FB

FB


Ads

Jumat, 29 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 100

Dalam perjalanannya itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga mendengar akan berkumpulnya tokoh-tokoh besar di dalam lembah Huang-ho. Hal ini menarik perhatiannya dan dia lalu menuju ke benteng itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat Siluman Kecil menjadi tawanan dua orang kakek bersama seorang dara yang cantik berpakaian hitam!

Dia sendiri tidak tahu bahwa dua orang kakek itu adalah palsu, karena dia melihat empat orang itu ketika mereka sedang memasuki pintu gerbang. Karena amat tertarik melihat “sutenya” itu menjadi tawanan, diam-diam Bu-eng-kwi lalu membayangi. Mudah saja bagi ahli ginkang seperti dia untuk berloncatan naik melalui tembok benteng tanpa diketahui orang.

Akan tetapi begitu menyaksikan keadaan benteng itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui menjadi terkejut bukan main dan dia kagum. Benteng ini amat hebat, pikirnya! Amat kuatnya sehingga merupakan benteng perang yang kokoh dan sukar diserbu pasukan dari luar! Penjagaannya demikian ketat sehingga kalau dia tidak memiliki ginkang yang luar biasa, tentu amat sukar untuk dapat memasukinya, apalagi pasukan yang hendak masuk lewat pintu gerbang yang berlapis-lapis itu!

Dia sendiri menjadi bingung setelah naik ke atas tembok dan terpaksa menyelinap dan bersembunyi agar jangan ketahuan penjaga. Dia tidak tahu ke mana dibawanya Siluman Kecil dan gadis berbaju hitam tadi oleh dua orang kakek yang kelihatan seperti iblis itu.

Selagi dia bingung dan tidak tahu harus mencari ke mana, dan dia hanya mempergunakan ginkangnya yang luar biasa, yaitu semacam ilmu yang dikuasai oleh Siluman Kecil, yang disebut Jouw-san-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), dia berkelebatan di atas genteng-genteng bangunan itu dengan amat hati-hati sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, tiba-tiba dia melihat Siluman Kecil, gadis cantik dan dua orang kakek yang menawan mereka tadi keluar dari bangunan induk! Dia menjadi girang sekali dan diam-diam dia membayangi dari atas.

Kemudian dia menyaksikan keributan yang terjadi, disusul pertempuran dan kebakaran-kebakaran yang dilakukan oleh kakek bermuka tengkorak itu dengan senjata-senjata bahan peledaknya. Kini tahulah dia bahwa Siluman Kecil bukan ditawan, melainkan pura-pura ditawan dan betapa dua orang kakek itu malah menjadi kawan-kawan dari Siluman Kecil dan gadis cantik itu!

Ketika dia melihat Puteri Syanti Dewi, Ouw Yan Hui terpesona dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik itu dan begitu melihatnya, seketika dia tertarik dan merasa suka seketika! Akan tetapi, agaknya wanita aneh ini tidak akan bertindak sesuatu dan tidak sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, kalau saja dia tidak melihat Puteri Syanti Dewi dipeluk dan diseret oleh Panglima Bhutan itu secara paksa memasuki sebuah rumah.

Melihat puteri jelita itu dipaksa orang, mendadak timbul kemarahan wanita ini. Dan memang menjadi pantangan bagi Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui melihat seorang wanita diperlakukan secara kasar oleh seorang pria. Ketika dia melihat lima orang penjahat Ngo-giam-lo-ong dari selatan melarikan seorang gadis, Ouw Yan Hui juga mengejarnya dan akhirnya membunuh mereka di dalam hutan karena lima orang penjahat itu telah memperkosa gadis itu sampai mati, seperti yang telah dilihat oleh Siluman Kecil.

Kini melihat puteri cantik jelita yang amat menarik hatinya itu diseret dan dirangkul secara paksa oleh seorang Panglima Bhutan, dia marah sekali dan bagaikan seekor burung garuda yang marah, dia mengeluarkhn suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah menyambar dari atas ke bawah, menukik turun menerjang Mohinta yang sedang berkutetan dengan Syanti Dewi. Mohinta hendak memaksa puteri itu masuk kembali agar jangan sampai terancam bahaya dilarikan orang, sedangkan Syanti Dewi yang ingin melarikan diri bersama Hwee Li, meronta-ronta.

