FB

FB


Ads

Jumat, 29 Mei 2015

Jodoh Rajawali Jilid 094

Selain banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nio-nio juga terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang gelang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula untuk menyerang lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya dan hebatnya gelang-gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar dipelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya.

Ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara pria dan wanita adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang akrab. Hal ini tidaklah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan ini terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk saling memiliki.

Demikian pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nio-nio, setiap hari bergaul dan berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nio-nio yang melihat gejala ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang muridnya itu.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan kepada Jenderal Kao Liang sekeluarga!

“Suheng, kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus memenuhi permintaanku agar aku tidak sampai melanggar sumpahku. Kita tidak bisa menikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.” Dengan terus terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada suhengnya.

Berbeda dengan Kim Cui Yan, ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini mempunyai watak yang halus dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya dia tidak suka dan menentang adanya kekerasan dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.

“Tentu saja aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang diracuni oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kau anggap bahwa kehancuran keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap sebagai musuh pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikut sertakan keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga jenderal itu tidak pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku hanya menurut apa yang kau kehendaki karena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari fihak manapun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi nasihat kepada sumoinya.

Ketika dua orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati mereka kepada guru mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran keluarga Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nio-nio menarik napas panjang.

“Permusuhan, bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan menghancurkan seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi Jenderal Kao saja kalian tidak akan kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai anak-anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?”

Dengan terus terang Liong Tek Hwi berkata,
“Subo, menurut penyelidikan teecu, seorang di antara putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir....“

Tiba-tiba wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru sekali.
“Apa kau bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?”

“Memang putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir.... begitulah kata orang....“ kata Liong Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.

“Celaka! Kalau begitu dia tentu murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat itu! Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekalipun tidak akan mampu menyelamatkan kalian!”

Setelah mendapatkan nasihat-nasihat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong Tek Hwi dan sumoinya, Kim Cui Yang, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka. Menurut kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke selatan untuk mencari Jenderal Kao. Akan tetapi sumoinya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi malah mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!

“Suheng, penuturan Subo tadi mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita mencari Istana Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!”

“Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo sendiri jerih terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit? Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.”

“Aku tidak akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam dongeng itu.”

Liong Tek Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoinya atau kekasihnya yang amat keras ini.

“Subo sendiri mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak seorang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?”

“Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas markas jenderal itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.”

Liong Tek Hwi yang mencinta sumoinya terpaksa menuruti permintaan sumoinya dan demikianlah, mereka tidak langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari Istana Gurun Pasir! Dan dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu dengan soal-soal yang menimbulkan penasaran, mereka tentu turun tangan menentang setiap kejahatan.






Semua ini memang sengaja diarahkan oleh Liong Tek Hwi yang tidak ingin melihat sumoinya atau kekasihnya tersesat, maka dia mencoba untuk menarik perhatian sumoinya agar menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka.

Karena inilah, biarpun mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar-pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka, Kim Cui Yan amat menonjol dengan gerak-geriknya yang tangkas karena memang gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian, orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau!

Akhirnya, pada suatu hari setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering menyeberangi gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh, kakak beradik seperguruan ini lalu nekat mengambil jalan menyeberangi gurun pasir yang amat berbahaya itu.

Mereka sudah mendapat peringatan dari kakek itu bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka lalu membeli dua ekor onta, membawa perbekalan secukupnya dan pada hari itu berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun pasir yang seperti laut tak bertepi itu!

Dan mulailah mereka mengalami hal-hal yang amat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari kemudian, ketika mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai!

Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang, membentuk dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan menghalanginya.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah teruruk pasir dan kalau mereka tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!

Akhirnya, pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu!

Mereka meninggalkan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat. Dan secara kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang diri di belakang istana itu, bermain layang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang terlalu keras, atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang itu membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa layang-layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.

“Anak yang baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan.

Karena orang itu telah mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan menjawab,

“Namaku Kao Cin Liong.”

“Ah, kau tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?”

Anak itu memandang tajam, lalu balas bertanya,
“Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?”

Cui Yan tersenyum ramah.
“Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?”

Anak itu mengangguk.
“Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!” Sekecil itu, anak ini sudah pandai membanggakan ayahnya?

Kim Cui Yan berkedip kepada suhengnya, kemudian berkata kepada anak itu,
“Siapa bilang? Kami bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami bersembunyi, biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.”

“Ah, tidak mungkin!”

Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja maka dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya.

“Mari kita sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!”

Cui Yan memondong anak itu dan membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka.

“Heh-heh, ayah akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka.

