FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 109

Puteri Milana menarik napas panjang dan memotong,
“Aihhh, demikianlah memang kehidupan orang-orang gagah dan orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh dan sewaktu-waktu tentu ada saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita. Sungguh aneh sekali, siapa orangnya yang begitu berani menculik keluarga yang demikian banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian dari Gurun Pasir! Sungguh berani mati sekali!”

“Bukan itu saja, Bibi,” kata Ceng Ceng. “Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan menceritakan bahwa ayah mertuaku dan adik Kok Tiong juga terpaksa pergi mengikuti musuh karena mereka membawa bukti bahwa keluarga Kao telah mereka tawan.”

Lalu Kok Han menceritakan kembali pengalamannya kepada Milana yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu berkata kepada Milana, suaranya sungguh-sungguh.

“Sebetulnya, urusan keluarga kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani mengganggu Bibi yang sudah cukup repot untuk menanggulangi para pemberontak dengan tugas Bibi yang mulia itu. Bahkan kami sendiri, mendengar akan adanya usaha pemberontakan, tanpa diminta tentu akan membantu Bibi sekuat tenaga, kalau saja tidak ada urusan pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa ada pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau memang para penculik itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka menawan semua keluarga, tidak membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan keadaan lembah itu sungguh mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi.”

Milana mengangguk-angguk.
“Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu. Setelah aku memimpin pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan menyelidiki ke lembah itu.”

“Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha mulia Bibi itu karena kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik saya Kok Han ini kiranya akan dapat menyumbangkan tenaganya, mewakili ayah untuk membantu Bibi menghadapi para pemberontak.”

Kok Han yang memang sebetulnya telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah,

“Semenjak muda ayah telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela negara, maka karena kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah untuk membela negara, Bibi Milana. Harap bantuan saya yang tidak berharga ini dapat diterima.”

Milana memandang kagum dan mengangguk-angguk.
“Keluarga Kao memang terkenal keluarga gagah perkasa dan setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali istana tidak sadar akan hal ini dan tenaga sehebat itu kini dihentikan dan dikeluarkan dari istana. Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami.”

Setelah meninggalkan Kok Han bersama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana menghadapi pemberontak, Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja, menuju ke lembah untuk melakukan penyelidikan lebih dulu.

Mereka sengaja meninggalkan Kok Han di kota raja bersama Milana, bukan hanya agar memberi kesempatan kepada adik itu untuk ikut membela negara menghancurkan pemberontak, akan tetapi juga karena mereka berdua akan lebih leluasa untuk melakukan penyelidikan berdua saja, mengingat bahwa tingkat kepandaian Kok Han belum dapat diandalkan untuk menghadapi lawan-lawan yang tangguh.

Kok Han lalu ikut bersama Milana untuk menyusun dan menggembleng pasukan-pasukan yang akan dipimpin untuk menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal Kao ini oleh Milana diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana sengaja melaporkan tentang putera Jenderal Kao yang membantu ini dan pangeran mahkota menerima laporan dengan girang.

“Memang ayahanda kaisar lemah sekali, mendengarkan omongan dan bujukan pembesar-pembesar khianat sehingga Jenderal Kao yang gagah perkasa menjadi korban. Kalau saja tidak terjadi hal itu, kalau saja Jenderal Kao masih bertugas di sini, kiranya pemberontakan itu tidak akan sampai berlarut-larut dan sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat. Sekarang puteranya ikut mewakili ayahnya membantu, sungguh menggirangkan hatiku!” kata pangeran itu.






Beberapa hari kemudian, Milana sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah bersiap-siap untuk memimpin pasukannya, secara tidak terduga-duga muncullah Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li!

“Enci Milana....!” begitu menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu berseru dengan suara girang sekali karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya itu.

Sejenak Milana tertegun, memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di depannya itu. Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari kursinya, berlari menghampiri pemuda itu.

“Bu-te....! Kian Bu.... benar-benar engkaukah ini....?”

“Enci Milana....!”

Milana merangkul adiknya, mereka saling berangkulan menumpahkan rasa rindu masing-masing. Enci dan adik sekandung ini saling pandang dan di kedua mata Milana nampak air mata membasahi matanya.

“Kian Bu.... kau.... kenapakah kau? Rambutmu ini....“

Kian Bu tersenyum dan melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan.
“Enci, lupakah Enci bahwa rambut ayah juga putih semua!”

