FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 103

“Suhu, aku tidak mau!”

Seperti seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk di atas batu besar, sepasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya hampir menangis.

Hek-sin Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang dicintanya itu mogok berjalan! Biarpun mukanya berwarna hitam, namun muka raja maling ini membayangkan kelembutan apalagi kalau dia berhadapan dengan muridnya itu.

“Hayaaa....“ Dia menarik napas panjang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat duduk muridnya. “Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Eh, muridku yang baik, tahukah engkau apa yang paling berharga bagi seorang wanita?”

“Aku tahu, aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah kehormatan.”

“Nah, engkau sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara engkau dan pemuda bernama Siauw Hong itu.”

“Akan tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia melihat bahwa aku seorang wanita.”

“Hemmm, muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apalagi disentuh oleh seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu telah menyentuhmu. Hal itu dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong, maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan agaknya Tuhan sendiri yang menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi seorang wanita terhormat, tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang melakukan hal itu, pria itu harus dibunuhnya!”

“Kalau begitu, aku akan membunuhnya!” Kang Swi Hwa masih mengambek.

“Dan engkau menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas kebaikan dengan kejahatan? Dia telah menolongmu, menyelamatkannu, dan kau hendak membunuhnya?”

“Habis, bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, kawin dengan dia atau membunuhnya. Aku tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuhnya.”

“Swi Hwa, muridku yang baik. Mengapa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah dia seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?”

“Tidak, tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah....“

“Nah, kalau begitu, mengapa menolak?”

“Dia hanya seorang pengemis, Suhu! Aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!”

Kakek itu tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya menundukkan mukanya, kini dia mengangkat muka memandang gurunya, mukanya merah dan sinar matanya marah.

“Suhu, hatiku sedang mengkal, Suhu malah tertawa-tawa, mentertawakan aku! Apanya yang lucu?”

“Ha-ha-ha, Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!”

“Bercermin?” Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis meraba-raba rambut kepala dan mukanya. “Setiap hari aku bercermin. Apakah mukaku coreng-moreng, rambutku awut-awutan?”

Kakek itu makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti anaknya sendiri itu.

“Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajahmu, melainkan bercermin untuk mengenal dirimu sendiri. Engkau memandang rendah pengemis, agaknya lupa siapakah kita ini! Engkau hanyalah murid seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya daripada seorang pengemis?”

Makin merah wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah.
“Akan tetapi kita adalah maling bukan sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa disamakan dengan pengemis....?”

“Hemmm, Swi Hwa, apakah kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan murid dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan tahukah engkau? Sai-cu Kai-ong itu adalah seorang.... sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan merupakan seorang yang asing sama sekali.”

Swi Hwa masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan lalu melakukan perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang pemuda remaja yang belum dewasa benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan dengan Siluman Kecil, pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya.

“Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!”

“Agaknya engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil. Benarkah itu, Swi Hwa?”

Wajah itu menjadi makin merah dan dia menunduk.
“Swi Hwa, aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Dan dalam pertemuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa engkau mencinta dia. Engkau hanya kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya orang kagum kepada pendekar yang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia bukan jodohmu, muridku.”

“Tapi, Suhu, bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?”






“Mengapa tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa saja kelak mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya mungkin saja apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang muda sebelum perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki pintu gerbang pernikahan. Pula, aku tidak melihat tanda-tanda, baik dari sikapnya, kata-katanya maupun pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa. Dan bagaimana mungkin engkau mengikat perjodohan dengan seorang pendekar besar dan aneh seperti dia? Apalagi mengingat dia adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi daripada bintang di langit, muridku, agaknya lebih sukar berjodoh dengan dia daripada dengan seorang pangeran sekalipun untukmu.”

Mendengar ini, Swi Hwa makin menunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali. Kini teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah, gurunya benar! Agaknya Siluman Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang pengemis! Tak terasa lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri.

Kakek itu menyentuh tangan muridnya.
“Hidup memang penuh dengan kepahitan-kepahitan yang ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Kekecewaan timbul karena harapan-harapan kita tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu memang lebih indah daripada kenyataan....”

Tiba-tiba ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara aneh, suara ketawa yang terdengar amat kerasnya seolah-olah orang yang tertawa itu berada di dekat mereka, padahal mereka tidak melihat seorang pun manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah melarikan diri semalam, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam suntuk mereka tidak melihat ada orang mengejar mereka.

“Ha-ha-ha, sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu memang awas sekali dan benar saja, mereka berada di sini!”

Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa meloncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah mencabut pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah berpedang lagi, berdiri dengan penuh kewaspadaan. Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh, orangnya masih jauh akan tetapi suaranya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya mengejar mereka.

Tak lama kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan kecepatan yang mengejutkan hati guru dan murid itu.

Gurunya menggeleng kepala.
“Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan percuma saja melarikan diri. Kau berhati-hatilah, Swi Hwa,” bisik gurunya sambil memandang dengan penuh perhatian ke depan.

Bayangan dua orang itu cepat sekali gerakannya dan sebentar saja mereka sudah tiba di depan guru dan murid itu.

Setelah dua orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di depan mereka, Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biarpun masih muda, dara ini sudah banyak pengetahuannya di dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapapun dia mengingat-ingat, belum pernah dia bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang tingginya hanya sampai di pundaknya, akan tetapi kakek ke dua tingginya bukan main sehingga dia harus menengadah kalau hendak memandang wajahnya.

Kakek yang pendek gundul itu tersenyum-senyum lebar, akan tetapi yang membuat Swi Hwa merasa ngeri adalah kakek tinggi itu, karena biarpun kakek tinggi itu hanya cemberut saja, namun matanya yang sipit itu seolah-olah hendak menelanjanginya dengan pandang matanya!

“Su-ko, yang tua untukmu, aku perlu dengan yang muda!”

Tiba-tiba si tinggi kurus bermata sipit itu berkata, dan sebelum suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali itu tahu-tahu sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa!

Gerakannya itu mengerikan sekali karena jarak antara dia dan Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk dapat menjangkaunya. Akan tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat diulur lebih panjang daripada semestinya. Gerakan yang mengerikan sekali!

“Ihhh....!”

Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik melihat lengan itu seperti seekor ular panjang hidup meluncur ke arah pundaknya. Dia cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebatnya, tangan itu terus mengejarnya, sebuah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan besar, kotor dan kukunya panjang hitam! Swi Hwa kaget setengah mati dan agaknya sukar baginya untuk dapat mengelak.

Pada saat itu, Hek-sin Touw-ong yang mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang tidak mudah dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas tulang, maklum bahwa muridnya terancam bahaya. Dia cepat menggerakkan tangan kirinya.

“Cusssss....!”

Tangan kiri dari Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan yang mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah tajam bagaikan pedang atau golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat putus benda keras!

“Wusss.... aha....!”

Si jangkung terkejut sekali dan biarpun lengannya tidak terluka karena dia sudah menarik kembali lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan itu, namun tetap saja Lengan bajunya terobek oleh hawa yang menyambar dari Kiam-to Sin-ciang tadi.

Si pendek gundul tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu memandang rendah kepada Hek-sin Touw-ong yang kabarnya memiliki Kiam-to Sin-ciang. Dan engkau sama sekali tidak boleh main hakim sendiri, ingat bahwa tugas kita hanya untuk menawan mereka ini!”

Si jangkung hanya cemberut, akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam bergidik. Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si jangkung tadi jelas terkena sambaran hawa sakti itu, akan tetapi Lengan itu sama sekali tidak terluka dan hanya Lengan bajunya saja yang terobek! Tahulah dia bahwa si jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.

Biarpun wajahnya tidak menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling juga menjadi terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini melihat kelihaian si jangkung, melihat bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang itu saling memanggil, yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik ke lima dan kakak ke empat), dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan Ngo-ok yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke dunia ramai.

Hampir dia tidak percaya karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling ini tidak pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu hanya merupakan dongeng di antara orang-orang kang-ouw saja. Kini, melihat keadaan dua orang ini yang ternyata bukan hanya mengenalnya, bahkan mengenal pula Ilmu Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah orang ke empat dan ke lima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat kepada datuk-datuk kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.

“Siauwte yang bodoh pernah mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?”

Tosu jangkung bermata sipit itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu tertawa.
”Ha-ha-ha, kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu menunjukkan bahwa engkau memang bukan orang sembarangan!”

Kembali Hek-sin Touw-ong menjura.
“Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena sungguh mati kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh-tokoh besar seperti Ji-wi (Anda berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu dengan Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada keperluan apakah gerangan maka Ji-wi memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?”

