FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 110

Pagi yang amat sunyi di tepi Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk di atas batu-batu besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu sebesar kerbau yang halus dan keputihan. Bagian tepi sungai ini sunyi sekali, karena jalan menuju ke situ tertutup oleh semak-semak belukar dan hutan-hutan yang lebat.

Sudah lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri itu berada di tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai tempat melewatkan malam ini dapat nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat. Mereka berdua bercakap-cakap.

Semenjak terjadinya peristiwa penyerbuan, kini tembok benteng itu oleh Pangeran Liong Bian Cu diperkuat penjagaannya, tidak hanya penjagaan di setiap pintu gerbang dan perondaan di sepanjang tembok benteng, akan tetapi juga di atas tembok dipasangi alat-alat rahasia, jebakan-jebakan dan juga banyak disembunyikan pasukan-pasukan panah dan orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata musuh.

Suami isteri ini telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Ceng Ceng sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi. Suaminya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang. Mengapa suaminya belum juga mau menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua berada di dalam benteng itu?

“Kalau menyelinap secara diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu gerbang. Apa sih sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita sudah berada di dalam, kita akan bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau mereka mau diajak bicara baik-baik, kita tuntut dibebaskannya seluruh keluarga, kalau mereka berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!”

Ceng Ceng berkata sambil duduk di atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah tembok benteng, kini memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak sabar lagi untuk lebih lama menanti.

Kok Cu menggeleng kepalanya.
“Isteriku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan semua keluarga terancam, amatlah tidak bijaksana kalau kita menggunakan kekerasan begitu saja. Memang tentu mudah bagi kita untuk menyerbu masuk, akan tetapi kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh, dan banyak pula terjaga oleh orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat membebaskan semua keluarga ayah itu? Sebelum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam keselamatan keluarga ayah, apa yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar. Kita menanti kesempatan baik, kalau ada di antara anggauta pasukan yang keluar dan dapat kita tangkap, kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan sehingga kita dapat me1akukan tindakan tepat.”

Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika Ceng Ceng mencurahkan perhatian, dia pun mendengar suara yang mencurigakan di sebelah belakang, dari dalam hutan kecil yang lebat itu.

Suami isteri ini masih duduk dengan tenang, akan tetapi waspada dan semua syaraf di tubuh mereka menegang. Keduanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok benteng itu memang amat kuat dan cermat sehingga agaknya kehadiran mereka telah diketahui oleh fihak musuh! Dugaan mereka ini ternyata benar segera terdengar suara sebelum orangnya nampak.

“Ha-ha-ha, Ngo-te, sungguh akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya dua orang laki-laki dan wanita muda di sini. Sepasukan orang saja cukup untuk menangkap mereka, mengapa mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini namanya menangkap dua ekor ikan teri menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!”

Lalu terdengar suara ke dua, suara orang yang agaknya malas bicara,
“Su-ko, kuku ibu jari perempuan itu untukku!”

“Ha-ha-ha, dia cantik juga, Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!”

Ceng Ceng dan Kok Cu masih duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat. Mereka berdua terkejut. Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepatnya, suami isteri ini maklum bahwa yang datang bukanlah orang-orang biasa, melainkan dua orang yang termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali, bukan tokoh-tokoh kang-ouw umum saja yang mampu bergerak seperti itu.

Maka suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran karena yang berdiri di depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk tubuhnya. Yang seorang amat jangkung sehingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah termasuk seorang pria yang tinggi, agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek jangkung itu!

Dan yang seorang lagi, yang kepalanya gundul, berpakaian hwesio, adalah seorang yang amat gendut akan tetapi juga amat pendek, begitu pendeknya sehingga paling-paling sampai di dada Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu jangkung dan seorang hwesio pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat berlawanan, yang seorang tinggi kurus dan yang ke dua gendut pendek.

Sebaliknya, Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su sama sekali tidak mengenal suami isteri itu, karena biarpun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan sebagai seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya jarang sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir.

Ketika melihat betapa cantiknya Ceng Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Sian-su dan dia sudah memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu jari tangan Ceng Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik itu.

“Su-ko, aku tidak tahan lagi. Kau lihatlah pertunjukan yang menarik!” kata si jangkung dengan suara serak.

Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa dia dengan cara sadis memperkosa wanita di depan Su-ok, kemudian mencabut kuku ibu jari wanita yang telah diperkosanya lalu dibunuhnya.

“Heh-heh-heh, senang sekali, aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?” tanya si gendut pendek kepada Kok Cu.

Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan dipaksa menyaksikan isterinya diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si jangkung. Akan tetapi Kok Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan apa-apa, juga Ceng Ceng hanya berdiri memandang si jangkung hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kilat dan diam-diam Ceng Ceng sudah mengerahkan tenaganya yang mujijat dan kedua tangannya yang berkulit putih halus itu tanpa diketahui orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengandung Ilmu Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)!

