FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 106

Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di ternpat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara pulau-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es!

Jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih terkenal daripada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.

Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga merasa amat berbahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suami dan madu mereka.

Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan tergantung daripada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapapun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya!

Oleh karena itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguhpun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi.

Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran.

Demikian pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai.

Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai maupun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es amat sunyi itu, tetap saja bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka sudah mulai tua itu.

Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah pulang!

Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meningalkan Pulau Es bersama adiknya itu (baca cerita Sepasang Rajawali), akan tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Kini, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.

Apalagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang sudah enam tahun tidak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, akan tetapi mereka menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami mereka dengan wajah muram.

Ketika pada suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping.

“Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,” katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam terhadap kedua orang isterinya itu.

Setelah melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan.

“Kami besok hendak pergi meninggalkan pulau,”

Tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.

“Kami harus pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,” Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang. “Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai mantu.”

“Hemmm...., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?” Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran.

“Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!” Lulu berkata.

Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya.
“Baiklah, nanti kita bicarakan hal itu, kalian tidak perlu mogok makan untuk itu, membahayakan kesehatan sendiri.”

Dua orang isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu.






Setelah selesai makan dan dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja dengan dua orang isterinya.

Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan.

Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya berbahagia! Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia maupun kedua orang isterinya mau melakukan apa saja!

Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih terikat, terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, dan tentu akan terjadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak harus membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri!

Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin mempergunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenangan bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita, kemudian kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak kita yang dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan!

Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan konflik dan kesengsaraan tiada hentinya.

Karena perumusan kita tentang bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya mendatangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka.

Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak-anak kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali tidak akan membiarkan anak-anak kita berperang!

Saling bersaing, dalam sekolah, saling berebutan dalam mencari nafkah, saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita mengajarkan semua itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita!

Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka, bukan memaksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak!

Semalam suntuk Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka.

“Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa”, kata Pendekar Super Sakti antara lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh mereka masing-masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka.”

“Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ah, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa dengan dia.”

“Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,” Lulu juga membantah. “Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermunculan tokoh-tokoh kaum sesat. Biarpun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.”

“Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han memandang kepada burung itu dengan terharu.

“Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini engkau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” katanya sambil menepuk-nepuk punggung burung itu yang mengeluarkan suara menguk-nguk seperti seekor anjing setia.

“Hati-hati dalam perjalanan!” kata Nirahai.

“Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu.

Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas punggung burung rajawali.

“Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.”

Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan.

Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu! Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depan matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan diri dari dunia ramai? Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan.

Dia sudah tidak bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar muda seperti dua orang puteranya itu.

Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Dia sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya.

Melihat rajawali itu terengah-engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun dan beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan.

Pada suatu hari, ketika burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika dia melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu.

Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, lalu dia meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan penduduk dusun itu.

Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang erat-erat.

“Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?” tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu.

Baru sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia yang hendak bertempur agaknya, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan.

“Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.

“Nenek siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han dengan heran.

“Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka tengkorak itu!” kata pula si pemegang tombak. “Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusun. Kami hendak membunuh nenek siluman!”

“Nanti dulu, sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andaikata ada setan, masa dia keluar di siang hari? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?” tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi kesalah pahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh orang.

Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang aneh itu, kepala dusun dan orang-orangnya agaknya jerih juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang? Karena jerih, kepala dusun lalu bercerita,

“Seorang anak dusun kami sedang menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh nenek siluman itu.”

Diam-diam Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.

“Di manakah nenek itu?” tanyanya.

“Di tengah hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan.

“Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu-lembu itu!”

Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah merasa ngeri dan jerih mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah. karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu.

Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu.

Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok, kedok tengkorak asli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.

Dengan sikap tenang, Suma Han melangkah dan menghampir tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu, satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguhpun belum hancur seperti yang seekor itu.

Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada yang menyebabkan nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andaikata dia membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter.

Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, akan tetapi agaknya nenek itu tidak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi-gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan otak, dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak.

Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak asli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti itu? Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti?

Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak asli di depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.

Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus,

“Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?”

Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan, kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh,

“Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!”

Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!
“Kalau mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus.

“Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!”

Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tidak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya!

“Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?”

“Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya dibunuh, akan tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama itu, biarlah kau lewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!”

Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.

“Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?”

“Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nio-nio, ha-ha-ha!”

Suma Han mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ah, hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sendiri itu kini turun ke dunia ramai!

“Hai, kau siapakah?”

Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jerih kepadanya.

“Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa-apanya yang patut diperhatikan!”

Jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu!

“Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!”

Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung.