FB

FB


Ads

Jumat, 29 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 095

Memang Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung. Pangeran Nepal ini selain hendak membalas kematian ayahnya, juga hendak melanjutkan cita-cita ayahnya, menggulingkan kaisar dan bahkan dia memiliki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan kesempatan itu untuk bersekutu dengan gubernur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar!

Karena itu, dia membuat persiapan sebaiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang berkedudukan tinggi. Selain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhirat)!

Pada waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan sesat, terdapat Im-kan Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun lamanya mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak ada semangat lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah lima orang yang amat tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia kaum sesat di juluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat! Karena ini, Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk dapat memanggil empat tokoh yang lain agar dapat membantu pergerakannya.

Koksu Nepal juga haus akan kedudukan. Kalau sampai pemuda yang bersemangat besar itu berhasil dan menjadi kaisar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari kerajaan yang amat besar yang menguasai seluruh Tiongkok! Maka dia pun lalu mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu untuk datang membantunya, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh pada hari itu dan tempatnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng itu.

Hari itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah karena dalam keadaan tidak mampu bergerak itu, muka mereka yang tertimpa sinar matahari membuat mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum terbebas dari totokan dan agaknya sebentar lagi mereka baru akan bebas karena waktu mereka tertotok sampai sekarang sudah berjalan hampir setengah hari.

Totokan pemuda sakti Siluman Kecil itu benar-benar amat hebat sehingga dua orang kakek sakti seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu dan harus menanti sampai totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya. Mereka yang dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala gigitan semut pada tubuh mereka terasa semua, membuat mereka berkaok-kaok dan memaki-maki.

“Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau kelak dia dapat olehku, akan kupermainkan dia, kuperkosa sampai mati seperti ibunya!” Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li.

“Huh, kau takkan berani!”

Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hidung, di telinga, di bibir sehingga rasanya geli dan tidak enak sekali. Lalat itu terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan seperti yang dikhawatirkan, kembali hinggap di bibirnya. Kakek ini mendongkol bukan main, lalu membuka mulutnya. Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut dan tiba-tiba;

“happp!” mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya mati dan diludahkan penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi.

“Aku? Tidak berani? Kau gila!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada anak perempuan yang kubesarkan sendiri itu?”

“Ha-ha-ha, apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut,
“Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas aku membalas kekurang ajaran dan penghinaannya hari ini!”

Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak orang yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga beberapa kali menjadi rekannya yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo sudah menghadapi harapan pangkat dan kemuliaan besar, tentu dia akan melupakan lagi ancamannya terhadap Hwee Li.

“Kalau aku tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo. Yang merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong. Mereka berdua itulah yang hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus membayarnya.”

“Mereka juga, akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak.

Kini pengaruh totokan itu sudah mulai mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang dipandang oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia pun terbelalak sambil mengeluarkan suara tertahan.

Kebetulan sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sampai jauh ke sebelah depan terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang sampai jauh dan kini dari kejauhan nampak pemandangan yang membuat mereka terbelalak saking terheran-heran. Mereka melihat dari jauh sekali dua orang sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu berlari amat aneh dan bukan main cepatnya.

Yang seorang bertubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan langkah-langkah lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari menggunakan kedua tangan menjadi kaki, akan tetapi tidak berkurang kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang ke dua amat pendek, seperti anak-anak pendeknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang orang ini menggelundung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula.

Seperti burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua makin terheran ketika dapat mengenal dua orang ini. Yang bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tubuhnya seperti sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu dia satu setengah kali jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya! Pakaiannya serba hitam, lengan bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti tulang terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang. Rambutnya sebaliknya malah hanya sedikit dan tidak panjang, bercampur uban dan digelung ke atas model rambut para tosu, matanya juga panjang sehingga nampak sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya. Orang ini benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya.

Orang ke dua tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang ke dua ini melihat pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja. Dan bentuk tubuhnya merupakan kebalikan dari tubuh kawannya. Dia bertubuh gendut besar sekali, hanya setinggi pinggang si jangkung dan tingginya seperti seorang bocah berusia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat!






