FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 105

“Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?”

Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu.

“Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum.

Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya, memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat.

“Nah, itulah mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat.

Syanti Dewi juga ikut memandang dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kapal yang amat indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai.

Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita-wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas sehingga dari jauh tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita.

“Tocu telah pulang!”

Mereka berseru dengan girang dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau). Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh empat orang wanita itu menuju ke kapal besar.

Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah.

“Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku dan kalian harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.”

Semua orang yang masih berlutut itu memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut “Siocia!” dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali. Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul dan dia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima penghormatan itu.

Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situpun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka sibuk melayani sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan.

Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah daripada yang dipakainya tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap.

Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakaian yang serba baru! Pakaian itu adalah, pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.

Kemudian Sang Puteri Bhutan dipersilahkan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu. Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah oleh masakan di restoran-restoran besar. Tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, juga amat kaya raya!

Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus berlayar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur.

Syanti Dewi merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur!

Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya begitu dia duduk, datanglah seorang pelayan yang berkata dengan sikap hormat dan suara halus,

“Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?”

“Dingin saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.

“Sudah siap di kamar mandi, Siocia.”

“Kemanakah perginya.... Tocu?”






“Tocu sudah menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.”

Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan.

Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan dia amat bagusnya, dia berseru,

“Ah, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?”

“Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pelayan dengan tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.

Syanti Dewi cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberl hormat.

“Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sambutan.”

Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main.

Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka!

Seperti pulau sorga dalam dongeng saja! Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar.

Mereka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau perajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.

“Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini, enak makan di sini mandi cahaya matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!”

Syanti Dewi menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.

“Terima kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman untuk puteri itu.

Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui.

“Enci, apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi bertanya.

Wanita cantik itu tersenyum.
“Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti.”

“Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?”

Wanita itu mengangguk.
“Begitulah. Pulau ini kosong, tidak ada orangnya, dan penghuninya hanyalah ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah lewat belasan tahun, kau lihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia.”

“Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan.... menurut ceritamu, kau pernah bersuami.... eh, apakah kalian dahulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga.... ataukah kau maksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?”

Ouw Yan Hui tersenyum geli.
“Ah, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!”

“Tapi.... tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun....”

Ouw Yan Hui mengangguk.
“Sudah tujuh belas tahun.”

Syanti Dewi terbelalak.
“Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan tahun, Enci....”

“Ketika pertama kali aku mendarat di pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh dua tahun.”

“Ahhh....! Tapi.... tapi....“

Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.

“Kau kira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.”

”Tidak mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru.

Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, hampir tertawa.
“Baru melihat aku saja engkau sudah terheran-heran, apalagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.”

“Siapakah Bibi Maya?”

“Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti.”

Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat di Kim-coa-to. Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya itu.

Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon-pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak terlatu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali, merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.

Benar saja seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman.

Hanya satu hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, pernah pula mengandung dan melahirkan!

Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu-kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia dilatih untuk bersamadhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana dia harus mengerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu.

Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar-ngejarnya sampai berjam-jam lamanya.

Akan tetapi, setelah Syanti Dewi memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, dia dapat menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan beberapa kali loncatan saja! Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!

“Aih, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak bersayap seperti burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan.

“Kau lihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Akan kutangkap burung-burung itu!”

Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi melihat bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat turun dan tahu-tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun pohon itu!

“Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru.

“Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!”

Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama berlatih menangkap kupu-kupu, akan tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh lebih gesit dan cepat itu!

Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih samadhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu!

“Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari pendekar-pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.”

Mulailah Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali, seperti dua orang peri laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi!

Tanpa disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biarpun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya.

Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular kepada Syanti Dewi!

Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang rindu akan belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju!

**** 105 ****