Tiba-tiba si jangkung melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya,
“Berhati-hatilah.”






Lalu suami ini malah menyingkir dari samping isterinya. Ceng Ceng berdiri dengan kedua kaki terpentang, sepasang matanya tidak pernah meninggalkan si jangkung yang memandang kepadanya dengan mata seperti terpejam. Setelah jarak di antara mereka tinggal kurang dari dua meter, si jangkung berhenti dan kedua mata sipit itu bergerak-gerak mengamati tubuh Ceng Ceng dari atas ke bawah, lalu dia mengangguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang melangkah dan tubuhnya bergerak, tahu-tahu ada dua lengan panjang sekali menyambar dari kanan kiri, menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng!

Ngo-ok yang jangkung itu tentu saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa wanita cantik yang menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan menyerah dan dapat dipeluknya.

Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini benar-benar kecelik sekali. Karena wanita cantik yang ditubruknya dengan menggunakan kedua lengan panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur, bahkan Ceng Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada dan lambung Ngo-ok!

“Wuuuttttt....!”

Melihat pukulan yang mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan itu, Ngo-ok terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan yang mengandung racun amat hebatnya. Tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini. Dia mengeluarkan suara teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya ditarik pula untuk melindungi tubuhnya.

“Duk! Dukkk!”

Kedua lengan Ceng Ceng dapat ditangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung terlempar ke belakang dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat itu, Ceng Ceng sudah melangkah maju pula dan melancarkan pukulan-pukulan saktinya.

“Aaahhhhh....!”

Si jangkung kaget setengah mati dan cepat dia sudah berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng yang menjadi agak bingung juga melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu.

Melihat ini, maklumlah Su-ok bahwa orang-orang muda yang disangkanya lemah ini ternyata adalah orang-orang pandai. Mengertilah dia kini mengapa koksu telah memerintahkan dia dan Ngo-ok untuk menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia pun sudah meloncat ke depan Kok Cu, tubuhnya berjongkok dan karena tidak ingin membuang waktu untuk segera merobohkan laki-laki berlengan buntung kemudian membantu Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah mempergunakan Ilmu Pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.

Angin pukulan dahsyat disertai bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi pendekar sakti ini bersikap tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat, tiba-tiba lengan kiri yang buntung, yang hanya tinggal lengan bajunya saja itu bergerak menyambar ke depan lalu bergoyang-goyang dan pukulan Katak Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong ke atas kepala Su-ok, mengancam hendak mencengkeram kepala yang botak itu!

Su-ok terkejut, cepat melempar dirinya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat dan menyerang lagi dengan pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu menerima pukulan itu dengan dorongan tangan kanannya. Pertemuan dua tenaga dahsyat itu hebat bukan main dan akibatnya, Su-ok terpental ke belakang dan dadanya terasa sesak!

“Tahan....!” katanya terengah. “Apakah.... apakah Sicu ini Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Mendengar pertanyaan ini, Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki buntung lengan kirinya itu. Kok Cu mengangguk.

“Bukankah kalian ini Su-ok dan Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm.... jadi kalian inikah yang telah menculik keluarga ayahku?”

Di dalam suara itu terkandung ancaman hebat dan sepasang mata itu kini mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam menjadi jerih sekali. Su-ok lalu berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu mengirim suara dari jauh untuk memberi tahu kepada koksu.

Juga Ngo-ok membantunya sehingga dua orang aneh itu hanya berdiri seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini.

Dugaan pendekar ini memang benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar bahwa si lengan buntung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak berani menyerang lagi dan segera mengirim berita kepada koksu melalui ilmu mengirim suara dari jauh. Tak lama kemudian, terdengarlah lapat-lapat suara koksu yang ditujukan kepada pendekar itu dan isterinya.

“Koksu Negara Nepal mengundang Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya untuk memasuki benteng lembah!”

Mendengar ini, Kao Kok Cu lalu mengangkat mukanya menghadap ke arah benteng, dadanya yang bidang itu mekar dan tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akan tetapi suara itu mengandung getaran hebat dan suara itu dapat mencapai tempat jauh sekali,

“Kami datang memenuhi undangan Koksu Nepal!”

Su-ok dan Ngo-ok saling pandang dengan muka pucat. Cara Naga Sakti itu mengeluarkan suaranya saja sudah menunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga sinkang yang jauh lebih kuat daripada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak seperti itu, menunjukkan kekuatan sinkang yang sukar diukur lagi berapa dalamnya! Untung bahwa mereka tadi tidak lancang terus menyerang karena keduanya maklum bahwa mereka bukanlah tandingan Si Naga Sakti dan isterinya ini.

“Heh-heh-heh, maafkan kami....heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari Gurun Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan....“

Kata Su-ok yang pandai bicara dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya cemberut saja karena untuk ke sekian kalinya kembali dia gagal memperoleh seorang wanita yang telah membangkitkan birahinya!

“Kalian jalanlah lebih dulu” kata Kok Cu dengan sikap dingin.

Dua orang kakek itu lalu berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan ginkang mereka untuk bergerak cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami isteri itu minta kepada mereka jangan terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka menoleh, mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal mereka berdua sudah berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka.

Karena mereka berjalan dengan pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah tiba di pintu gerbang. Di sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah biasa dan ketika melewati pintu gerbang yang terjaga oleh pasukan yang kuat, Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada dan berjalan dengan lagak dua orang panglima yang menang perang atau dua orang yang telah berhasil “menawan” seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan Kok Cu dan isterinya untuk berjalan di depan.

Kok Cu dan Ceng Ceng juga tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan terjaga kuat dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu berlapis-lapis dan luar biasa kuatnya. Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk menyerbu tempat ini, apalagi kalau penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya.

Juga nampak pasukan yang berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang dan pasukan panah. Di atas tembok juga berjajar pasukan-pasukan yang siap menangkis setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu menahan napas.

Hebat memang penjagaan di benteng ini dan dia merasa lega bahwa pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana. Biarpun demikian, dia masih menyangsikan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol benteng yang sedemikian kuatnya ini. Lalu dia terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya yang berdiri di belakang semua ini! Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mampu menciptakan benteng sekuat dan sehebat ini? Ah, tentu ayahnya dipaksa, dan karena keluarga ayahnya menjadi tawanan, maka ayahnya lalu menurut saja untuk menyelamatkan keluarganya! Benarkah dugaannya ini? Dia masih ragu-ragu. Tak mungkin ayahnya mau membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian ayahnya.

Suami isteri pendekar itu makin terkejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam benteng, di antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lokwi, tiga orang tua yang mereka duga tentulah Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok karena mereka pernah mendengar bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok. Masih banyak pula orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka kenal. Mereka semua itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakaian sebagai seorang pembesar, yang bertubuh raksasa berkepala botak, mengenakan mantel merah dan pakaiannya mewah. Inilah tentu Koksu Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian.

Ketika melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu bertanya,

“Apakah kami berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?”

Ban Hwa Sengjin, yaitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura dengan sikap hormat. Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar lengan buntung ini. Sejak tadi dia sudah memperhatikan dan memang pria berlengan buntung sebelah ini patut menjadi seorang pendekar sakti. Dia masuk bersama isterinya dengan tangan kosong dan suami isteri itu melangkah dengan gagahnya, tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya mengagumkan hati Sam-ok, akan tetapi iuga mencengangkan semua tokoh yang sebelumnya memang sudah gentar mendengar nama Naga Sakti Gurun Pasir itu.

“Selamat datang di benteng kami, Sicu,” kata koksu. “Tidak salah perkiraan Sicu, saya adalah Koksu Nepal....“

“Hemmm, kalau begitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok?”

Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya karena dia melihat betapa Im-kan Ngo-ok berdiri berjajar, di sebelah kanan koksu itu nampak nenek Ji-ok dan kakek Twa-ok, sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di sebelah kiri koksu.

“Li-enghiong berpemandangan awas benar!” kata koksu memuji. “Tidak salah, selain sebagai Koksu Nepal, saya juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi melihat sendiri betapa kuatnya keadaan kami, dengan bantuan semua tokoh yang pandai dari dunia kang-ouw.”

“Apa maksudmu mengundang kami?” Kok Cu bertanya singkat dan tegas.

“Sicu, kami atas nama Pangeran Bharuhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu berdua, mengajak Sicu berdua untuk bekerja sama....“

“Hemmm, apa hubungannya Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pangeran dari Nepal membuat benteng di sini? Apakah Pangeran Nepal berhubungan dengan mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?”

Semua orang saling pandang. Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian dan keangkuhan. Akan tetapi koksu tersenyum.

“Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran Bharuhendra adalah juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yang hanya melanjutkan cita-cita besar ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk membentuk suatu pemerintahan yang kokoh kuat dan bijaksana. Banyak orang yang sudah membantu perjuangan ini....”

“Hanya pengkhianat-pengkhianat yang mau membantu pemberontakan!” cela Ceng Ceng.

“Kami tidak sudi bekerja sama dengan pemberontak!” sambung Kok Cu.

“Sicu, ingatlah. Apakah Sicu masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu sewenang-wenang, memecat dan mengusir seorang yang berjasa besar seperti ayahmu, Jenderal Kao itu? Ingat, bahkan ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami. Lihat benteng ini, ayahmulah yang membangun! Lihat pasukan-pasukan itu. Ayahmulah yang membentuk dan melatih sehingga keadaan kami begini kuat.”