Orang lain yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh mereka yang aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang keduanya merupakan orang-orang aneh, pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau pelawak-pelawak panggung wayang.

Apalagi muka si gendut pendek, baru melihat mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah menimbulkan rasa geli dalam hati orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek nampak selalu gembira dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan, akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu selalu muram, cemberut dan sedih!

Kalau orang lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terkejut sekali dan memandang dengan muka berubah. Mereka berdua mengenal dua orang itu dan terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk besar di dunia hitam yang sudah lama menyembunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Sian-su (Manusia Dewa Pencabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat), dia merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan itu, melainkan tingkat kepandaian mereka!

Im-kan Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu, semenjak mereka masih muda dan mengangkat persaudaraan dan membentuk Im-kan Ngo-ok, mereka bertanding dan mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang terpandai menjadi Twa-ok (Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan setiap tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan tingkat baru mereka.

Oleh karena persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan hebat, menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara-saudara angkat sendiri agar naik tingkat mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering bertukar tempat atau tingkat selama sepuluhan tahun.

Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa bosan dan masing-masing lebih suka bersembunyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu, Toat-beng Sian-su menduduki tingkat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima).

Adapun kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal. Seperti juga Toat-beng Sian-su dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siang-cu (Si Gajah Cilik) atau dalam urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat ke empat, yaitu disebut Su-ok (Jahat Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi mengadu kepandaian, maka sekarang sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi kepandaian para tokoh dunia kang-ouw pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun maklum bahwa Koksu Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin yang amat lihai itu, hanya menduduki tingkat ke tiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal, juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan kelihaian Koksu Nepal itu, maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa Sengjin karena sekarang belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Sejak dahulu pun, Ngo-ok Toat-beng Sian-su terkenal dengan ginkangnya yang tidak lumrah manusia kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa, ditambah dengan kaki dan tangannya yang amat panjang, maka dalam perkelahian sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan sesuai dengan julukannya sebagai seorang di antara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga mempunyai kekejaman yang tidak lumrah manusia.

Dahulu, di waktu dia masih aktip dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang membikin meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekalipun. Melakukan kejahatan merupakan sesuatu “keharusan” untuk mempertahankan gelar mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini kelima Ngo-ok itu tidak lagi terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka. Hanya Ban Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan sebagai tokoh dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu tempat asalnya di mana dia dikenal sebagai seorang sakti penasihat raja yang bergelar atau berjuluk Lakshapadma.

Tentu saja orang ke empat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam hal kejahatan juga tidak kalah dibandingkan dengan si jangkung itu. Melihat wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian dan kepalanya yang seperti pendeta, yang sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan kejahatan, sungguh sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan.

Akan tetapi kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan mengkirik dan mungkin selama hidupnya dia tidak akan mampu melupakan peristiwa mengerikan itu! Bayangkan, untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mujijat saja, Su-ok ini dengan muka masih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita-wanita yang mengandung begitu saja untuk mengambil anak-anak yang belum dilahirkan itu, untuk campuran “obat” yang dibuatnya! Dan dia melakukan hal ini berkali-kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan hidungnya!

Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia suka menangkapi wanita-wanita, tidak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan dia memperkosanya sambil membunuhnya! Semua ini dilakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya sesuai dengan julukannya agar dia tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain!

Dan setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji dan mendirikan bulu roma, juga dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan sampai sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai “tasbih” yang terbuat dari kuku-kuku wanita yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu sudah ratusan banyaknya!

“Ha-ha-ha, larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa-tawa ketika mereka tiba di tempat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja meringkuk dalam gua silumanmu itu tidak tinggal diam dan tidak melupakan ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi ilmumu melarikan diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu tertawa-tawa.

Wajah yang muram itu menjadi makin keruh.
“Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan singkat lalu diam tidak mau melanjutkan kata-katanya.

“Ha-ha-ha, menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal jauh bukan licik namanya, akan tetapi cerdik! Biarpun dalam hal lari aku kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan menangkap dan memukul, kau masih setingkat lebih rendah dariku, adikku yang ke lima!”