Ketika Mohinta mendengar berdesirnya angin dari atas, dia memandang dan alangkah kagetnya ketika dia melihat seorang wanita seperti seekor burung saja menyerangnya. Dia mengira bahwa yang menyerangnya itu tentu Hwee Li karena dia pun tahu bahwa tunangan sang pangeran itu lihai sekali.

“Mundur!” bentaknya dan seperti tadi dia mengancamkan pisaunya ke leher Puteri Syanti Dewi.

Kalau saja yang menyerangnya itu adalah Hwee Li, tentu Hwe Li tidak akan berani melanjutkan serangannya, karena khawatir kalau-kalau nyawa Syanti Dewi terancam. Akan tetapi Ouw Yan Hui sama sekali tidak peduli akan hal ini. Dia marah kepada orang Bhutan itu dan dia tidak peduli akan keselamatan Syanti Dewi yang tidak dikenalnya. Maka dia tidak menghentikan serangannya dan tubuhnya terus meluncur dan menyerang Mohinta dengan hebatnya!

Mohinta terkejut bukan main. Tentu saja dia pun mengancam Syanti Dewi bukan untuk membunuhnya sungguh-sungguh. Maka kini melihat wanita itu masih nekat dan menyerang terus, dia terpaksa melepaskan Syanti Dewi dan menggunakan pisaunya untuk memapaki wanita yang menyerangnya itu, karena kini dia melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan Hwee Li tunangan Pangeran Bharuhendra!

“Plakkk.... tringgg....!”

Untuk kedua kalinya malam itu, tubuh Mohinta yang sial itu terlempar dan terhuyung. Ketika dia meloncat bangun, ternyata bagaikan seekor burung garuda saja, wanita cantik berpakaian mewah itu telah berkelebat pergi sambil memanggul tubuh Syanti Dewi!

“Hei, berhenti....!”

Mohinta berseru dan cepat mengambil pisaunya yang tadi terlepas karena tangkisan wanita itu. Dia ingin menyambit, akan tetapi khawatir kalau mengenai tubuh Syanti Dewi, maka dia lalu berteriak-teriak minta bantuan dan dia sendiri lalu mengejar. Akan tetapi kemanakah dia hendak mengejar. Wanita itu hanya dengan beberapa kali lompatan saja telah lenyap di antara api dan asap yang memenuhi tempat itu.

Mula-mula Syanti Dewi meronta karena terkejut sekali melihat dirinya dibawa loncat secepat itu ke atas. Akan tetapi ketika dia melihat betapa dia di panggul seorang wanita cantik dan dibawa “terbang” melalui api yan bernyala-nyala dan asap tebal, sehingga nampaknya setiap saat dia dapat terbakar dijilat lidah api merah, dia merasa ngeri sekali.

Melihat bahwa wanita itu adalah seorang yang sama sekali tidak dikenalnya, dia berkata,
“Lepaskan aku....!”

“Huh, lepaskan? Benarkah?”

Wanita itu lalu melepaskan tubuh Syanti Dewi yang berdiri di atas tembok benteng, dikelilingi api dan asap! Syanti Dewi terbelalak ngeri.

“Eh, ohhh.... tolong....!” teriaknya.

“Hemmm!”

Ouw Yan Hui mengejek dan dia menyambar lagi, memanggul tubuh Syanti Dewi yang saking ngerinya menjadi hampir pingsan itu, dipanggul di atas pundak kanannya lalu dia berloncatan lagi amat cepatnya seperti terbang saja!

Beberapa kali Syanti Dewi membuka mata akan tetapi terpaksa memejamkannya kembali matanya ketika melihat betapa dia dibawa lari terus di atas rumah yang terbakar dan terus ke tembok-tembok benteng yang berlapis-lapis itu untuk kemudian berloncatan keluar dari benteng seperti seekor burung terbang saja!