“Tapi.... tapi ayah....“

Milana sudah mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena penderitaan hati yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah dia akan keadaan adik kandungnya ini, tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu dengan Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti ditusuk rasanya dan kembali dia melangkah maju dan merangkul leher adiknya sambil memejamkan mata agar jangan sampai air matanya keluar.

“Enci yang baik, apakah buruknya rambut putih?”

Kian Bu berkata untuk menghibur hati encinya, akan tetapi kata-kata itu bahkan dirasakan seperti menikam hati wanita perkasa itu.

“Aihhh, sungguh mengharukan sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang mencinta dan adiknya....“

Mendengar suara wanita yang nyaring dan seperti mengejek ini, Milana cepat melepaskan rangkulannya dan memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya datang bersama seorang dara berpakaian hitam yang amat cantik, akan tetapi pertemuannya dengan adiknya itu membuat dia lupa kepada dara itu dan kini setelah dara itu mengeluarkan suara yang demikian mengejek, dia cepat memandang dengan alis berkerut, sinar matanya tajam menyambar dengan penuh selidik kepada dara yang berdiri dengan sikap tenang dan lagak yang angkuh itu.

Memang Hwee Li, dara itu, marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang demikian mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia, seolah-olah dia tidak ada di situ! Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek tadi.

Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa artinya takut, apa artinya sopan santun. Biar di dalam istana sekalipun, di depan kaisar sekalipun, dia akan mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya melalui mulut tanpa sungkan-sungkan dan ragu-ragu lagi.
“Siapakah dia ini?”

Milana bertanya, Kian Bu yang juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat memperkenalkan gadis itu kepada encinya.

“Enci, dia ini adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo....“

“Ehhh....? Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kau ajak dia ke sini, Bu-te?”

Milana menjadi merah mukanya dan matanya melotot memandang kepada Hwee Li, siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu.

“Dia.... dia bukan musuh, Enci, bahkan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko. Dia adalah sahabat baikku, Enci, dan dia bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, maksudku bukan anak kandungnya, hanya anak angkat....“

“Anak angkat pun bukan, bahkan tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu kandungku!” Hwee Li melanjutkan.

Agar jangan menimbulkan salah sangka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu cepat-cepat menceritakan semua hal mengenai Hwee Li kepada encinya, betapa dia pernah tertawan di dalam benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia menceritakan tentang keadaan di dalam benteng lembah.

Dalam penuturan ini, Hwee Li yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga menambah cerita Kian Bu dan setelah bercakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah seorang dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pemberani dan tidak suka untuk berpalsu-palsu dengan sopan santun buatan.

Ketika mendengar keadaan di dalam benteng lembah, terkejutlah Milana. Betapa benteng itu dibangun oleh Jenderal Kao yang dipaksa karena seluruh keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga tertawan di lembah dan mereka telah gagal dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Syanti Dewi.

Akan tetapi yang paling mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi benteng amat kuat itu. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian Cu, keturunan dari Pangeran Liong Khi Ong yang memberontak, kini mengumpulkan orang-orang sakti dan memaksa Jenderal Kao membentuk barisan amat kuat di benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa keadaannya benar-benar amat gawat.

“Ah, sungguh celaka! Kiranya keturunan dua orang Pangeran Liong yang memberontak itu telah menimbulkan pemberontakan pula yang lebih berbahaya, Karena benteng itu didirikan di antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya menjadi lebih berbahaya daripada pemberontakan kedua pangeran Wi beberapa tahun yang lalu. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga baru saja datang melapor, maka sebaiknya kalian berdua juga cepat pergi menyusul mereka, membantu mereka yang menyelidiki lembah. Aku akan mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan untuk menaklukkan Gubernur Ho-nan karena dari sanalah sumbernya tenaga bantuan kepada para pemberontak.”

Kian Bu dan Hwee Li tidak lama tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk kembali ke lembah, untuk membantu Kok Cu dan Ceng Ceng karena mereka pun maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, membutuhkan bantuan orang-orang sakti dan juga membutuhkan serbuan pasukan yang kuat untuk dapat menghancurkan pemberontakan-pemberontakan dan juga menyelamatkan semua orang yang tertawan di situ.

Setelah dua orang muda itu pergi, Milana lalu mengirim utusan cepat-cepat memberitahukan kepada suaminya tentang keadaan yang berbahaya itu. Dia menulis surat kepada suaminya, menceritakan semuanya dan mengharapkan suaminya untuk turun tangan pula membantu, agar suaminya langsung menuju ke lembah karena dia hendak memimpin pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu.

**** 109 ****