Toat-beng Sian-su tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja tangannya yang amat panjang itu seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul itu. Cepat bukan main gerakannya dan melihat tangan yang sepanjang itu, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si cebol itu pasti tidak akan mampu menghindar.

Akan tetapi, tiba-tiba si pendek itu tertawa.
“Dukkk!”

Tubuhnya sudah terlempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu-tahu tubuhnya itu bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung dan kontan dia mengirim pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah hebatnya daripada pukulan si jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring, mengejutkan dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini cerdik bukan main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat menghadapi lawan yang memegang senjata panjang, yaitu mengajak bertanding dari jarak dekat!

Akan tetapi, si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tubuh belut saja dia sudah dapat mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur sampai dua meter jauhnya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga, sedangkan kedua kakinya yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua orang yang siap untuk bertanding!

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Jungkir-balikmu sudah kau sempurnakan, ya? Bagus, coba kau hadapi pukulan Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin pendek karena dia sudah menekuk kedua kakinya, tubuhnya agak condong ke depan, kedua tangan dikembangkan, lagaknya persis seperti seekor katak buduk yang siap untuk melompat!

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka berdua maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang amat dahsyat yang dilakukan dengan ilmu-ilmu mujijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah merasa betapa hawa tiba-tiba menjadi berubah, angin menderu-deru ketika dua kaki yang panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari tubuh kakek gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang sudah siap untuk saling gempur.

Tiba-tiba bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang mengguncangkan jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking dari atas, seperti dari udara saja dan hebatnya, suara itu mengandung getaran sedemikian rupa sehingga menyusup ke dalam tubuh dua orang kakek iblis yang terkubur itu dan ketika mereka membarengi dengan pengerahan tenaga maka mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak kehilangan pengaruhnya itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka membebaskan diri.

“Blarrr! Blarrr!”

Dua orang kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan loncatan ke atas, membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di situ.

Dua orang kakek yang sedang berhadapan untuk saling gempur tadi, mendengar suara melengking ini, terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mereka makin kaget dan cepat mereka bergerak ke arah dua orang kakek iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan yang panjang menekan pundaknya dan sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dahsyat menyeretnya dan dia sudah dibanting masuk lagi ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur.

Ketika dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan menempel di ubun-ubun kepalanya sehingga dia bergidik karena maklum bahwa sedikit saja jari-jari tangan itu bergerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi nyawanya lagi. Maka dia tak bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melainkan ditekan oleh kakek jangkung!

Juga Hek-hwa Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah tangan yang gemuk telah mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan darah kematian yang membuat dia tidak berani banyak bergerak karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan orang.

“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Haha-ha, di jaman ini masih ada orang bertapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan ke Dua), coba lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau masih mengenal mereka? Yang kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang kabarnya melarikan kitab itu. Ha-haha, dan yang itu tentu adalah sekongkolnya, si Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka! Agaknya mereka kini bertapa untuk menciptakan ilmu permalingan baru!”

Su-ok Siauw-siang-cu mengejek sambil tertawa-tawa. Akan tetapi Ngo-ok Toat-beng Sian-su tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala Hek-tiauw Lo-mo untuk didudukinya, dan jari tangannya masih menempel di ubun-ubun yang didudukinya. Dia menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang ditakuti orang itu sebagai bangku!

“Hi-hi-hik, kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja. Kalau encimu ini tidak cepat datang, tentu kalian tadi sudah saling serang kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah selama ini kalian tidak makin tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?”

Dari atas pohon melayang turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi memandang, mereka bergidik. Mereka sudah mendengar tentang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari Im-kan Ngo-ok. Tingkat wanita ini bahkan lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan kabarnya memiliki kekejaman yang sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sekalipun!

Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak kecil yang belum satu tahun usianya untuk “jamu”, dan ketika orang sedusun mengepungnya, dia mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni dusun yang jumlahnya ratusan orang itu, mengumpulkan mereka di rumah kepala dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan dibakarnya rumah itu.

Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan dia tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut dibakarnya hanya anak-anak kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke dalam guanya, dipelihara baik-baik sampai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu anak karena menjadi “jamunya”!

