dengan setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri mundur, terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota raja. Akhirnya pasukan kerajaan memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan.

Juga di sini perlawanan amat tidak berarti karena belum apa-apa gubernurnya sudah ketakutan. Kesombongan-kesombongan yang diperlihatkan oleh para komandan ternyata tidak ada kenyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu. Yang nekat melakukan perlawanan, segera roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat sehingga akhirnya sebagian besar pasukan yang sebetulnya merupakan pasukan kerajaan pula yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh gubernur, menakluk dan menyerah. Sebagian lagi mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan diri meninggalkan Lok-yang menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat sekutunya dalam benteng yang kuat.

Setelah menduduki Lok-yang, Milana memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Dia memerintahkan untuk membiarkan anak buah pasukan berpesta makan minum sepuasnya, akan tetapi melarang siapapun mengganggu penduduk sehingga para penduduk Lok-yang yang sudah ketakutan karena membayangkan bahwa tentu mereka akan dirampok habis-habisan oleh tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima kasih.

Dengan suka rela para penduduk, terutama yang kaya, lalu mengeluarkan kekayaan mereka untuk menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang menang perang. Mereka tahu bahwa semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang terkenal itu. Dan anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan mereka dikagumi penduduk, para anggauta pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan melakukan pelanggaran, karena kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mereka! Dan kebanggaan ini pun mendatangkan suatu perasaan senang yang luar biasa.

Milana sendiri beristirahat di dalam kamarnya, di bekas rumah gedung gubernur. Ketika seorang pengawal memberi laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang menyusul, Milana cepat menyambut suaminya dengan hati girang. Mereka lalu bercakap-cakap di dalam kamar.

Kiranya begitu menerima berita isterinya, Gak Bun Beng menitipkan kedua putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kepada kepala dusun di lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul isterinya ke kota raja. Ketika mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah menyerbu ke Ho-nan, dia pun cepat menyusul dan malam itu dia dapat bertemu dengan isterinya di rumah Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh penghuninya yang lari mengungsi ke lembah.

Ketika Milana menceritakan kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li tentang kekuatan di lembah Huang-ho yang ternyata dipimpin oleh pangeran dari Nepal yang dibantu oleh banyak orang pandai, bahkan bentengnya dibangun dan dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang terpaksa menyerah karena semua keluarganya ditawan, Bun Beng menjadi terkejut bukan main.

“Aihhh, kalau begitu berbahaya sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah putera dari pangeran tua Liong yang memberontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan pemberontakan ayahnya?”

“Dan agaknya dia tidak kalah licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah dapat memaksa Jenderal Kao untuk membantunya, dan menurut Kian Bu, dia dibantu oleh orang-orang pandai yang berilmu tinggi, sedangkan Koksu Nepal yang memimpin benteng itu sendiri juga memiliki kepandaian hebat. Oleh karena itulah maka aku sengaja mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang dipimpin oleh Jenderal Kao, dan mendengar betapa banyaknya orang pandai di dalam benteng itu, terus terang saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jerih juga.”

Ketika Bun Beng mendengar bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, Ceng Ceng, sudah lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera mereka pun menjadi tawanan, mendengar pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik ke sana, dia lalu mengambil keputusan untuk mendahului pasukan.

“Sebaiknya aku pun pergi dulu menyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya benar bahwa orang seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi membantu musuh yang memberontak, betapapun dia tertekan dan betapa terancam pun keselamatan keluarganya. Dia bukanlah seorang lemah.”

Milana juga setuju dengan usul suaminya itu dan semalam itu Bun Beng bermalam di kamar isterinya dan suami isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling menasihati agar berhati-hati karena keduanya akan menghadapi bahaya dalam penyerbuan ke lembah itu.

Pada keesokan harinya, Bun Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia mendengar lagi penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao. Setelah berpamit dari isterinya, Bun Beng lalu berangkat, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu juga diatur oleh Milana untuk berangkat ke benteng di lembah itu.

**** 111 ****