FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 108

Kita tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu, pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu.

Seorang pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda ini kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso.

Ketika dia memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya.

Masuknya pemuda ini ke rumah makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus, namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin.

Akan tetapi, orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya.

Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman.

Semua ini dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa.

Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya.

Dia sama sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu.

Agaknya enam orang itu memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman, kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda itu lalu melangkah keluar rumah makan.

Pada saat dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih dengan nada suara mengancam,

“Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan ikut bersama kami!”

Pemuda itu bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang diculik orang.

Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan berita penangkapan atas dirinya itu.

Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau. Saking khawatirnya karena melihat betapa keluarganya yang terculik secara aneh masih belum diketahuinya nasibnya dan kini bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya dengan kembali ke gua singa.

Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya. Baru setelah enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa dia berada di tempat yang berbahaya!

Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biarpun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam dan suara tenang dia menghampiri mereka dan berkata,

“Siapakah kalian? Apa sebabnya kalian hendak menangkapku?”

“Tidak perlu banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara dengan majikan kami,” kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya bengis sekali.

Kok Han mengerutkan alisnya, sikapnya masih tenang.
“Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau aku tidak sudi menyerah?”

“Bocah sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!” bentak si muka hitam sambil meraba gagang goloknya, sikapnya keren sekali.

Kini Kok Han menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya, dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apalagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak.

“Penjahat-penjahat hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apalagi terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!”

Dia berseru dengan keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke depan. Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu daripada menghadapi serangan pemuda itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas tanah.






Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat. Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang dan biasa seperti setiap kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja. Tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang menonton.

Biarpun dua orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang, namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh pemuda ini sehingga jatuh bangun.

Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri.

Namun Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya.

“Tahan....!”

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu. Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima tua yang menjadi musuh besar ayahnya karena ayahnya pernah membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat!

Dia maklum bahwa pencampur tanganan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek.

“Hemmm, kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Eh, bocah she Kao, di mana adanya ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?”

Tentu saja Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat,

“Kakek tua bermulut busuk! Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!”

Memang inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia lalu berkata keras,

“Ah, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biarpun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat, kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak pula dengan menghina seorang panglima?”

“Manusia she Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?” Kok Han kembali membentak, makin marah.

“Cu-wi sekalian mendengar betapa bocah ini menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!”

Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok Han!

Kao Kok Han maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi. Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi.

Maka begitu melihat tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah pundaknya, dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu.

“Ehhh!”

Kok Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu, sambil tertawa kakek itu sudah menendang. Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget, dia terpaksa menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah mencabut pedangnya.

Kakek itu memandang sambil tersenyum lebar.
“Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh orang? Nah, majulah!”

Hati yang diliputi kedukaan dan kekhawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini menantangnya, biarpun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan main.

Orang yang marah lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang yang dibencinya. Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang.

“Tar-tar-tarrr....!”

Tiga kali ikat pinggang cambuk itu meledak dan pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya, malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil mengusap pangkal lengan kanannya yang berdarah dan juga pundaknya yang berdarah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main lihainya permainan cambuk kakek itu!

Panglima Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya semenjak rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami penurunan pangkat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao.

Akan tetapi karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat berbuat apa pun juga. Kini, dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai pengganti Jenderal Kao seenaknya karena bukankah banyak saksinya betapa pemuda itu menghinanya?

Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena mempertahankan kehormatan masing-masing! Dan dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang hendak memberontak! Kalau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap Jenderal Kao Liang!

“Ha-ha-ha, bocah pelarian sombong! Bocah macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah tujuh turunan tidak akan berani melawanku lagi, baru aku akan mengampunimu! Tar-tar-tarrr!”

Kok Han cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambukan ke tiga mengenai lengan kanannya yang memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak melepaskan pedangnya, apalagi harus berlutut minta ampun!

“Manusia hina, lebih baik seribu kali mampus daripada menyerah kepada seorang pembesar durna macam engkau!”

Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor harimau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi.

“Tar-tar-tar-suuuuuttttt....!”

Karena jari-jari tangannya yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergelak dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah!

Kok Han terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas tanah!

“Tar-tar-tarrr!”

Cambuk itu kini meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat. Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan.

Melihat kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas, sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar cambuknya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung cambuknya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak.

Akan tetapi, begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk menotoknya, tiba-tiba cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot, akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu telah dipegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah belakangnya.

Wanita itu paling banyak berusia dua puluh empat tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut dan wajahnya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan api.

“Siapa kau? Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan Panglima Chang?” bentaknya dan sekali lagi dia mencoba membetot cambuknya.

Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu!

Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan tangan wanita itu.

“Plakkk!”

“Ahhh!”

Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah gerakan dan menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangannya menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!

“Jahanam busuk, berani kau mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu, akan tetapi biarlah kuambil dulu kedua telingamu!”

“Tar-tar-tarrr!”

Cambuk itu meledak-ledak di udara ketika diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah bukan main.

“Bangsat perempuan, engkau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah mencabut pedangnya.

Akan tetapi, wanita cantik itu menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah seperti kilat cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.

“Prattt! Aduhhhhh....!”

Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap telinganya. Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi!

“Dan sekarang telinga kananmu!” Wanita itu membentak dan kembali cambuknya menyambar.

Chang-ciangkun sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan main, dan kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat saja, ujung cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar-nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan.

“Prattt! Aughhhhh....!”

Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk menggunakan tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah bercucuran dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus.

Cambuk itu masih meledak-ledak di udara.
“Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu kusayat hidungmu?”

Wanita cantik itu mengancam dengan suara bengis. Mendengar ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa nyawanya berada di tangan wanita itu.

“Sudah, isteriku, jangan bunuh dia!” tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia menarik napas panjang dan membuang cambuknya.

“Twako....! Twaso....!”

Kok Han berseru dengan girang bukan main. Tadi ketika dia melihat twasonya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan menghajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa girang bukan main. Kini melihat munculnya kakaknya, tentu saja dia amat girang, melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil mereka.

“Mari kita pergi dari tempat ini,” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan tanpa mempedulikan lagi kepada Panglima Chang yang masih berlutut sambil menangis, dan para penonton yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya bermalam.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya, yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pimpinan Puteri Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan.

Mereka mulai melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang. Tentu saja Nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu.

Setelah mereka tiba di rumah penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka dan dia cepat memberi obat kepada adiknya dan Kok Han lalu berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan di lembah.

“Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak ipar ke dua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah.”

Kao Kok Cu mengepal tinjunya.
“Mari kita serbu ke sana!” teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi.

Anak mereka diculik orang belum juga berhasil mereka temukan, sekarang keluarga suaminya semua ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apalagi dia pernah menjadi murid dari Ban-tok Mo-li (baca Kisah Sepasang Rajawali), maka begitu kini dilanda duka yang bertubi-tubi, kekerasan hatinya pun muncul kembali sehingga dia memberi hajaran yang ganas sekali kepada Chang-ciangkun tadi.

Akan tetapi Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biarpun hatinya juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan nada suara halus dan tegas,

“Kita pergi menghadap Puteri Milana lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang mencurigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.”

Maka pada hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentaranya yang hendak dipimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Girang sekali hati Puteri Milana ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng.

“Kau.... Ceng Ceng....?” seru puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu. “Akan tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?”

Berjumpa dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang ramah, hampir saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan.

Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka tidak patutlah kalau sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.

“Ah, dan engkau adalah Kao-taihiap yang dulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!” kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang menimbulkan rasa kagum di hatinya itu.

“Paduka terlalu memuji,” kata Kao Kok Cu. “Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang membawa berita tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami mengambil keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk....“

“Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah keponakanku, maka engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak saja. Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng.”

Melihat sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga tentang putera mereka yang juga lenyap diculik orang.