FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 107

Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.

“Cusss....!”

Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu!

Tentu saja setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.

“Wirrrrr....!”

Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu!

Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu benar-benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang!

“Siapakah engkau?” bentaknya.

Suma Han menarik napas panjang.
“Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,” jawabnya tenang.

“Kau.... rambutmu putih, kaki kirimu buntung kau.... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....?” Ji-ok berseru kaget bukan main.

“Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?”

Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok.

Nama lima orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik ke Dua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik ke dua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang ke dua saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apalagi orang yang pertama!

Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan.

“Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!” kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus.

Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di atas pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau.

Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata,

“Sobat, apakah engkau hendak bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!”

Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biarpun dia bersikap lembut dan bersuara halus, namun di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali.

Biarpun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawan sebelum berhadapan secara langsung!

Ketika dia mendengar pendekar itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa jantungnya berdebar dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah burung rajawali di atas itu membuyar. Maka dia terkejut dan cepat menengok, memandang ke arah pendekar itu ketika mendengar pendekar itu bicara kepadanya. Dan pada saat itu, sehabis ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar suara sayap burung dan ketika dia memandang kembali ke depan, dia melihat seekor rajawali sudah terbang meluncur hendak menyambarnya!

“Ha-ha-ha, burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?” katanya dan dia cepat menggerakkan kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya, dengan tubuh agak membongkok.

Burung rajawali yang sedang terbang itu, tertahan terbangnya dan biarpun dia menggerak-gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, namun burung itu tetap saja tidak mampu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali yang tidak nampak!

“Ha-ha-ha, burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!”

Kakek bermuka gorilla itu menggerak-gerakkan jari tangannya ke arah burung yang tidak mampu terbang pergi dan benar saja beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan sayapnya jatuh berguguran ke bawah.

Pada saat itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan mereka lupa akan takutnya.






Tiba-tiba Ji-ok berseru,
“Eh, Twako, apa yang kau lakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau telah dipermainkan orang!”

Mendengar ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkangnya dan mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah melemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!

“Hemmm....!”

Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu ditahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andaikata burung rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu rajawali itu sudah tewas!

Pada saat Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka. Keduanya terkejut bukan main. Bagaimana mungkin seorang berkaki buntung sebelah dapat bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah mempergunakan kesaktiannya untuk menghadapi mereka.

Ketika mereka berdua menoleh, ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni dusun, membelakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat menjura dengan hormat ke arah Suma Han.

Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia harus melindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar.

“Aih, sudah puluhan tahun kami mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es dan ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak muncul di dunia kang-ouw, sekarang begitu muncul telah memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak dipertunjukkan ke tempat yang keliru?”

Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguhpun dia telah terpedaya.

Suma Han hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh.
“Aku pun telah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh mengherankan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang tersohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan binatang-binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak mencelakai burung rajawali?”

“Wah, bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?”

Twa-ok menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, tiba-tiba ketika dia mengangkat kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han!

Sejak tadi memang Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan, menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu dengan ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang.

Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, menggerakkan Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu. Tongkat di tangan kiri Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tongkat di tangan kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin!

Perlu diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah mencapai tingkat yang hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin.

Orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka merasa betapa ada hawa yang panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka. Dan ketika mereka berdua mengerahkan tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han mengeluarkan suara menggetar dari dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget.

Kiranya, begitu mengeluarkan suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas.

Kedua orang datuk kaum sesat itu terkejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Batu yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya ujung tongkatnya menumbuk batu.

“Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali-kali untuk bermusuhan dengan siapapun juga, melainkan untuk mencari putera-puteraku dan mengajak mereka pulang. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan orang-orang menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!”

Ucapan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya, maka cepat mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga ketika mereka memandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan menimbulkan rasa jerih di dalam hati mereka.

Twa-ok bukan seorang bodoh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi pertandingan, belum tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ, tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang dan mengeroyok.

Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum tiba saatnya untuk mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan seorang tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian hormat yang wajar.

“Maaf, maaf, kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!” Dia mengangguk-angguk. “Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi kalau Taihiap bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es.”

Mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik.
“Siluman Kecil? Siapa yang kau maksudkan?”

“Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu? Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biarpun usianya masih muda namun rambutnya sudah putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?”

Suma Han hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di dunia kang-ouw Suma Kian Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut puteranya itu telah menjadi putih semua!

“Dia tidak mungkin mau pulang setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara cantik jelita....”

Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia memperhatikan wajah pendekar itu. Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak “membaca” keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya.

“Kalau kau hendak memberi tahu, lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan keterangan apa pun darimu, Twa-ok.”

Wajah kakek bermuka gorilla itu menjadi merah karena malu.
“Dia kemanapun berdua dengan Nona Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka itu saling mencinta.... ha-ha-ha, begitulah orang muda.”

Mendengar ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah bidikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak.

“Twa-ok, mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!” Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok menggeleng kepalanya.

“Ji-moi, engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah, akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang dusun itu.”

Kakek bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh kepala dusun itu, lalu menjura sambil berkata,

“Kami mohon maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang sudah hidup serba kekurangan. Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga delapan ekor lembu ini....“

Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletakkannya di atas batu dekat bangkai-bangkai lembu.

“Dan daging-daging lembu ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta.”

Dia lalu menghampiri bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut-perut lembu yang gemuk.

“Lembu gemuk, daging lezat....“ katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuknya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok, “Ji-moi, hayo kita pergi!”

Tanpa pamit lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang telah dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi orang-orang dusun itu apabila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu menyerang mereka.

Melihat kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja lembu-lembunya diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup banyak untuk pengganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai-bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan!

Dan daging delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging lembu! Maka dia lalu berseru,

“Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan-sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!”

Para penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twa-ok tadi menaruh beberapa potong uang perak.

“Jangan sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang antara mereka dengan bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu.

Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka monyet, ternyata malah orang-orang yang amat baik, karena biarpun telah membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi selain lembu-lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya yang akan merampas atau merampok uang dan daging lembu itu!

“Orang tua, apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?”

Kepala dusun bertanya dan dia sudah memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah mempersiapkan senjata mereka. Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apalagi menghadapi kakek berkaki buntung sebelah ini!

Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung ini dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada seorang pun yang mengetahui, dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang biasa saja.

Ditegur seperti itu, Suma Han menarik napas panjang.
“Ah, kalian tidak tahu akan bahaya yang mengancam nyawa kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan tewas. Dan bangkai-bangkai lembu itu pun telah mengandung racun.”

Semua orang terkejut akan tetapi tidak percaya.
“Bohong.... bohong....! Dia ingin memiliki sendiri semua itu!” terdengar mereka berteriak-teriak.

Suma Han melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas cabang pohon yang berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu berkata,

“Kalian lihatlah sendiri!”

Dia menggunakan tongkatnya mencokel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor burung gagak cepat menyambut daging itu dan memperebutkannya. Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung itu tiba-tiba berkaok nyaring lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah, berkelojotan dan mati!

Semua orang terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka pucat.

“Daging lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang berada di situ.”

Kini kepala dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar, kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam lubang besar dan menutupnya dengan tanah.

Sementara itu, Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang perak itu dan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau!

Setelah “membakar” racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang perak itu ke atas batu sambil berkata,

“Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian melihat dua orang itu atau seorang di antara mereka, lebih baik kalian menyingkir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!”

Melihat kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut dan kepala dusun itu berseru,

“Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami ingat.”

Suma Han menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata,
“Aku hanya seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung.”

Setelah berkata demikian, dia melangkah terus, diikuti pandang mata para penduduk dusun itu dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang itu lenyap dari pandang mata mereka.

Seperti kita ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran Nepal melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu.

Saking jengkelnya karena tidak juga berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji itu mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andaikata tidak secara kebetulan Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan menjadi korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan Ngo-ok itu.

Suma Han telah memanggil burung rajawalinya dan kini dia melanjutkan penerbangannya untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar-benar menggores di hatinya. Siluman Kecil!

Kian Bu kini berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang. Apa yapg telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua dan berjuluk Siluman Kecil?

Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya.

Akan tetapi ketika dia teringat berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah!

Ketika Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biarpun Suma Han adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia bergidik juga.

Ji-ok si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biarpun jahat dan keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik, lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh semua orang dusun itu secara amat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik, memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, akan tetapi ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun.

Akan tetapi segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee? Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya, yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja.

Akan tetapi, sekarang Milana tidak lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja.

Dan sekarang dia sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang tentu akan lebih mudah dicari daripada mencari Suma Kian Bu, karena tentu orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu daripada nama aslinya.

Andaikata Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu tidak mengetahuinya.

**** 107 ****