Hampir Syanti Dewi menjerit ngeri ketika Ouw Yan Hui meloncat dari atas wuwungan tempat penjagaan di atas tembok benteng yang tebalnya hanya satu meter itu, padahal di kanan kiri tembok itu api masih berkobar! Akan tetapi sebenarnya puteri ini tidak perlu khawatir. Dengan mudah Ouw Yan Hui meloncat dan hinggap di atas tembok dengan kaki kanan, gerakannya seperti orang menari saja.

Kemudian, dari atas tembok ini Ouw Yan Hui meloncat ke luar kemudian terus berlari di dalam kegelapan malam, menyusup di antara pohon-pohon di dalam hutan di luar benteng itu.

Malam telah larut dan mereka telah berada jauh sekali dari benteng di lembah Huang-ho ketika Ouw Yan Hui berhenti berlari, menurunkan tubuh Syanti Dewi. Mereka berada di lereng sebuah bukit, di dalam hutan kecil yang amat sunyi.






Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui membuat api unggun dan mereka berdua duduk di dekat api unggun, saling berhadapan dan sejak tadi mereka tidak saling bicara. Kini, mereka berdua duduk saling berpandangan, dihalangi oleh api unggun yang menyinari wajah dua orang wanita itu dengan cahaya yang kemerahan.

Keduanya terkejut dan kagum. Setelah kini berada di tempat yang diterangi oleh api unggun, duduk berhadapan dan berdekatan, mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas dan keduanya merasa kagum bukan main oleh kecantikan masing-masing.

Syanti Dewi memandang wanita yang duduk di depannya itu dengan penuh perhatian. Sukar menaksir berapa usia wanita ini, akan tetapi dia merasa pasti bahwa wanita ini jauh lebih tua daripada dia, sungguhpun melihat wajahnya, tentu orang akan menaksir bahwa usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Seraut wajah yang bulat seperti bulan, dengan dagu runcing, kedua pipinya halus penuh kemerahan amat mulusnya, sepasang mata yang jernih dan lembut, sungguhpun di balik kelembutan itu mengandung sifat dingin yang menyeramkan.

Rambutnya digelung seperti model gelung puteri istana, dihias dengan hiasan rambut dari emas permata yang indah dan tentu mahal sekali harganya, berbentuk burung hong. Telinganya juga memakai perhiasan yang bermata besar dan berkilauan. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya mudah kembang kempis, mulutnya kecil akan tetapi selalu terbuka secara menantang, mulut yang membayangkan berahi yang besar, sungguhpun kalau dikatupkan lalu nampak betapa wanita ini dapat berwatak kejam. Alisnya seperti dilukis saja, demikian pula sinom rambut dan anak rambut di pelipisnya.

Wajah yang cantik jelita dan manis bukan main, tidak kalah oleh wanita puteri-puteri istana! Dan tubuh itu padat dan penuh lekuk lengkung menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah matang. Sungguh sukar membayangkan betapa di dalam tubuh yang penuh daya tarik kewanitaan ini dapat tersembunyi tenaga dahsyat dan ilmu yang demikian tinggi.

Perhiasan wanita itu, pakaiannya yang mewah dan rapi, gelang-gelang di tangannya, sepatunya, semua menunjukkan bahwa wanita ini pantasnya seorang puteri istana atau seorang puteri yang kaya raya. Bahkan Puteri Milana yang pernah dikenalnya, puteri istana sakti itu, tidak pernah bersolek semewah wanita ini! Syanti Dewi memandang penuh keheranan dan menduga-duga gerangan wanita yang telah menyelamatkan dirinya dari dalam benteng itu, menyelamatkannya ataukah menculiknya?

Di lain fihak, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga terkejut, kagum dan terpesona sehingga sejenak dia tidak dapat berkata-kata, hanya menatap wajah Syanti Dewi penuh kekaguman dan perhatian. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat wajah yang demikian sempurna kecantikannya! Tadinya dia, seperti yang dibanggakan oleh gurunya, yaitu Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita Tiongkok yang sempurna! Dan gurunya itu, Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita India yang paling sempurna!

Akan tetapi kini, berhadapan dengan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui melihat kecantikan yang membuat dia terpesona! Kecantikan dara ini begitu wajar, bahkan pakaiannya yang sederhana, rambutnya yang awut-awutan, matanya yang terbelalak lebar penuh kekhawatiran, bibirnya yang agak pucat dan agak gemetar karena cemas, tidak mengurangi kecantikannya!