“Tidak! Ayahku kalian paksa maka sudi melakukan semua ini!” bentak Kok Cu marah dan kini matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang menjadi gentar sekali. “Dan pula, siapa percaya bahwa ayahku berada di sini membantu kalian?”

Dengan ucapan ini Kok Cu memang hendak melihat bukti bahwa ayahnya masih dalam keadaan selamat.

“Sicu agaknya belum percaya kepada kami? Lo-mo, harap kau panggil Jenderal Kao ke sini!”

Mendengar perintah ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung Kok Cu berdebar tegang. Tak lama kemudian Hek-tiauw Lo-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal Kao Liang.

Kok Cu membalikkan tubuh dan memandang kepada ayahnya, sukar dibayangkan bagaimana perasaan hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya yang tampan dan keras itu tidak terbayang sesuatu. Ceng Ceng juga memandang kepada ayah mertuanya dengan muka berubah agak pucat, akan tetapi juga wanita ini yang sudah pandai menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa.

Agaknya Jenderal Kao itu tidak diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia dipanggil. Tadinya dia berjalan dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw Lo-mo menuju ke tempat itu. Akan tetapi begitu dia melihat puteranya itu, tiba-tiba langkahnya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke arah wajah Kok Cu, wajahnya berubah pucat sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, membelakangi puteranya itu untuk menyembunyikan air mata yang keluar dari sepasang matanya.

Dia tidak mau dilihat puteranya mengeluarkan air mata, akan tetapi kakek ini tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat puteranya karena berbagai perasaan mencengkeram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga malu bahwa puteranya tentu telah melihat, mendengar betapa dia kini telah menghambakan diri kepada pemberontak! Lalu dengan langkah perlahan dan kepala menunduk, Jenderal Kao pergi lagi meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi.

Kok Cu mengerti dan merasa terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayahnya, dan dia tahu pula bahwa ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak ingin melihat keluarganya tersiksa atau terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu itu, Orang Jahat Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu tidak segan-segan melakukan apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya dengan jalan mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka setelah ayahnya pergi dan lenyap di tikungan, dia lalu membalik dan menghadapi lagi koksu dan para pembantunya dengan sinar mata penuh tantangan.

“Koksu, engkau telah berhasil memperdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu dengan ancaman keluarga ayah. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat membujuk aku untuk membantu pekerjaanmu yang terkutuk ini!”

Katanya dengan suara tenang dan tegas dan di dalam suara itu saja koksu ini telah mengerti benar bahwa memang tidak mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan teguh seperti Naga Sakti Gurun Pasir itu.

“Apa pun yang kau tuduhkan, kenyataan adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah bekerja sama dengan kami,” kata Koksu Nepal. “Oleh karena itu sekali lagi, kami harap agar engkau dan isterimu suka bekerja sama dengan kami, Sicu. Andaikata tidak secara suka rela, tentu engkau akan melakukannya dengan bijaksana, melihat keadaan yang tak mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong, kalian lihat siapakah yang di sana itu!”

Koksu Nepal itu menuding ke belakang dua orang suami isteri itu yang segera membalikkan tubuhnya memandang.

Hampir saja Ceng Ceng mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tentu akan turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini bergerak. Juga Kok Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak ketika dia melihat puteranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa putera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula!

Sekarang mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh keluarga, termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki senjata yang amat ampuh dan kuat untuk memaksa ayahnya melakukan apa pun juga. Betapapun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa artinya pengorbanan ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda dan aib yang dilakukannya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya. Mengapa ayahnya tidak melihat hal ini?

“Ayah....! Ibu....!”

Cin Liong berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak itu. Akan tetapi dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya. Seperti diremas-remas rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak terbang dia mendekati puteranya, mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia merasa betapa lengannya dipegang oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya dan dia menelan ludah lalu memandang kepada puteranya dengan batin yang lebih tenang.

“Cin Liong, kau tenanglah dan jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat membawamu pulang!” kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak mengandung kekhawatiran sehingga semua orang yang menyaksikannya menjadi kagum bukan main.

Koksu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin Liong pergi lagi, akan tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan berkata lantang,

“Ayah, yang menculikku adalah laki-laki berambut keemasan dan wanita baju hijau itu!”

Anak itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki dan wanita yang berdiri tidak jauh dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek iblis itu sudah memondong dan menariknya pergi dari situ.

Namun teriakan Cin Liong itu cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan bulat-bulat kedua orang itu sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga.

“Kenapa kalian menculik puteraku? Kenapa?” bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi-api.

Baik Liong Tek Hwi maupun Kim Cui Yan tidak menjawab, hanya memandang kepada koksu karena mereka tahu bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini hanyalah koksu.