Mendengar ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan oleh angin pukulannya! Melihat ini, Cin Liong tertawa,

“Heh-heh, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah ayahnya dapat mencari mereka.

Demikianlah dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya untuk mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan untuk melihat mana arah selatan, mereka kalau malam melihat letaknya bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari. Di waktu pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari harus selalu berada di sebelah kanan mereka.

Dengan pedoman matahari dan bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak mereka selalu dihapus oleh pukulan-pukulan Tek Hwi dan Cui Yan yang mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang menggerakkan pasir.

Akhirnya mereka dapat meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu anak ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian ayah dan ibu anak itu, maka mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi-sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang.

Hanya karena ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh saja untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan memberi alasan yang kuat.

“Kalau kau melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa tahu sekali waktu kita akan dapat mempergunakannya sebagai sandera yang amat berharga. Selain itu, kau sudah berjanji untuk tidak mengikut sertakan keluarga Kao, Sumoi.”

Demikianlah, dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ketika muncul pendekar Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu.

Maka, setelah kini banyak orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda tampan sekali yang memiliki kesaktian luar biasa, mereka menjadi jerih dan menurut usul Liong Tek Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan benteng oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi.

Ketika mereka tiba di benteng lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Liong Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini dengan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata kedua orang laki-laki yang masih ada hubungan keluarga amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik.

Mereka berdua sebenarnya adalah keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri! Akan tetapi, terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini. Yang seorang berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang ke dua berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah campuran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang ke dua beribu Nepal.

“Ahhh, Adik Tek Hwi.... betapa keluarga kita telah berantakan....“ terdengar Pangeran Nepal itu berkata dengan hati terharu.

Liong Tek Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih baik keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi keluarganya, ibunya pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak mempunyai keluarga lagi, kalau pun ada maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia sebatangkara, tidak seperti kakak misannya ini, seorang pangeran!

Melihat Tek Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk-nepuk pundak adiknya dan berkata,

“Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Eh, siapakah Nona ini, adikku?”

“Dia adalah sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.”

Wajah Pangeran Nepal itu berseri.
“Ah! Sungguh kebetulan sekali!”

Dia mengatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan calon isterinya, dengan Hwee Li, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan.

“Dan anak ini?”

Tek Hwi hendak menjawab, akan tetapi didahului oleh Cui Yan.
“Dia ini adalah calon murid kami.”

“Ah, bagus, bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nio-nio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?”

Tek Hwi dan Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan heran. Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayangkan betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti orang yang hendak melaksanakan perang!

“Hebat sekali!” Tek Hwi mengakui.

“Ha-ha-ha! Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara mereka sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Mari kuperkenalkan dengan dia yang telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!”

Benar saja, Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka dihadapkan dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu melepaskan tangan Cui Yan dan lari menubruk kakeknya.

“Kong-kong....!” teriaknya.

Kini giliran Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat cucunya itu. Dia segera, mengenal Cin Liong.

“Ah, Cin Liong.... kau.... kau!”

Dia tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menatap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan.

“Ha-ha-ha, engkau pandai sekali menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah berhasil pula menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu tertawa.

Jenderal Kao Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil memandang kepada dua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang,

“Siapakah kalian dan mengapa kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?”

Mendengar ini, pangeran dari Nepal itu terkejut.
“Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?” tanyanya.

Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Istana Gurun Pasir yang sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan bangga karena memang merupakan hal yang patut dibanggakan bahwa dia dan sumoinya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!

“Hebat....! Bukan main kalian ini....!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera dari paman Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.”

“Ahhh....!”

Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini yang menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.

“Kao-goanswe, sekarang engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.”

Jenderal Kao Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia mengelus kepala anak itu sambil berkata,

“Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga lain.”

“Kong-kong, siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!”

Cin Liong berkata, akan tetapi Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao Liang. Terhibur dan girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.

Di dalam hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak misannya.

Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat melihat kesalahan mendiang ayahnya yang memberontak, dia merasa menyesal sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoinya yang perlahan-lahan juga dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak. Mereka berdua berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, akan tetapi kini mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah mereka yang lalu, yaitu memberontak!

Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya itu didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apalagi karena dia dan sumoinya merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka untuk membalas dendam.

Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik misannya yang baru datang bersama sumoinya. Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan demikian memperkuat pengaruhnya atas diri jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri karena dia masih menanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li.

Dua orang murid dari Kim-mouw Nio-nio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng, berkenalan dengan para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan para tokoh dari Nepal lainnya.

Diam-diam Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar-benar kuat dan kakak misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak, bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat daripada kedudukan pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, kini kakak misannya didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin di utara.

**** 094 ****