Diam-diam Ouw Yan Hui merasa penasaran sekali! Setiap kali bertemu dengan wanita cantik di manapun juga, dia selalu merasa besar hati karena yakin akan kecantikannya sendiri yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kini, duduk berhadapan dengan dara yang ditolongnya ini di antara api unggun, dia tiba-tiba merasa bimbang!

“Siapa engkau? Siapa namamu?” tiba-tiba Ouw Yan Hui bertanya dan suaranya juga halus merdu, seperti suara seorang dara muda, suara halus yang “basah”.

“Namaku Syanti Dewi.”

“Eh?? Engkau bangsa apakah?”

“Aku datang dari Bhutan”

“Hemmm, engkau tentu bukan gadis kampungan biasa. Hayo ceritakan, siapa sebenarnya engkau yang mengaku dari Bhutan ini?”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Tidak senang dia melihat sikap orang yang angkuh dan kaku ini, juga sinar mata yang tiba-tiba menjadi dingin sekali dan menyeramkan itu. Syanti Dewi menegakkan kepalanya dan dengan sikap yang agung dia lalu berkata,

“Aku adalah Puteri Bhutan!”

Kini Ouw Yan Hui yang mengerutkan alisnya. Kiranya seorang puteri istana! Dia makin tertarik. Sudah terlalu lama dia menyembunyikan diri tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang Puteri Bhutan yang sudah banyak menggegerkan dunia kang-ouw ini.

“Kau puteri Raja Bhutan, kenapa meninggalkan istanamu dan jauh-jauh berkeliaran sampai di sini?”

Syanti Dewi tidak mau menjawab, hanya memandang ke dalam api unggun. Sejenak Ouw Yan Hui menatap wajah itu, lalu dia tersenyum seorang diri. Dara ini benar-benar seorang puteri yang agung dan angkuh, pikirnya. Cocok benar dengan dia! Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan Syanti Dewi mengangkat muka memandang, mengikuti gerakannya.

“Kau bisa silat?” kembali Ouw Yan Hui bertanya.

Syanti Dewi menggeleng kepala. Ouw Yan Hui tersenyum mengejek, karena dia tadi melihat pula betapa puteri ini melawan dan sempat pula merobohkan beberapa orang perajurit sebelum dia ditangkap oleh Panglima Bhutan itu.

“Aku hendak membunuhmu, hendak kulihat apakah kau demikian pengecut untuk menerima kematian tanpa membela diri!”

Setelah berkata demikian, Ouw Yan Hui meloncat dan menendang ke arah tubuh Syanti Dewi untuk membuat puteri itu terlempar ke dalam api unggun.

“Ihhh!”

Syanti Dewi meloncat dan mengelak, gerakannya cepat juga karena selama ini dia telah memperoleh banyak kemajuan. Semenjak dia dahulu diberi petunjuk oleh Ceng Ceng, kemudian oleh pendekar sakti Gak Bun Beng (baca Kisah Sepasang Rajawali), kemudian baru-baru ini oleh Hwee Li, sang puteri ini telah memperoleh kemajuan pesat dan kalau hanya beberapa orang laki-laki biasa saja jangan harap dapat menandinginya.

“Bagus!”

Ouw Yan Hui berseru dan mulailah wanita ini melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan maut! Tentu saja Syanti Dewi marah sekali.

Tadinya memang dia tidak tahu apa maksudnya wanita cantik ini membawanya lari keluar dari benteng, dan dia tidak tahu apakah wanita ini kawan atau lawan. Siapa kira, kini wanita itu hendak membunuhnya, setelah bersusah-payah membawanya ke luar dari benteng. Gila! Jangan-jangan memang gila wanita cantik ini, pikir Syanti Dewi dan bulu tengkuknya meremang ngeri.

Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh begitu saja tanpa melawan dan sambil mengelak atau menangkis, dia pun menyerang pula dengan dahsyat untuk merobohkan wanita ini agar dia dapat melarikan diri.

