FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juni 2015

Jodoh Rajawali Jilid 102

Sementara itu, kebakaran di dalam benteng itu akhirnya berhasil dipadamkan juga. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu marah bukan main karena mendengar berita bahwa Puteri Syanti Dewi hilang diculik orang dan terutama sekali bahwa Hwee Li, dara yang dicintanya itu pun telah melarikan diri.

Mendengar betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi secara aneh telah berkhianat, membantu Siluman Kecil dan bahkan telah menculik Puteri Syanti Dewi pula, dan juga membakar benteng, kemarahannya memuncak akan tetapi karena kedua orang kakek iblis yang dianggapnya berkhianat itu telah tidak ada lagi, maka kemarahannya lalu dia timpakan kepada Jenderal Kao Liang!

“Ternyata engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!” bentaknya ketika jenderal tua ini dihadapkan kepadanya. “Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh-sungguh dalam pembuatan benteng ini sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo si keparat dan anaknya, Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kau buat ini?”

Jenderal Kao Liang memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang.
“Pangeran, sama sekali bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku akan dapat menahan mereka dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng. Jangan harap pasukan musuh akan dapat dengan mudah membobol bentengku ini! Akan tetapi, tadi yang menimbulkan kekacauan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja pasukan yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Adalah kesalahan Pangeran sendiri yang memusuhi orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Mengapa menyalahkan aku?”

Melihat sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dengan geram dia lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya cepat maju dan menangkap Jenderal Kao!

Jenderal itu hanya memandang dengan tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang rendah. Sudah lama dia kehilangan perhatiannya terhadap keselamatan dirinya sendiri sehingga baginya tidak ada lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman atas kelalaiannya sehingga benteng itu sampai dapat diserbu dan dimasuki oleh musuh!

Dengan penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang dibelenggu kedua tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat pintu gerbang. Para pengawal Nepal itu telah mengikatnya pada balok kayu yang berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang pengawal lain telah membuka baju atasnya dan pengawal algojo sudah mempersiapkan cambuknya, menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di tempat itu.

Tanda itu diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo itu. Dengan menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada kesenangan yang lebih memuaskan bagi algojo ini dari pada kalau dia sedang melaksanakan tugas menghajar atau membunuh orang hukuman. Dalam pelaksanaan hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa korbannya, dia menemukan kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa yang mendatangkan perasaan puas dan lega, penyaluran dari rasa dendamnya terhadap manusia lain!

Setelah menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan pukulan cambuk pertama, melainkan mengayun-ayunkan cambuknya di udara, di atas kepalanya dan matanya berkilat memilih bagian punggung yang paling lunak untuk dijadikan sasaran lecutan pertama.

Biasanya dia paling senang menikmati lecutan pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang ingin menikmati makanan lezat, sebelum memakannya dia hendak memuaskan hatinya dulu dengan memandanginya, menghemat gerakannya agar kenikmatan itu dapat dikunyahnya lebih lama lagi.

“Wirrr... siuuuuuttttt...!”

Akhirnya cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah punggung Jenderal Kao yang sudah siap sedia untuk menghadapi segala macam siksaan, bahkan kematian sekali pun, dengan tenang dan dia tidak akan menyenangkan hati para musuh dan penyiksanya dengan keluhan sedikit pun juga.

Akan tetapi, algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang sedang menubruk mangsanya itu, tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya tertahan di udara! Dia mengerahkan tenaga, tetapi tetap saja cambuknya tidak dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya melihat betapa ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh tangan seorang kakek botak yang bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta Lakshapadma, koksu dari Nepal!

“Mundur kau!” Koksu itu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani membantah.

Walau pun dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharuhendra, akan tetapi kakek botak ini adalah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran itu. Dia membungkuk dengan hormat, menggulung cambuknya dan setelah melepaskan kerling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu mengundurkan diri.






Pangeran Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan Hek-hwa Lo-kwi, Hektiauw Lo-mo, kakek yang seperti gorilla, nenek bermuka tengkorak, hwesio gundul katai, dan kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama mereka.

Dalam keadaan lain tentu dia akan merasa girang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu, Pangeran Liong Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia tidak mempedulikan lagi betapa perintahnya menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa itu.

“Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani muncul di hadapanku? Koksu, kenapa dua orang manusia pengkhianat ini tidak ditangkap dan diberi hukuman yang berat?” Pangeran itu menoleh kepada gurunya dengan pandang mata penuh penasaran.

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi segera saling pandang dengan penuh keheranan, dan koksu itu kemudian berkata,

“Harap Paduka tenang, Pangeran. Kenapa Paduka marah-marah, hendak menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan kenapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini? Dan kami melihat tadi di dalam benteng terjadi kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?”

“Musuh telah memasuki benteng dengan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan pembakaran-pembakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah melarikan Puteri Syanti Dewi!” Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.

“Ini dia orangnya!”

Teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw Lo-mo palsu sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, sekarang jari tangannya menuding ke arah kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan penuh kebencian.

“Mereka inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!” Tiba-tiba terdengar Mohinta berseru. “Dengan bantuan para pengawal, saya sudah dapat menyingkirkan Sang Puteri dan dua orang pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu dan... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok oleh para pengawal. Akan tetapi tiba-tiba saya diserang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!”