“Su-ko, mulutnya terlalu manis!”

Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela. Akan tetapi hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak Si Jahat Ke Empat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian mencelakai orang yang diajaknya beramah-tamah itu!

“Hek-sin Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang yang lihai sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang melihat keberuntunganmu dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Ha-ha-ha!”

Si Raja Maling. mengerutkan alisnya. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri adalah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka tentu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata,

“Terima kasih atas kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong.”

Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu, maka dia berkata singkat,

“Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk kami tangkap dan bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau dan muridmu mengacau malam tadi!”

Hek-sin Touw-ong tidak terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa Koksu Nepal adalah orang ke tiga dari, Im-kan Ngo-ok!

“Kami tidak akan menyerah kepada siapapun juga!”

Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gentar sama sekali sungguhpun dia tahu bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang lihai dan lawan-lawan tangguh.

“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan muridnya memang amat hebat!” kembali hwesio cebol itu tertawa dan memuji. “Siapa dapat mengira bahwa kalian berdua dapat menyamar sebagai dua orang iblis Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!”

Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar sebagai mereka, sungguhpun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lututnya dan untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk menyambung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah.

“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong, kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran Nepal. Oleh karena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, mari kami iringkan ke benteng di lembah sana.” Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali, terlalu manis malah.

Akan tetapi Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam.

“Ji-wi tidak perlu pura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng. Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapapun juga kami tidak akan mau kembali ke sana, baik itu merupakan undangan maupun paksaan.”
Ucapan ini halus akan tetapi juga merupakan tantangan.
“Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap mereka!” bentak Ngo-ok Toat-beng Sian-su sambil menubruk ke arah Swi Hwa.

“Ngo-te, awas, jangan lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat Sam-ko dan pangeran menjadi marah!” Si cebol berseru, kemudian secepat kilat dia pun sudah menerjang kepada Hek-sin Touw-ong!

Swi Hwa menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat kedua tangan panjang yang mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan membentuk lingkaran yang berhawa tajam sekali karena dara ini memainkan pedang dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajari dari gurunya.

Biarpun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya, atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali tangan yang hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap atau menotok dara itu.

Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika beberapa kali tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi berdencing nyaring ketika pedangnya bertemu dengan jari tangan itu, seolah-olah tangan itu terbuat daripada baja yang amat kuat!

Sementara itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebat melawan Su-ok Siauw-siang-cu. Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan muridnya terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkangnya untuk berkelebatan dengan cepatnya.

Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya bukanlah tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukuman berat atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah Huang-ho itu.

Bunyi angin bersuitan dan mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lancang menerima pukulan itu dengan tubuhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia meloncat dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika dia berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mujijat! Kemudian, dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara “kok-kok-kok!” dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk!

Ketika Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali, Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangannya yang pendek ke depan.

Angin pukulan dahsyat menyambar dari kedua tangannya dan begitu angin pukulan ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang, tubuh Hek-sin Touw-ong terjengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat ke kiri dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat yang mendorong pukulannya tadi membalik itu!

Bukan main kagetnya hati Si Raja Maling! Dan kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touw-ong menggunakan Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak Buduk membuat Kiam-to Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong kembali!

Perkelahian antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tidak berlangsung terlalu lama. Agaknya Ngo-ok juga merasa jengkel menyaksikan kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu menusuknya, dia menggunakan jari-jari tangannya menangkis dan terus mencengkeram dan pedang itu sudah kena dicengkeramnya!

“Krek-krekkk!”

Pedang itu dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa sempat mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas!

Swi Hwa hampir pingsan ketika merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya. Tak terasa lagi dia menjerit.

Jeritan itu menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi sekali sambil membawa tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung tinggi itu.

“Ngo-te, kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!” bentak Su-ok.

“Eh, kau mengiri? Apa pedulimu?” bantah Ngo-ok.

“Tolol kau, Ngo-te. Kalau kau mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twa-ko dan Ji-ci juga marah dan kalau mereka semua marah, apa kau kira hanya engkau saja yang akan dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau kau nekat, aku akan menggempurmu sendiri!”

“Huh, menyebalkan!”

Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan seketika tubuh Swi Hwa menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat bergerak lagi.

Hek-sin Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang amat mengerikan. Melihat muridnya sudah terbebas dari malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak menyerang kepada Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi hampir saja menghina muridnya.