Diam-diam Ouw Yan Hui terkejut juga menyaksikan beberapa gerakan pukulan yang menunjukkan bahwa dara ini pernah mempelajari ilmu silat tinggi! Hanya latihannya belum matang dan memang jiwa puteri ini adalah lemah lembut sesuai dengan kedudukannya, maka serangan balasannya juga tidak mengandung kedahsyatan.

Mula-mula, Ouw Yan Hui yang hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Syanti Dewi, bergerak dengan lambat untuk mengimbangi lawan. Setelah dia puas menguji dan memperoleh kenyataan bahwa puteri ini tidak mengecewakan dan mulailah dia mempercepat gerakannya dan mulailah Syanti Dewi menjadi bingung.

Tiba-tiba saja wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu selagi dia bingung, wanita itu menowel pinggulnya dari belakangnya. Dia membalik dan cepat menyerang, akan tetapi kembali wanita itu lenyap untuk muncul secara aneh di belakangnya, di kanan atau kirinya. Syanti Dewi berpusing-pusing dan akhirnya dia roboh karena pening dan duduk terengah-engah di dekat api unggun.

“Bunuhlah kalau mau bunuh, aku tidak takut mati dan aku tidak dapat melawanmu!” katanya dengan kepala ditegakkan penuh keagungan.

Ouw Yan Hui makin kagum. Puteri ini selain memiliki ilmu silat yang boleh juga, ternyata tidak cengeng seperti puteri-puteri lain, tidak menangis, bahkan tabah sekali menghadapi ancaman kematian seperti sikap seorang pendekar wanita tulen! Dia pun duduk kembali seperti tadi.

“Tadi kulihat Siluman Kecil berusaha menyelamatkanmu dari benteng. Apakah hubunganmu dengan dia?”

Syanti Dewi terkejut dan tanpa dapat dicegahnya lagi, kedua pipinya yang tadi sudah merah karena marah dan lelah itu menjadi makin merah. Teringat dia akan cinta kasih Suma Kian Bu kepadanya. Sukar baginya untuk menjawab, maka dia hanya menggeleng kepala, lalu akhirnya dapat juga berkata,

“Hanya teman baik, aku pun baru tahu ketika dia muncul, setelah lima tahun lebih tidak saling jumpa.” Syanti Dewi lalu menatap wajah yang cantik itu, lalu dia pun bertanya dengan suara mengandung penasaran. “Dan engkau siapakah? Aku tidak minta pertolonganmu akan tetapi engkau meloloskan aku keluar dari benteng, hanya untuk kau hina. Apa maksudnya ini semua?”

Ouw Yan Hui tersenyum.
“Aku paling benci melihat pria, apalagi yang mengganggu wanita. Ketika kau diganggu Panglima Bhutan tadi, aku segera ingin menolongmu. Dan kau cantik sekali. Aku tidak bermaksud menghinamu.”

“Dan tadi engkau menyerangku, mempermainkan aku....“

“Hemmm, kau tidak tahu, Syanti Dewi. Aku hanya ingin menguji sampai di mana kepandaianmu.”

“Siapakah engkau sebenarnya?”

Syanti Dewi tertarik sekali. Wanita ini aneh, cantik jelita, dan berilmu tinggi. Seketika lenyap rasa penasaran dan marahnya karena dipermainkan tadi. Biarpun dia sendiri bukan terhitung seorang wanita kang-ouw, akan tetapi selama beberapa tahun ini kehidupan Syanti Dewi penuh dengan pengalaman, dan sudah banyak sekali dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan yang aneh-aneh, maka dia dapat memaklumi keanehan wanita ini.

“Orang menyebutku Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan), akan tetapi namaku adalah Ouw Yan Hui. Aku juga bukan orang sembarangan, Syanti Dewi. Kalau engkau seorang Puteri Bhutan, maka aku adalah seorang ratu, ratu dari pulauku sendiri!”

Ouw Yan Hui tersenyum dan kalau dia tersenyum, memang dia cantik sekali, sedikit pun tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang wanita iblis yang amat lihai.

Syanti Dewi menjadi heran.
“Dan apa yang hendak kau lakukan kepadaku?”

“Apa yang kau harapkan?”