“Koksu, cepat tangkap mereka!” bentak Liong Bian Cu dengan marah.

Dia sudah kehilangan kekasihnya, juga kehilangan Puteri Bhutan yang amat penting baginya, dan ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini melakukan pengkhianatan!

Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin bersikap tenang saja.
“Pangeran, tidak baik membiarkan diri terseret oleh kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena di sini terjadi keanehan dan kesalah pahaman besar. Kerugian kita yang paling besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua saling mencurigai kemudian terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri.”

Koksu lalu melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajaknya untuk melakukan perundingan pula di sebelah dalam.

Liong Bian Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, tetapi dia dapat melihat kebenaran kata-kata gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya sungguh amat merugikan dan dapat melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan menahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak bicara apa-apa lagi melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, empat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal Kao Liang, Mohinta, Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.

Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak memakai banyak peraturan dan dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu, melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian Cu tentang peristiwa yang terjadi di dalam benteng.

Liong Bian Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi oleh pelaporan semua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban Hwa Sengjin dan dengan penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa ini marah bukan main dan mereka dapat menduga siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka itu!

Maka, setelah Pangeran Liong Bian Cu selesai menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam benteng, Hek-tiauw Lo-mo berseru,

“Si keparat itu! Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!”

“Benar, guru dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan membikin kacau di dalam benteng!” Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah.

Liong Bian Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut, karena masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya kepada dua orang tokoh yang tadinya dianggap sebagai pengkhianat-pengkhianat ini.

“Apa pula maksud kalian?”

“Pangeran, mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena mereka telah dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang memasuki benteng bukanlah mereka, melainkan dua orang yang telah menyamar sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu yang pandai itu bukan hanya dapat mengelabui para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka telah berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai tidak dapat melihat bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dan mengapa Paduka tadi hendak menjatuhkan hukuman kepada Jenderal Kao?”

Liong Bian Cu masih terheran-heran mendengar bahwa dua kakek yang menghadapnya tadi sambil membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bingung dan ketika dia ditanya tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia menjawab,

“Koksu, kuanggap bahwa dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah dapat diserbu musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng ini. Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengatakan bahwa benteng ini dibangun untuk menghadapi serbuan pasukan besar, bukan penyelundupan beberapa orang sakti, dan ia berani menyalahkan kami yang dianggap memusuhi orang-orang kang-ouw.”

Koksu Nepal itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini berkata,

“Pangeran, alasan Jenderal Kao memang benar. Untuk menghadapi penerobosan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan kesaktian pula untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya beritahukan kepada Pangeran bahwa sekarang sahabat-sahabat saya ini telah datang untuk membantu kita. Andai kata tadi sewaktu musuh menyelundup ke sini ada seorang saja di antara kami berlima, sudah pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya. Pangeran, dan juga para rekan dan sahabat, perkenalkanlah empat orang sahabat saya ini.”

Dengan bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru pertama kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan penuh kekaguman, juga kengerian karena sesungguhnya mereka sudah pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh ini seolah-olah melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya hanya mereka dengar seperti dalam cerita dongeng saja!

“Pangeran, seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya bahwa Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu menghalau setiap pasukan musuh yang bagaimana besar pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah orang-orang yang menggunakan ilmu kepandaian, maka biarlah saya minta bantuan Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran.” Pangeran Liong Bian Cu hanya mengangguk.

“Su-te dan Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran terhadap para pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian sudah mendengar bahwa dua orang yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya mereka itu.”

Kakek cebol dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu. Kalau kakek tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gundul pendek yang tertawa dan berkata kepada Ban Hwa Sengjin,

“Ahhh, Koksu, kalau saja kami tidak mengingat betapa Pangeran telah dibikin pusing oleh penjahat-penjahat itu, tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang belum disambut dengan makanan lezat dan arak wangi!”

Pangeran Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak menyuruh pengawal memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, namun Ban Hwa Sengjin sambil tertawa menjawab,

“Su-te, jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja maling itu saja bersama muridnya, apa sih sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan-masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa mereka sebagai tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya nanti!”

Si pendek dan si tinggi itu kemudian menggerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka telah lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan diam diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi harus mengakui bahwa sekarang mereka mendapatkan saingan yang amat berat!

Pangeran Liong Bian Cu menjadi girang dan terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang membantunya, maka dia cepat memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo Ti dan Ji-ok Kui-bin Nionio.

“Harap Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,”

Kata Jenderal Kao Liang. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak begitu mempedulikan. Jenderal tua ini lantas meninggalkan ruangan di mana pangeran itu mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya.

Dengan hati berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak memandang ke langit-langit dalam kamarnya tak pernah berkedip itu, perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir air mata bergerak keluar dari sepasang matanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir air mata, akan tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa.

Jenderal Kao adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata. Lebih baik mengucurkan peluh dan darah dari pada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya tersiksa bukan main rasanya. Pangeran Nepal itu mendatangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada dalam bahaya. Dan dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberontak itu!

Ahhh, kalau saja keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam keadaan selamat, tentu dia tidak akan merasa begini tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia membangun benteng itu secara terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa semua keluarganya! Akan tetapi, agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu. Bahkan Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri tidak berdaya.

**** 102 ****