Dan menurut kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah terbukti betapa lengking suaranya mengandung khikang yang demikian ampuhnya sehingga tanpa disengaja mampu menembus jalan darah kedua orang kakek iblis itu.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak berdaya sama sekali karena jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua orang anggauta Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang baru datang itu dengan jantung berdebar tegang.

Wanita itu memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja biasanya membikin orang menggigil ketakutan itu kini merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Wanita itu bertubuh tinggi langsing, seperti tubuh seorang wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat karena muka itu memakai topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari tengkorak manusia sungguh-sungguh!

Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan giginya yang besar-besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam dan liar atau mengerikan, bukan seperti manusia melainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya rambutnya yang sudah putih semua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang nenek yang sudah tua!

Kabarnya, sebelum menjadi anggauta nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di mana dia ditakuti sebagai seorang yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi, perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran negeri itu dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain, dalam perayaan pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan seluruh keluarga, bahkan ratusan orang tamu ikut pula menjadi korban.

Dan dia lalu memenggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke mana-mana sampai menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya ketika dia menjadi anggauta Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup kejam dan pantas menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu!

“Ahhh, Ji-ci mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk berkumpul? Setelah berkumpul, mengapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian masing-masing? Siapa tahu aku dari Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!”

“Huh, cebol kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cicimu? Oho, kau boleh belajar seratus tahun lagi, adikku!”

Si topeng tengkorak itu mengejek. Wanita ini adalah Ji-ok (Jahat ke Dua) yang bernama Kui-bin Nio-nio (Wanita Muka Setan) yang juga seperti yang lain telah lama sekali mengundurkan diri dan baru sekarang muncul karena undangan Sam-ok yang kini telah menjadi Koksu Negara Nepal! Mungkin karena jabatan koksu inilah yang membuat Ji-ok yang setingkat lebih tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan!

“Lihat ini!” Wanita itu menudingkan telunjuknya dan menggerakkan sedikit tangannya.

“Cuiiiiittttt....!”

Dari telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat Su-ok dan debu beterbangan seolah-olah batu itu di “bor” dan ketika wanita topeng tengkorak menghentikan gerakannya, maka terdapat ukiran berbunyi “Ji-ok” di permukaan batu itu! Su-ok menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil berkata nyaring.

“Aha, kepandaian Ji-ci masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari Pedang) dari Ji-ci akan dapat mengalahkan aku!”

Akan tetapi agaknya wanita itu merasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau bertanding. Dia memandang ke sekeliling dan berseru,

“Mana dia adik ke tiga si Sam-ok? Apakah setelah menjadi koksu dia begitu congkak tidak mau menyambut kita? Dan apakah Twa-ko tidak mau datang?”

Tiba-tiba menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara itu terdengar amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena hal itu menandakan bahwa orang itu sudah memiliki kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali.

“Hemmm, aku orang tua tak berguna bisa apakah?”

“Twa-ko....!”

Tiga orang itu berseru secara berbareng dan ketiganya bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Ka1au tadi mereka tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak bangun, secepat kilat mereka sudah bergerak dan menghantam ke arah punggung para penawan mereka!

“Ha-ha-ha!”

Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas dari hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar juga mengelak dan membalik hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali mengirim serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang diciptakannya dari kitab curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si Dewa Bongkok.

Hawa beracun berupa uap hitam mengepul dari kedua tangannya ketika dia menyerang si jangkung itu.

“Hemmm....!”

Ngo-ok Toat-beng Sian-su mendengus dan tiba-tiba dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia tahu bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang ke lima dari Im-kan Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung karena sasarannya menjadi aneh.

Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu dengan paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul kepala, kini bertemu dengan lutut yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali! Dan setiap gerakan kakek jangkung itu mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dimainkannya itu agaknya tidak mempengaruhi si jangkung karena beberapa kali si jangkung berani menangkisnya tanpa keracunan. Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia bingung karena kaki itu secara tiba-tiba dapat “memukulnya” dari belakang, ke arah punggungnya!