“Agar engkau membebaskan aku, membiarkan aku pergi setelah kau berhasil meloloskan aku dari benteng itu. Dan aku, Syanti Dewi, selamanya tidak akan melupakan budi kebaikan Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui.”

“Dan ke mana kau hendak pergi?”

“Ke mana saja kakiku membawaku. Aku...., aku mencari dua orang.”

“Siapa mereka?”

“Yang pertama adalah Teng Siang In, gadis sahabatku yang membawaku pergi dari Bhutan, dan ke dua adalah.... Ang Tek Hoat, dia.... dia tunanganku!”

“Hemmm!”

Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Dia merasa sayang bahwa seorang dara secantik Puteri Bhutan ini mau saja menyerahkan hatinya kepada seorang pria! Pria di dunia ini tidak ada yang baik, tidak ada yang bisa dipercaya!

“Dengan kepandaian silatmu yang biasa saja ini, dan dengan adanya demikian banyaknya orang pandai di dunia, apalagi mereka yang berada di dalam benteng tentu akan mengejar dan mencarimu, mana mungkin kau melakukan perjalanan seorang diri saja? Baru satu dua hari saja engkau tentu akan terjatuh ke tangan orang jahat lagi.

“Aku tidak takut.”

“Akan tetapi aku tidak mau melepasmu ke dalam bahaya.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Bu-eng-kwi?”

Ouw Yan Hui memandang penuh perhatian dan Syanti Dewi menambah kayu dalam api unggun sehingga apinya berkobar lagi. Dia tidak takut kepada wanita cantik ini karena dia dapat menduga bahwa wanita ini hanya lihai dan aneh, akan tetapi agaknya tidak jahat dan pasti tidak akan mengganggunya.

“Apa yang akan kulakukan? Hemmm, tergantung keadaanmu, Syanti Dewi. Aku akan mengambil keputusan kalau aku sudah mendengar riwayatmu mengapa engkau seorang puteri dari Bhutan sampai bisa berada di sini dan menjadi tawanan di dalam benteng itu.”

Syanti Dewi menarik napas panjang. Wanita ini aneh, lihai sekali, dan betapapun juga wanita ini telah menolongnya melepaskan dia dari dalam benteng yang amat kokoh kuat itu. Maka sebaiknya dia mengaku terus terang agar jangan membikin marah hati wanita aneh ini.

Dengan singkat Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia lolos dari istana ayahnya di Bhutan, dibantu oleh Teng Siang In, untuk menyusul dan mencari tunangannya, yaitu Ang Tek Hoat. Betapa dia jatuh ke tangan Hwai-kongcu Tang Hun ketua dari Liongsiam-pang dan akan dipaksa menjadi isterinya, kemudian betapa dia diperebutkan dan akhirnya dia terjatuh ke tangan Gitananda, kakek pembantu dari Koksu Nepal itu dan akhirnya terjatuh ke tangan Pangeran Nepal dan ditawan di dalam benteng itu.

Betapa kemudian Hwee Li, yang tadinya juga menjadi tawanan di benteng itu dan dijadikan tunangan oleh Pangeran Nepal secara paksa, mencoba untuk menolongnya, dibantu oleh Suma Kian Bu dan dua orang lain yang menyamar sebagai dua orang kakek iblis.

“Suma Kian Bu? Siapa dia?” Ouw Yan bertanya.

Kini Syanti Dewi yang memandang heran.
“Bukankah kau tadi sudah menyebutnya, dengan sebutan aneh, kalau tidak salah, Siluman Kecil?”

“Ah, jadi Siluman Kecil itu bernama Suma Kian Bu? Suma....? Seperti pernah kudengar nama keturunan ini....“

“Tentu saja. Suma Kian Bu adalah putera dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman dari....“

“Pulau Es....?”

Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak dan wajah Ouw Yan Hui agak berubah saking kagetnya mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera dari Pulau Es!

Kini Syanti Dewi mengangguk bangga.
“Benar, dia adalah putera dari pendekar sakti Suma Han, majikan dari Pulau Es. Sungguh kasihan sekali Suma-taihiap....“

Tiba-tiba Syanti Dewi menghentikan kata-katanya, terkejut bahwa begitu menyebut nama ini, tanpa disadarinya dia teringat lagi akan hubungannya dengan pemuda itu dan begitu saja menyatakan perasaan hatinya yang selalu merasa iba kepada putera Pulau Es itu.

Apalagi begitu dia teringat betapa hebat perubahan terjadi atas diri pemuda itu. Semua rambutnya telah menjadi putih! Dia merasa bahwa dialah yang berdosa, dialah yang menjadi biang keladi dan bertanggung jawab atas kedukaan yang diderita pemuda itu sampai rambutnya putih semua!

Ucapan dan sikap Syanti Dewi ini membangkitkan keinginan tahu dari Ouw Yan Hui.
“Apa maksudmu? Mengapa kasihan?” dia mendesak, maklum bahwa ada sesuatu dirahasiakan oleh Puteri Bhutan itu.

Ada dua macam kebanggaan yang menyelinap di lubuk hati hampir setiap orang wanita normal. Pertama adalah pernyataan bahwa dia muda dan cantik, dan ke dua adalah bahwa dia dicinta oleh pria! Apalagi kalau pria yang mencintanya itu adalah seorang pria pilihan, bukan pria sembarangan! Makin banyak pria tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya, akan makin bangga dan besarlah hatinya. Betapapun pandainya seorang wanita, betapapun majunya, betapapun dia hendak menutupinya dan merahasiakannya, namun di lubuk hatinya tentu akan terasa suatu kebanggaan besar kalau dia mengetahui bahwa dirinya dicinta oleh pria, dikagumi oleh pria.

Andaikata dia tidak membalas cinta kasih pria itu, dan dengan sikapnya menyatakan ketidak senangan hatinya, namun di sebelah dalam hatinya ada perasaan bangga itu, bahkan penonjolan sikap penolakannya itu adalah usaha yang tidak disadarinya untuk lebih meninggikan harga dirinya lagi, bahwa dia masih terlalu “tinggi” untuk pria yang tidak dibalas cintanya itu.

Syanti Dewi, biarpun dia seorang puteri, tidak terlepas dari sifat yang menjadi naluri kewanitaan ini. Kebanggaanlah yang mendorongnya untuk mengaku kepada Ouw Yan Hui. Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu terkejut mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pulau Es, kebanggaan hati karena kenyataannya bahwa pemuda luar biasa itu jatuh cinta kepadanya membuat dia lupa dan seperti dengan sendirinya dia menjawab,

“Aku kasihan kepadanya karena dia mencintaku tanpa aku dapat membalasnya....“

Kembali Syanti Dewi terkejut dan menghentikan kata-katanya yang sudah terlambat. Dia merasa menyesal juga telah membuka rahasia itu, akan tetapi di samping penyesalannya ini, dia mengerling untuk melihat sikap wanita itu sewaktu mendengar pengakuannya ini.

Dan memang wanita cantik itu tertarik sekali, pandang matanya penuh kagum dan heran, juga alisnya bergerak-gerak, bibirnya komat-kamit tanpa bersuara. Akhirnya, Ouw Yan Hui berkata,

“Dan kau menolak cinta putera Pulau Es itu karena engkau telah jatuh cinta kepada.... siapa pula nama tunanganmu tadi?”

“Ang Tek Hoat. Benar, aku telah saling jatuh cinta dengan Ang Tek Hoat!” jawab Syanti Dewi dengan tegas dan memang suara ini adalah suara hatinya.

“Akan tetapi Ang Tek Hoat itu meninggalkanmu dan kau perempuan bodoh ini, mengejar dan mencari-carinya dari Bhutan sampai ke sini?”

Pandang mata Ouw Yan Hui berkilat karena dia merasa marah dan penasaran sekali! Dan sebelum Syanti Dewi menjawab, dia melanjutkan dengan suara yang kedengaran marah,

“Dan kau percaya saja kepada laki-laki itu? Laki-laki yang sudah meninggalkanmu begitu saja? Kau, seorang puteri yang begini muda, begini cantik jelita, yang akan disembah oleh laksaan Laki-laki, kau begini merendahkan diri, begini menjual murah, merantau dan bersengsara hanya oleh seorang laki-laki yang tak dapat dipercaya mulutnya?”

Syanti Dewi terkejut melihat kemarahan ini. Dia menggeleng kepala.
“Tidak, dia..... dia amat gagah dan baik.... dia terpaksa meninggalkan Bhutan, karena ayah marah kepadanya....“

“Huh! Laki-laki di dunia ini, di manapun sama saja. Mahluk yang palsu, tak dapat dipercaya sama sekali. Apa kau kira Ang Tek Hoat itu pun Laki-laki yang dapat dipercaya? Semua Laki-laki di dunia ini adalah jahat dan palsu!”

“Tetapi.... tapi dia baik sekali....”

“Itulah kalau wanita sudah jatuh cinta! Dan kau akan kecelik kelak, akan kecewa dan merana seperti aku....“

Syanti Dewi terkejut sekali, melihat kepada wanita yang tiba-tiba kelihatan berduka itu.
“Apakah yang telah terjadi denganmu.... Enci Ouw Yan Hui?”

Pertanyaan dari Puteri Bhutan ini terdengar begitu wajar, begitu halus karena memang merupakan suara dari hatinya yang mengandung penuh rasa iba sehingga Ouw Yan Hui merasa tersentuh perasaannya. Dia menunduk, lalu berkatalah dia dengan suara gemetar.

“Aku mencinta dia, suamiku itu.... apalagi aku dalam keadaan mengandung untuk yang pertama kalinya.... akan tetapi.... malam itu.... aku melihat suamiku bermain cinta, berjina di dalam kamar seorang wanita tetangga....“

“Ahhh....!” Syanti Dewi mengeluh penuh rasa iba dan penasaran.

“Kubunuh dia! Kubunuh mereka! Aku menjadi buronan! Hemmm, anak yang kukandung terlahir mati, kebetulan malah. Huh, sekarang, jangan harap ada pria akan mampu mempermainkan aku, kalau perlu akulah yang mempermainkan mereka! Syanti Dewi, jangan kau menjual dirimu demikian murah. Kau harus yakin dulu akan hati orang bernama Ang Tek Hoat itu! Uji dia sampai habis-habisan, dan engkau dapat melakukan hal itu jika engkau memiliki kepandaian.”

“Akan tetapi dia lihai sekali....“

“Apa artinya kelihaiannya kalau engkau dapat bergerak seperti aku? Pria mana yang akan mampu menangkapku? Aku bebas, aku tidak dapat ditundukkan siapapun, dan aku dapat memperlakukan pria sesuka hatiku! Syanti Dewi, kalau kulepaskan engkau sekarang, akhirnya engkau hanya akan menjadi permainan pria. Lupakah engkau betapa sudah berkali-kali engkau terjatuh ke tangan pria-pria jahat? Kalau engkau berkepandaian, tak mungkin mereka itu dapat memandang rendah kepadamu.”

“Maksudmu....?”

“Kau ikutlah bersamaku. Aku akan mengajarkan ginkang yang akan membuat engkau dapat bergerak seperti aku, sehingga tidak akan ada seorang pun pria di dunia ini yang dapat berbuat sesuka hatinya kepadamu, tanpa kau kehendaki. Engkau akan menjadi bagaikan seekor burung di angkasa yang dapat dipandang, dikagumi, akan tetapi tidak dapat ditangkap tangan!”

Syanti Dewi termenung. Dia masih belum tahu di mana adanya Tek Hoat. Dan kalau dia mengingat bahwa orang-orang di dalam lembah itu, Pangeran Nepal, Mohinta, dan semua anak buah Pangeran Nepal yang amat banyak dan amat lihai, tentu akan mengejar dan mencarinya, dia menjadi ngeri juga. Apalagi janji yang diberikan Ouw Yan Hui ini amat menarik hatinya. Kalau dia pandai “terbang” seperti itu, tentu selain tidak akan mudah ditangkap orang jahat, juga akan lebih mudah baginya untuk mencari Tek Hoat. Untuk sementara ini lebih banyak selamatnya daripada ruginya kalau dia ikut bersama dengan wanita cantik itu, Maka dia mengangguk.

“Baiklah, aku mau ikut bersamamu, Enci.”

**** 100 ****